I Don't Have The Heart / 2 of 3

Jan 03, 2014 16:03

[part II]

"Jadi, apa kamu sudah mengatur perceraianmu dengan Lee Chanhee?" Ibuku bertanya ditengah sore sehabis aku membereskan dokumen pengambil alihan perusahaan ayahku dari tangan Chunji.

"Ya, aku sudah mengeposkan surat perceraiannya pagi ini. Bersamaan dengan surat kuasa perusahaan kita yang Chunji tanda tangani ini, ia harusnya sudah menerimanya sekarang." Ucapku sambil memandangi kertas kertas yang seharusnya berarti di tanganku ini- namun mengapa rasanya hampa. Aku telah memiliki kembali apa yang telah hilang-perusahaan ayahku, kekayaan, popularitas, Chunji mengembalikan segalanya tepat keesokan paginya kami bercinta- atau itulah yang kupikir tentang malam itu.

Masih kuingat betul wajahnya yang cantik itu menatapku dengan dingin sambil menyerahkan seamplop dokumen yang ia bilang;

"Ini adalah tiket kebebasanmu. Semua dokumen telah kutandatangani, kini perusahaan ayahmu kembali ditanganmu. Ambillah."

Aku tidak dapat mengatakan apa apa selain "Terima kasih."

Tapi aku menyesal mengatakannya karena itu membuat wajah cantikmu murung, kamu tersenyum- senyum sedih yang membuat hatiku teriris- dan berkata "Hanya itu yang bisa kulakukan setelah semua yang kamu lakukan untukku, ya kan Byunghun?"

Aku bodoh karena membiarkanmu berpikir sampai akhir bahwa yang kuinginkan darimu hanyalah perusahaan ayahku yang kini resmi menjadi milikku ini. Mungkin pada awalnya memang begitu, tapi kini, setelah melalui hari hari indah bersamamu Chunji. Mereka semua tak berarti apa-apa. Dimataku mereka hanya kertas bodoh yang tak berguna.

"Hari ini adalah hari dimana segala mimpimu menjadi kenyataan,my son, selamat."

Salah besar, hari ini adalah hari segala mimpiku hancur menjadi serpihan serpihan kecil.

Karena aku sadar segala mimpiku, adalah Chunji.

RING~Teleponku berbunyi, aku tidak mengenali nomor pemanggilnya.

"Halo?"

"Halo?Tuan Lee Byunghun?" Suaranya tidak kukenali.

"Ya, saya sendiri.Siapa anda?" Perasaanku buruk tentang ini, dadaku berdebar setengah mati.

"Anda suami dari Tuan Lee Chanhee bukan?" tanya peneleponini.

"Y-ya.A-ada apa dengan Chunji-"

"Suami anda baru saja mengalami kecelakaan beruntun dan kini dilarikan ke rumah sakit terdekat dan dikabarkan menderita luka luka yang cukup parah-"

"A...Apa?" Aku siap dengan kondisi apapun yangakan terjadi setelah Chunji menerima surat permintaan ceraiku hari ini, tapi tidak dengan berita ini.

Tidak dengan kenyataan bahwa satu satunya pria yang ingin kudekap erat erat kini meregang nyawa diatas meja operasi dikarenakan kecelakaan bodoh yang takdir atur untuk nya.

Aku siap akan kebenciannya seumur hidup padaku, aku siap jika itu berarti dia akan hidup bahagia dan bebas tanpaku.

Tapi aku tidak siap untuk ini- untuk kehilangannya secepat ini.

"Byunghun? Nak? Apa yang terjadi? Siapa yang menelepon-ahh! Byunghun!" Aku mendorong ibuku dan lari menuju dimana cintaku berada.

Selama ini aku selalu lari menjauh karena kupikir aku tidak memiliki hati untuk mencintai Chunji, sebagaimana ia menginginkanku untuk mencintainya.

Satu hal yangbaru saja kusadari.

Hatiku selalu ada, hatiku selalu ada dan selama ini dia tinggal bersama-

"Chunji.. Chunji.. Kumohon... Kumohon..." Bersamamu, Chunji.

Aku benar benar bodoh bukan Chunji?

Aku malah mendorongmu menjauh sementara yang ingin kulakukan hanyalah mendekapmu erat erat disisiku.

Bukannya membisikkan kata kata manis ke telingamu aku malah menancapkan duri melalui kata kata pedasku.

Aku bodoh karena meski yang kuinginkan hanyalah mencintaimu dengan pantas- yang kulakukan hanyalah mencoba lari dari kenyataan bahwa aku mencintaimu dengan seluruh hatiku.

"Apakah anda kerabat Tuan Lee?" Seorang suster menahanku untuk mendobrak masuk ke ruang operasi dimana cintaku berbaring tak berdaya, mungkin menunggu aku untuk datang dan mengecupnya agar bangun dari mimpi buruknya.

"Ya, saya suaminya, Lee Byunghun. Di-dimana Chanhee??"

Aku terlalu panik, terlalu takut akan pikiran bahwa aku harus kehilanganmu meski kenyataanya aku tidak  pernah memilikimu, sampai sampai aku tidak melihat seonggoktubuh yang diiring keluar dari meja operasi.

Seonggok tubuh yang kuharap bukan--

"CHUNJIIII!!!"

*

Satu, dua- aku terus menghitung setiap nafas yang terpompa dari gerakan turun naiknya dadamu yang kini rebah tak sadarkan diri diatas ranjang rumah sakit.
"Chunji, sudah seminggu kamu tertidur, apa yang sedang kamu mimpikan sampai-sampai kamu memilih untuk tidur daripada terjaga? Hmm?" Tanyaku sambil menyeka rambut nya dari perban di kepalanya.
Chunjiku memiliki lebih dari satu perban, tak terhitung banyaknya luka yang ada di tubuhnya yang indah itu. Di kaki jenjangnya, di tangan lentiknya, di wajah cantiknya.
Chunji, melihatmu yang kini terbaring tak berdaya penuh luka disekujur tubuhmu, membuat ku hampir gila. Andai kamu tahu betapa paniknya aku saat kulihat dokter membawa tubuhmu keluar dari ruang operasi.
Kupikir mereka tak dapat menyelamatkanmu, namun kekhawatiranku sirna begitu dokter memberitahukan bahwa masa kritismu sudah lewat dan operasi berjalan lancar.
Yang kini perlu kamu lakukan hanya membuka matamu dan tersadar dari mimpimu Chunji.
Buka matamu karena aku amat merindukan menatap ke dalam bola matamu yang jenaka itu.
"Hnn..." Sedang asyiknya memijit lembut tanganmu, kurasakan jemarimu bergerak dengan lemah. Tapi aku yakin jemari lentik itu bergerak- "Agh... Air..." Dan kini matamu terbuka perlahan, suaramu parau saat kamu buka bibirmu yang terlihat kering itu. "A..air..." Begitu sadar yang kamu pinta hanyalah air, buru buru aku mengambilkan segelas air dan menyuapinya ke mulutmu dengan sendok.
Tanganku gemetar, karenanya airnya jatuh bertumpahan ke dagumu.
"Kenapa... Kamu menangis?" Tanyamu dengan suara serak seperti baru bangun tidur. Aku tidak sadar bahwa aku tengah menangis, yang aku tahu bahwa aku hampir mati karena bahagia dapat mendengarmu bicara lagi, menatapku dengan mata yang sama, mata yang kucintai. "Kamu... Siapa?"
Aku tercengang, seakan ada petir yang menyambar di siang bolong, aku tak bergeming dan tanpa sadar menjatuhkan gelas air putih itu ke lantai.
"Tuan Lee! Anda sudah sadar!" Segerombolan suster dan seorang dokter masuk untuk memeriksa keadaan Chunji, membuatku tersingkir dan yang bisa kulakukan hanya memandangimu dari balik pintu diam diam.
Hatiku berdebar dengan kencang, aku takut. Aku takut akan apa yang baru saja kudengar dari bibir ranummu itu Chunji.
"Kamu.. Siapa?" Tanyamu lagi setelah dokter selesai memeriksamu dan kini menyuruhku masuk untuk bertemu denganmu. Kulihat alismu berkerut dan kamu bertanya lagi. "Apa aku mengenalmu?" Tanyamu.
Dan detik iutaku baru tahu bahwa hal yang lebih menakutkan dari kehilangan adalah dilupakan.
"Chunji... Kamu..." Gemetar aku meraih tangannya dimana ada cincin pernikahan kami di jemari manisnya. "Tidak ingat ini?" Tanyaku sambil menunjuk cincin perak itu.
Chunji mengernyit lalu mengangkat tangannya, memandangi cincin pernikahan kami dengan wajah bingung. "Cincin?"
Aku mengangguk lalu mengangkat tanganku untuk menangkap tangannya hingga kini tangan kiri kami bertautan. Matanya terbelalak saat aku meremas tangannya dan menunjukkan bahwa aku mengenakan cincin yang sama.
"Aku Lee Byunghun, suami dari Lee Chanhee." Ucapku sambil memberikannya senyuman terbaik yang telah kulatih di depan kaca selama menunggunya terbangun selama seminggu di rumah sakit.
Selama seminggu aku telah melatih apa yang harus kuucapkan padanya, dan apa yang tidak. Selama seminggu aku memutuskan akan meminta maaf akan segala kesalahan yang telah kuperbuat jika saja Chunji membuka matanya.
Dan kini ia membuka matanya, dan melupakan aku, aku yang lama- aku yang kotor dan keji- apakah itu berarti Tuhan memberikanku kesempatan kedua?
Kesempatan kedua untuk mencintaimu dengan benar, Chunji-ah?
"Byunghun?" Panggilnya, dan aku hampir pecah dalam tangis saat kudengar suaranya memanggil namaku, lagi. "Lee Byunghun, suami Lee Chanhee, salam kenal!" Katanya riang.
Wajahmu yang tersenyum lebar seraya menggenggam erat tanganku di tanganmu, aku tidak akan pernah lupa.
Apakah ini mimpi, dimana segala impianku menjadi nyata? Apakah ini benar benar terjadi?
"Lee Chanhee tidak ingat apa-apa. Apakah Lee Byunghun akan marah pada Lee Chanhee?" Tanyanya dengan wajah penuh khawatir. Dirinya yang selalu berwajah sedih dimasa lalu karena aku, aku berjanji tidak akan membuatnya berwajah sama lagi setelah apa yang terjadi padanya.
"Haruskah Lee Byunghun membantu Lee Chanhee mengingat satu persatu?" Tanyaku sambil menyuapinya buah jeruk yang telah kukupas.
"Hmm!!" Chunji mengangguk dengan antusias sambil mengunyah jeruk yang kusuapi, aku terkekeh karena keluguannya yang menggemaskan.
Seperti game yang di restart kembali, aku sudah tahu apa yang harus kuperbaiki untuk tidak mendapatkan 'game over' lagi. Dan kini hal pertama yang aku lakukan untuk merenda kisah cintaku dengan Chunji dari awal lagi-dengan benar- adalah;
"Lee Byunghun mencintai Lee Chanhee. Melebihi apapun di dunia ini." Kataku sambil mengusap bibirnya dari sari buah jeruk yang tertinggal disana. "Itu adalah hal pertama yang harus Lee Chanhee ingat, mengerti?"
Wajahnya merah padam saat aku selesai membersihkan wajahnya dari bekas makannya yang bercelemotan seperti anak kecil. Kupikir ia tidak mengerti dengan yang aku katakan, tapi ia membuktikan aku salah dengan memberikanku anggukan dari kepalanya meski hanya anggukan kecil.
"Lee Chanhee akan ingat itu. Lee Chanhee berjanji!" Katanya riang, dan aku menghadiahi nya dengan belaian lembut di rambutnya.
Ia amat senang akan tindakanku lantas memintaku untuk terus mengelus kepalanya jika ia melakukan hal yang baik.
Aku mengangguk dan berkata akan menghadiahinya lebih dari elusan di kepala jika ia menurut dan menjadi anak yang baik.
Dalam diam hatiku membuncah karena bahagia, andai saja aku tahu bahwa begitu mudah untuk membuatmu bahagia. Andai aku tahu hanya memberikanmu elusan kecil dikepala saja dapat membuatmu tersenyum sebegini lebarnya.
Tapi ah- aku tidak dapat terus menyesali yang telah terjadi di masa lalu. Kini yang dapat kulakukan hanya memperbaiki yang lalu.
Yang dapat kulakukan hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan pada Chunji jauh sebelum hari dimana Tuhan hampir merenggutnya dariku terjadi.
Yaitu, mencintainya dengan sepenuh hatiku.

*

"Byunghun-ah kemana kita akan pergi pagi-pagi begini?" Chunji yang kebingungan saat aku bangunkan di pagi hari amatlah lucu. Aku ingin sekali mendekapnya erat-erat dan kami akan menghabiskan hari berpelukan diatas ranjang, tapi itu tidak sehat untuknya yang baru saja keluar dari rumah sakit.
Lagipula Chunji berhak mendapatkan seluruh dunia bukannya terkurung di dalam kamar berdua denganku.
"Hari ini kita akan pergi kencan. Kencan kita yang pertama sesungguhnya." Kataku sambil memasangkan tali sepatunya kencang-kencang agar tidak lepas lalu membuatnya terjatuh dan terluka.
"Kencan? Pertama?" Tanyanya, aku mengulurkan tangan dan menggiringnya keluar dari rumah, berjalan menuju mobil di pekarangan rumah kami yang tengah menunggu sedari tadi.
"Yap, kencan kita yang pertama." Jawabku sambil membukakannya pintu, memastikannya duduk dengan aman setelah memasangkan seatbelt pada kursinya sebelum aku duduk di belakang setir dan menyalakan mesin mobil.
"Tapi kenapa ini yang pertama Byunghun?" Tanyanya saat aku mulai menjalankan mobil ke jalan raya, menuju tempat dimana aku sudah mempersiapkan segalanya untuk kesempurnaan kencan pertama kami ini. "Bukankah kamu bilang kita sudah menikah selama lebih dari 2 bulan? Kenapa ini adalah kencan pertama kita?" Ia begitu penasaran akan alasan mengapa hari ini adalah kencan pertama kami, bukannya kedua, ketiga, atau yang keseribu.
"Karena dulu aku terlalu bodoh untuk tidak mengajakmu kencan." Karena dulu mataku tertutup oleh amarah dan rasa bersalah.
"Oh.." Jawabnya, aku menoleh untuk melihatnya yang tengah murung sambil melihat jalan dari balik jendela. "Aku yang dulu pasti juga sama bodohnya." Ucapnya dengan bibir mengerucut.
"Huh? Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Tanyaku.
Chunji berhenti untuk melihat kearah luar jendela, kini malah menoleh padaku. "Karena meski sudah menghabiskan 2 bulan menikahimu, aku tidak juga mengajakmu kencan. Bukankah kita sama sama bodoh, Byunghun?"
Aku terdiam saat aku menatapnya dan kata-katanya menyesap masuk ke tiap pori-poriku.
"Ya Chunji, kita yang dulu, sama sama bodoh." Karena meski kita saling mencinta, tak seorang pun dari kita berani untuk menggapainya karena alasan yang tidak sepantasnya ada.
Chunji, aku yang sekarang menggenggam erat tanganmu seraya menyusuri bibir pantai dan mendengarkanmu berceloteh tentang burung laut, apakah sudah menjadi Byunghun yang tidak lagi bodoh?
Chunji, aku yang terpaku akan indahnya kamu dan bukannya matahari terbenam di depan mataku ini, pasti terlihat bodoh bukan?
Karena Chunji, untuk sesaat aku lupa bahwa kita telah bersatu dalam pernikahan bukannya masih menjalani mudanya masa masa cinta kita.
Seperti kuncup bunga di pagi musim semi- rasa yang dulu kupikir seharusnya kubunuh- kini berkembang menjadi perasaan yang tidak dapat kukendalikan lagi.
"Byunghun-ah kenapa kamu memandangi ku seperti itu?" Tanyamu sambil merapihkan rambutmu yang tertiup angin pantai dengan liarnya.
Aku meraih wajahmu dalam telapak tanganku, untuk sesaat aku lupa bahwa aku tengah memegang wajahmu dan bukannya sebongkah kesempurnaan. Aku tersenyum lalu sambil mengelus wajahmu lembut aku menyuarakan yang selama ini aku tak dapat kuutarakan tentang apa yang kupikirkan tiap kali aku memandangmu;
"Karena kamu begitu indah, kupikir kamu akan hilang jika satu detik saja mataku lengah memandangmu."
Chunji, wajahmu yang tersipu malu, amat cantik bermandikan semburat matahari sore.
Jika aku boleh meminta, aku ingin Tuhan membekukan waktu sehingga aku memiliki waktu yang lebih lama untuk memandang indah wajahmu di sore ini.
"Ayo kita pulang Chunji, matahari sudah terbenam."
Tangan kita yang terpaut dengan erat sementara pasir menggelitik jemari kaki telanjang kita.
Kamu yang terus mengayunkan genggaman tangan kita yang enggan lepas sedari tadi.
Selamanya, aku tidak akan lupa hari ini, Chunji.
Meski aku lupa ingatan seperti yang kamu alami sekarang, aku bersumpah bahwa hatiku tak akan lupa perasaan yang kualami sekarang ini denganmu.
Karena kepalaku bisa saja terbentur lalu rusak dan lupa.
Tapi hatiku, meski hancur berulang ulang kali sampai mati rasa, ia akan terus ingat, kamu.

Part III

angst, threeshot, chaptered, romance, l.joe/chunji, teen top

Previous post Next post
Up