MAWAR HITAM

Aug 14, 2009 23:29

Dua tahun, tujuh bulan dan delapan belas hari lewat sejak aku melihat wajah itu. Bukan wajah yang penuh rias kepalsuan dan pengkhianatan. Wajah yang dipoles oleh debu dan keringat, yang dulu pernah dekat, begitu dekat denganku.


Baru seminggu kemarin kuterima SMS pertama darinya. “Aku ingin ketemu.” Tidak kubalas. Dua jam kemudian, datang SMS lagi yang menyebutkan hari, tanggal dan tempat. Tidak kubalas juga.

Tapi tentu saja aku datang. Aku pasti datang, meskipun aku harus menghadapi cecaran pertanyaan dari suamiku, keluarganya, dan tentu saja yang paling berat, dari Bagas dan Salsa. Aku hanya bilang, “Mama ada urusan,” dan tidak bilang apa-apa lagi. Aku tidak peduli jika ada yang curiga dan menguntitku ke sini. Aku tidak peduli apa yang akan mereka lakukan nanti. Aku hanya ingin bertemu dia lagi, melihat wajahnya lagi, mendengar suaranya, mencium baunya... meskipun dari jauh. Meskipun tidak menemuinya.

“Mbak yang itu nggak pesen apa-apa dari tadi? Cuma jus jeruk?” bisik kasir kafe pada temannya.

“Iya. Dia bilang, dia mau duduk di sana terus sampai temannya datang. Kalau nggak boleh, dia mau bayar 10 porsi makanan termahal di sini buat duduk-duduk doang,” temannya ganti berbisik.

“Eh, sama kayak yang itu tuh,” bisik si kasir, “dia bilang mau bayar 500 ribu buat duduk di situ.”

“Buat ngapain?”

“Tauk. Dari tadi dia cuma ngeliatin tamu-tamu-“

TOK!

Mereka menoleh padaku. Lalu tersenyum kecut. Sudah saatnya gossip mereka tentang aku dihentikan. Dan sudah saatnya aku beranjak dari balik bangku kasir yang remang ini. Sudah cukup aku bersembunyi di sini, hanya duduk diam dan memandangnya.

Dia menoleh ke arahku. Aku belum cukup dekat dengan tempat duduknya, dan cahaya di tempatku lebih gelap, tapi matanya sudah mengenali aku. Bibirnya pelan-pelan tersenyum.

Aku berhenti. Aku ingin berlari pulang. Pulang kembali ke mas Sentot yang lebih suka bicara pada Harley-nya. Kembali ke Bagas yang lebih patuh pada Play Station. Kembali ke Salsa yang lebih akrab dengan teman khayalannya. Kembali ke ritual makan malam mingguan dengan keluarga besar mas Sentot. Kembali ke obrolan tentang tanah, rumah dan mobil baru yang mereka beli. Kembali ke kehidupanku yang membosankan.

Aku sudah terlalu tua untuk merasakan perut teraduk-aduk hanya karena melihat senyumnya. Aku bukan gadis belasan tahun yang gemetar dan salah tingkah hanya karena berada seruangan dengan dia. Hanya karena ditatap olehnya.

“Asih?”

Aku harus memalingkan muka. Aku tidak sanggup mendengar suaranya memanggil namaku. Suara yang pernah memanggilku ‘kasih’ ketika aku menyibakkan anak-anak rambut yang jatuh ke dahinya.

Aku menarik kursi dan duduk. Jari-jari tangannya yang sawo matang nampak serasi dengan warna meja kafe. Jari-jari yang berkhianat. Jari-jari yang menghidupkan musik yang membodohi. Musik yang meracuni dan mematikan akal. Jari-jari yang…

“Aku sudah was-was. Kukira kau nggak bisa datang.”

Suara itu kembali terdengar. Suara yang dua tahun lebih dibungkam oleh musik bodoh.

“Apa kabar, Asih? Sori, SMS-ku agak mendadak ya. Anak-anak gimana? Nggak rewel kan, ditinggal sehari? Eh… sekarang tinggal di mana, Asih?”

Ijinkan aku untuk menjadi tuli saat ini, Tuhan. Dan ijinkan aku membawa kenangan suara itu selamanya. Ijinkan kenangan suara itu menghapus semua kenangan musik bodoh yang begitu cepat masuk ke telinga dan menggerogoti otak.

“Asih. Kau mau… maafin aku?”

Memaafkan kau? Bisakah memaafkan malaikat yang berdosa?

“Mungkin nggak bisa ya,” katanya lirih, sangat lirih. Aku tidak yakin apakah dia benar-benar bersuara atau itu hanya khayalanku saja.

Apakah Kau mengabulkan permintaanku tadi, Tuhan? Kau menjadikan aku tuli sekarang? Tidak, tidak. Aku tarik kembali doaku. Ijinkan aku mendengar suaranya lagi. Hanya suaranya. Hanya musik yang dimainkannya dua tahun lalu.

“Asih, aku… Aku…”

Syukurlah, aku belum tuli.

“Aku simpan semuanya. Semua mawarmu. Semua pesanmu. Semua tentangmu.”

Aku menyimpan lebih dari itu. Aku simpan semua setiamu dan semua khianatmu.

“Dan aku simpan ini untukmu.”

Dia menggenggam satu kemasan CD dengan kedua tangannya. Lalu dia menariknya ke dada.

“Kami gagal, Asih. Aku gagal. Aku menggagalkan semua harapanmu.”

Menghancurkannya. Itu kata yang lebih tepat.

“Andai aku bisa… “

Jangan bilang ‘andai bisa membalikkan waktu’. Jangan bilang kau ingin menghapus saat kita bertemu. Jangan bilang kau ingin meniadakan saat-saat kau terlelap di dadaku.

“Kalau saja …”

Cukup. Hentikan. Tidak bolehkah aku simpan kenangan saat kau di pelukanku? Pelukan yang hangat hanya darimu. Hanya kenangan itu yang tersisa darimu. Kau mau hapus itu juga? Seperti kau hapus sisi psychedelic-mu dengan bedak, gincu dan musik murahan itu?

Kemasan CD itu dimasukkan ke dalam tas.

“Hei, apa itu?”

Dia cepat menoleh ke wajahku. Mata itu bukan lagi mata yang kukenal dua tahun lalu. Mata itu lebih lelah daripada ketika dia bicara soal musik yang tidak mendatangkan duit. Itukah harga yang kau bayar untuk menjual jiwamu pada setan?

“Oh, ini…” dia mengulurkan kemasan CD itu padaku, “hasil rekaman demo CD.”

Kudekatkan kemasan CD itu ke mataku agar remang lampu kafe gagal mengaburkan tulisannya. Kubaca judulnya satu per satu. Aku kenal semua lagunya. Aku masih ingat beberapa penggal nadanya. Aku masih ingat bagaimana mereka dulu membawakannya. Aku tak pernah lupa.

Tapi ini… menyakitkan. Desain sampulnya, logonya, puisinya, … benar-benar menyakitkan. Kenapa repot-repot membuat semua kesempurnaan ini kalau akhirnya cuma melacurkan diri pada musik bodoh dan menyebarkan racun pada telinga orang? Pengkhianatanmu benar-benar keterlaluan, Maya.

“Pelacur.”

Dia menunduk dalam. Rambut poninya menutup muka, menggesek meja kafe pelan. Tangan siapa yang kini menyentuh rambut itu? Jari siapa yang kau biarkan memilin rambutmu? Pasti si keyboardist-mu itu. Siapa namanya? Alan? Rian? Ah, bukannya dia sudah punya istri dan anak? Tapi demi kamu dia pasti mau meninggalkan istri dan anaknya. Demi kamu semua lelaki pasti mau. Aku pun mau. Hampir.

Tapi perkawinan dan anak adalah harga mati. Meninggalkan mereka adalah mati. Meninggalkanmu adalah mati seribu kali dan dirajam seribu tahun. Kukira kau akan mudah tergantikan bangun pagi, antar jemput anak, arisan ibu-ibu, pesta basa-basi palsu dan ranjang dingin. Kukira kehidupan hampaku akan berjalan lancar seperti sebelumnya, sebelum kita bertemu.

Mas Sentot menganggap aku baik-baik saja. Bagas dan Salsa tumbuh normal. “Aku ibu yang gagal,” kataku padanya. “Bagas tak mau lepas dari Play Station dan Salsa tak mau bicara padaku.” Tapi dia hanya tertawa. Dia bilang ke semua orang, aku adalah ibu yang baik. Dia juga bilang ke semua orang bahwa aku istri yang setia. Aku tiap hari ngebut keluar kota dan tidak ingin kembali. Kadang aku mencari jurang yang memastikan aku takkan kembali. Tapi menjelang jam 11, aku selalu membelokkan setir. Pulang. Menjemput Bagas dan Salsa. Menyuruh mereka makan. Mengantar mereka les atau latihan Pramuka. Dan pada akhirnya selalu pulang. Pulang ke orang-orang yang menganggapku baik-baik saja.

Sampai aku bertemu kau, Maya. Kaulah yang tahu aku tidak baik-baik saja. Kau memang tidak bilang apa-apa, aku juga tak cerita apa-apa. Tapi aku tahu bahwa kau tahu. Kau tahu bahwa aku ingin pergi. Kau tahu bahwa pulang bukan berarti kembali pada cinta, tapi kembali pada rutinitas yang mengikat raga. Memasung jiwa.

Hanya kau yang tahu bahwa aku adalah jiwa yang ingin pergi.

“Aku memang … aku … “

Suara itu bergetar. Itu vibrasi yang tidak perlu, manis. Biar itu jadi bagian gitarmu saja. Atau setidaknya desisan cymbal. Kembalikan suara itu ke geraman lirih dan berputar seperti spiral, lalu meraung keras, melontarkan pendengarnya dari logika musik yang sederhana. Kembalikan pita suaramu dan senar gitarmu ke labirin panjang yang menjungkirbalikkan logika melodi yang dianut telinga-telinga bodoh negeri ini.

“Asih. Aku…” dia mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop tebal. “Aku mau mengembalikan ini.”

Diletakkan amplop coklat itu di meja dan diulurkan padaku.

“Apa ini?”

“Hutangku. Eh…” matanya menatapku. Lampu remang kafe cukup pintar membaca ada air di sana. “Hutang kami.”

Amplop itu tidak dilem. Hanya perlu dibuka sedikit dan terlihatlah beberapa kerat uang seratus ribuan. Dua jariku cukup menghitung berapa kerat uang yang ditampungnya. Jumlah totalnya terasa tidak asing bagiku.

Hutang, katamu?

Dua tahun lebih kita berpisah. Aku masih merasa terikat padamu karena musikmu. Dan karena kita. Setidaknya, kenangan yang tersisa tentang itu. Dan kau kira, yang mengikat kita selama berpisah adalah hutang?

“Kau kira…” tunggu, biarkan aku mengatur nafas dulu. “Kau kira dengan begini, kau lantas tidak pantas disebut pelacur?”

Pantulan lampu kafe turun menelusuri pipinya. Pantulan itu takkan hilang selama basah masih di sana. Aku bisa tawarkan bibir untuk mengeringkannya. Tapi itu dulu. Itu sebelum aku bersumpah akan kembali ke neraka.

Ah ya, kau mengingatkan aku. Kereta malam satu jam lagi tiba. Aku harus bersiap memasrahkan diriku pada kuda besi dan rel tua untuk kembali ke neraka. Tempat aku dikenal sebagai Nyonya Sentot Saptohadi yang berbakti pada suami, sabar dan telaten pada kedua anaknya, sekaligus menjunjung tinggi kehormatan keluarga besar Saptohadi.

Aku harus segera pergi. Kereta tak mau menunggu. Neraka bakal cemburu.

“Asih!”

Tangannya menarik lenganku. Kukibaskan pelan. Sudah. Neraka sudah penuh dengan kenangan tentang sentuhanmu. Kenangan yang semakin membakar setiap kali kudengar suara memanggil “Mama!” atau “Ibu Sentot”.

Tapi dia tidak menyerah. Dia menarik telapak tanganku, menaruh amplop coklat tebal itu di atasnya.

“Apa maksudnya ini? Supaya kau sah untuk melacur?”

Baru kuperhatikan, pantulan lampu kafe menari-nari di kedua pipinya. Sialan. Apa aku harus bilang kalau aku tak bisa tawarkan bibirku sebagai lapnya? Bukan karena aku tak ingin. Aku ingin. Makhluk neraka memang selalu penuh ingin.

“Bu.. bukan. Ini… ini… “ dia menarik tangannya, menutup mukanya dengan itu. Menghalangi makhluk neraka ini dari memandangnya.

Kepalanya yang menunduk bergetar naik turun. Tubuhnya ikut bergetar.

“Aku memang pelacur! Ya Asih, aku pelacur! Aku…”

Kututup mulutnya dengan amplop tebal darinya. Orang-orang sudah mulai melihat kami ketika dia mulai menjeritkan itu. Sialan. Tidak boleh ada sinetron konyol di sini. Apalagi dengan aku dan dia sebagai pemeran utamanya.

“Duduk, Maya.”

Aku lebih suka merengkuh pundakmu dan membawamu ke kursi yang tadi kau duduki. Tapi seribu ingin tak lebih baik dibanding perintah datar itu. Kau pun memilih menurut.

Dan kau memilih menatap lantai kafe daripada menatapku. Baiklah. Jangan manjakan keinginan perempuan yang harus mengejar kereta ke neraka ini.

Ah, aku benar-benar harus pergi, Maya. Tapi mungkin aku harus sampaikan salam perpisahan dulu supaya kau tidak menjerit-jerit dan mengulang adegan sinetron konyol tadi.

“Maya.”

Dia mengangkat wajahnya, memandangku. Oh, Tuhan. Sanggupkah aku berpisah darinya sekarang?

“Sampai kapan kau akan … “ dua mutiara hitam menatapku. Andai aku bisa bawa pulang. Andai keduanya bisa menarikku keluar dari neraka perkawinan.

“Ya, Asih?”

Seribu mawar hitam dan sejuta SMS makian takkan mampu membunuhmu, bahkan setelah jasadmu membusuk dalam tanah. Seribu mawar hitam akan menusukku, sejuta SMS makian akan balik membakarku, dan dua patah katamu menyebutkan namaku akan menyengatku.

Rasa ini tak akan berakhir.  Takkan pernah.

“Kapan kau akan berhenti?”

Dia menatapku bingung. Aku menyorongkan kepalaku. Wangi parfum dan kosmetiknya lembut menyentuh hidungku.

“Kapan kau akan berhenti melacur?” bisikku.

“Setelah semua hutangku lunas,” jawabnya, tanpa berbisik.

“Hutangmu padaku sudah lunas,” aku mengulurkan amplop tebal kembali ke tangannya.

Dia menyorongkan kembali ke tanganku.

“Tidak, Asih. Ini hutang kami berempat.”

“Aku tidak peduli,” kusorongkan balik kepadanya.

“Aku peduli!” Tanganku dipaksanya menggenggam amplop itu.

Maya-ku yang dulu tidak pernah membentak. Ah, Maya. Sanggupkah kau sekarang membentak ajakan masuk ke musik yang membodohi itu? Sanggupkah kau bilang tidak, lalu kembali pada musik psychedelic yang menghidupi jiwamu?

Maya, bukan amplop ini yang ingin kugenggam. Tapi tanganmu. Jari-jari lentikmu. Bukan hanya menggenggam. Aku ingin menelusurinya. Ingin mencari otot-otot mana yang cerdas menekan dan memetik senar gitar. Ingin menyentuh otot mana yang bertanggung jawab atas musik luar biasa yang membebaskan jiwaku.

“Oke. Kuterima. Hutangmu sudah lunas, Maya. Jadi kau akan tinggalkan musik kacangan itu kan?”

“Belum.”

“Belum?”

Berani sekali dia mengkhianatiku dua kali. Mengkhianati aku dan dirinya sendiri.

“Kuliahku belum selesai. Aku harus lulus. Itu hutangku juga,” dia mendesah, “pada orangtua.”

Aku tidak pernah menyukai orangtuanya. Membenci mereka juga tidak. Bahkan saat ini, ketika kehidupan musik dan jiwa Maya bergantung pada mereka.

Maya yang membebani diri dengan apa yang dianggap anak-anak lain adalah haknya. Maya yang memilih membayar untuk apa yang biasanya dianggap gratis. Kenapa, Maya? Karena itu dari keluargamu? Karena itu dari tempat yang ingin kau tinggalkan?

Kita berdua sama. Kita adalah dua jiwa yang hilang, berenang-renang dalam kolam sempit yang sama.* Terasing dari kedangkalan dunia luar. Tersedot dalam pusaran yang kita buat sendiri.

Tapi aku harus keluar dari kolam kita. Dunia kering Ny. Sentot Saptohadi sudah menungguku.

“Kapan kau lulus?”

“Semoga tiga bulan lagi skripsiku selesai. Semoga bisa langsung maju sidang.”

“Dan wisuda.”

“Dan wisuda,” sahutnya. Ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas.

Kau tidak benar-benar ingin jadi sarjana Akuntansi kan? Tapi aku akan senang melihatmu diwisuda. Aku akan merayakan hari kebebasanmu.

“Tiga bulan lagi.”

“Anggap saja empat,” koreksinya.

Empat bulan lagi.

~ o O o ~

Empat bulan lagi adalah kelahiran kembali.

Kucium harum mawar merah di tangan. Yang ini tidak akan kuminta dicat hitam. Yang ini akan kubiarkan merah sampai kereta ini membawaku ke stasiun, tempat mas Sentot menjemputku dengan menahan kantuk. Atau mungkin Pak Arman, sopirnya. Siapapun itu, pasti tak akan ada yang bertanya mengapa aku masih suka memetik mawar liar. Dan tak seorang pun pernah bertanya jika mendengar aku bilang pada penjual bunga, “Tolong nanti dicat hitam ya.”

Neraka adalah tempat yang sepi dari pertanyaan.

Lewat ekor mataku, kulihat pemuda di sampingku menatap mawar di tanganku. Apakah dia juga menunggu empat bulan lagi untuk mengirim mawar merah pada kekasih?

Empat bulan lagi adalah saat menagih janji.

Jika empat bulan lagi dia ingkar janji, biarkan warna hitam yang bicara. Mawar hitam. Cinta ini tak akan padam, Maya. Ia akan terus membayangi hari-harimu, memaksa jari-jarimu memainkan musik yang menghidupi jiwamu.

Jika empat bulan lagi janjimu terpenuhi, akan kubiarkan merah menitipkan gairah. Hidupku di sini tak perlu itu. Sampai nanti perayaan kawin perak, kawin emas dan cucu-cucuku menghitung uban di kepalaku, aku akan menitipkan itu padamu. Aku memang sudah lelah. Tapi jika jiwaku kosong, puluhan tahun pasti terasa ringan kan?

Kita tak akan bertemu lagi, Maya. Tapi aku akan terus menemukanmu.

~ selesai ~

fic, psychedelic, shoujo-ai, space rock

Previous post Next post
Up