Title: Until the Day I Die
Chapter: 3/3
Author: アキ
Fandom: Alice Nine
Disclaimer: I don't own the guys. Just the story. Song title and lyrics that are later used in the story are LUNA SEA's.
Language: Bahasa Indonesia
Pairings: ToraxShou
Genre: AU, high school, romance, angst
Rating: R
Warning: None
Beta: None
Summary: "Shou ingat segalanya, dari awal liburan musim dingin yang suram itu sampai detik ini, detik dimana ia sadar ia telah kehilangan orang pertama yang dicintainya dengan seluruh eksistensinya."
UNTIL THE DAY I DIE
Bagian 3
Shou ingat segalanya, dari awal liburan musim dingin yang suram itu sampai detik ini, detik dimana ia sadar ia telah kehilangan orang pertama yang dicintainya dengan seluruh eksistensinya.
Tidak pernah sebelumnya, selama hidupnya, ia berdoa supaya liburan cepat berakhir. Seperti anak-anak SMA lainnya, biasanya semakin lama liburnya, dirinya semakin bahagia. Tapi kali ini, ada alasan yang membuatnya merindukan sekolah. Alasan itu punya nama: Amano Shinji, atau lebih akrabnya, Tora. Seminggu penuh yang ia habiskan berhubungan dengan Tora di sekolah secara sembunyi-sembunyi terasa begitu intens, sehingga saat liburan dimulai, ia bingung dengan kekosongan yang ada.
Sehari sebelum liburan dimulai, kala jam makan siang, di salah satu sudut atap sekolah yang terlindung, Shou berbaring bersisian dengan Tora. Berbantalkan blazer seragam milik Tora, ia memicingkan mata menatap langit yang biru kemilau di atas kepala mereka. Sang macan bernafas pelan dan teratur di sampingnya, matanya terpejam. Mungkin tertidur. Entah bagaimana Tora bisa dengan tenangnya tertidur, sementara Shou sendiri merasa gusar seharian itu. Libur musim dingin akan berlangsung selama sebulan. Bagaimana dan dimana mereka bisa bertemu selama sebulan itu?
Ia menoleh ke samping, dan menemukan wajah Tora yang terlihat damai. Tulang pipinya yang indah tampak semakin menonjol ditimpa cahaya matahari di sudut-sudut yang tepat. Rambutnya yang halus membingkai wajahnya yang tampan, gelap, kontras dengan kulitnya yang terang. Nasib yang aneh telah membimbingnya ke sisi orang ini. Kini otaknya hanya bisa memikirkan Tora, bibirnya hanya mengingat sensasi ciuman Tora, dan hasratnya selalu haus akan sentuhan Tora. Kalau ia pakai akal sehatnya, memang semua ini berbahaya. Jatuh cinta pada anak berandalan seperti Tora, terlebih lagi, mereka berdua sama-sama laki-laki… terlalu banyak dosa yang ia lakukan. Tapi bisakah ia menghentikan semua ini?
Tora bergerak sedikit, bibirnya agak terbuka. Dan jawaban atas pertanyaan yang Shou tanyakan pada dirinya sendiri muncul begitu saja: Tidak. Tidak bisa. Dan ia tidak mau. Ia bergeser dan mengangkat kepalanya, mendaratkan kecupan lembut di bibir Tora. Kontan saja laki-laki itu terbangun, mengerjap-ngerjapkan mata, lalu tersenyum. Senyuman yang kini pun masih terekam dengan jelas di memori Shou.
“Tukang tidur,” ujar Shou dengan cengiran lebar.
Kecupan demi kecupan menenggelamkan komentar apapun yang Shou pikirkan selanjutnya. Bibir Tora yang gigih menciuminya menghapus segalanya kecuali debar-debar indah yang memenuhi dadanya. Dengan penuh sesal Shou melepaskan diri, dan sembari mengelus bibir Tora dengan ujung jarinya, ia menyuarakan kekhawatirannya.
“Kamu akan menghubungiku selama libur?” tanyanya, sambil mengingat nomor Tora yang ia simpan di telepon genggamnya atas nama ‘Mako’-dengan kanji yang sama seperti nama asli Tora. Ini sedikit tindakan pencegahan kalau-kalau adik perempuannya atau siapapun iseng mengutak-atik teleponnya. Isi e-mail serta pesan singkat dari Tora yang masuk ke teleponnya setiap malam bisa dibilang… mencurigakan. Kalau ada yang tahu pesan-pesan itu dari laki-laki, Shou bisa habis.
“Menghubungimu? Memangnya harus?”
Tora menerima cubitan di perutnya untuk balasannya itu. Sementara ia memekik, menggeliat-geliat kegelian dan kesakitan, Shou menindihnya. “Serius, Tora,” ujarnya. “Apa yang bisa aku lakukan di rumah selama sebulan? Aku bisa membusuk, belum lagi kalau saudara-saudara sepupuku yang menjengkelkan itu menginvasi rumahku.”
Tora tersenyum simpul. Tangannya mengelus-elus paha Shou dengan perlahan. “Kamu akan merindukanku?”
Sambil menggigit bibir, Shou merunduk, bertumpukan pada sikunya. Bibirnya hanya sekian millimeter dari bibir Tora. “Hmm… mungkin,” katanya. “Kamu tidak berpikir aku bisa memuaskan diriku sendiri, seperti kamu memuaskan aku, kan?”
Dengan cepat, Tora memagut bibirnya. Menciumnya panas seperti orang kelaparan. Shou tertawa dalam hati; ia kini mengerti caranya mengontrol si macan yang dulunya ganas. Siapa yang menyangka kalau anak pembuat masalah ini sebenarnya, jauh di dalam dirinya, berhati lembut? Mudah dibujuk, gampang luluh. Tapi, entahlah, mungkin ini perkecualian khusus untuk Shou. Nyatanya, cara Tora memperlakukan orang lain masih sama. Angkuh, tidak ramah, dan menyebalkan.
Nafas Shou memburu ketika akhirnya ia menarik diri; bibirnya masih terasa geli dan lembab. Dadanya terasa hangat. Jantungnya berdentum-dentum keras, dan darahnya berdesir cepat, seiring sentuhan kedua telapak tangan Tora di sekujur punggungnya. Entah kapan ia sempat menyelusupkan tangannya ke dalam kemeja Shou.
“Istirahat sudah mau selesai, Tora,” Shou mengingatkan dengan setengah hati, tapi tak kuasa menolak saat Tora menciumi lehernya.
“Bolos saja,” kata Tora, yang malah mendekapnya semakin erat. “Lagipula, aku yakin guru-guru juga sudah malas mengajar.”
Mendesah pelan, Shou luluh. Sentuhan Tora bagaikan api yang melelehkan es; percuma saja Shou berusaha untuk bertahan, kalau ia sendiri tidak ingin melepaskan diri dari Tora. Mengingat mulai esok akan sulit baginya untuk bertemu Tora, ia pun mengabaikan bunyi bel masuk yang terdengar dari lantai bawah, dan pasrah pada panasnya nafsu yang mulai membara akibat jamahan tangan Tora di tubuhnya.
Di tengah-tengah rintihan yang mengalun dan gesekan-gesekan seirama di antara tubuh mereka, disaksikan awan putih yang berarak di langit, Tora mengulum cuping telinga Shou dan berbisik, “Aku pasti akan menghubungimu. Tidak peduli apa yang terjadi.” Disusul kata-kata manis yang mereka bagi di antara mereka, Shou sedikit demi sedikit berpikir liburannya mungkin tidak akan membosankan seperti yang ia kira.
Sesuai janjinya, hampir setiap malam telepon Shou sibuk berdering, entah telepon atau e-mail dari Tora. Beberapa dari pesan-pesan yang masuk ke teleponnya dengan efektif membuatnya tersipu, dan nyaris seluruh percakapan mereka yang berlangsung sampai jauh lewat tengah malam senantiasa berakhir dengan tangan yang menyelinap ke dalam selimut dan erangan yang tertahan di balik bantal. Seperti yang ia katakan pada Tora, tidak akan sama rasanya jika bukan Tora yang menyentuhnya. Tapi ia tidak punya banyak pilihan; dan suara Tora yang sensual membuatnya tidak bisa menahan diri.
Shou tidak mengerti perubahan macam apa yang terlihat pada wajah atau perilakunya, tapi anggota keluarganya jadi sering bertanya, “Kamu terlihat berseri-seri, apa yang terjadi?” Dan adiknya yang sok tahu, mengemukakan kata-kata yang paling menohok, “Kakak pasti baru punya pacar.” Yang Shou bisa lakukan hanya mengarang-ngarang alasan sebisanya. “Hanya sesuatu yang menghibur yang aku lihat di TV,” atau, “Nilai tesku bagus-bagus.”
Dua minggu berlalu, dan entah bagaimana Shou mampu bertahan. Meskipun saudara-saudaranya benar-benar datang dan mengusilinya seperti biasa, ia tidak banyak mengeluh. Natal pun datang penuh hiruk-pikuk; kado-kado besar dan mungil bertebaran di bawah pohon Natal, makanan yang melimpah-ruah, serta riuh-rendah tawa sanak-saudara memenuhi rumah orangtua Shou. Untuk hadiah Natal, Shou mendapatkan kemeja resmi berwarna abu-abu dari ayah dan ibunya, topi rajut buatan sendiri dari neneknya, serta gantungan telepon genggam berbentuk lonceng mungil dari adiknya.
Untuk menyempurnakan hari yang menyenangkan itu, malamnya Tora menelponnya.
“Lusa kamu ada acara? Kalau tidak, temani aku nonton, ya. Film horor terbaru yang aku ingin tonton sudah muncul di bioskop.”
Bukan ajakan kencan paling romantis yang pernah ada, tapi cukup untuk membuat Shou menyengir lebar dan cekikikan ditutupi tangannya sendiri. Tentu saja tanpa ragu ia mengiyakan. Alasan sekecil apapun supaya bisa bertemu Tora akan ia terima dengan senang hati. Mereka berjanji untuk bertemu di depan bioskop pukul enam malam.
Malam itu, Shou tertidur dengan memeluk telepon genggamnya, tidak sabar untuk menunggu saatnya bertemu Tora.
Ketika saat yang ditunggu tiba, lemari pakaian Shou menjadi korban kepanikannya. Setelah habis-habisan dibongkar oleh Shou, penampakannya mirip lokasi bencana gempa bumi. Ia menghabiskan waktu sekian jam untuk memilih baju apa yang akan ia pakai untuk pergi malam ini, sampai akhirnya ia memutuskan akan mengenakan kemeja flannel merah-nya, jeans hitam ketat, serta jaket abu-abu tebal-nya karena udara di luar masih sangat dingin. Ia juga melilitkan syal putih yang hangat di sekeliling lehernya, lalu menata rambutnya dengan sedikit gel. Ketika bercermin, ia hampir tertawa cekikikan; terakhir kali ia berdandan serapi ini adalah waktu ia menghadiri acara pernikahan saudaranya. Itu pun gara-gara dipaksa oleh orangtuanya. Aneh sekali, hal-hal yang ia lakukan di luar kebiasaan demi seseorang yang spesial.
Masalah berikutnya adalah izin ke orangtuanya. Shou hampir tidak tidur semalaman memikirkan apa yang harus ia katakan. Tapi untungnya mereka justru terlihat senang di kala Shou mengatakan mau pergi bersama temannya.
“Ya, ya, pergilah,” kata ayahnya. “Kamu masih ada uang?”
Dan ibunya berujar, “Sudah bawa inhaler-mu? Jangan kemalaman, ya.”
Dan Shou pun berjalan keluar rumah sambil tersenyum senang. Begitu ia naik subway, ia baru sadar inhaler-nya justru ketinggalan walau sudah diingatkan oleh ibunya. Tapi dengan santai ia mengedikkan bahu; bajunya sudah sangat tebal, syalnya juga cukup menghangatkan leher dan wajahnya. Di bioskop juga pastinya ada penghangat. Jadi hari ini tidak ada alasan yang bisa menyebabkan asmanya kumat.
Shou tiba di depan bioskop limabelas menit terlalu cepat dari jam yang ditentukan, tapi ternyata Tora sudah menunggu di dekat pintu masuk. Untuk beberapa saat, Shou terpana melihatnya. Ia berpakaian serba hitam: mantel hitam panjang, celana jeans hitam, sepatu boot hitam. Rambutnya yang hitam tergerai jatuh di sisi-sisi wajahnya yang putih, dan… ia mengenakan kacamata. Kacamata baca berbingkai hitam. Keseluruhan penampilannya membuat ia tampak lebih dewasa dari biasanya. Dan, Shou tersipu mengakui, sangat mempesona.
Tergagap-gagap persis anak perempuan remaja yang baru bertatap muka dengan pria yang ia taksir, Shou menyapa Tora. Dan Tora menyambutnya dengan senyuman lebar yang kontan saja membuat perasaan Shou bagai dibawa terbang ke langit biru.
Film yang Tora ingin tonton adalah sebuah film horor yang, menurut Shou, sama sekali tidak menarik. Mungkin karena horor bukan genre film favoritnya. Ia tidak tahu apa bagusnya adegan-adegan penuh darah dan organ tubuh berceceran itu, dan wanita-wanita berpakaian minim yang berlarian kesana-kemari dikejar-kejar pembunuh bertopeng. Tapi semua itu tidak penting baginya. Bagaimana ia bisa fokus menonton apa yang diperlihatkan di layar besar, kalau Tora memegangi tangannya terus-terusan? Dan ketika seluruh isi bioskop sedang diam karena tegang melihat adegan di layar, Tora tiba-tiba menciumnya.
Setelah itu, selama sekian jam di dalam bioskop, Shou tersenyum lebar merasakan jantungnya berdebar dan pipinya panas. Ia diam-diam berharap film bodoh itu tidak akan habis sampai pagi menjelang, hanya supaya ia bisa duduk di sisi Tora seperti ini, bahagia dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tapi, tentu saja, film itu hanya berlangsung selama beberapa jam. Dan seiring dengan credits yang berguling dan menghilang dari layar, kebahagiaan Shou pun mendekati akhirnya walau, pada saat itu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi.
Mereka keluar bioskop sekitar pukul delapan malam; Shou merasa jauh lebih hangat daripada sebelum ia masuk tadi. Ia dan Tora membicarakan berbagai pilihan tempat makan malam yang ingin mereka datangi seraya berjalan meninggalkan gedung bioskop. Menurut Shou, dalam cuaca yang dingin begini, paling enak makan sesuatu yang berkuah dan panas, seperti ramen. Sedangkan Tora ingin pizza, dan kebetulan ada sebuah restoran pizza yang dekat dengan bioskop.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua berjejalan di dalam restoran ramen yang terletak beberapa blok jauhnya dari bioskop. Sepertinya mereka datang bertepatan dengan jam pulang kantor, jadi banyak karyawan-karyawan yang mampir untuk makan malam sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Shou dan Tora cukup beruntung bisa menemukan tempat duduk, walau di sudut yang agak tidak nyaman.
Di tengah-tengah kepulan uap kuah ramen dan suara-suara berisik orang-orang yang menyeruput makanan, mereka berdua mengobrol panjang-lebar, mengisi kekosongan yang tercipta saat mereka tidak bertemu. Baru saja Shou selesai mengabsen benda-benda yang ia terima sebagai hadiah Natal, Tora tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari kantung mantelnya dan menyerahkannya pada Shou.
“Apa itu?” Shou memandangi kotak yang dibungkus kertas kado berwarna hijau di tangan Tora. Untuk suatu alasan yang tidak ia mengerti, jantungnya berdebar-debar.
Tora mengedikkan bahu, matanya menatap mangkuk di hadapannya. “Bukan sesuatu yang mahal, tapi…” kata-katanya menghilang dibalik telapak tangannya. Shou hampir tidak percaya penglihatannya; apa benar Tora tersipu-sipu? “Buka saja, kalau tidak suka bisa kamu berikan pada siapapun…” gumam Tora selanjutnya.
Penasaran, Shou membuka kertas pembungkus kotak tersebut, dan segera saja, seuntai kalung perak berbandul salib mungil mempesonanya dengan kilauannya. Shou melongo; matanya tidak bisa lepas memandangi kalung itu. Desain bandulnya tidak spesial, polos sama sekali, tapi fakta bahwa Tora sempat berpikir untuk membelikannya sesuatu… seketika saja, sebuah emosi menggelegak di dalam tenggorokannya, sulit dibendung.
“Tapi… A-aku tidak membelikanmu apa-apa,” Shou tergagap lirih. Ia tidak biasanya mudah merasa terharu, tapi dalam hal ini, sepertinya wajar-wajar saja kalau ia tersentuh.
Tora tersenyum. “Tidak masalah,” katanya. “Ini juga cuma… ehm, sambil lewat dan… kelihatannya bagus. Begitulah.”
Andai saja restoran ramen itu tidak penuh sesak dengan orang-orang, Shou sudah memeluk Tora erat-erat dan menciuminya sepenuh hati. Sayangnya ia harus menyimpan keinginannya itu rapat-rapat. Walau ia pernah bilang tidak peduli akan pendapat orang lain, ia tidak akan memancing pertentangan dengan berbuat sesuatu yang bodoh di muka umum. Yang bisa ia lakukan hanya menggigit bibir, merasakan sekujur tubuhnya seperti meleleh karena bahagia, ketika Tora mengaitkan kalung itu di belakang lehernya.
Bandul logam itu terasa dingin di kulitnya, tapi efeknya hangat merasuk ke seluruh pembuluh darahnya. Saat itu juga ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melepaskan kalung itu, apapun yang terjadi.
Sekitar pukul setengah sepuluh, Shou berjalan bersisian dengan Tora meninggalkan restoran ramen. Udara di luar menjadi semakin dingin, tapi tidak sampai membuat Shou merasa tidak nyaman. Tapi mungkin juga penyebabnya adalah Tora, sentuhan-sentuhan tidak disengaja di antara kedua tangan mereka, dan debar-debar di dalam dada Shou yang menjaganya tetap hangat.
Dengan segera, mereka tiba di depan sebuah taman bermain. Berbagai alat permainan tampak sebagai siluet di dalam kegelapan, dinaungi sosok-sosok pohon besar yang tampak mengerikan. Shou mengikuti Tora memasuki taman, kemudian duduk di bangku di bawah lampu. Kesunyian yang hanya ditimpali bunyi derik jangkrik menyelimuti mereka, tapi bagi Shou, detak jantungnya terdengar lebih keras dari apapun.
Tangan Tora terasa dingin ketika menyentuhnya-ia tidak mengenakan sarung tangan dari tadi. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada orang yang lewat, Shou menggenggamnya erat-erat. Sebuah senyuman muncul otomatis di wajahnya, dan ia tahu, tanpa harus bercermin terlebih dahulu, kalau kedua pipinya merah seperti tomat.
“Kamu harus pulang jam berapa?” tanya Tora.
Shou menggigit bibir, tidak senang diingatkan kalau ia tetap harus pulang malam itu. “Ibuku tidak memberikan batas waktu yang pasti,” jawabnya. “Tapi mungkin ayahku tidak akan terlalu senang kalau aku membunyikan bel rumah lewat tengah malam.”
“Jadi… jam sebelas?”
Shou mengangguk. “Iya, sekitar jam segitu sepertinya tidak apa-apa.”
Diam-diam Shou melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya; pukul sepuluh lewat duapuluh. Ia mendesah. Cepat sekali waktu berjalan hari ini.
“Hey.”
Suara Tora membuatnya menoleh, tapi sebelum Shou bisa berbicara sepatah kata pun, bibir Tora meredamnya. Lembut dan hangat, kecupan yang begitu lama ia rindukan. Kontan saja Shou menutup mata, seluruh tubuhnya bergetar seakan-akan ada percikan listrik yang mengalir melalui pembuluh darahnya, memenuhinya dengan perasaan geli dan hangat. Ingin sekali ia mendekap Tora erat-erat, menyeretnya ke suatu tempat dimana ia yakin tidak ada orang bisa mengganggu mereka, lalu melunasi hasrat yang terpendam sekian lama. Tapi hembusan angin dingin yang menerpa pipinya mengingatkan dia dimana ia berada saat ini, dan waktu yang membatasi pertemuan mereka.
“Bibirmu dingin…” bisik Tora begitu ciuman mereka berakhir. Shou gemetar semakin hebat ketika jari Tora mengusap bibir bawahnya. Shou butuh seluruh kekuatan mentalnya untuk menarik diri dari Tora, padahal seluruh tubuh dan jiwanya ingin meminta Tora untuk melanjutkan.
Senyuman Tora berkilau di bawah cahaya lampu taman. Menatapnya, tak mampu berkata-kata, Shou hanya bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih punya banyak waktu. Esok hari, atau esok-esoknya lagi, ia masih bisa bertemu dengan Tora. Lain kali ia akan mengajak Tora ke suatu tempat dimana mereka bisa berdua saja.
Tora memalingkan wajah ke arah lain-ke seberang jalan. “Oh, di sana ada vending machine,” katanya. “Kamu mau minum apa? Sesuatu yang hangat, karena bibirmu benar-benar dingin. Rasanya seperti baru saja mencium es balok.”
Jari telunjuk Shou menusuk-nusuk pinggang Tora sampai pria berambut hitam itu mengaduh-aduh minta ampun. Lalu, setelah ia menjawab ingin café latte, Tora beranjak berdiri dan menyeberang jalan menuju vending machine yang ia maksud, yang terletak kira-kira empat puluh meter dari taman. Shou memandanginya, mengagumi bahu tegapnya dan rambut hitamnya yang berayun ketika ia berjalan.
Lalu, kejadian yang tak disangka-sangka itu berlangsung begitu cepat. Shou sama sekali tidak mendengar mereka datang. Tiba-tiba saja, empat orang bertubuh besar-besar berdiri di hadapannya; umur mereka sekitar belasan tahun, walau Shou tidak yakin karena tubuh mereka yang seukuran raksasa. Wajah-wajah mereka tidak ada yang enak dipandang, dan tidak sulit membaca gelagat jelek yang terlihat dari gerak tubuh mereka. Pria yang berdiri paling dekat dengan Shou, yang paling tinggi dan mukanya mirip gorila, terkekeh; suaranya serak seperti orang yang menghabiskan setiap jam dari hidupnya untuk merokok.
Shou terpaku di tempat. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia berteriak memanggil Tora?
“Hei, berani sumpah, dari jauh tadi aku kira anak ini perempuan,” kata lelaki yang baru saja terkekeh tadi. “Kalian juga lihat, kan, tadi mereka berdua berciuman?” Ia tertawa keras-keras, disusul oleh teman-temannya.
Kuping Shou memanas begitu gerombolan di hadapannya mulai bersuit-suit dan mengolok-oloknya. Ia ingin sekali menonjok muka mereka satu per satu, tapi sepanas-panasnya emosi yang membara di dalam dirinya, ia sadar ia kalah tenaga. Menghadapi salah satu dari mereka saja belum tentu Shou bisa menang. Dan apa kata ayah-ibunya nanti kalau dia sampai rumah dengan kondisi babak-belur?
“Tapi mukanya memang cantik, lihat saja!” kata salah satu anggota gerombolan itu yang berambut pirang dan disisir klimis. Di pipinya terlihat segaris bekas luka.
“Oh iya, benar!” kata si tinggi. Sebuah cengiran menjijikkan terpampang di wajahnya. “Saking cantiknya aku lama-lama ingin meng…”
Shou menggigit bibir, menahan emosi sekuatnya. Kata-kata tidak senonoh yang keluar berentetan dari mulut preman-preman itu menyakiti batinnya, menantang gengsinya sebagai laki-laki, tapi ia tidak bisa mengambil resiko. Tapi kemudian si tinggi bermuka gorila itu mengulurkan tangan dan menjamah dagu Shou. Refleks, Shou mendorong tangan si gorila menjauh. Perasaan jijik menggelegak di dalam dirinya, sampai-sampai ia merasa mual.
“Wah, galak juga si bibir aduhai satu ini,” gorila jelek itu mengejek, berkacak pinggang. “Masato, coba kau pegangi tangan si cantik ini supaya ia tidak melawan. Aku ingin tahu apa dia pintar menggunakan mulutnya itu untuk memuaskanku. Ya, kan, Manis? Aku yakin kau pasti sudah sangat berpengalaman melakukan ini bersama pacarmu tadi.”
Gelak tawa membahana di taman yang sunyi-senyap. Shou terbelalak, memelototi salah satu dari teman-teman si gorila yang berjalan ke arahnya; mata sipitnya berkilau kejam, dan bahkan dari jarak dua kaki, Shou bisa mencium bau alkohol dari nafasnya.
Ini masalah serius. Shou dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Tapi ia yakin, lebih baik pulang dengan muka biru-biru daripada harus melayani nafsu bejat berandalan jelek macam ini. Kedua tangannya mulai terkepal di sisi tubuhnya, bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan paling buruk. Laki-laki yang dipanggil Masato tadi sudah dekat; seringainya membuat dia mirip seperti serigala.
“Lepaskan!” Shou menggeram ketika suruhan si gorila mencengkeram lengannya. Ia mendorongnya sekuat tenaga-dan ada untungnya juga si Masato itu mabuk, karena ia langsung terhuyung-huyung mau jatuh. Tapi tidak memakan waktu lama, orang itu langsung memantapkan pijakannya dan maju lagi menuju Shou, kali ini sorot matanya kelihatan tidak main-main.
Segera saja Shou tahu kekuatan sebenarnya dari si pemabuk. Jari-jemarinya seperti batu, keras dan tidak ada ampun. Shou mengutuk-ngutuk keterlambatannya bereaksi. Semestinya ia tadi kabur, entah bagaimana, sebelum orang ini berhasil mendekatinya lagi. Ia menarik-narik lengannya sekuat tenaga, tapi percuma saja. Bawahan si gorila itu malah memuntir lengannya sampai Shou mengaduh; rasa sakit yang dahsyat menjalar dari lengannya sampai membuat kepalanya berdenyut-denyut.
Ia semakin panik saat melihat si gorila mendekatinya, selangkah demi selangkah, dengan cengiran memuakkan di wajahnya. Tangannya berkutat dengan sabuk yang melingkari pinggangnya, melepaskannya perlahan-lahan.
Dan pada saat itu, dada Shou mulai sesak.
“Sial…” ia menggeram, berjuang untuk bernafas dengan normal. Tapi sia-sia. Ia mengenali tanda-tanda asmanya kumat, dan… Ya Tuhan. Ia meninggalkan inhaler-nya di rumah!
“Hey, Bos…” gumam si pemabuk dari belakang Shou. “Sepertinya ada yang aneh dengan anak ini…”
“Apa yang aneh?” si gorila hanya terkekeh lagi sambil menurunkan resleting celananya.
Nafas Shou mulai tersengal-sengal. Rasanya seperti ada batu sebesar kepalan tangan menyumbat saluran nafasnya. Kedua kaki dan lengannya melemas, kurang oksigen. Ia pasti sudah tersungkur kalau saja bawahan si gorila tidak sedang memeganginya.
Tiba-tiba saja ia mendengar suara Tora yang menggelegar seperti petir; mengerikan, tapi Shou belum pernah merasa selega itu mendengarnya. Dalam pandangannya yang mulai berkunang-kunang, ia melihat Tora berlari-mantel hitamnya berkibar di belakang kakinya-ke arahnya. “Tora…” ia mencoba memanggilnya, tapi suaranya lirih. Entah apa Tora bisa mendengarnya.
Perkelahian antara Tora dan para begundal itu tak terhindarkan, dan berlangsung mengerikan. Shou belum pernah melihat Tora benar-benar murka sampai kehilangan kontrol seperti malam ini. Korban pertama yang jatuh adalah orang yang berdiri di belakang si gorila, yaitu laki-laki yang bertubuh paling gempal dengan potongan rambut cepak. Kepalan tangan Tora menghantam kepala bagian belakangnya dengan suara yang membuat Shou mual, tapi Tora tidak berhenti. Si bos gorila terjengkang ke belakang hanya dengan satu tarikan.
“Mundur! Mundur, kataku!” pemabuk yang memegangi lengan Shou berteriak-teriak, lalu pegangannya melonggar. Shou langsung terjerembab ke tanah yang dingin, tersengal-sengal. Dari yang ia bisa lihat, Tora berlari dengan kecepatan mengagumkan ke arahnya, lengannya menekuk dengan tangan mengepal erat-erat. Satu hantaman keras menjatuhkan laki-laki yang tadi memegangi Shou. Orang itu pingsan seketika.
Wajah Tora muncul di hadapannya seperti malaikat penyelamat yang tampan. Ia tampak begitu khawatir.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya.
Shou baru membuka mulut untuk menjawab, tapi kemudian ia melihat bayangan di belakang Tora. Sosok gorila tinggi besar yang mendekat dengan cepat… dan kilauan pisau yang terangkat tinggi-tinggi di atas kepala Tora.
“Tora!!!”
Dengan sekuat tenaga Shou menjerit, tapi terlambat. Suara pisau menghujam kulit dan daging membuatnya ingin muntah, tapi tidak separah melihat wajah Tora. Syok karena menyaksikan apa yang terjadi membuat nafas Shou semakin berat. Pandangannya semakin mengabur. Tapi ia masih bisa melihat Tora melawan si gorila. Ia juga mendengar suara-suara teriakan dari jauh. Polisi? Atau siapa? Siapapun yang datang itu, para berandalan jadi kocar-kacir.
Lalu tubuh Tora terhempas ke tanah, tidak bergerak.
Dan dunia Shou menjadi hitam-kelam, gelap-gulita.
~~~
Paduan suara baru selesai menyanyikan lagu pamungkas. Orang-orang di sekitar Shou sudah mulai berdiri satu per satu, dan segera saja, berbagai macam suara riuh-rendah memenuhi gymnasium. Murid-murid bergerombol, bergerak ke arah belakang dimana para orangtua menyambut mereka dengan senyum bahagia dan tangan terbuka. Shou bisa melihat sepasang orangtuanya dan juga adiknya, duduk di sisi kanan belakang ruangan. Ibunya melambaikan tangan ke arahnya. Adiknya mengarahkan lensa kamera ke arahnya, lalu menekan tombol untuk mengambil foto.
Shou beranjak berdiri dari bangkunya, gulungan kertas ijazah di dalam genggaman tangan kanannya. Otot pipinya terasa lelah, memaksakan senyum begitu lama. Tapi ia menelan dalam-dalam semua ketidak-nyamanannya, lalu melangkah ke arah keluarganya.
“Aku ingin ke lantai atas sebentar,” katanya begitu ia berhadap-hadapan dengan ayah-ibunya. “Ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
Senyum ibunya luntur barang sekejap, tapi kemudian ia mengangguk. Kilau air mata di kedua matanya tidak terlewat dari penglihatan Shou. “Pergilah. Kami akan menunggu di mobil,” kata ibunya sambil menyentuh pipinya.
Langkah-langkah Shou terasa berat, seperti mencoba berjalan melawan arus air. Tapi entah bagaimana ia terus berjalan; ruang kelasnya terlihat semakin mendekat, meter demi meter, sampai ia berdiri di depan pintunya. Inilah pintu kelas yang menyambut kedatangannya setiap pagi selama hampir setahun ini ia bersekolah di sini. Pintu kelas yang menyaksikan awal-mula dari sebuah pertemuan, yang dilanjutkan dengan takdir yang tragis.
Air mata pertama Shou jatuh mengalir di pipinya saat ia membuka pintu, dan pandangannya jatuh di meja Tora. Tidak ada vas bunga di atasnya-mereka sudah menyingkirkannya beberapa minggu yang lalu setelah masa berkabung selesai. Tidak ada apa-apa yang tersisa di sana sekarang. Kosong-melompong-seperti sebuah ruang yang hampa setelah semua udara disedot keluar. Tidak ada tanda-tanda pernah ada seorang anak yang duduk di sini, anak yang dikenal sebagai pembuat masalah. Anak yang memberikan sambutan sangat dingin kepada Shou di hari pertamanya menjadi siswa di sini.
Anak yang membawa pergi seluruh jiwa Shou ketika ia meninggalkan dunia ini.
Shou menggigit bibir, melawan desakan yang sangat kuat dari dalam dirinya untuk jatuh berlutut dan meratap lagi, seperti yang dulu ia lakukan saat mereka memberitahunya Tora tidak selamat dalam perkelahian itu. Seiring waktu berjalan, ia kira air matanya sudah kering setelah ia kuras habis-habisan, hari demi hari. Tapi setiap ia mengingat wajah Tora, senyum yang hanya ia bagi untuk Shou, serta masa-masa pahit-manis yang mereka alami bersama, air matanya selalu tumpah lagi. Tak bisa dibendung.
Bagaimana ia bisa melanjutkan hidup setelah kehilangan Tora? Shou juga tidak mengerti. Mungkin dukungan keluarganya, teman-temannya. Mungkin Tora sendiri, yang berulang-kali muncul di dalam mimpinya, memintanya untuk terus hidup.
“Egois…” bisik Shou di depan meja Tora. Jarinya mengelus permukaan meja yang mulus itu.
Perlahan-lahan, ia meraih lehernya sendiri. Kalung perak yang melingkar di situ terasa dingin di ujung jemarinya. Sesuai janjinya, ia tidak pernah melepaskannya barang sedetik pun. Hadiah terakhir dan satu-satunya dari orang yang ia cintai. Kemudian, jari-jarinya beringsut menuju kancing seragamnya. Kancing di deretan kedua. Dengan satu tarikan keras, kancing itu terlepas dari benang yang menahannya ke kain baju. Ia menatapnya. Kuning emas, berkilau di dalam telapak tangannya.
“Maaf, aku cuma bisa memberikan hadiah bodoh ini,” gumamnya lirih. Kata-katanya terasa asin seperti air mata. “Katakanlah aku tolol karena percaya takhayul, tapi kamu tahu apa kata tradisi soal kancing ini.”
Ia meletakkan kancing itu di atas meja. Tampak menyedihkan. Sebutir kancing yang tergeletak sendirian, perlambang perasaan yang tidak lagi bisa disampaikan ke orang yang dituju. Karena kini Tora sudah tidak ada lagi di sisinya. Atau mungkin… entahlah. Tatapan Shou berkelana ke arah langit biru berhias gumpalan-gumpalan awan putih di luar jendela.
Hey, Tora. Apakah kamu di sana? Selamat atas kelulusannya, ya.
Macan bodoh. Tahu, tidak? … Aku merindukanmu.
Angin musim semi berhembus melalui jendela yang terbuka, membawa wangi bunga sakura yang mekar di halaman sekolah. Di luar sana, musim yang baru sudah bergulir, dimana kehidupan mulai berbunga dan tumbuh. Menggantikan lapisan bumi yang mati dan gugur dengan tunas-tunas hijau.
Sesaat Shou berdiri di tempat, menyerap pemandangan di sekitarnya, lalu ia berbalik. Ia menyeka air matanya dan melangkah keluar kelas. Ini adalah untuk terakhir kalinya ia berada di sini. Mulai esok adalah hari baru, hari yang harus ia sambut dengan senyuman, sesulit apapun cobaan yang harus ia hadapi. Hidup masih berjalan baginya. Dunia masih berputar. Harapan, entah setipis apapun, pasti ada di luar sana.
Dan untuk Tora, tidak ada selamat tinggal terucap dari mulut Shou, karena ia tidak akan bisa melepaskannya. Tidak peduli walau yang tersisa hanya kenangan akan dirinya. Sampai kapan pun. Sampai hari dimana ia dan Tora bertemu lagi.
そう 君といたかった
そう 君を愛してる
Love Song Together
そう 君をこの愛を忘れない
xxx TAMAT xxx
Fanfic list
here.