Judul: KOI DA YO - Season 2
Author: Rieyo
Pairing: AriChine, YutoYama, InooJima
Genre: AU, School life, Drama, Romance
Rating: PG17
A/N: still a lot of AriChine, dan hubungan YutoYama sedang diuji...
Chinen memandang bayangannya di cermin, mengusap bibirnya pelan. Sudah berhari-hari yang lalu, tapi masih terasa sentuhan bibir lembut Daiki disana.
Ia terus berpikir dan berpikir, hingga ia tak berani bertemu dengan Daiki. Berkali-kali ia sengaja menghindar. Perasaan tak jelas itu semakin menjadi jika ia melihat Daiki dan mengingat setiap kebaikan, juga ciumannya. Chinen ingin meyakinkan dirinya. Apa ini memang saatnya ia merasakan hal lain pada seseorang? Ciuman pertama itu jelas tak akan terjadi kalau saja Chinen menolaknya, tapi waktu itu ia tak menolak. Ia membiarkannya.
"Koi ka?" gumam Chinen pada bayangannya sendiri. Tak ada yang menjawab. Hanya hati kecilnya di dalam sana yang mengiyakan.
Chinen tersenyum pada bayangannya. Ia sudah yakin dengan perasaan dan apa yang akan ia lakukan. Berhari-hari menghindari Daiki juga bukan sesuatu yang mudah. Ia sudah cukup.
Chinen membuka pintu atap sekolah, mengumpulkan keberaniannya sebelum menuju tempat favorit Daiki. Ada seseorang disana.. juga asap.
Chinen terpaku melihat Daiki yang tengah merokok. Daiki balas melihat ke arahnya, dan jelas terkejut.
Mereka terdiam beberapa detik saling menatap. Daiki coba menguasai dirinya, pura-pura acuh dengan keberadaan Chinen.
"Ada apa kau kemari?" tanyanya dingin.
"Mencarimu"
"Oh jadi sekarang kau sedang ada perlu denganku?" sindir Daiki, lalu menghisap rokoknya, acuh.
Chinen sadar Daiki agak marah padanya. Ia memilih tak menanggapi.
"Kau merokok?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Uhm. Kau baru tahu ya? Aku ini suka sekali merokok, aku berandalan. Aku yakin kau tak mau berurusan dengan berandalan" kata Daiki menyebalkan. Ia bicara tanpa melihat pada Chinen. Padahal ia tak mau seperti itu, tapi rasa kecewanya sudah menumpuk selama beberapa hari ini.
Chinen mengerutkan keningnya, dan lebih mendekat ke arah Daiki.
"Jadi ini maksudmu tentang berandalan dan dewan murid yang kau tanyakan?" pertanyaan Chinen cukup menembak Daiki. Ia tak mau menjawab dan memilih mengalihkan pandangannya ke tempat lain. "Kau tidak seperti berandalan" tambah Chinen pula. Daiki meliriknya dan agak tak terima dengan perkataan Chinen.
"Kau ingat orang-orang yang mengejar kita dulu? Mereka itu temanku, tapi karena ada masalah mereka dendam padaku" cerita Daiki akhirnya, ia menambahkan nada bangga di suaranya. Tapi tak berpengaruh pada Chinen yang masih memandangnya datar.
"Orang sepertimu tidak cocok jadi berandalan. Lihat mukamu yang lucu itu.. Sangat tidak mungkin" kata Chinen, jujur. Daiki melihat lagi ke arah lain kata-kata Chinen terlalu mengenainya. "Kau juga bersuara seperti perempuan saat kesakitan. Kau pikir itu berandalan?"
"Cukup! Kau kemari hanya mau mengataiku?!" Daiki berdiri dari duduknya dan menatap Chinen lekat. Sebenarnya ia malu, bukan benar-benar marah.
"Berhentilah menganggap dirimu berandalan. Kau sama sekali tidak seperti mereka" kata Chinen, tetap tenang. Mereka saling menatap. Daiki menghela nafas, mengalihkan pandangannya, tak tahu harus berkata apa lagi. Dari tadi Chinen mematahkan setiap pernyataan nya. Ia memang kesal, tapi tidak berarti ia jadi membenci Chinen. Kekecewaan nya kemarin sebenarnya sudah hilang sejak tadi melihat Chinen berdiri disana.
"Daiki-kun.." Chinen berkata lagi. Daiki melihat ke arahnya sambil mengisap rokoknya, ia sudah tak merasakan sesuatu lagi di rokok itu jadi ia menjatuhkannya dan menginjaknya. "Aku menyukaimu" perkataan Chinen selanjutnya membuat Daiki menghentikan kakinya yang asik menghancurkan rokok tadi. Ia terdiam, tak berani langsung memandang Chinen lagi.
Ia tidak sedang berhalusinasi kan? pikirnya.
"Aku menyukaimu" Chinen mengulangnya lagi dan terdengar seperti nyanyian surga di telinga Daiki. Ia merasa menahan nafasnya sesaat, perlahan ia mengangkat wajahnya dan memandang Chinen. Anak itu terlihat serius. Tapi Daiki belum bisa mengatakan apapun, ia masih terlena. "Aku perlu waktu selama beberapa hari ini untuk meyakinkan diriku" tambah Chinen lagi.
"S-Sokka" hanya itu yang bisa dikatakan Daiki. Ia terlalu senang sampai ia merasa jantungnya ingin meloncat keluar, seluruh tubuhnya bergetar. Kalau saja akal sehatnya sudah tak bisa ia kendalikan, mungkin sekarang ia sudah memeluk Chinen erat-erat lalu menciumnya tanpa henti.
"Gomen, mungkin aku terlalu banyak bicara. Mungkin kau merasa muak mendengarnya. Tapi aku hanya ingin mengatakannya. Sejak kau menciumku waktu itu, membuatku semakin mengerti" Chinen masih berkata panjang lebar. Daiki langsung menguasai dirinya. Ia tak boleh diam saja atau Chinen akan salah paham padanya.
"Aku tak percaya-"
"Aku tahu, kau tak akan mau mempercayainya" sela Chinen dan menundukkan kepalanya.
"Bukan itu maksudku.." Daiki balas menyela. "Aku tak percaya kau punya perasaan yang sama denganku"
Mata mereka bertemu lagi. Kali ini Chinen yang merasakan degupan-degupan kencang di dada dan nadinya. Ia ingin berkata untuk meyakinkan, takut telinganya salah mendengar.
Tapi ia tak sempat mengatakan apapun karena Daiki tiba-tiba sudah memeluknya. Ia menemukan wajahnya terbenam di pundak laki-laki itu. Tangan Daiki melingkar di pinggangnya dengan posesif. Chinen tak perlu menunggu otaknya berpikir, ia langsung memeluk balik, mencengkram seragam Daiki. "Mungkin aku sudah menyukaimu jauh sebelum kau menyukaiku" gumam Daiki lagi, terdengar berbisik di telinga Chinen. Ia tak bisa menahan senyumnya.
"Arigato" bisik Chinen.
"Untuk apa?" Daiki mengerutkan keningnya.
"Untuk menerima perasaanku" kata Chinen.
Daiki merenggangkan pelukan mereka, dan menatap wajah manis di hadapannya. Ia menggeleng.
"Seharusnya aku yang mengatakan lebih dulu.. suki da yo" katanya. "Suki suki suki suki suki suki su-"
Jari Chinen yang menempel di bibirnya, membuat Daiki menghentikan pengulangan kata yang ia lakukan.
"Wakatteru" bisik Chinen dan tersenyum dengan rona merah di kedua pipi nya.
Daiki mempererat pelukan dan mendekatkan wajahnya. Ia ingin menunjukkan betapa ia bahagia saat ini.
"Boleh aku menciummu?" tanya Daiki sesaat sebelum bibir mereka bertemu. Chinen hanya tersenyum dan memejamkan matanya. Daiki pun tak menyia-nyiakan itu
* * *
Ciuman pertama adalah kecelakaan, ciuman kedua dan seterusnya adalah dari hati..
Chinen merasakan sekali maksud ungkapan itu. Ciuman pertamanya waktu itu memang masih membuatnya shock jadi ia tak begitu merespon. Tapi di ciuman kedua, ia sudah lebih siap walau ciuman mereka tetap tak lebih daripada sebuah innocent kiss. Entah Daiki memang tak mau menunjukkannya atau karena sadar partnernya hanya seorang amatir jadi harus memulai dengan perlahan. Chinen jadi berpikir, ia harus lebih baik nanti. Ia tak mau mengecewakan Daiki.
Tanpa sadar Chinen menggigiti sumpit yang sedang dipakainya, memikirkan hal itu membuatnya malu. Sekarang pipinya pasti sudah memerah.
"Apa ada yang lucu di makananmu, Yuuri?" suara Kei menyentakkan Chinen yang entah sejak kapan sudah tersenyum sendiri.
"Iie.." Chinen cepat menggelengkan kepala dan tak berani memandang kakaknya itu. Ia pura-pura sibuk dengan makan malamnya.
"Tampaknya kau sedang senang" tambah Hikaru pula. Chinen melihat pada mereka sekilas, tersenyum gugup.
"Betsuni" katanya. Ia sangat belum siap untuk bercerita banyak pada mereka.
"Ne, aku tiba-tiba ingat senpaimu yang waktu itu.." lanjut Hikaru lagi. Chinen terhenyak diam-diam, ia berusaha mengendalikan dirinya. "Dia tidak menganggumu lagi kan?" Lagi, Chinen menggelengkan kepalanya.
Bukan hanya mengganggu, tapi juga sudah mencuri hatiku, pikir Chinen.
"Bagus. Dia akan berhadapan denganku kalau berani macam-macam padamu" kata Hikaru terdengar mengancam.
"Sou da, denganku juga. Jadi kau tak perlu takut pada senpai macam itu" timpal Kei.
Chinen menghela nafasnya pelan. Sikap protektif kedua kakaknya ini menjadi salah satu faktor kenapa ia tak mau bercerita banyak pada mereka. Ia tak ada pilihan lagi selain menyembunyikan dulu hubungannya dengan Daiki. Ia masih tak bisa membayangkan reaksi kedua kakaknya jika mereka tahu.
* * *
Yuto masih saja tertawa setelah Daiki bercerita. Ia tak maksud menertawakan, tapi justru takjub dengan yang terjadi pada Daiki dan Chinen.
"Sugeee yo, Dai-chan!" pujinya. Daiki tersenyum puas.
"Tapi kami hanya bisa bertemu di atap sekolah dan tak bisa pulang bersama" keluh Daiki.
"Tentu saja. Dia itu dewan murid. Akan sangat beresiko kalau orang-orang tahu dia berhubungan dengan seorang senpai" sahut Yuto, Daiki membenarkan. Ia juga sadar dengan hal itu jadi ia memang tak bisa berharap banyak. "Tapi kalian akan baik-baik saja" tambah Yuto sambil menepuk bahunya. Lalu mereka berpisah disana, Daiki bergabung dengan teman-temannya.
Chinen nyaris melamun sambil melihat ke jalanan di dekat gerbang sekolahnya, seperti biasa menunggu jemputan. Ia mengingat lagi obrolannya dengan Yamada. Sahabatnya itu bisa melihat sesuatu yang lain dari dirinya. Ia yang lebih berbinar-binar dan senyum yang beda dari biasanya. Yamada bilang, ia terlihat sedang berada di dunia yang dipenuhi bunga. Chinen tak mengerti bagaimana Yamada bisa tahu, mungkin karena sahabatnya itu sudah banyak pengalaman. Tapi Chinen tak menyangkalnya, jatuh cinta itu memang sangat menyenangkan.
Lagi, ia tersenyum-senyum sendiri disana. Apalagi begitu ia mengingat lagi saat makan siang bersama Daiki tadi..
Tiba-tiba ada sekelompok orang yang nyaris menubruk Chinen. Mereka berjalan sambil bercanda dan tertawa sampai tak menyadari sekeliling. Dari seragamnya Chinen bisa melihat mereka adalah para senpai. Salah satu dari mereka adalah orang yang ia kenal dan baru saja ia pikirkan.
"Warui" Daiki mewakili teman-temannya meminta maaf lalu terkejut begitu melihat siapa orang di hadapannya. Mereka saling menatap dan tersenyum gugup. Ada teman-teman Daiki disana, jadi lebih baik mereka pura-pura tak kenal.
Chinen hanya menganggukkan kepalanya, dan Daiki ditarik lagi teman-temannya untuk meneruskan berjalan. Chinen terus pura-pura melihat ke jalan walau ia tahu Daiki masih melihat ke arahnya. Hingga beberapa detik kemudian, Chinen merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana. Ia mengambilnya dan membaca sebuah mail baru.
From : Daiki-kun
Aku akan meneleponmu nanti malam.
Senyuman Chinen yang tadi sempat terinterupsi, sekarang terkembang lebar. Orang itu benar-benar manis.. pikirnya.
* * *
"Yuya, ohisashiburi" Kei memeluk teman lamanya yang datang ke rumah Chinen malam itu. Hikaru juga memeluknya, mereka terlihat seperti teman yang lama tak bertemu. Hanya Chinen yang terpana melihat mereka. Ia tahu laki-laki tinggi berambut ikal pirang itu. Dulu mereka juga sering bermain bersama. Tapi itu dulu saat ia masih kecil, dan Takaki yang dulu pun tak se-kakkoi ini.
"Yuri ne?" Takaki bertanya, sambil menghampirinya. Chinen mengangguk sekaligus membungkukkan badannya. "Tampan.. aku sudah menduga kau akan jadi setampan ini" Takaki merangkul Chinen tanpa canggung. "Kau masih ingat aku, kan?"
"Hai, Yuya-kun" Chinen tersenyum.
"Ah yappa kawaii" Takaki memujinya lagi.
"Oi oi, jangan coba merayunya" Kei menyela mereka. Takaki tertawa. Chinen pun tak menanggapi. Ia lebih peduli untuk menunggu ponselnya berbunyi.
- - -
Yuto memainkan permen lolipop di mulutnya sambil mengamati Yamada yang tersenyum-senyum mengamati foto masa lalunya yang tak pernah ia duga dimiliki Yuto sebanyak itu.
"Kau suka?"
"Ini gila" Yamada menoleh pada kekasihnya itu dan tertawa lucu. "Kau seperti stalker" komentarnya pula. Ia nyaris tak percaya melihat foto-foto yang sebagian besar diambil saat ia sedang tak sadar.
"Aku suka melihatmu yang seperti itu" kata Yuto.
Yamada melihat lagi padanya.
"Sou.. jadi kau tak suka aku yang sekarang?" tuduhnya, dan menatap datar di balik kacamatanya. Yuto tersenyum lalu bergerak ke belakang Yamada, menyimpan kedua tangannya di sisi kanan kiri pagar balkon, membuat Yamada terjebak di tengahnya.
"Aku suka kau yang manapun" bisik Yuto. Yamada balas tersenyum, dan berbalik hingga menghadap Yuto. Punggungnya bersandar di pagar balkon seolah membuat jarak. Kedua tangannya menyentuh dada Yuto dibalik kemejanya.
"Kau tahu, aku pikir kita perlu sedikit melakukannya" kata Yamada tiba-tiba, mata indahnya menatap Yuto dengan berani dan tampak menyiratkan sesuatu. Yuto mengernyitkan kening, tak pernah melihat ia seperti ini sebelumnya.
"Apa maksudmu dengan sedikit melakukannya?"
Yamada tak menjawab, malah mengambil permen lolipop di mulut Yuto dan memasukkan ke mulutnya dengan sangat menggoda. Yuto tertawa kecil melihatnya. Ia merasakan dadanya berdegup dan menangkap maksud Yamada.
"Jangan menggodaku" katanya, walau ia berharap agar Yamada tak berhenti.
"Kau tergoda?" Yamada membuang permen itu lalu melepas kacamatanya sambil berjalan melewati Yuto masuk ke kamarnya.
"Chotto!" Yuto sangat tidak puas dan tak mau menghentikannya begitu saja. Ia menarik tangan Yamada hingga orang itu masuk ke pelukannya dan menciumnya tanpa harus banyak bicara lagi. Surprise, karena Yamada meresponnya dengan cepat seolah ia memang menunggu ini dari tadi. Ciuman mereka meningkat dengan lebih cepat daripada biasanya. Tangan Yamada begitu liar di pundaknya, mencari-cari celah agar bisa menyentuh kulit di balik kemejanya. Yuto tersenyum diantara ciuman mereka. Tampaknya Yamada sedang sangat menginginkannya.. Yuuto mendesak tubuh Yamada hingga menyentuh meja belajarnya, tanpa berpikir panjang ia mengangkat tubuh Yamada dan mendudukannya di meja, terdengar bunyi berderit. Ciuman mereka tak terinterupsi sedikitpun dan semakin mudah setelah Yamada duduk disana.
Yamada sedang berusaha membuka kemejanya saat ia merasakan sesuatu bergetar di dalam celananya, membuat mereka mengeluh.
"..apa itu..?" tanya Yamada setelah mereka melepas ciuman dengan terpaksa.
"P-ponsel ku.." jawab Yuto. Nafas mereka masih kurang teratur. Yamada mendecakkan lidahnya. Yuto tersenyum, ia tahu memang mengesalkan harus diinterupsi disaat seperti ini. "Chotto ne" Yuto mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Daiki muncul di sana. Jarang sekali orang itu menghubunginya, pasti ada sesuatu.
"Doushita Dai-chan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Yuri tak mengangkat teleponku" jawab Daiki dengan nada lesu di suaranya.
"Eh?" Yuto agak bingung. Ia melirik Yamada yang sedang memperhatikannya.
"Yea. Dia seperti tak mau menjawab teleponku"
"Mungkin dia sedang sibuk. Jangan berpikir yang buruk-buruk dulu" Yuto menenangkan Daiki dan Yamada mengerutkan kening, bertanya 'ada apa' dengan ekspresi di wajahnya. Yuto memintanya menunggu.
"Aku tahu, tapi perasaanku tidak enak. Bagaimana kalau ternyata dia berubah pikiran?"
"Oi.. Sudahlah, aku yakin tidak ada apa-apa. Kau temui dia besok"
Daiki menghela nafas berat.
"Wakatta. Warui na, sudah mengganggumu" katanya. Dan ia pun menutup teleponnya. Yuuto memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celana.
"Siapa?" tanya Yamada.
"Dai-chan"
"Siapa dia?"
"Temanku, dia seorang senpai"
"Oh, yang dulu kau bilang suka merokok itu?"
"Kau masih ingat rupanya" Yuto tertawa.
"Ada apa dengannya?"
"Ehm dia.. ada sedikit masalah dengan pacarnya"
Yamada terus memandangnya, menunggu Yuto melanjutkan. "Dia.. berpacaran dengan Chinen"
"EH?!" Yuto sudah menduga Yamada akan bereaksi seperti itu. "Benarkah? pantas sejak kemarin aku melihatnya lebih berbinar-binar" gumam Yamada pula. Yuto tersenyum. "Tapi kau bilang mereka sedang ada masalah?"
"Bukan masalah besar, hanya sedikit kekhawatiran" Yuto mengangkat bahu nya.
"Apa yang terjadi? Aku sangat mengenal Chinen, mungkin aku bisa membantunya"
"Mereka bisa menyelesaikannya" kata Yuto yakin.
"Tapi siapa tahu aku-"
"Ssh. Kau juga sedang ada masalah denganku, Yamada Ryosuke-kun" Yuto menghentikannya dengan berbisik di bibir Yamada. Jarinya mengusap bibir mungil itu. "Jangan bilang kau sudah tak mood melanjutkannya" tambah Yuto. Yamada tersenyum dan melingkarkan lagi lengannya di pundak Yuto.
"Aku memang sudah tak mood" bisiknya. Yuto mengeluh pelan. Yamada tertawa kecil, lalu memeluknya. Mengusap rambut halus Yuto dan mengecupnya. Yuto menggerakkan hidungnya di antara leher dan pundak Yamada.
"Mmh.. mood ku sudah kembali" gumam Yamada pelan. Yuto tersenyum puas.
* * *
Chinen berlari di koridor kelas 3 begitu ia tiba di sekolah, mencari kelas Daiki. Memang bodoh, mereka sudah meresmikan hubungan hampir sejak seminggu yang lalu tapi Chinen tak pernah tahu dimana kelas Daiki. Ia mengamati isi kelas satu persatu, tak peduli dengan pandangan heran para senpai. Akhirnya ia menemukan Daiki yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Chinen harus segera bertindak atau kejadian tadi malam akan jadi salah paham yang membahayakan.
"Ano.." mereka menoleh begitu mendengar suara Chinen, termasuk Daiki yang tampak terkejut. "A-Arioka senpai, bisa kita bicara?" kata Chinen memberanikan diri. Teman-teman Daiki seketika jadi ribut, menggodainya. Mereka takjub melihat kouhai manis yang memakai pin anggota dewan murid di kerah seragamnya itu, ingin bicara dengan Daiki.
"Kau pasti sengaja ya membuat masalah? Aku juga mau kalau ditangani dewan murid semanis ini" kata salah satu temannya dan mereka tertawa-tawa. Chinen agak tak nyaman dengan situasi itu, tapi ia harus bertahan.
"Urusai omaera!" sahut Daiki balas meledek mereka. "Ikou" ia menarik tangan Chinen menjauh dari sana diiringi dengan kehebohan di belakang mereka.
"Ada apa?" Daiki dan sikap dinginnya seperti yang sudah Chinen duga. Mereka sudah berada di tempat yang agak sepi.
"Go-gomen na soal tadi malam. Ada teman lama kakakku datang, jadi kami mengobrol sampai aku lupa mengecek ponselku" jelas Chinen, menundukkan wajahnya, takut Daiki tak percaya.
"Benarkah begitu?" Daiki bertanya dan ia cepat mengangkat wajahnya.
"Benar! Gomen na"
"Teman lama itu.. orang penting?"
"Tidak, hanya sudah lama sekali tak bertemu"
Daiki menganggukkan kepalanya.
"Kau.. memaafkanku?"
"Aku takut sekali tadi malam. Aku takut kau berubah pikiran" Daiki mengaku. Chinen merasa tak enak mendengarnya. "Tenang saja, aku sudah lega sekarang" tambah Daiki pula, lalu menepuk pundak Chinen sambil berjalan melewatinya. Tapi Chinen tak membiarkan begitu saja. Ia menarik tangan Daiki, membuat orang itu berbalik lagi. Dan sebuah kecupan lembut pun mendarat di pipinya.
"Gomen na" ulang Chinen lagi. Daiki yang terpana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ii yo"
Chinen tersenyum dan menundukkan lagi wajahnya.
"Arigato" gumamnya pula.
Daiki menyentuh dagunya, membuat ia kembali harus menatap wajah tampan di hadapannya.
"Bagaimana kalau kita kencan sepulang sekolah nanti?" ajak Daiki tiba-tiba.
"Eh?"
"Onegai"
Chinen pun mengangguk. Ia harus mencari alasan pada kedua kakaknya nanti.
- - -
Ini kencan pertama mereka setelah beberapa hari bersama. Meski Chinen harus berbohong pada kakak-kakaknya agar ia diperbolehkan untuk pulang agak terlambat.
"Kita kemana?" tanya Daiki setelah mereka turun dari bus dan berjalan di kota. Hari itu tak seperti biasanya cuaca agak mendung, tapi mereka tetap bersemangat untuk melakukan kencan yang menyenangkan.
"Taman bermain?" usul Chinen.
"Ii ne" Daiki langsung menyetujuinya.
Mereka sedang menuju kesana ketika ada segerombolan gadis yang menghadang mereka. Gadis-gadis liar dari sebuah sekolah. Daiki mengenal mereka, begitu juga sebaliknya.
"Dai-chan.. hisashiburi~" mereka menyapanya dengan nada genit yang memuakkan.
"Ah kalian" Daiki menyapa balik.
"Kami tak pernah melihatmu lagi.. kau sudah punya barang baru yang manis rupanya" kata salah satu dari mereka yang di duga ketua nya. Ia menatap tajam pada Chinen yang terpaksa harus bersembunyi di balik tubuh Daiki. Chinen paling benci perempuan-perempuan seperti ini, juga takut. Ada trauma tersendiri di benaknya. Memang payah tapi ia memang tak bisa berbuat apapun.
"Sejak kapan kau jadi suka benda manis seperti itu? kau bilang, kau suka gadis kuat sepertiku"
Daiki tertawa datar. Ia tak ingat pernah mengatakan itu, kalaupun iya mungkin saat itu ia sedang bercanda.
"Sudah tidak lagi" katanya.
"Tapi dia laki-laki. Apa kau sudah gila?!"
"Tapi dia lebih manis daripada kalian" sahut Daiki, yakin.
"Menjijikan sekali!" gadis itu berusaha menarik tangan Chinen, tapi Daiki cepat menghadangnya.
"Jangan sentuh dia!" bentaknya. Gadis itu tertawa sinis.
"Kau benar-benar sudah gila, huh?!"
"Bukan urusanmu. Minggirlah, kami mau lewat!" Daiki memerintah dengan kesal. Ia memegang tangan Chinen, dan Chinen memegangnya balik dengan sangat erat. Ia merasa jadi pengecut, tapi ia tak bisa melakukan apapun. Ia hanya berjalan mengikuti Daiki. Gadis-gadis itu akhirnya membiarkan mereka lewat, dengan tatapan membunuh di matanya.
"Arioka!" suara seseorang yang lebih berat, menghentikan mereka. Apa lagi ini!? gerutu Daiki. Mereka berbalik dan menemukan 3 laki-laki mengerikan yang waktu itu mengejar mereka.
Daiki mengeluh terganggu.
"Kalian lagi.." katanya.
"Urusan kita belum selesai"
"Baiklah, apa mau kalian? uang? aku akan memberikan, tapi jangan ganggu aku lagi selamanya"
Orang-orang itu tertawa.
"Bagus. Tapi biarkan kami sedikit mencicipi juga anak manis yang kau bawa itu" pinta mereka.
Daiki pun benar-benar kehilangan kesabaran.
"JANGAN SEMBARANGAN!" teriaknya, lalu reflek, ia menyerang.
Mereka berkelahi, tapi sekarang lebih beruntung di pihak Daiki, entah kenapa. Ia beberapa kali bisa menghindari mereka. Chinen hanya memperhatikan dengan khawatir, ia ingin menolong tapi ia tak yakin.
Tiba-tiba hujan turun, perkelahian berhenti dengan sendirinya.
"Kita lanjutkan kapan-kapan!" kata Daiki yang langsung menarik Chinen, membawanya berlari menembus hujan yang semakin deras. Orang-orang itu meneriaki mereka, tapi Daiki tak peduli. Ia malas harus berkelahi di tengah hujan.
Mereka berhenti di sebuah gang yang sepi untuk berteduh.
"Kuso!" gerutu Daiki sambil mengibaskan jaket seragamnya.
"Daijobu ka, Daiki-kun?" tanya Chinen. Daiki menoleh dan tersenyum gugup sambil menggelengkan kepalanya.
"Gomen na, aku sudah merusak kencan kita" ia mengalihkan lagi pandangannya ke arah hujan, tak berani menatap Chinen lama-lama.
"Bukan salahmu. Mereka yang salah" kata Chinen. Daiki terdiam sesaat.
"Aku selalu menyusahkanmu" gumamnya kemudian, nyaris tak terdengar. Tapi Chinen bisa mendengarnya.
"Aku tahu kau akan selalu melindungiku" sahutnya. Membuat Daiki semakin tak sanggup menoleh. Cuaca sangat dingin, tapi ia merasakan hangat di pipinya. Ia sedang berpikir untuk merespon bagaimana, saat di dengarnya suara bersin Chinen. Ia cepat menoleh.
"Daijobu?" tanyanya. Ia sudah tak malu-malu lagi, takut kekasihnya itu sakit.
"Uhm, daijobu da" Chinen tersenyum. Bibirnya agak bergetar, kedinginan. Daiki melepas jaketnya dan memberikannya pada Chinen.
"Pakai ini"
"Ii yo. Aku tidak apa-apa" Chinen menolak.
"Pakai saja" Daiki melemparkannya, membuat Chinen menangkap itu daripada terjatuh ke tembok.
"Tapi nanti kau-"
"Aku lebih kuat darimu" potong Daiki. Chinen tak ada pilihan lain. Ia memakai jaket Daiki di atas jaketnya. Dilihatnya Daiki memeluk dirinya sendiri, hanya memakai kemeja seragam yang cukup basah.
"Daiki-kun.." panggil Chinen. Daiki menoleh lagi. "Kenapa kau berdiri disitu? Kochi" pinta Chinen, memprotes Daiki yang berdiri cukup jauh dari tempatnya.
"Ah.." Daiki mengangguk, dengan agak gugup ia menghampiri Chinen, berdiri di sampingnya yang bersandar ke tembok.
"Lebih hangat, bukan?" tanya Chinen. Daiki mengangguk lagi. Mereka saling melempar senyum, lalu terjebak dalam keheningan. Hanya suara hujan yang memenuhi suasana. Chinen mengamati Daiki diam-diam. Menatap wajahnya dari samping, butiran air hujan tampak menetes dari ujung rambut ke dahinya. Darah Chinen berdesir, ia berpikir yang tidak-tidak.
Chinen menggeleng-gelengkan kepalanya. Berani sekali ia berpikir seperti itu! Sambil menenangkan dirinya, Chinen menurunkan tubuhnya dan duduk di tembok.
Daiki melihat ke arahnya, lalu ikut duduk disampingnya.
"Kau pasti sangat kedinginan" katanya sambil meraih tangan Chinen dan menggenggamnya memberikan kehangatan.
"K-Kau juga kedinginan.." ia merasa darahnya semakin cepat berdesir.
"Uhm. Dengan begini jadi lebih hangat" Daiki tersenyum sambil terus menggenggam tangan Chinen yang merasakan hangat juga di pipinya. Ia menggigit bibirnya pelan, berpikir lagi hal yang tak mau ia pikirkan. Matanya menatap ke arah tangan mereka, lebih baik daripada harus bertatapan dengan Daiki. Ia bisa hilang kendali.
Tanpa sadar, Daiki memperhatikan Chinen. Wajah tenang seperti malaikat itu sangat menggugahnya. Setiap jengkal di wajah Chinen selalu memabukannya. Apalagi di situasi seperti ini.
Cuaca yang teramat dingin ternyata memang berdampak pada hormon seseorang. Bagaimana kalau ia tak bisa mengendalikan diri? Walaupun mereka sudah resmi bersama, tapi bukan berarti ia harus meminta Chinen untuk mau melakukan sesuatu dengannya, bukan? Lagipula masih 1 minggu dan Chinen baru pertama kali ini menjalin suatu hubungan. Daiki pun baru pertama kali menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Rasanya sama saja, membuat ia berdebar dan berusaha mengendalikan diri.
Tiba-tiba Chinen menyandarkan kepala ke bahunya, Daiki agak terhenyak tapi kemudian membetulkan posisinya agar Chinen merasa lebih nyaman. Salah satu tangannya mendekap pundak Chinen.
"Begini lebih hangat lagi" gumam Chinen. Daiki balas bergumam, mengiyakan. Mereka terdiam lagi, keheningan sekarang lebih baik karena tubuh mereka yang saling merapat satu sama lain.
Chinen agak mengangkat wajahnya memandang Daiki dari samping bawah. Otaknya memerintah dengan cepat, sedetik kemudian ia telah mengecup leher senpainya itu. Daiki terkejut, ia menoleh, tapi Chinen tak berhenti. Kecupannya naik ke dagu Daiki, ke pipinya, ke ujung bibirnya.. Daiki membiarkannya hingga Chinen berhenti sendiri dan mereka pun saling menatap. Mereka tak perlu kata-kata. Daiki segera menyentuh dagu Chinen lalu mempertemukan bibir mereka. Keduanya terpejam dengan otomatis, seolah memang ini sudah mereka nantikan dari tadi. Tak ada lagi innocent kiss, untuk pertama kalinya Chinen merasakan ciuman orang dewasa. Lidah Daiki menjilat bibir Chinen, membuat anak itu membuka mulutnya menerima ciuman yang lebih dalam dan hangat.
"Ahh..mmhh" Chinen tak bisa menahan desahan nafasnya saat bibir Daiki turun ke lehernya. Ia mencengkram kemeja Daiki dan meremas rambut basahnya.
Mereka sudah sangat terbawa suasana hingga Daiki merasakan ada desakan dari tangan Chinen yang menyentuh belakang kepalanya. Kekasih kecilnya itu menginginkan yang lebih. Jaket seragam yang dipakai Chinen telah terlepas dan sekarang tangannya mulai menyusup ke bagian depan kemeja Daiki, ingin membuka kancingnya dan menyingkirkannya juga. Daiki terhipnotis mendengar suara-suara yang dikeluarkan Chinen juga mendengar namanya yang beberapa kali disebut Chinen seperti itu. Tanpa sadar ia membantu Chinen membukakan kemejanya hingga tangan lembut kekasihnya itu bisa memeluk Daiki di dalam kemejanya. Sentuhannya bergetar tapi tampak tak mau melepaskan. Mungkin sensasi pertama kali yang dirasakannya terlalu menguasai. Daiki pun meraba-raba pinggang ramping Chinen hingga nyaris ke tulang pinggulnya untuk semakin ke bawah, dan mendengar keluhan lembut Chinen juga nafas berat mereka yang berbaur dengan bunyi hujan. Ia berpindah ke sisi lainnya dan sempat melihat bagaimana ekspresi Chinen yang begitu menikmati setiap sentuhan. Seketika Daiki berhenti. Ia mendadak tak bisa melanjutkannya. Ia tak pernah berpikir melakukan sejauh ini dengan Chinen. Perlahan Daiki melepaskan dirinya dari pelukan Chinen. Kekasihnya itu membuka mata, merasa kosong setelah Daiki menghentikan sentuhannya. Mereka saling menatap, masih ada hasrat di tatapan keduanya. Tapi Daiki berusaha menahan. Ini bukan waktu yang tepat, bukan tempat yang tepat. Ia tak mau yang pertama untuk mereka terjadi begitu saja hanya karena terjebak suasana. Apalagi di tempat yang jelas tak nyaman seperti ini.
"Daiki-kun.." panggil Chinen pelan, tapi membuyarkan segala macam pikiran di benaknya. Ia mengulas senyuman. "Apa yang kau pikirkan?"
"Iie, betsuni" Daiki beranjak dari posisinya yang membuat Chinen terdesak dan nyaris berbaring. Daiki berdiri dan mendekati ujung gang untuk mengecek hujan sambil merapikan kemejanya. Chinen pun ikut berdiri dan merapikan dirinya. Ia mengambil jaket mereka yang berantakan dan kotor disana. Lalu menatap Daiki yang berdiri membelakanginya. Ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya. Tadi Daiki berhenti begitu saja dan Chinen jadi merasa dirinya terlalu berlebihan. Mungkin itu membuat Daiki muak.
"Ne, hujannya sudah berhenti. Aku akan mengantarmu pulang" ajak Daiki. Chinen hanya mengangguk, dan terus menunduk.
Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju halte di tengah gerimis. Hujan nya tampak akan terus turun, daripada nanti hujan nya membesar lagi mereka pun memilih pulang sekarang.
"Gomen, kau pulang dengan keadaan seperti ini" kata Daiki membuka percakapan setelah mereka cukup lama berjalan tanpa bicara.
"Ii yo. Mereka akan mengerti kalau kita kehujanan" kata Chinen. Daiki menganggukkan kepalanya puas. Mereka kembali tak banyak bicara, entah kenapa rasanya jadi sedikit canggung. Mungkin masih gara-gara kejadian tadi.
Mereka tak sadar ada sebuah mobil yang mundur dan mendekati mereka.
"Yuri?" keduanya menoleh bersamaan. Chinen terkejut melihat orang disana.
"Yuya-kun" katanya. Takaki tersenyum dan menyuruh mereka naik. Daiki yang tampak bingung jadi menurut saja untuk ikut menumpang.
"Domo. Aku Takaki Yuya" tanpa ditanya, Takaki langsung mengenalkan diri pada Daiki.
"Ah domo. Aku Arioka Daiki" sahut Daiki yang balas melihat ke arah kaca kecil diatas kepala Takaki.
"D-dia senpaiku" Chinen menyela.
"Sokka" Takaki tersenyum sambil serius melihat ke jalan. "Sedang apa kalian disini?" tanyanya pula.
"Kami-"
"Mencari buku. Daiki-senpai membantuku mencarikan buku" Chinen menyela lagi. Daiki hanya mengerutkan kening memperhatikan Chinen yang duduk di kursi penumpang depan, lalu melihat ke arah Takaki. Rasanya ada yang aneh. Perasaannya agak tak enak.
Akhirnya Daiki memang lebih banyak diam menyimak mereka yang mengobrol dan tertawa berdua. Daiki menghela nafas, tapi mereka seperti tak peduli.
"Aku berhenti di depan situ" kata Daiki tiba-tiba.
"Ah disini?" Takaki menepikan mobilnya.
"Hai" jawab Daiki. Chinen agak terkejut karena ia tahu tempat ini masih cukup jauh dari rumah Daiki. Ia ingin bertanya tapi Daiki sudah lebih dulu turun.
"Sankyu. Jaa ne" katanya. Takaki yang menyahut. Daiki tak mengatakan apapun lagi pada Chinen. Ia hanya bisa melihat Daiki yang berjalan disana seolah bukan siapa-siapa. Chinen mengutuki dirinya sendiri yang sudah bersikap kekanakan. Ia sebenarnya tak bermaksud mengacuhkan Daiki.
"Dia sepertinya senpai yang baik" komentar Takaki.
"Sangat baik" Chinen cepat membenarkan.
"Sou. Aku harap kau tidak menganggap dia lebih daripada seorang senpai"
Chinen menoleh, mencari maksud perkataan Takaki.
Laki-laki itu malah tertawa. "Aku menyukaimu. Tidak salah kan kalau aku berharap kau tidak punya pacar atau menyukai seseorang!?" lanjutnya, membuat Chinen berpikir. Orang ini sedang mengaku padanya? Masaka?!
- - -
"Tadaima" Chinen membuka pintu dan masuk ke rumahnya diikuti oleh Takaki.
"Okaeri.. ah, kenapa seragam mu?" sahut Hikaru yang sedang membuat makan malam.
"Hujan" jawab Yuri singkat, sambil berjalan melewati Hikaru menuju kamarnya. Ia belum merespon pengakuan Takaki tadi. Ia tak yakin. Mungkin saja Takaki sedang bercanda dengannya.
Kedua kakaknya langsung ramai menyapa Takaki dan mulai mengobrol, menanyakan kenapa Takaki dan Chinen bisa datang bersamaan. Chinen lelah, dia memilih untuk mandi dan beristirahat saja.
"Yuri, kau pergi dengan senpai mu yang waktu itu?" tanya Hikaru, membuat Chinen berhenti di depan pintu kamarnya.
"Namanya Arioka" sambung Takaki.
"Dia menyuruh-nyuruhmu lagi?" timpal Kei.
"Katanya dia mengantar Yuri membeli buku" Lagi, Takaki yang menjawab. Chinen menggerutu dalam hati. Jadi ia hanya menganggukkan kepalanya dan berbalik lagi menuju kamarnya.
"Yuri, aku serius soal yang tadi" Takaki berkata lagi, membuat Chinen kembali berbalik dengan perlahan.
"Soal apa Yuya?" tanya Hikaru ingin tahu.
Chinen mencoba menutupi kekagetannya. Ia mengeluh dalam hati, tak menyangka orang itu ternyata memang serius.
"Aku meminta Yuri jadi pacarku, ii ka na?" jelas Takaki pada kedua kakak Chinen dengan nada tenang di suaranya.
"EH?!" kedua kakak Chinen nyaris melonjak begitu mendengarnya. Chinen sebenarnya sama, tapi ia tak menunjukkannya. Bahkan ia tak habis pikir apa maksud Takaki.
"Aku serius, ingin berpacaran dengan Yuuri. Ii ka?" Takaki mengulang untuk menegaskan.
"Jangan bercanda" kata Kei.
"Aku serius!"
Kei dan Hikaru saling memandang. Mereka sebenarnya masih tak rela kalau adik kecil mereka satu-satunya berpacaran.
"Aku akan melindungi dia, menjaganya. Aku janji pada kalian" lanjut Takaki lagi, membuat Chinen semakin tak bisa bicara. Hanya gerutuan-gerutuan yang muncul di benaknya. Ia berharap kedua kakaknya menentang, tapi mereka tampak terpana mendengar perkataan Takaki. Yabai.
"Kau sudah berkata langsung padanya?" tanya Hikaru, menunjuk Chinen.
"Sudah.." Takaki menoleh pada Chinen dan tersenyum, "Tenang saja.. aku tak meminta jawabanmu sekarang. Kau boleh menjawabnya besok atau besoknya. Tapi jangan terlalu lama" tambah Takaki.
Chinen mengulas senyuman juga, tak bisa berkata apapun. Ia memandang kedua kakaknya dan agak kesal. Kemana sikap over protektif mereka!? Apa karena Takaki teman mereka?! Chinen tiba-tiba teringat Daiki.
"Aku mau mandi" katanya, tak mau lama-lama disana.
* * *
Daiki memperhatikan dengan datar ketika di lihatnya Chinen keluar dari mobil yang ia tahu bukan mobil kakaknya seperti biasa. Itu mobil laki-laki bernama Takaki yang kemarin memberi mereka tumpangan. Perasaan tak enak menyergap Daiki lagi, ia bisa merasakan ada yang tak beres tapi Chinen belum berkata apapun padanya.
Daiki menghela nafas dan memilih pergi dari tempat favoritnya itu, dimana ia bisa mencegat Chinen lalu berjalan bersama menuju kelas. Ia tak mau melakukannya hari ini, ia tidak marah hanya.. agak tidak nyaman.
Chinen mengedarkan pandangannya mencari sosok Daiki, tapi tak ada. Ia menggigit bibirnya pelan, khawatir. Tampaknya Daiki memang sedang marah padanya. Chinen memikirkan cara untuk meminta maaf sambil berjalan sendiri ke kelasnya. Ia pun berpikir tentang pengakuan Takaki kemarin, ia tak tahu harus mengatakannya pada Daiki atau tidak. Semuanya terasa rumit untuk Chinen, perjalanan cinta pertamanya yang baru saja dimulai, kenapa harus sudah mengalami masalah? Padahal kemarin mereka nyaris menuju level paling tinggi untuk hubungan mereka, tapi kenapa sekarang..?
Chinen masih terlalu baru untuk hal seperti ini, ia takut tak bisa melewatinya.
---
"Sokka.." Yuto mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memasukan brokoli ke mulutnya. Ia sedang membantu Daiki memakan bento yang tadi dibawakan Chinen sambil mendengarkan cerita senpai nya itu. "Mereka memang sibuk. Aku juga tak bisa makan siang dengan Yama-chan" tambahnya.
"Tapi bukan itu masalahnya, Yuto" Daiki memandang serius dan nyaris tak bernafsu untuk makan. Ia memikirkan tentang laki-laki tadi dan perasaan tak enaknya.
"Lalu apa?"
"Yuri menyembunyikan sesuatu dariku. Tadi saat mengantarkan ini dan berkata dia tak bisa menemaniku karena harus rapat, dia tak berani melihat mataku" jelas Daiki.
"Mungkin kau membuat dia takut belakangan ini"
"Apa maksudmu?" Daiki mengerutkan keningnya. Yuto malah mengangkat kedua bahu nya, santai.
"Kau harus mencari tahu kalau begitu. Lakukan yang kira-kiranya kau pikir bisa menuntaskan rasa penasaranmu" saran Yuto. Daiki termangu sebentar, mencerna dan akhirnya setuju dengan saran Yuto. Itu mungkin bisa membantunya.
"Ne, aku lihat kau dan Yamada selalu baik-baik saja" Daiki mengganti topik dan mulai memakan bento nya lagi.
"Begitulah. Akhir-akhir ini dia memang sibuk, tapi kami selalu bisa menyesuaikan waktu. Walau kami memang belum sempat kencan diluar"
"Hmm, yakimochi na.." komentar Daiki.
- - -
Laki-laki bernama Takaki itu berdiri di gerbang sekolah. Daiki tahu apa yang ia lakukan, pasti menunggu Chinen untuk pulang bersama. Tapi hari ini Chinen harus rapat seusai sekolah, dan Daiki bisa menduga kalau orang itu tidak tahu. Mungkin aku harus menyuruhnya pergi, pikir Daiki. Ia pun berjalan menghampiri Takaki lalu berdehem untuk memulai pembicaraan.
"Ou, Arioka-kun" sapa Takaki yang rupanya masih sangat ingat pada Daiki.
Daiki hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan Takaki.
"Yuri tampaknya lama sekali" kata Takaki pula.
"Dia ada rapat dewan murid"
"Ah sou"
"Dia mungkin akan pulang malam" tambah Daiki lagi.
"Kalau begitu aku akan menunggunya" gumam Takaki.
"Gomen, sebenarnya kau ini teman Chinen atau..?" Daiki mencoba mencari tahu.
"Aku teman kecil kakak Yuri, juga tetangga mereka saat dulu aku masih disini. Aku sering menjagai Yuri saat dia kecil dulu" jelas Takaki.
Daiki mengangguk dan agak iritasi dengan nada suara serta senyum yang dipamerkan Takaki. Seperti penuh kemenangan.
"Ohya, karena kau teman baiknya, aku akan memberitahumu sesuatu" sambung Takaki.
"Apa?" Daiki sebenarnya tak begitu tertarik. Kenapa ia harus mengobrol lama-lama dengan orang ini?
"Aku juga adalah.. calon pacar Yuri" kata Takaki dengan senyum senang di wajahnya. Pipinya pun agak memerah.
Berbeda dengan Daiki yang tiba-tiba menegang, nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perasaan tak enaknya selama ini, terjawab sudah. Ia pun berusaha mengendalikan diri agar tidak mengayunkan tinju ke arah laki-laki itu.
"Aku sudah mengaku padanya dan sedang menunggu dia memberiku jawaban" tambah Takaki yang membuat Daiki harus mengepalkan jari tangannya kuat-kuat. Menunggu? Kenapa Chinen harus membiarkan orang ini menunggu? Kenapa tidak secepatnya mengatakan tidak!? Sekarang Chinen jadi tampak memberikan harapan padanya.
Daiki menghela nafas perlahan. Diakuinya ia agak kecewa sekarang.
"Doakan aku, ne!" Takaki menepuk pundak Daiki, seolah mereka sudah berteman akrab. Rasanya Daiki ingin memegang tangan itu dan memelintirnya. Sampai kapan pun ia tak akan pernah sudi mendoakan orang ini. Daiki bersumpah tak akan membiarkan Chinen jatuh ke pelukan orang lain. Apalagi orang seperti ini!
"Sou. Aku harus pulang" kata Daiki dengan respon seadanya, ia benar tak mau berlama-lama atau Takaki akan mendapat memar di seluruh wajah tampannya. Takaki tak sempat menyahut, Daiki sudah berlalu dengan gerutuan di benaknya.
Kuso!
* * *
Yuto sudah memasuki banyak toko buku untuk mencari sebuah buku yang sangat di inginkan Yamada. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia ingin sekali memberi kejutan pada pacarnya itu. Ia sadar kalau dirinya dan buku, bukanlah sebuah kombinasi yang baik. Ia akan cepat mengantuk dengan hanya memegangnya saja. Memang payah. Sedangkan sekarang ia harus mencari-cari sebuah judul dari ratusan bahkan ribuan buku disana. Walau sempat mengeluh beberapa kali, tapi ia tak menyerah. Demi Yamada.
"Ada yang bisa kubantu?" suara lembut seseorang menyentakkan Yuto. Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki tampan sekaligus cantik sedang berdiri disana. Melihat dari pakaiannya, Yuto tahu ia pegawai di toko itu. Dan walau badannya lebih pendek beberapa sentimeter, tapi Yuto juga tahu laki-laki ini pasti lebih tua 2-3 tahun darinya.
"Ah yea, aku mencari buku dengan judul ini" Yuto menunjukkan judul yang sudah ia catat di notes nya.
"Oh itu. Sebelah sini" ia mengajak Yuto ke sisi lain dan langsung menemukannya dengan cekatan.
"Ah.. arigato" Yuto puas begitu buku itu ada di tangannya. Tadi berjam-jam ia keluar masuk toko buku dan tak menemukannya, bodoh sekali. Yuto tengah membayar ketika melihat laki-laki pegawai tadi sudah mengganti pakaiannya dan tampak akan pergi. Ia berpamitan pada bos nya lalu keluar dengan terburu-buru.
Yuto mengamati laki-laki baik hati berwajah manis dan tampak dewasa itu. Rasanya ia sudah dibuat kagum.
Yuto menyusuri trotoar menuju halte. Ia melirik jam tangannya, pukul 7 malam. Tadi ia benar-benar menghabiskan waktunya begitu saja. Kalau tak ada kakak baik hati tadi mungkin ia malah akan pulang dengan sia-sia.
Yuto berhenti saat mendengar suara terbatuk-batuk. Ia menolehkan kepalanya ke segala arah, agak sepi. Hanya jalanan yang ramai oleh kendaraan, tapi di sekelilingnya tidak begitu banyak orang. Yuuto menggelengkan kepalanya dan memilih tak ambil pusing. Tapi ia berhenti ketika matanya tak sengaja menangkap seseorang yang sedang bersandar di sebuah bangku taman. Ia terbatuk-batuk lagi dan Yuto pun jadi ingin tahu. Perlahan ia menghampirinya, mengamati. Entah kenapa ia tak takut, ia justru merasa harus menolongnya.
"Daijobu ka?" tanya Yuto, memegang pundak orang itu. Orang itu melihat ke arahnya dengan mata setengah terbuka. Wajahnya merah, dan ada aroma alkohol. Ia mabuk. Tapi yang membuat Yuto terkejut adalah, ia tahu orang itu! Baru beberapa jam yang lalu mereka bertemu. Pegawai toko buku yang baik hati itu! Ini takdir.
Perlahan, Yuto menidurkan orang itu di ranjang yang ada disana. Mereka berada di sebuah penginapan kecil. Tadi orang itu meminta Yuuto mengantarnya kesana.
"Gomen na, aku merepotkanmu"kata orang itu dengan suara yang terdengar malas. Ia mabuk, tapi masih bisa menyadari keadaannya.
"Ii yo" sahut Yuto singkat. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya berdiri di sisi ranjang, mengamati orang itu yang tampak tertidur. Orang itu benar-benar menarik, Yuto sampai tak sadar kalau dadanya berdebar cepat. Dia laki-laki, Yuto! ada yang berteriak di benaknya. Bukankah ia merasakan debaran seperti itu hanya pada Yamada? tidak untuk laki-laki lain, hanya Yamada!? Yuto menenangkan dirinya. Ia mungkin sudah tersihir oleh kelembutan yang terpancar dari orang ini, sejak ia membantunya menemukan buku tadi.
Apakah ini, cinta pada pandangan pertama?! Tidak mungkin!!
"Ne, kau masih disitu?"
"H-hai?" Yuto menyahut dengan kaget. Ia melihat orang itu berbicara padanya dengan mata terpejam. Rupanya ia belum tidur.
"Bantu aku melepas jaketku" pintanya. Yuto mendekat lagi dengan salah tingkah. Ia membantu orang itu untuk sedikit bangun agar memudahkan ia melepas jaketnya. Saat itulah orang itu membuka matanya dan mereka saling memandang beberapa lama.
"Kau orang yang tadi membeli buku.." katanya, membuat Yuto agak terkejut. Dalam keadaan mabuk seperti ini, rupanya ia masih bisa ingat. Yuto membantunya untuk bersandar pada bantal. "Gomen, aku mabuk. Tadi ada pesta dengan teman-temanku dan mereka membuatku mabuk" ceritanya pula. Ia agak tertawa kecil, pipi kemerahannya makin tampak. Malah membuatnya semakin manis. Kuso, gerutu Yuto yang merasa gugup dan tak tahu harus bagaimana.
"Namaku Kei, kau?" orang itu mengulurkan tangan. Yuto menyambutnya.
"Y-Yuto" ia menyebutkan nama depan karena orang itu juga hanya menyebut nama depannya saja.
"Yuto.. nama yang bagus" komentar Kei.
Ia mencoba bangun dari posisi tidurnya dan duduk berhadapan dengan Yuto yang malah mematung disana. Tersenyum gugup mendengar pujian Kei. "Kau murid sekolah" Kei menyentuh kemeja seragamnya, walau tadi ia sudah melepas dasi dan jaketnya tapi tetap terlihat. Tangan Kei menyentuh kerah hingga ke pundaknya. Halus. "Tapi kau pasti murid yang nakal, ne?" kali ini mata mereka bertemu. Membuat Yuto serasa menahan nafas. Kenapa suasana jadi tampak berat dan tegang seperti ini.. juga sedikit panas.
"K-kau bisa melihatnya?"
Kei tersenyum, lalu lebih berani dengan menyentuh pipi Yuto.
"Tentu saja" bisiknya.
Nafas yang hangat dan bau alkohol menyentuh wajah Yuto. Sensual sekali. Membuat anak yang baru berusia 17 tahun itu harus tak memikirkan apapun selain wajah manis di hadapannya, mata yang indah, hidung yang sempurna, bibir yang menggoda.. Ia tak pernah mengamati laki-laki lain sedetil ini sebelumnya, hanya Yamada. Tapi dimana Yamada sekarang? Yuto sedang tak mengingatnya, apalagi saat bibir mereka bersentuhan. Mereka berciuman seperti sepasang kekasih. Tak ada ciuman ragu-ragu di awal, semua terjadi dengan cepat dan mudah. Yuto merasakan alkohol dari lidah Kei, ia memang belum pernah minum karena masih di bawah umur. Tapi ia bisa tahu rasa aneh yang menjalar di mulutnya dan lama-lama seperti akan memabukannya juga. Ia sudah sering melakukan hal gila dan bodoh dalam hidupnya, tapi ia merasa ini yang paling gila. Berciuman dengan orang asing yang baru ia kenal, hingga ia melupakan semuanya. Melupakan Yamada-nya.. dan kehilangan akal sehatnya.
---
Yamada beranjak dari meja belajarnya begitu melihat kamar Yuto yang menyala. Sudah pukul 8 lewat, dan ia baru pulang. Yamada ingin tahu darimana saja pacarnya itu.
"Yuto!" panggilnya agak berbisik. "Nakajima!" ia memanggil lagi karena tak ada sahutan. Akhirnya ia mengambil kertas dan meremasnya membuat bola-bola, melemparkannya ke jendela Yuto. Ia melempar bola kertas kedua saat Yuto membuka jendelanya. Bola kertas itu mengenai dadanya.
"Ah gomen!" Yamada langsung meminta maaf. Yuto hanya tersenyum, dan berjalan menghampiri ujung balkon. "Kenapa kau baru pulang?" tanya Yamada pula.
Yuto agak terhenyak. Ia jadi ingat lagi apa yang sudah ia lakukan tadi. Tiba-tiba ia gugup dan tak bisa menatap wajah Yamada.
"Ne?" kata Yamada lagi.
"A-ano.. aku membeli sesuatu. Chotto" beruntung Yuto bisa mengendalikan dirinya. Ia mengambil buku yang ia beli dan menunjukkannya pada Yamada.
"Jaa jaan!"
"Eh?!" seru Yamada, senang sekali melihat benda yang sangat ia inginkan itu. "Kau membelinya?"
"Um. Untukmu" Yuto mengulurkan tangannya untuk memberikan buku itu.
"Hontou ni?!" Yamada tampak tak percaya. Mata indahnya berbinar-binar senang. Yuto juga merasa senang. Tapi ia tetap tak bisa menghapus rasa bersalahnya. Kenapa buku itu jadi terasa seperti semacam suapan? Tidak!
"Yuto"
"Mm?" Yuuto memandang Yamada. Pacarnya itu tersenyum sambil agak menggigit bibirnya.
"E..tto, aku mau tidur denganmu malam ini" katanya pelan dan tampak malu-malu.
Perasaan Yuto jadi semakin tak menentu.
* * *
Daiki menggeleng-gelengkan kepalanya setelah Yuuto selesai bercerita.
"Kau tak akan mengatakan apapun pada Yamada?" tanya Daiki.
"Aku takut" Yuuto membenamkan wajahnya diantara lipatan tangannya. Daiki tertawa kecil, ia malah teringat pada Chinen. Mungkinkah Chinen tak mengatakan soal Takaki karena takut juga? Tapi ia tak melakukan hal separah Yuto kan? Atau.. Daiki mendadak panik dengan pikirannya sendiri.
"Aku memang salah. Aku membiarkan orang itu, malah menyambutnya. Aku seolah tak sadar" kata Yuto yang tak henti menyalahkan dirinya. "Dia meminta maaf setelah kami berciuman, setelah aku membuat tanda di lehernya.."
Daiki hanya bisa mendengarkan dengan takut-takut. Tanda? Mungkin ia juga harus mengecek di leher Yuri, siapa tahu..
"Mou..apa yang harus aku lakukan, Dai-chan?" Yuto mengangkat wajahnya dan memandang Daiki lesu. "Semalam, aku tidur dengan Yamada. Aku memeluknya, tapi pikiranku tak bisa lepas dari orang itu"
"Kau menyukainya" Daiki membuat pertanyaan yang seperti pernyataan, membuat Yuto tak bisa menyahut apapun dan hanya mengerang pelan. Ia menutupi wajah dengan telapak tangannya. Depresi. Baru saja kemarin Daiki merasa iri karena hubungan Yuto dan Yamada yang selalu baik-baik saja, sekarang tiba-tiba seperti ini. Daiki ingin menarik lagi kata-kata irinya.
"Jujurlah pada Yamada. Mungkin itu bisa menenangkanmu" saran Daiki akhirnya.
Yuto berpikir dan membayangkan dirinya berkata jujur pada Yamada kalau ia sudah mengkhianatinya karena berciuman dan bermesraan dengan orang lain. Juga membuat tanda di tubuh orang lain, padahal Yamada sendiripun belum pernah ia tandai. Manusia macam apa aku!? teriak Yuto dalam hati. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri.
Dan Daiki hanya menghela nafas. Ia juga sedang dalam masalahnya sendiri.
---
Daiki mengamati rumah Chinen. Ada mobil Takaki yang ia tahu, dan pemiliknya pun ada disana sedang mengobrol dengan salah satu kakak Chinen. Daiki memutuskan hingga orang itu pergi, baru ia akan kesana.
Beberapa menit kemudian, Takaki pergi dan Hikaru bermaksud kembali masuk ke rumahnya. Daiki pun segera muncul.
"Ano.." katanya, membuat Hikaru menoleh lagi dan mengerutkan keningnya melihat Daiki.
"Omae" ujarnya. Daiki membungkukkan badan.
"Konbanwa. Aku mau menjemput Chinen untuk pergi ke perpustakaan" kata Daiki mengumpulkan keberaniannya.
"Perpustakaan?" ulang Hikaru. Daiki mengangguk. Ia mengarang agar Chinen di izinkan untuk pergi dengannya.
Hikaru masuk dan memanggil Chinen yang terkejut begitu melihat Daiki.
"Daiki-kun?" kata Chinen tak percaya melihat kekasihnya ada disana.
"Yo Chinen, kau sudah siap? Kita akan ke perpustakaan kan malam ini?" sapa Daiki se-kasual mungkin.
"Eh?" Chinen tampak bingung beberapa saat. Ia memandang Daiki, meminta penjelasan tapi laki-laki itu tetap dengan ekspresi biasanya. Chinen menoleh dan ada Hikaru disana nyaris memandang mereka curiga.
"Aaah.. iya. Aku sudah siap" kata Chinen akhirnya ikut berakting.
"Jadi kalian benar akan ke perpustakaan?" tanya Hikaru.
Chinen mengangguk cepat.
"Jaa Hikaru. Nanti sampaikan pada Kei-chan, ne?"
"Tunggu. Kau harus kembali sebelum makan malam"
"Hai, wakatta"
Chinen pun pergi dengan Daiki walau dengan banyak pertanyaan di benaknya.
Hikaru memperhatikan adiknya dan Daiki, ia merasa ada yang aneh. Tadi Takaki datang untuk mengajak Chinen pergi tapi ditolaknya.. hanya demi menemani senpai nya itu ke perpustakaan? Pasti ada sesuatu, pikir Hikaru. Ia harus menyelidikinya.
---
"Kau benar-benar mengajakku ke perpustakaan" kata Chinen agak berbisik, setelah Daiki kembali ke tempat duduk mereka dan menyimpan beberapa buah buku di meja.
"Aku memang ingin ke perpustakaan"
"Aku pikir itu hanya alasan agar kau bisa mengajakku keluar" kata Chinen, agak terdengar nada kecewa di suaranya. Sebenarnya itu juga.. gumam Daiki dalam hati.
"Aku harus belajar untuk ujian nanti" sahut Daiki sambil mulai membuka-buka salah satu buku. Beberapa detik kemudian, ia sudah tenggelam serius dengan buku nya. Chinen termangu, melihat ke sekeliling sampai matanya berhenti di wajah Daiki, lama. Ia tersenyum sendiri tanpa sadar. Daiki selalu terlihat keren di matanya dan memandangnya dalam jarak sedekat ini, memang sangat menyenangkan.
"Jangan melihatku seperti itu, aku tidak bisa konsentrasi" kata Daiki tiba-tiba. Chinen terhenyak dan pura-pura melihat ke arah lain.
"A-aku tidak.." elak Chinen cepat. Daiki menoleh dan melihat Chinen yang sedang mengedarkan pandangannya, seolah disana memang banyak yang menarik. Daiki terus memperhatikannya, hingga sekali lagi mata Chinen berhenti di wajahnya. Mereka saling menatap.
"Kau menyebalkan" kata Chinen akhirnya, memecah keheningan diantara mereka. Daiki hanya tersenyum tipis dan kembali pada bukunya. Chinen mengerutkan keningnya. Ia pun memilih beranjak dari sana, menuju rak buku mencari yang menarik daripada ia duduk disana dan di acuhkan oleh Daiki yang mendadak serius.
Chinen sedang asik melihat-lihat, ketika sepasang lengan tiba-tiba saja memeluknya dari belakang.
"Aku benar-benar tak bisa konsentrasi" sebuah suara yang sangat familiar berbisik di telinga Chinen. Ia agak terhenyak, tapi tak bergerak sedikitpun.
"Da-Daiki kun.." bisiknya pula tanpa menoleh. Ia merasakan kecupan-kecupan disekitar leher dan pundaknya.
"Mm?" gumam Daiki sambil terus menempelkan hidungnya di leher Chinen lalu naik ke dagunya, pipinya, telinganya. Pelukannya pun terasa semakin erat. Punggung Chinen bersandar nyaman di dada Daiki.
"Apa yang kau lakukan?" bisik Chinen lagi. Daiki tak menjawab, hanya terus melancarkan kecupan-kecupan di sisi wajah kekasihnya itu. Chinen heran karena tadi jelas-jelas Daiki mengacuhkannya, tapi sekarang tiba-tiba jadi semesra ini. Diakuinya, ia senang juga.
Chinen memejamkan matanya ketika kecupan Daiki kembali di lehernya. Ia menghela nafas dan menggigit bibirnya pelan. Tanpa berpikir lagi, ia menolehkan wajahnya ke samping dimana Daiki berada. Ia mencari wajah Daiki, hingga bibir mereka pun bertemu. Mereka berciuman beberapa saat dengan posisi seperti itu sampai Chinen merasa agak pegal. Ia akhirnya merenggangkan pelukan Daiki dan berbalik. Lengannya melingkar di pundak Daiki, sementara Daiki memeluk pinggangnya dengan posesif. Mereka berciuman lagi, nyaris tak peduli dengan sekitar. Mereka berada di salah satu jalur diantara rak buku di sebuah perpustakaan umum. Disana memang sepi, tapi bukan berarti tidak akan ada orang yang datang.
Hikaru berdiri di ujung jalur rak dengan mata yang melebar. Ia tak mungkin salah melihat, disana adiknya dan laki-laki yang sering ia bilang hanya seorang senpai, tengah berciuman tanpa mempedulikan sekelilingnya. Hikaru merasa ingin kesana dan menarik pergi adiknya tapi ia bisa melihat memang ada sesuatu diantara mereka. Ia pun memilih untuk pergi dan akan menanyai adiknya nanti.
Chinen melepas ciuman mereka perlahan, ketika ia merasakan telapak tangan Daiki yang hangat mulai menyentuh kulit di balik kausnya. Wajah Chinen memerah, nafasnya tak beraturan. Ia sedikit menahan Daiki.
"..Tidak disini, Daiki-kun" bisiknya.
"Tidak ada siapapun disini" Daiki balas berbisik.
"Tapi bagaimana kalau ada orang yang datang?"
"Baiklah, kalau begitu kita ke tempatku. Disana tak akan ada yang mengganggu kita" kata Daiki dengan senyum penuh arti di bibirnya.
"Eh?" Wajah Chinen makin menghangat.
"Kita masih punya waktu setengah jam. Kau tak mau berhenti begitu saja kan?"
Daiki memeluknya lagi, menciumi lehernya. Chinen hanya bisa tersenyum dan menyerah tanpa kata.
TBC