[KOI DA YO - Season 2 / Chapter 1] Hey!Say! Jump Indonesian Fanfic

May 29, 2013 10:19



Judul: KOI DA YO - Season 2
Author: Rieyo
Pairing: AriChine, YutoYama
Genre: AU, School life, Drama, Romance
Rating: PG13

A/N: a lot of AriChine di part ini hehe. gomen. yoropiku ^^

"Jaa mata. Ittekimasu" kata Chinen sambil membuka pintu mobil nya.

"Yuri" panggil Kei, sebelum ia benar-benar keluar. Ia menoleh pada kakak tertuanya yang duduk di kursi penumpang depan. "Kau lupa kotak bento mu" Kei menunjuk kotak bento yang tadi sengaja Chinen simpan di bawah jok mobil. Kuso.. ketauan, pikirnya.

"Ah.." Chinen berakting seolah-olah ia memang lupa. Dengan setengah hati, ia mengambil kotak bento yang sudah terbungkus itu.

"Lebih baik makan bento daripada kau menghabiskan uangmu di kantin" ujar Hikaru yang duduk di kursi pengemudi. Kakak keduanya itu memandang Chinen dari kaca kecil yang berada diatas kepalanya.

Chinen mengeluh pelan.
"Hai, wakarimashita" jawabnya malas. Lalu cepat keluar dari sana, sebelum kakaknya menambah ceramah mereka.

Sebenarnya, mereka masih muda, tapi mereka harus jadi lebih dewasa karena tanggung jawab yang mereka pegang. Sejak ibu mereka menikah lagi dan pergi, mereka harus mengurus diri sendiri dan mengurus Chinen. Itu sebabnya mereka terlalu protektif pada adik kecil mereka. Chinen yang hampir berusia 17 tahun mulai risih dengan perlakuan mereka. tapi ia juga bersukur sekali memiliki keduanya. Satu hal rutin yang ingin sekali Chinen protes adalah tentang bento ini. Disekolahnya sudah tak ada yang membawa-bawa kotak bento. Tapi sampai sekarang, Chinen masih tak berani melawan kedua kakaknya. Mereka sangat baik, tapi kadang bisa menakutkan juga.

"Ohayo kouhai!" sebuah tepukan mendarat lembut di kepala Chinen, membuat anak itu tersentak.

"Oha-ohayo" sahut Chinen agak terbata-bata. Daiki ada disana dengan senyuman khasnya. Chinen melihat Daiki membawa-bawa sebuah kertas yang digulung, sepertinya tadi ia menepuk kepala Chinen memakai benda itu.

"Tadi kau diantar seseorang?" tanya Daiki. Mereka berjalan bersama memasuki sekolah.

"Bukan. Itu kakak ku. Dan mereka ada 2 orang" jelas Chinen.

"Sou ka" Daiki mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah kenapa ia merasa lega.

Mereka lalu terdiam, mendadak tak ada bahasan. Daiki tak pernah sebingung ini sebelumnya. Ia melirik Chinen diam-diam dan matanya melihat pada bungkusan yang dibawa Chinen. Ia hapal bungkusan itu, jadi ia sudah pasti tahu apa isinya.

"Bento ka?" Daiki akhirnya memulai percakapan lagi. Chinen yang agak sensitif dengan bahasan itu, hanya mengangguk. "Istirahat nanti makanlah di atap sekolah" kata Daiki lagi terdengar seperti ajakan. Ia tersenyum sebelum mereka berpisah di koridor. Tak tahu kenapa Chinen jadi senang mendengarnya.

- - -
Chinen membuka pintu atap sekolah dan masuk kesana dengan sedikit ragu. Ia tak percaya sudah menuruti permintaan Daiki. Chinen menggelengkan kepala dan meyakinkan dirinya berkali-kali kalau ia datang kesitu karena mencari tempat bagus untuk memakan bento nya, bukan karena ajakan Daiki.

Ia melangkahkan kaki ke tempat sewaktu ia bertemu Daiki dulu. Sepi. Chinen mengeluh pelan, ia langsung berpikir kalau Daiki hanya sekedar meminta bukan benar-benar mengajaknya.. Lalu apa peduli ku? pikir Chinen pula. Ia mendecakkan lidahnya dan mulai menyimpan kotak bento nya. Ia hanya mau makan, tak peduli ada orang itu atau tidak.
Chinen baru akan duduk ketika ia mendengar ribut-ribut. Ia mendekat ke tembok dan melihat ke bagian tengah atap. Daiki ada disana dengan 3 orang yang merubunginya.

"Wakatta, wakatta.." kata Daiki yang mencoba menahan 3 orang yang sedang marah dan tampak hendak memukulnya itu. "Uang kan?" katanya lagi sambil mengeluarkan dompetnya untuk mengambil uangnya. Tapi salah seorang dari mereka merebutnya, mengambil semua uang miliknya dan melempar dompetnya lagi begitu saja. "Yada.. itu uangku sampai minggu depan" keluh Daiki yang tak bisa mencegah orang itu. Mereka tak peduli. Setelah mendapat yang mereka inginkan, mereka melepaskan Daiki dan pergi dari sana.

Chinen terpana melihatnya. Tadi ia berniat membantu tapi karena mereka tak melukai Daiki, ia akhirnya memilih diam disana.
"Daijobu ka?" tanya Chinen setelah suasana tenang.

"Ah.. Daijobu da" sahut Daiki yang agak terhenyak melihat Chinen disana. "Kau datang.." tambahnya pula mengulas senyuman.

"Uhm.." Chinen mengangguk. Ia berjalan mendekati dompet Daiki yang tergeletak tak jauh darinya. Ia terpaku sesaat mengamati isi dompet yang tak sengaja terbuka itu. Ada sebuah foto, Daiki dan seorang gadis manis yang tampak mesra. Chinen berusaha tak peduli, ia mengambilkannya dan menghampiri Daiki.

"Siapa orang-orang tadi?" tanyanya sambil memberikan dompet itu. "Mereka sepertinya bukan murid sekolah ini" tambahnya. Daiki menerima dompetnya dan mengucap 'arigato' disela-sela perkataan Chinen.

"Yea, mereka bukan murid sekolah ini" Daiki membenarkan tapi tak mau menambah perkataannya. Ia tak terpikir untuk menjelaskan bagaimana berandalan itu bisa mengejarnya hingga sini. Tadi ia melompati pagar gerbang belakang sekolah dan ia tak mau Chinen tahu. Bagaimanapun anak ini adalah anggota dewan murid.

"Sepertinya aku harus memberitahu keamanan tentang ini" kata Chinen.

"Sou da"

Daiki tak mau terus membahasnya. Ia berjalan ke tempat favoritnya, di ikuti oleh Chinen.
"Kau belum mulai makan" katanya. Ia melihat kotak bento Chinen masih terbungkus rapi di lantai.

"Aku baru akan mulai" kata Chinen. Kemudian duduk disana, menghadap bento nya. Daiki ikut duduk di depannya tanpa diminta.

"Tampaknya enak" komentar Daiki begitu Chinen membuka kotak bento nya. Chinen meliriknya, lagi-lagi ucapan Daiki membuatnya senang entah kenapa.

"Tapi, aku hanya membawa satu buah sumpit"

"Sou ka.." Daiki tampak berpikir beberapa detik. "Kau bisa menyuapiku" katanya tersenyum tanpa beban. Chinen agak terhenyak dengan usul Daiki. "Kenapa? Kau tidak mau? Kalau begitu biar aku yang menyuapimu"

"Ah iie.." Chinen menggelengkan kepalanya. "Baiklah, aku akan menyuapimu" katanya setuju, walau merasa malu menyebutkan itu. Daiki tersenyum puas.

Mereka akhirnya makan bersama dengan Chinen yang menyuapi Daiki. Menyenangkan juga. Chinen tak pernah merasa se enak ini menikmati bento nya. Beruntung sekali ia bisa kenal dengan orang aneh di hadapannya ini.

"Daiki-kun, kenapa kau suka sekali menyendiri disini?" tanya Chinen setelah mereka selesai makan dan meminum teh sambil melihat pemandangan dari atap.

"Aku tidak menyendiri, aku hanya suka sekali tempat ini. Aku akan segera lulus, dan aku pasti merindukannya" jawab Daiki.

"Sou. Tapi kenapa kau hanya sendiri? Kenapa tidak mengajak teman-temanmu?"

"Kadang aku bersama Yuuto disini dan kadang juga ada beberapa temanku.." Daiki menoleh pada Chinen lalu tersenyum. "Sekarang aku bersamamu, bukan?" lanjutnya.

Chinen balas tersenyum dan mengangguk.

"Ohya, acara makan siang tadi juga aku pasti merindukannya nanti" tambah Daiki.

Chinen tertawa.
"Kau memang tak seharusnya melupakan itu" katanya.

"Aku janji" kata Daiki ikut tertawa. Chinen hanya diam tak tahu harus menyahut apa.

"Yuri.."

"H-hai?" sahut Chinen agak gugup, berdebar dipanggil seperti itu oleh orang lain selain kakak-kakaknya.

"Kau.. punya pacar?"

"Eh?" Chinen nyaris berseru kaget mendengar pertanyaan Daiki.

"Warui. Aku hanya ingin tahu. Tak apa kalau kau tak mau memberitahuku" kata Daiki lagi, merasa konyol sudah menanyakan itu. Chinen pasti berpikir ia aneh. Tapi Daiki tak mengelak kalau ia memang sangat ingin tahu. Ia pikir, gadis mana yang akan melewatkan laki-laki semanis Chinen.

"Aku.. belum pernah berpacaran" jawab Chinen akhirnya, agak malu.

Tapi bagi Daiki, ia melihat seperti ada sinyal yang berkedip ke arahnya.

* * *
"Aku benar-benar sibuk.." keluh Yamada sambil mencari-cari sesuatu di meja kerjanya di ruang dewan murid. Yuto memperhatikannya, datar. Ia sudah berada disana sejak 5 menit yang lalu, tapi Yamada masih mengacuhkannya. Hanya berkali-kali mengatakan kalau ia sedang sibuk.

"Aku belum menyelesaikan laporanku" gumam Yamada pula yang mulai membuka-buka sebuah buku dan membereskan kertas yang berserakan di mejanya. Terang saja ia sulit menemukan benda yang ia cari, meja itu sangat berantakan.

Yuto menghela nafas lelah. Ini memang resikonya menyukai seorang presiden murid. Ia jadi terpikir, andai saja dulu Yamada benar-benar diganti.. tapi belum tentu hubungannya dengan Yamada akan sedekat sekarang. Belum tentu Yamada mau mengenalnya lagi.

"Aku tahu. Tapi bukan berarti kau tidak makan siang" kata Yuto akhirnya sambil bergerak menghampiri Yamada yang masih tampak repot. Yuto berdiri di sampingnya.

"Aku tak punya banyak waktu"

"Makan siang tidak menyita semua waktumu"

"Aku benar-benar harus menyelesaikan ini. Kau makan siang saja sendiri" Yamada bersikeras. Ia berkata tanpa melihat pada Yuto yang semakin gemas.

"Keras kepala" gumam Yuto sambil mengulurkan tangannya menghentikan tangan Yamada yang begitu sibuk dengan kertas-kertas bodohnya. Yamada terkejut, ia menoleh pada laki-laki tinggi di sampingnya itu.

"Nakajima-"

"Kau masih saja memanggilku begitu" protes Yuto, dan sebelum Yamada menyahut, ia menundukkan wajahnya untuk meraih bibir Yamada.

Ada sedikit gerakan melawan dari Yamada yang mencoba menghentikan Yuto. Tapi tidak lama, karena Yuto selalu bisa mengendalikannya. Yamada menyerah, menikmati ciuman mereka.

Saat itu Chinen baru akan masuk dan menyapa Yamada, tapi terhenti karena ia melihat pemandangan yang membuatnya shock.
"Yama-chan dan Nakajima..?" desisnya tak percaya. Telapak tangannya menutup mulutnya, kedua matanya terbelalak. Ia mengintip di pintu yang tadi sempat dibuka sedikit, dan mereka berdua tampaknya tak sadar.

Chinen menyandarkan tubuhnya ke tembok disamping pintunya. Dadanya berdetak lebih cepat. Ia benar-benar tak bisa percaya.

"Mereka pasti lupa mengunci pintu" gumam seseorang yang membuat Chinen nyaris melonjak kaget. Ia melihat ada Daiki disana. "Daijobu ka?" tanyanya pada Chinen. Anak manis itu cepat menggelengkan kepalanya. "Kau seperti baru pertama kali melihat orang berciuman" komentarnya pula.

"Bukan. Aku hanya kaget, Yama-chan.."

"Mereka bersama sekarang" sela Daiki.

Chinen terdiam beberapa detik menerima perkataan Daiki di benaknya.
"Apa mereka akan baik-baik saja?" tanyanya pelan.

"Tentu saja. Mereka saling menyukai.." jawab Daiki. "Kau tahu, cinta tak mengenal apapun. Usia, status, gender.." lanjut Daiki, membuat Chinen melihat ke arahnya. Kata-kata Daiki membuatnya tergerak. Ia yang belum pernah mencoba mencintai atau membiarkan dirinya dicintai seseorang tiba-tiba saja merasa kesepian. Selama ini ia belum terpikir untuk menyukai orang lain dengan perasaan yang bukan pertemanan apalagi sampai menjalin sebuah hubungan. Baginya, perempuan itu hanya pengganggu. Ia pernah di jahati perempuan hanya karena mereka iri padanya, dan ia juga pernah disukai perempuan hingga ia seperti tak bisa bernafas dengan bebas dimanapun. Berbeda dengan para laki-laki yang selalu bersikap manis padanya. Chinen sadar ini terlalu aneh dan tidak benar. Jadi ia lebih memilih tak mau terlibat. Ia berpikir, persetan dengan cinta.. hingga ia bertemu dengan Daiki dan pandangannya pun harus mulai terkikis sedikit demi sedikit.

"Ne, kita pergi saja. Nanti ada orang lain yang curiga" perkataan Daiki menyentakkan Chinen. Ia mengangguk. Daiki cepat merapatkan kembali pintu ruangan itu, tak sadar menimbulkan suara yang akhirnya membuat dua orang disana tersadar.

Yamada melepaskan ciumannya lebih dulu dan menoleh ke pintu.
"Kau tidak mengunci pintunya!?" gerutu Yamada, menatap tajam pada Yuuto.

"Aku tidak tahu kalau harus menguncinya"

"Baka. Kalau kau mau menciumku, seharusnya kau kunci dulu"

"Aku bahkan tidak tahu akan menciummu sekarang" Yuto membela diri.

"Bagaimana kalau ada orang yang melihat?" Yamada masih tak mau kalah.

Yuto baru akan membalas lagi, tapi tidak jadi. Ia mendadak teringat sesuatu. Yamada pun tampak memikirkan hal yang sama. Mereka saling memandang beberapa detik, lalu perlahan melihat ke arah pintu dan kembali berpandangan lagi dengan mata yang lebih lebar.

YABAI.

---
"Eh, aku?" Chinen menunjuk dirinya sendiri, Daiki mengangguk.

"Bagaimana kalau kau mengalami hal yang sama dengan Yamada? Menyukai seorang berandalan sekolah.."

"Aku tidak mengalaminya, jadi aku tidak tahu" Chinen mengangkat bahunya.

"Pikirkan kalau itu seandainya terjadi padamu.. Kau akan terus menyukai dia, meski nyaris semua orang menentangmu?" Daiki bersikeras dengan pertanyaannya.

"Entahlah. Mungkin aku memilih tak berurusan dengan berandalan" jawab Chinen akhirnya.

"Sou ka"
Daiki mengangguk pelan. Jawaban Chinen membuatnya terdiam.

- - -
"Ah, jadi itu kalian!?" Yuto berseru lega, setelah mendengar cerita Daiki yang tadi siang mengintipnya.

"Chinen yang pertama melihat kalian"

"Ah yokatta" kata Yuto yang benar-benar terlihat lega.

"Lain kali, kalian harus hati-hati. Carilah tempat yang aman" Daiki menasihatinya.

"Aku tahu. Tadi itu tanpa rencana, jadi terjadi begitu saja"

"Ero" gumam Daiki meledeknya, tapi terdengar oleh Yuto.

"Oi" protesnya. Daiki hanya tertawa. "Ngomong-ngomong kau sering bersama Chinen sekarang" kata Yuto lagi, setelah mereka berhenti tertawa dan kembali berjalan menuju halte.

"Uhm. Ada masalah?"

"Bukan. Aku hanya berpikir kalau kau menyukainya" Yuto memandang Daiki, curiga.

"Ada masalah kalau aku menyukainya?" Daiki menjawab tenang.

Yuto tertawa puas.
"Ne, kalian harus seperti aku dan Yamada" katanya tersenyum penuh arti.

"Aku tidak tahu" Daiki mengeluh pelan. Ia jadi ingat dengan jawaban Chinen tadi tentang berandalan sekolah. Ia merasa sinyal yang selama ini menyala dan berkedip padanya, agak mulai meredup.

"Jangan sampai kau menyesal seumur hidupmu" kata-kata Yuto terekam di memori otak Daiki, sebelum ia menangkap 3 sosok manusia yang dia tahu akan berbahaya, sedang menghampiri mereka.

"Arioka-kun.. kebetulan sekali kita bertemu disini" kata salah satu dari mereka.

"Kuso" kutuk Daiki "Kita lari, Yuto" bisiknya sambil bergerak mundur.

Yuto mengerutkan keningnya.
"Mereka masih saja dendam padamu?" tanyanya tak percaya. Daiki dengan sempatnya, mengulas senyuman untuk Yuto yang langsung menggelengkan kepalanya.

"Berikan uangmu!" perintah orang-orang itu.

"Tak ada lagi. Kemarin kalian mengambil semua uangku untuk 1 minggu" sahut Daiki.

"Kau pikir aku percaya!?" bentak mereka.

Daiki tak sempat menyahut lagi karena orang itu memukulnya. Mereka pun berkelahi. Yuto menolongnya, tapi tetap tidak seimbang, mereka akhirnya harus kabur. Berandalan itu mengejar mereka.

"Yuto, nanti kau lari ke arah sana. Mereka tak akan mengejarmu, OKAY?" teriak Daiki disela-sela mereka berlari.

"Tapi kau-"

"Aku akan mengurusnya. HAYAKU!" Daiki menyuruh Yuto agar berbelok, sedangkan ia terus berlari lurus kembali ke arah menuju sekolah.

Berandalan itu belum menyerah. Daiki mengutuki sambil terus berlari.
- - -

"Hai, wakatta. Aku akan menunggu kalian di cafe terdekat" Chinen berkata malas di ponselnya. Kedua kakaknya akan telat menjemput, tapi ia tak boleh naik bis.

Chinen mendengar ribut-ribut di belakangnya, ia baru akan menoleh saat seseorang menarik tangannya..

Orang itu menarik Chinen dan membawanya berlari. Ia tak sempat berontak, tak sempat melepaskan diri. Yang ia tahu, mereka dikejar 3 orang laki-laki yang tampak berbahaya.

Setelah berlari sekian lama, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Chinen mengatur nafasnya sambil melihat ke sekeliling, aman. Tak ada lagi orang-orang yang mengejar mereka.

"W-warui.." kata laki-laki yang terduduk di hadapannya, kelelahan. Ia orang yang tadi tiba-tiba menarik dan mengajaknya berlari begitu saja. Chinen mengamati orang itu.

"Daiki-kun..?" cetusnya lalu menghela nafas panjang sambil bergabung, ikut terduduk disana. "Apa-apaan itu?!" protes Chinen walau di nada suaranya terdengar lega. Ia mengelap keringat yg menetes di keningnya dengan lengan seragamnya.
Daiki tersenyum.

"Sedikit masalah"

Chinen hanya mengeluh, tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi diakuinya ia tak begitu risau, karena ini Daiki yang bersamanya. Selalu kebetulan.

"Hora, kita kerumahku" kata Daiki setelah berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Chinen berdiri.

"Ke rumahmu? untuk apa?" Chinen tak langsung menyambutnya.

"Kau tak lihat aku terluka?" sahut Daiki sambil menunjuk beberapa memar dan luka di wajahnya. Seragamnya sudah berantakan tak karuan. Chinen tak punya pilihan lain, ia menyambut tangan Daiki untuk berdiri.

Daiki berjalan agak tertatih-tatih menuju rumah yang ada di depan mereka, Chinen membaca nama Arioka yang terpasang di tembok sebelah pagar. Rumah yang cukup besar dan bagus.

"Ch-chotto! Kenapa aku harus ikut kerumahmu?" Chinen menahannya. Ia malas kalau bertemu keluarganya di dalam, lagipula ia tak ada alasan untuk berada disana.

"Bantu aku merawat luka ku" jawab Daiki pendek, dan meneruskan berjalan.

"Eh-" Chinen tak bertanya lagi. Tadi ia heran kenapa Daiki tak minta tolong pembantunya atau siapalah. Ternyata sepertinya rumah itu kosong. Daiki membuka gembok pagar dan pintu rumahnya menunjukkan ia tinggal sendiri. Belum lagi suasana yang sangat sepi, saat Chinen memasukinya. Di rumah sebesar ini, Daiki tinggal sendiri.. pikir Chinen, takjub.

"Ah itai.." keluhan Daiki membuat Chinen berhenti terkagum-kagum. Ia melihat Daiki sudah merebahkan tubuhnya di sofa, mengeluh berkali-kali.

"Daijobu ka?" Chinen menghampirinya. "Kau ambil kotak obatnya di lemari di kamar mandi" pinta Daiki sambil menunjuk ke arah kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. Chinen beranjak untuk mengambilnya, dan matanya sempat melirik sebuah foto.

"Aw.. itai" Daiki terus mengeluh ketika Chinen sedang membersihkan lukanya dan memberi obat.

"Ssh, jangan seperti perempuan" ledek Chinen.

"Ini benar-benar sak-- ahh!" Daiki mencoba membela diri di antara keluhannya.

Chinen hanya menghela nafas dan terus menekan-nekan kapas dengan lembut ke pelipis kanan Daiki. Ia juga meniup luka itu setiap sudah di tetesi obat. Daiki mengeluh perih sekaligus nyaman. Hembusan nafas Chinen di wajahnya, membuat ia merasa lebih baik. Ia mengamati wajah manis itu yang sekarang tampak dekat sekali dengannya. Daiki jadi makin tersadar kalau ia sangat menyukai Chinen. Setiap jengkal di wajah hingga ke tubuhnya adalah sesuatu yang mampu menggerakan seluruh otot jantungnya hingga berdetak dengan sangat liar. Darahnya pun berdesir-desir nyaman di nadinya.

"Ne, kenapa kau pandai sekali merawat luka?" Daiki memulai obrolan, daripada tadi hening karena ia berhenti mengeluh.

"Apa aku tampak pandai?" Chinen malah balik bertanya dan melirik sekilas pada Daiki yang tak lepas mengamatinya. Chinen terus sibuk dengan memasang plester di pelipisnya. Jarak wajah mereka masih dekat, Chinen berdiri dengan lututnya di atas sofa, jadi ia agak lebih tinggi dari Daiki yang hanya duduk. Bibir berwarna kemerahan yang segar itu sangat menggoda Daiki, ia hanya tinggal mengangkat wajahnya sedikit untuk meraih bibir itu dengan bibirnya kalau ia memang mau. Tapi Daiki masih bisa menahannya. Ia menelan ludahnya diam-diam dan menjilat bibirnya pelan.

"Tanganmu cekatan" kata Daiki lagi.

"Benarkah? Mungkin karena dari dulu aku biasa merawat kakak-kakakku" sahut Chinen yang sudah selesai dengan pekerjaannya. " Sudah selesai" katanya pula sambil mengamati sekali lagi, plester yang menempel di pipi dan pelipis Daiki. Setelah yakin benar, ia kemudian duduk disana.

"Sankyu na"

"Ii yo" Mereka saling melempar senyum. "Daiki-kun, kau tinggal sendiri disini?" tanya Chinen pula.

"Uhm. Keluarga ku pindah ke Saitama, sedangkan aku di tinggal karena akan segera lulus"

"Sou ka" Chinen menganggukkan kepalanya.

"Ah, kau mau minum? pasti tadi melelahkan sekali" Daiki bermaksud beranjak untuk mengambil minum, tapi Chinen menahannya.

"Aku akan mengambilnya sendiri dan mengambilkan untukmu juga" katanya sambil beranjak lebih dulu.

"Okay"

Chinen lalu mengambilkan 2 buah kaleng jus dari lemari es Daiki. Mereka terdiam sesaat menikmati minuman mereka.
"Ano, gadis di foto itu.." Chinen berkata dan menunjuk sebuah foto yang tersimpan di meja.

Daiki menolehkan wajahnya ke arah yang ditunjuk Chinen.

"Gomen, dulu aku pernah melihat fotonya di dompetmu.." lanjut Chinen. Ia memang pernah melihat gadis itu di foto yang berdua dengan Daiki. Chinen hanya mau tahu siapa gadis itu.

"Ah, dia adikku"

"Adikmu?"

Daiki mengangguk. Chinen mengamati foto itu lebih dekat. Gadis yang cantik dan tampaknya hanya berbeda beberapa tahun saja dari Daiki.

"Dia seumurmu" kata Daiki lagi seperti bisa membaca pikiran Chinen.

"Oh" gumam Chinen, "Dia.. cantik"

"Darou" sahut Daiki. Ada ekspresi tertentu di suaranya yang tak yakin untuk Chinen terjemahkan. Tapi ia menepisnya, tak mau memikirkannya berlarut-larut.

"Kau baik-baik saja tinggal tanpa orangtua mu?" tanya Chinen, mengalihkan pembicaraan. Ia kembali ke sofa, duduk di samping Daiki.

"Maa.. aku baik-baik saja" jawab Daiki. Ia tersenyum dan Chinen membalasnya.

"Sou. Aku juga dan kakak-kakakku. Kami baik-baik saja" kata Chinen.

"Kalian tinggal terpisah juga?"

"Kami ditinggalkan. Dulu orangtua kami bercerai, dan saat umurku 6 tahun ibu menikah lagi kemudian pergi dengan suami barunya" jelas Chinen yang bercerita dengan ekspresi datar, seolah hal getir itu memang tak berpengaruh pada hidupnya.

Daiki terpana, selama itu mereka hidup tanpa orangtua.

"Kami sempat tinggal bersama paman, tapi sejak Hikaru dan Kei-chan bisa part time sambil bersekolah, kami kembali ke rumah yang dulu di tinggalkan ibu. Tinggal bertiga saja hingga hari ini" tambah Chinen dan mengakhiri ceritanya dengan senyuman seperti malaikat.

"Sou.." gumam Daiki, "Jadi mereka sangat berarti sekali untukmu"

"Tentu saja. Mereka sudah seperti orangtua ku, walau.. aku kadang merindukan Okaasan" Chinen menghela nafas dan bersandar ke sandaran sofa, menatap langit-langit ruang tengah rumah Daiki.

"Kau.. merasa kesepian?" Daiki menatapnya dari samping.

"Sedikit. Aku jadi sentimental setiap mengingatnya. Karena itu Hikaru dan Kei-chan selalu menyuruhku melupakannya" sekali lagi senyuman terulas di bibirnya.

"Mereka tak ingin melihatmu sedih"

"Uhm.." Chinen mengangguk tanpa melepaskan matanya dari langit-langit.

"Aku juga tak mau melihatmu sedih" lanjut Daiki yang tiba-tiba sudah mendekat. Chinen melihat ke arahnya, mereka saling menatap. Tatapan lembut Daiki membuat Chinen merasa lebih baik. "Kau juga tak perlu merasa kesepian. Banyak yang menyayangimu di sekelilingmu" bisik Daiki pula, karena wajah mereka semakin dekat. Chinen tak bergerak, terpana. Dan Daiki tak bisa menahan lagi, ia mencium Chinen tepat di bibirnya.

Chinen hanya bisa diam, kaku. Dadanya berdebar tak karuan, seluruh tubuhnya bergetar aneh. Ini ciuman pertamanya, dan ia tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya menutup matanya kuat-kuat dan membiarkan Daiki menekan bibirnya. Tak ada respon dari Chinen.

Daiki tersenyum di ciuman nya. Ia bisa merasakan ketegangan Chinen, ia menggerakan wajah Chinen agar lebih menghadapnya dan menciumnya lebih lembut. Membuat Chinen lebih rileks. Genggaman eratnya di lengan sofa mulai melemah. Ia mulai menikmati meski belum sepenuhnya bisa membalas ciuman Daiki.

Kegilaan ini meliarkan detakan jantung Daiki untuk kesekian kalinya. Ia semakin yakin dengan hatinya. Ia ingin membuat Chinen nyaman, melindunginya, tak membiarkannya bersedih dan selalu melihat senyuman malaikatnya.

..Atau kau akan menyesal seumur hidup.. kata-kata Yuuto itu muncul lagi di benaknya.

Ia sependapat dengan Yuuto, sekarang atau penyesalan?

Daiki tahu pilihan mana yang akan ia ambil. Setiap manusia sangat membenci penyesalan, dan ia pun tak akan pernah mau menyesal.

Drrtt

Drrtt

Sebuah getaran, menyentakkan mereka berdua. Daiki melepaskan Chinen yang sudah nyaris dipeluknya. Anak itu berdiri dengan salah tingkah dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Hai?" sapa Chinen tanpa melihat dulu id penelepon nya.

"Yuri, kau dimana?!" terdengar suara Kei disana.

"Ah aku.. gomen, aku akan segera kesana!" Chinen bingung dengan jawabannya. Ia benar-benar lupa kalau harus menunggu kakak-kakak nya.

"Tidak. Beritahu aku kau dimana!?" kata Kei tegas.

"Ini di.." Chinen melirik Daiki, meminta bantuannya.
- - -

"Gomenasai. Aku sudah merepotkan adik kalian" Daiki membungkukkan badannya di hadapan Hikaru dan Kei.

"Ii yo" jawab Kei pendek dan menyuruh Chinen untuk segera naik ke mobil. Mereka mulai lagi dengan sikap over-protektif nya.

"Jadi kau senpai nya?" tanya Hikaru dingin.

"Hai. Tadi aku terluka, jadi meminta bantuannya"

Hikaru mengangguk.
"Lain kali jangan seenaknya. Walaupun kau senpai, kau tak harus menyuruh-nyuruh kohai-mu" kata Hikaru lagi sebelum berbalik ke arah mobil.

"Hai, sumimasen" Daiki membungkuk lagi, meski Hikaru sudah tak berada disana.

Ia memandang mobil yang mulai bergerak meninggalkan depan rumahnya, membawa orang yang ia sayangi.

Ciuman tadi mungkin akan merubah pertemanan mereka selama ini. Daiki memang lebih baik merubahnya saja sekalian, ia tak pernah jatuh cinta lagi seperti ini setelah cinta nya yang dulu tak bisa disatukan.

Sekarang, atau penyesalan..

* * *
Hari-hari berlalu setelah kejadian ciuman itu. Sebenarnya keesokan harinya ia sudah siap untuk menghadapi Chinen dan mengatakan semua perasaan yang sudah di yakini nya. Tapi, ia tak melihat Chinen. Anak itu tak pernah datang lagi ke atap untuk memakan bento nya, tak pernah terlihat di dekat gerbang saat datang atau sedang menunggu jemputan. Daiki mendadak seperti kehilangan sosok itu dari kesehariannya. Hingga suatu hari mereka tak sengaja berpapasan, Chinen menghindarinya. Terlihat sekali bagaimana Chinen berpura-pura seolah tak melihatnya, dan itu terjadi berulang-ulang hingga hari ini. Tak ada lagi Chinen yang dikenalnya. Daiki tak menyangka, penyesalan yang ia takutkan justru berubah menjadi penderitaan. Ia mengutuki dirinya karena sudah lancang mencium Chinen waktu itu. Andai saja ia bisa menahan lagi, pasti tak akan jadi kekacauan macam ini.

Daiki seharusnya ingat dengan apa yang pernah Chinen katakan, ia tak mau berurusan dengan berandalan.. dan dirinya malah bersikap tidak tahu diri.
"Kuso!" Daiki mengutuk lagi sambil melempar puntung rokok nya yang kedua. Ia mengambil sebatang rokok lagi, menyalakan dan menghisapnya dengan kesal. Keluhan demi keluhan keluar dari mulutnya. Berkali-kali ia menghela nafas panjang. Ia duduk bersandar pada tembok di tempat favoritnya, menatap kosong ke arah langit. Kenapa rasanya menyakitkan??

[TBC]

arichine, fanfic, hey!say! jump, yutoyama

Previous post Next post
Up