Penpik oh penpik...
Judul : Yuuki (Courage?)
Author : saya sendiri
Pairing : SakuMoto
Genre : AU, Fantasy-War, Romance, Angst
Rating : PG deh
Type : One Shot
Disclaimer : Arashi masih di bawah Johnny and Associates, yg saya punya cuma ceritanya ajah..
Nb : cerita ini sebenernya uda saya bikin sebelum saya kenal pairing, aslinya ShoxOC. Abis ngedengerin Ai wo Utaou, saya keinget ini fic en terinspirasi buat nyelesein critanya. Akhirnya di remake jdi fic sakumoto buat kepuasan batin saya sendiri XDDD
Warning : Uke!Sho, ke OOT'an karakter dan kegejean cerita
“Tak akan pernah kumaafkan!”
Jun yang baru saja kembali dari tugas patroli mengumpat sambil menendang kaleng makanan yang sudah kosong hingga mengenai sisi dinding di seberangnya, menimbulkan suara keras.
“Ahhh…mou! Bisakah kau biarkan aku tidur sebentar lagi!” , Aiba berteriak dari balik jaket yang ia gunakan sebagai selimut tidur.
Jun balas mendelik ke arah Aiba yang sudah memejamkan matanya kembali di atas sofa tua, di pojok ruangan sebuah rumah yang sudah ditinggalkan pemiliknya.
“Jun..okaeri. Lebih baik kau istirahat sekarang. Semalaman kau berjaga.”
Seseorang datang dari arah ruangan lain dan menyentuh pundaknya pelan.
Jun menghela nafas, “Kesabaranku mulai habis, Sho… Seluruh penjuru benar-benar seperti kota mati. Ini wilayah ketiga yang kita temukan dalam keadaan seperti ini.”, ucapnya kemudian sambil mengikuti sahabatnya, mereka berdua duduk bersandar di dinding.
Ditatapnya sniper yang berada di genggaman tangan kanannya, kemudian Jun bergumam pelan, “Suatu saat semua pengkhianat negara itu pasti akan kubunuh, termasuk ‘dia’.”
Sho menoleh, menatap Jun sedih, mengerti siapa yang dimaksud dengan ‘dia’. Pemandangan suram ketika pertama kali mereka memasuki desa ini kembali terlintas. Meski beberapa bangunan masih utuh tetapi tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Ladang dan peternakan dibiarkan terbengkalai, beberapa tulang belulang manusia akibat pembantaian menjadi pemandangan nyata.
Mengerikan.
Tetapi membayangkan dirinya menyaksikan tangan Jun berlumuran darah ayahnya sendiri, ia benar-benar tak tega.
”Tapi…dia masih ayahmu…”
“Hmmpht..”, Jun mendengus dan menyunggingkan senyum kecut.
“Ayah? Jangan bercanda. Aku sudah tidak pernah menganggapnya ayah sejak dia melakukan pengkhianatan terhadap kerajaan, membelot ke sisi Jendral Matsuoka sialan itu. Sekarang dia mengincar kita demi kekuasaan. Dia bukan lagi anggota kerajaan yang terhormat, Sho… dia sudah bukan orang yang pernah kita kenal. Dia hanya seorang penjahat yang mengkhianati ayahmu-sang Raja. Ingat itu! “
“Yang ingin dihabisi Jendral Matsuoka hanya aku, Jun. Aku tidak suka melihatmu dan yang lain terluka, lebih baik kita berhenti saja melakukan pelarian ini, serahkan saja aku padanya… “
“Ada apa denganmu?! Kenapa hatimu menjadi selemah ini…”
“Benar, aku memang lemah, bahkan sekarang aku tak bisa menggunakan kekuatanku sedikitpun! Aku tidak mampu melakukan apapun, aku tidak berguna, kenapa aku tidak mati saja dalam insiden itu.”, ungkap Sho tanpa mempedulikan ekspresi apa yang akan muncul di wajah sahabatnya dari kecil itu setelah ucapannya selesai.
Tiba-tiba Jun mencengkeram kerah depan baju Sho, dan menatap tajam ke dalam mata besar inosen dari orang yang selalu ingin dilindunginya, yang selalu mampu membuatnya bertahan dari penderitaan apapun selama ini. Tatapan itu bercampur antara marah, frustasi, dan kesedihan yang hampir tak terbendung lagi. Nafasnya tidak beraturan karena menahan emosi.
Ditariknya Sho keluar dari bangunan itu. Terlihat matahari baru keluar dari ufuk, seberkas cahaya samar menerpa rambut Sho, membuatnya terlihat kecoklatan.
“Siapa yang pernah mengajarimu untuk menyerah, Yang Mulia, kau putra mahkota! Dan seharusnya Raja yang sah sekarang! Harapan kami! Matahari kami! Kami setia menunggumu untuk bangkit dan terbit, mengusir kegelapan. Aku dan mereka rela mengorbankan nyawanya untukmu, ini sebuah kehormatan.”
Sho memalingkan wajahnya, matanya berkaca-kaca.
“Lihat aku! Apa kau pernah tahu bahwa setiap kali aku bangun dari mimpi buruk, saat itu juga aku berlari, mencarimu untuk memastikan bahwa kau masih bernafas, Sho! Memastikan bahwa itu hanya sekedar mimpi.”, teriak Jun tepat di hadapan muka sang Pangeran, suaranya agak pecah.
Sho menampik tangan Jun yang sedikit bergetar lepas dari bajunya, “Kalau maksudmu bagaimana rasanya takut kehilangan anggota keluarga lagi, aku paling tahu dari siapapun di dunia ini! Karena aku di sana! Menyaksikan sendiri ketika kedua orang tuaku pergi dari hadapanku untuk selamanya sementara diriku tak mampu berbuat apapun. “
Jun terdiam, mengerti bahwa pembicaraan ini memang akan membuka memori tentang kejadian mengerikan itu lagi.
“Kalau kau paling tahu, kenapa kau tidak pernah bersyukur bahwa setidaknya kau masih hidup untuk membalaskan dendam mereka! Mengambil kembali kerajaan.”
“Aku tidak bisa… aku sekarang hanyalah hanya seseorang yang lemah, aku hanya beban. Aku tidak yakin bisa bertahan sampai kita-ini sia-sia, Jun..sungguh….”
“Beban? Kau benar-benar membuatku kesal, Yang Mulia…”
Jun tiba-tiba mengangkat tangannya, tepat di depan wajah Sho.
Sho agak terkejut melihatnya, apakah Jun berniat memukulnya? Karena tidak pernah sekalipun dia melakukan itu padanya. Tetapi Sho tetap diam, menunggu. Sebersit rasa takut yang muncul membuatnya memejamkan mata.
Tanpa disangka tangan itu kemudian perlahan turun, menyentuh pipi Sho dengan lembut.
“Kau tahu aku tak akan pernah menyakitimu.”.
Sho membuka matanya perlahan. Melihat kedua mata berwarna coklat memandangnya dengan penuh sayang dan perhatian seperti yang selalu dilakukannya.
“Kau berhak memukulku…”
“Sho, tidak ada orang lain yang bisa menggantikanmu untuk menjadi Raja. Dan bagiku, hanya dengan kehadiranmu di sisiku sudah cukup, karena hal itulah yang selalu memberikan keberanian untukku.”
“Tapi aku sudah merasa sangat lelah, Jun…”.
Seketika ditariknya tubuh Sho erat ke dalam dekapannya.
“Kalau begitu bersandarlah padaku. Aku berjanji akan selalu melindungimu, aku berjanji kau akan bertahan sampai racun itu lepas darimu, dan bersama kita mengembalikan kerajaan ke tanganmu. Jadi, aku akan benar-benar marah kalau kau sampai menyerah… karena aku sendiri tidak pernah berfikir untuk menyerah.”
Jun melepaskan pelukannya, kali ini tatapannya ke arah lain, menghindari Sho. Mood-nya terlanjur buruk.
“Pikirkan kata-kataku baik-baik, Sho.”, ucap Jun dingin sembari melangkah pergi.
“Ah..sudah kubilang jangan berisik, kalian ini..”, Aiba muncul dari balik pintu sambil tersenyum prihatin, lalu menghela nafas.
“Kau baik-baik saja?”, tanyanya melihat Sho yang terdiam, termangu melihat punggung Jun perlahan menghilang dari pandangannya.
“Iya, aku baik-baik saja, Aiba-san.”, ucap Sho dengan senyum yang dipaksakan.
*
“Ahh..di mana Nino? Lagi-lagi dia tidak segera muncul di sini..sungguh tidak bisa diandalkan.”
Aiba mulai mengiris beberapa bahan untuk dibuat makan malam sambil mengoceh kesal. Suara ocehan Aiba beradu dengan pisau yang ia gunakan.
Kali ini mereka berdua berada dalam sebuah ruangan di sisi lain bangunan, bekas dapur yang masih bisa digunakan. Untuk pemberentian kali ini memang tugas Aiba dan Nino yang memasak.
Sho memulai percakapan, “Kalian seharusnya memasukkanku dalam pembagian tugas memasak. Setidaknya itu yang bisa kulakukan.”
“Hmm… baiklah-ah kau baik-baik saja kan, Sho?”, lanjutnya sambil mengamati ekspresi Sho yang murung.
“Entah sampai kapan kita bisa menghindari mereka, dengan gampang mereka bisa mengikuti jejak kelompok ini.”, ungkap Sho.
“Jangan khawatir, di hutan 3 hari lalu itu kau lihat kami bisa mengalahkan mereka dengan mudah kan?”, Aiba menimpali sambil mulai memasukkan hasil potongannya ke dalam panci besar.
“Tapi..bagaimana kalau pasukan yang menemukan kita jumlahnya lebih besar dan lebih tangguh?”, Sho membantu Aiba mengaduk isi panci lambat-lambat dengan begitu kaku. Sementara Aiba berusaha menahan geli melihatnya.
“Jadi kau pikir kemenangan kemarin hanya faktor keberuntungan?”, Aiba menatap Sho tak percaya.
“Bukan itu maksudku. Aku tahu kehebatan kalian semua hanya saja… kau mengerti kan? Aku seperti bom waktu, semua orang dalam kelompok ini akan ikut mati hanya karena satu orang, aku. Dan kau jelas paham mengerikannya kekuasaan Jendral Matsuoka.”
“Kami sudah siap dengan resikonya ketika ditugaskan menyelamatkanmu. Tentu, aku pun tahu dengan sangat jelas mengerikannya kekuasaan orang itu. Bagaimana tidak, gara-gara dia aku tidak punya kampung halaman lagi sekarang… Dari 4 orang anggota keluarga kami, hanya aku yang selamat. Tetapi kau adalah satu-satunya harapan kami. Aku yakin, kita akan berhasil mengobatimu sebelum gerhana matahari, menyembuhkan dan mengembalikan kekuatanmu. “, Aiba tersenyum.
Dari semua orang di tempat ini, Aiba merupakan sosok yang paling ceria, namun Sho tahu, seperti yang lain mereka semua menyimpan duka yang mendalam.
“Aiba-san…”
“Hai?”
“Aku berharap kalian tidak menyimpan dendam pada Jun… kau tahu dia kan- “
“Kau jelas-jelas mendengar apa yang dikatakan Jun-kun kan tadi. Kalau dia bilang orang itu bukan ayahnya lagi, itu sudah cukup. Lagipula, dosa orang tua kan tidak diturunkan kepada anaknya. Sepanjang ia ada di sisi kami-hmm apa selama ini kau mengkhawatirkan itu?”
Sho menunduk, sedikit merasa bersalah karena kata-katanya.
“Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu, Aiba-san. Sejak dulu, dia selalu menjadi salah satu orang terpenting dalam hidupku. Dia juga telah banyak menderita. Walaupun ia susah jujur dengan apa yang dirasakannya, aku tahu ia memendam banyak beban dan tekanan. Kalau bisa aku ingin melindunginya tapi aku merasa selalu menjadi bebannya-beban kalian.”
Aiba menghela nafas,”Kau juga Sho-chan. Kau selalu mengkhawatirkan orang lain daripada dirimu sendiri. Kau akan menjadi raja yang baik. Dan jelas-jelas kau mendengar bahwa kehadiranmu sudah cukup untuknya kan Sho-chan…”
“Tapi…”
Tiba-tiba Aiba tersenyum dan mengangguk,”Yup, aku mengerti. Tenang saja, walaupun sifatnya sering kali menyebalkan, Jun-kun juga telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, tak kan kubiarkan ia terluka sehingga membuatmu bersedih-”
“Dan jangan remehkan kami. Kami tidak selemah yang kau kira.”, seorang pria bertubuh agak kecil dengan pedang di punggungnya, pistol di kedua sisi pinggangnya, yang selalu memasang ekspresi penuh dengan kepercayaan diri namun santai tiba-tiba memasuki dapur dan memotong perkataan Aiba.
“Nino, dari mana saja kau?!”, bentak Aiba yang kemudian mendaratkan pukulan di kepalanya.
“ Ada apa kau ini…”, balas Nino sambil menatap tanpa dosa kepada Aiba.
“Kenapa kau menatapku begitu?! Hari ini giliranmu kan!”, Aiba mendengus kesal.
“Hai hai… aku akan mengambil tambahan kayu bakar.”, ucap Nino sambil beranjak pergi lagi.
“Eh?! Dasar…”
“Hoey, Aiba, aku ada perlu denganmu!”
“Ah, panjang umur, yang dibicarakan-”
Sho langsung menyikut Aiba.
Setelah Nino pergi, Jun tiba-tiba muncul dari balik pintu. Mata Sho dan Jun bertatapan sekilas, aura canggung terselip di antara mereka mengingat kejadian tadi pagi.
Sho menundukkan kepalanya ke arah panci, dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk masakan.
“Seperti biasa sikapmu selalu jelek. Ada apa?”, seru Aiba.
“Ck, aku butuh bantuanmu nanti. Kendaraan sialan itu tidak mau menurutiku lagi.”, ungkap Jun sambil tiba-tiba menarik tangan Sho ke arahnya-membuatnya terkejut.
“Kau seharusnya bersikap lebih lembut kepada Night Fury! Dan harusnya bukan Aiba tapi Aiba-kun! Aku lebih tua!”, Aiba berteriak ke arah punggung Jun yang sudah melengos pergi.
“Urusai!”, balas Jun.
“Dan kenapa kau membawa Sho-chan ku? Dia hanya membantuku memasak..”, teriak Aiba kembali.
“Siapa yang Sho-chan mu?!!”, tatap Jun kesal dari kejauhan.
“Huh! Aku tidak pernah bisa merasa akur dengan orang ini.”, ujar Aiba sambil mengambil alih adukan yang tadi dipegang Sho sambil cemberut.
*
Setelah berhenti selama 1 hari, mereka berlima akan melanjutkan perjalanan kembali malam ini. Menuju Bukit Merah-markas besar kaum pemberontak yang mendukung kembalinya kekuasaan pewaris tahta yang sah, Pangeran Sakurai Sho. Di mana di sana juga terdapat penangkal yang bisa menyembuhkan Sho dari racun yang berada di dalam tubuhnya.
Perjalanan yang mereka lakukan tidak boleh terburu-buru, tetapi tidak boleh terlalu lambat karena tubuh Sho yang semakin lama semakin lemah. Biasanya mereka melalui hutan atau desa yang sudah terbengkalai karena banyaknya penjagaan pasukan Jendral Matsuoka di dalam kota. Dia merupakan sepupu dari Raja Sakurai terdahulu, yang kini telah mengambil alih kekuasaan, dan memerintah dengan semena-mena.
Makan malam sudah selesai, mereka semua bersiap melanjutkan perjalanan. Udara semakin dingin, dan angin malam mulai bertiup.
“Pakai ini.”, ucap Jun sambil memakaikan syal di leher Sho dengan intonasi datar.
“Kau masih kesal denganku ya?”
Sho memperhatikan wajah Jun di hadapannya.
“Kau dan aku akan menggunakan jalur udara.”, ujar Jun mengalihkan pembicaraan.
“Eh? Ki-kita akan terbang?! Kenapa? Biasanya kita di darat.”, wajah Sho berubah memelas kini.
Jun tiba-tiba tertawa. “Untuk malam ini lebih aman bagimu menggunakan jalan udara menurut Captain. Aku tahu kau takut ketinggian, tapi kau akan baik-baik saja, namamu Sho kan..”
“Yeah…”, raut muka Sho bertambah pasrah, tetapi dalam hati ia lega melihat tawa Jun.
“Lagipula kau itu kan akrab dengan naga itu.”
“Aku suka Night Fury, tapi aku tidak suka terbang.”
“Tenang saja aku kan bersamamu, aku tidak akan membiarkanmu jatuh.”.
Mendengar kata jatuh, Sho menelan ludah, bergidik ngeri. “Awas kalau kau sampai melepaskanku di atas sana, Jun…”
Jun menepuk pelan kepala Sho, “Aku berjanji akan memegangmu erat dan tak akan pernah kulepas. Bukankah itu yang selalu kulakukan?”.
“Eh..”
Kemudian dikecupnya kening Sho. “Maaf, aku membentakmu kemarin..”
Sho terpaku. Semburat warna merah muda terlihat di pipinya.
Ia selalu menganggap Jun bagian dari keluarganya, tetapi di saat-saat tertentu apa yang dikatakan dan dilakukan Jun membuat jantungnya berdetak dua kali lipat.
Suara dehaman terdengar dari pintu.
“Maaf mengganggu waktu pacaran kalian, tapi yang lain sudah menunggu di luar..”, ucap Nino dengan senyum usil di sudut bibirnya.
Jun melangkah ke luar sambil memukul kepala Nino keras.
“Kau memang tidak bisa diajak bercanda…”, ungkap Nino cemberut.
Sho berdiri bersama Nino dan Captain Ohno, menunggu Jun yang berusaha mengubah mood kendaraan yang biasa mereka gunakan untuk berpatroli, Night Fury. Seekor naga berwarna hitam, yang mampu mengeluarkan api berwarna biru terang.
Yang lain selalu menganggap naga ini lucu. Tetapi tidak dengan… Jun. Begitu pula sebaliknya, naga itu tidak pernah sekalipun menunjukkan rasa suka terhadapnya.
Sho terkikik geli diam-diam melihat betapa putus asanya Jun ketika berusaha menangani naga itu.
Aiba yang mengajarinya dengan sabar berkali-kali mengucapkan kata-kata semacam ‘Sudah berapa kali kuajarkan?’ atau ‘Kau kan sudah beberapa kali menungganginya.’
Jun yang biasanya selalu sempurna mengerjakan apapun, hanya bisa diam sambil menahan kesal.
“Semoga selamat dalam perjalanan Sho-chan… sepertinya Jun tidak juga bisa akrab dengan Night Fury..”, seru Nino dengan muka serius.
Captain memukul kepala Nino keras tanpa mengubah ekspresinya yang seperti orang mengantuk itu.
“Aduh! Kenapa semua orang memukulku hari ini…”, ujar Nino sambil mengelus kepalanya.
Sho mendekati Jun yang sudah berhasil ‘berkompromi’ dengan Night Fury. Dibelainya kepala naga itu lembut, kemudian ia berbicara dengan sopan.
“Selamat malam, Night-chan, semoga kau tidak keberatan aku menaiki punggungmu malam ini. Kita tidak pernah terbang bersama, aku sebenarnya sedikit takut.”
Night Fury mengeluarkan erangan khas naga, tetapi dengan nada yang ramah. Kemudian mendesalkan ujung kepalanya pelan ke tubuh Sho, seolah ingin menyampaikan kata-kata agar Sho tak perlu khawatir, mereka akan terbang dengan aman.
“Sikapmu berbeda sekali…”, ujar Jun sinis ke arah naga itu.
Sho menaiki punggung Night Fury disusul Jun. Entah kenapa ketakutannya berganti rasa gugup ketika dirasakannya kehangatan tubuh Jun, tangan kanannya mendekap perut Sho dari belakang, sementara tangan kirinya memegang kekang.
“Umm.. Jun, lebih baik kedua tanganmu memegang kekang, aku baik-baik saja.”
“Kau rileks saja, Sho, satu tangan tidak masalah. Aku sudah terbiasa terbang, walaupun dengan’nya’ memang sedikit tidak akrab.”
Suara Jun yang tepat berada di sebelah telinganya, nafasnya yang mengenai kulit leher Sho membuat pangeran itu merinding.
Jantung Sho kembali berdetak sangat cepat. Ia bersyukur Jun mungkin mengira dirinya hanya gugup karena takut.
“Night Fury naga yang bertanggung jawab, dia akan tetap melakukan tugasnya dengan baik, dan tidak terpengaruh perasaan. Kau akan baik-baik saja, Sho-chan, meski Night-chan tidak suka Jun.”, ucap Aiba bangga-yang disambut dengan kikik Nino, berusaha menahan geli, dan Jun yang memutar kedua matanya.
“A-aku percaya itu, Aiba-san.”, balas Sho berusaha tersenyum.
Jun, Sho, dan Aiba yang akan menggunakan jalan udara, karena itu lebih cepat dan aman. Di langit malam yang gelap, Night Fury serta naga milik Aiba yang lain akan sulit terlacak.
Captain yang seorang ninja akan menggunakan kemampuannya, menjadi tombak perjalanan mereka, memastikan tidak ada musuh menghadang dalam perjalanan.
Sementara Nino, seorang ahli senjata dan elektronik berada di paling belakang dengan kendaraannya memastikan tidak ada yang mengikuti.
Bukit Merah yang sudah terlihat di depan mata, memperbesar harapan mereka.
*
Jun mendaratkan Night Fury dengan panik. Bersembunyi di balik pepohonan hutan lebat, berhasil lolos dari pasukan yang tiba-tiba muncul dan menyerang. Kelompok terpencar, Jun tidak tahu bagaimana keadaan Aiba yang tiba-tiba saja sudah tidak di lagi di dekatnya, mungkin terkepung pasukan di sisi lain. Ia tidak bisa menghubungi Captain dan Nino.
Alat komunikasi mereka tidak berfungsi. Musuh berhasil mengetahui kelemahan mereka dan menggunakan gelombang elektromagnet untuk mematikan sistem komunikasi.
“Sho…”, ucap Jun sambil menyandarkan Sho di tubuh Night Fury yang duduk menekukkan keempat kakinya di atas tanah. Diperiksanya keadaan Sho yang malah tiba-tiba memburuk.
Nafas Sho tersengal-sengal, wajahnya pucat, dan ia sempat memuntahkan darah sebelum mereka mendarat, menodai syal, pakaiannya serta lengan pakaian Jun.
“Tinggal 4 hari sebelum gerhana matahari…”, ucap Sho lemah.
“Jangan mengatakan apapun saat ini. Kita akan berhasil sampai di sana, percaya padaku.”.
Sho mengangkat tangan kanannya ke udara.
“Apa yang kau lakukan, Sho?! Mencoba mengeluarkan kekuatanmu sama saja bunuh diri!”, Jun memegang lengan Sho, menariknya turun.
“Kekuatanku sudah tidak ada yang tersisa sama sekali, dan Jendral Matsuoka tahu aku berada di sini, Jun. Aku tahu dia bisa merasakan kehadiranku sekarang. Tinggalkan aku di sini, aku tidak mau melihatmu mati, tidak ada yang boleh mati lagi di depanku-”
“Tidak akan ada yang mati!”
Suara ledakan terdengar di dekat mereka.
“Sho! Sho.. lihat aku, kau harus kuat demi negeri ini… kembalilah seperti Sho yang selama ini kukenal. Sho yang kuat dan tak kenal menyerah.”-Jun menghela nafas- “Dan dengarkan untuk kesekian kalinya, aku tidak akan meninggalkanmu! Bukan karena aku tidak mau tetapi karena aku tidak bisa. Kalau kau menyuruhku pergi dari sisimu itu sama saja dengan membunuhku. Aku tidak bisa hidup tanpamu, kau kekuatanku, kau alasanku untuk hidup, kau nyawaku. Aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul, aku… mencintaimu, bukan seperti ikatan saudara, tetapi sebagai manusia seutuhnya. Aku tak akan bisa kalau harus kehilanganmu.”.
Sho yang masih terkejut dengan pernyataan cinta yang tiba-tiba, menyadari sebutir air mata mengalir di pipi Jun setelah ia mengucapkan semua kata-kata itu. Jun jarang memperlihatkan air matanya. Terakhir kali ia melihatnya menangis adalah saat Jun menemukannya dalam keadaan hidup saat Jendral Matsuoka menghabisi keluarga kerajaan. Sho mengarahkan jemarinya untuk menghapusnya. Ia menyadari betapa hatinya sakit melihat pria di hadapannya itu menangis, apalagi Jun menangis untuknya.
“Jun…”
Air mata Sho ikut menetes dari pelupuknya.
Sang pangeran hanya bisa menatap wajah tampan sahabatnya itu sendu, tak mampu berkata. Kalau saja Jun menyatakan cinta padanya pada hari-hari mereka yang normal, mungkin wajahnya akan merona merah, dan dengan segera ia akan mengatakan hal yang sama dengan wajah malu-malu.
“Terima kasih, Jun…”
‘Aku juga mencintaimu, aku juga tak ingin kehilanganmu. Akan kukatakan semua perasaanku setelah semua ini selesai.’, ungkap Sho dalam hati.
Kata-kata Jun membuatnya menyadari sesuatu, hal yang seharusnya dilakukan seorang putra mahkota. Ia tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan dan cinta yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya, rakyatnya, teman-temannya, dan… Jun.
Tanpa disangka Sho berusaha berdiri dengan sisa-sisa tenaganya, bertopang pada tubuh Night Fury.
“Panglima Pasukan Barat, Matsumoto Jun, aku sebagai Putra Mahkota kerajaan ARASHI, membutuhkan kekuatanmu untuk membantuku mencapai Bukit Merah, apakah kau bersedia? ”, seru Sho dengan suara tegas, sedikit serak karena kondisinya.
Jun termangu sesaat memandang Sho, kemudian dengan sigap merubah posisinya, berlutut ke arah sang pangeran.
“Dengan senang hati, Yang Mulia…”
***
Jun berlari cepat diantara pepohonan dalam hutan yang lebat itu dengan Sho yang berpegangan erat pada punggungnya. Hanya secercah cahaya bulan yang berhasil menerobos dari sela-sela dedaunan dan dahan yang menerangi jalan mereka. Dengan mempertimbangkan jarak yang sudah dekat, serta banyaknya pasukan di udara, Jun memutuskan melepas Night Fury.
“Bertahanlah, Sho, sedikit lagi.”, ucap Jun yang merasa nafas Sho bertambah berat dan tersengal.
Suara dentuman pun terdengar mengikuti dari belakang. Musuh pun sudah diambang batas kesabaran, tidak peduli walaupun harus dengan cara yang brutal, yang penting bisa menghancurkan target. Mencegah Jun dan Sho berhasil memasuki Bukit Merah.
“Maaf, Jun, aku menodai pakaianmu lagi…”, balas Sho dengan lemah.
“Sh-.”, Jun melirik ke arah pundaknya sedetik untuk mendapati cairan-yang ia sadari itu darah, mengalir terus dari hidung Sho, merembes ke pakaiannya. Rasa takut perlahan menyusup ke dalam dadanya membuatnya menghentikan kata-katanya yang akan keluar dari bibirnya dan memusatkan konsentrasinya untuk menambah kecepatan larinya.
Jun mengumpat dalam hati, berharap ia bisa lari melebihi dari ini. Tetapi ini sudah batasnya sebagai manusia bagaimanapun kerasnya ia berlatih selama ini.
Kemudian…
Akhirnya sebuah tembok gerbang raksasa berwarna merah terlihat di depan mata keduanya.
“Kita sampai Sho, itu ger-”
Jun dengan sigap melompat ke samping untuk menghindari sebuah gumpalan cahaya berwarna perak yang membuncahkan sesuatu seperti listrik datang dengan cepat ke arah mereka.
Mata Jun membulat menyaksikan seseorang berjubah hitam yang kini berada di hadapannya, sebuah bekas luka di pipi terlihat, seolah menyesuaikan dengan karakternya yang kejam.
“Kau! Matsuoka sialan…”
“Jaga ucapanmu Jun!”, ucap satu pria tua lain yang berdiri di samping Jendral Matsuoka, membuat Jun menggertakkan giginya.
“Aku tidak berbicara denganmu! Kau juga pengkhianat…”, balas Jun ke arah sang pria tua-seseorang yang sudah tak akan lagi ia sebut ‘Ayah’.
“Kau-”
Matsuoka menaikkan satu tangannya yang membuat ucapan Matsumoto senior itu terhenti.
“Aku akan memaafkanmu dan menerimamu menjadi bawahanku dengan senang hati seperti ayahmu kalau kau mau menyerahkan pangeran itu dengan sukarela sekarang, Matsumoto Jun…”.
Jun hanya mendengus.
“Di dalam mimpi terindahmu pun itu tidak akan pernah kulakukan, Jendral arogan!”, ucapnya ketus sambil melirik ke arah gerbang raksasa.
“Ahh… kau pikir masih memiliki peluang untuk kabur dariku dan memasuki gerbang itu? Sayang sekali, walaupun sudah sedekat ini kalian berdua tak akan punya kesempatan sama sekali. Kalian berdua akan mati di sini, kalian sudah terkepung.”.
Angin tiba-tiba terhembus dari atas mereka, beberapa suara kepakan sayap terdengar. Benda-benda asing berbentuk bola kecil berjatuhan lalu mengeluarkan asap tebal begitu menyentuh tanah.
“Maaf kami telat.”
Jun mengenali suara dari sosok yang perlahan muncul di dekatnya.
“Captain!”
“Cepatlah masuk ke dalam gerbang. Jangan khawatir, kami berhasil memanggil bantuan ke para pemberontak di Bukit Merah. Ini akan menyibukkan mereka beberapa waktu.”
Jun menganganggukkan kepalanya dan bergegas berlari, memasuki gerbang dengan membawa serta Sho dalam punggungnya yang sepertinya sudah terkulai lemah, tak sadarkan diri.
*
“Tidak..tidak! Sho, kau tidak boleh mati!”.
“Tenanglah, Matsumoto-san!”, ucap Inagaki-san-ahli medis di markas Bukit Merah sambil memeriksa tubuh Sho.
Jun membelalakkan kedua matanya menatap tak percaya pada sosok pria yang terbaring tak bergerak di hadapannya, pucat dan tak bernafas.
Tak bernafas.
Sho tidak bernafas sesaat sebelum Jun berhasil membaringkannya di sini. Apa ia sudah terlambat?
Air mata menggenang di pelupuk mata Jun, berdiri mematung di antara para petugas medis lain yang berlalu lalang di sekitarnya. Tidak ada hal lain yang bisa ia perhatikan kecuali Sho, tidak ada suara lain yang bisa ia dengar, semuanya terasa lengang baginya dengan waktu yang seakan berjalan dengan sangat lambat.
*
“Bagaimana keadaannya?”
“Pangeran masih bisa bertahan hanya saja…. racun itu sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya, sekarang dia hanya bisa bernafas dengan satu paru-paru kanannya.” ,ucap Inagaki-san sambil menatap tubuh sang pangeran dengan prihatin.
“Ha-hanya saja?!”, --Jun mencengkeram kerah Inagaki-san- “Kalian bilang di tempat ini ada penawar racunnya! Sembuhkan Sho!”
“Bisakah anda bersikap lebih sopan, Matsumoto-san. Kami juga sama khawatirnya denganmu.”, ucap seseorang yang tiba-tiba masuk. Wajahnya tetap tampan dan berkharisma di usianya yang hampir setengah abad, pemimpin pemberontakan di Bukit Merah sekaligus adik dari Sang Ratu, Higashiyama.
“Higashiyama-san…”, ucap Jun menoleh ke arah datangnya suara.
“Biasanya untuk menawarkan racun kita harus membuat orang itu meminum air dari mata air Kehidupan.”
“Tunggu apa lagi, kenapa kita tidak melakukannya sekarang juga?”, timpal Jun mencoba meredam kekesalannya.
Higashiyama memandang Jun sesaat sebelum berkata,”Kalau begitu ikut aku Matsumoto-san…”
--
Jun mengikuti Higashiyama masuk ke dalam sebuah ruangan-lebih menyerupai gua dengan dinding batu yang penuh dengan pahatan, dan di tengahnya persis sebuah cekungan cukup besar terlihat.
“Kolam mata air Kehidupan.”, ungkap Higashiyama sambil mengitari pinggir cekungan itu. “Ini adalah warisan klan kami, setelah kakakku-sang Ratu meninggal air Kehidupan berhenti mengalir.”
Dikerutkan kening Jun sambil memandang ke arah Higashiyama, “Apa maksud anda, Higashiyama-san?”
“Kakakku merupakan ‘Penjaga’ dari klan Bukit Merah ini. Harus ada ‘Penjaga’ agar mata air Kehidupan bisa tetap mengalir. Kehilangan ‘Penjaga’ juga berkaitan dengan semakin melemahnya pelindung tempat ini. Hanya tinggal menunggu waktu untuk melihat Jendral Matsuoka berhasil menghancurkan pelindung dan meringsek masuk.”
“Anda kan adik dari mendiang Ratu, seharusnya-”
“Tidak bisa. Aku bukan pewaris. Harus Sho yang melakukannya.”
“Kenap-”, ucap Jun yang sudah benar-benar tidak sabar karena ini menyangkut nyawa Sho.
“Dengar baik-baik, tetaplah tenang, mungkin kau akan benar-benar terkejut atas apa yang akan kujelaskan nanti, Matsumoto-san…”
Jun memicingkan matanya ke arah Higashiyama, tiba-tiba perasaan tidak enak muncul.
---
“Tidak! Ini gila-kami berusaha membawanya kemari untuk menyelamatkan hidupnya-“
“Aku mengerti, tapi ini satu-satunya cara…”
“Dengan membunuhnya?!! Ini tidak masuk akal!”, teriak Jun dengan frustasi.
Higashiyama menghela nafas, “Kita hanya membuatnya ‘lahir kembali’…”
“Bagaimana kalau ini tidak berhasil..”, ucap Jun dengan nada lelah.
“Maka semuanya akan tamat.” -Higashiyama menepuk bahu Jun- “Matsumoto-san… takdir dan ikatan kalian yang kuat yang telah membawa kalian kemari. Kau harus percaya sekali lagi, percaya pada dirimu sendiri dan pangeran.”.
Jun memejamkan mata, saat ini ia tidak bisa berfikir jernih sama sekali.
--
Jun membelai lembut pipi Sho yang kini tampak sangat pucat tanpa rona. Dengan dahi yang berkerut menahan sakit ia terbaring lemah.
“-setelah sang Ratu tewa,s secara otomatis kekuatan ‘Penjaga’ terwariskan kepada Pangeran. Hal itu lah yang menjelaskan kenapa ia untuk sementara waktu dapat bertahan hidup dari racun yang ada dalam tubuhnya. Sebenarnya inilah yang ditakutkan Jendral Matsuoka, Pangeran Sho yang memiliki dua kekuatan. Yang jadi masalah, Pangeran Sho hanya memiliki setengah darah klan ini, karena tentu saja setengah dari darahnya adalah keturunan kerajaan. Untuk membuat kekuatan ‘Penjaga’ bisa bangkit dari dalam dirinya, dia harus dilahirkan kembali-”
“-dengan menusukkan Belati Es pada jantungnya.”.
“Bagaimana bisa aku melakukannya padamu, Sho…”, bisik Jun.
“Sho harus memilih menunggu kematian menjemputnya atau berusaha menghadapinya sekarang. Seseorang yang paling ia percaya dan mempercayainya harus membuatnya melewati kematian sementara..”
Melihat raut wajah Sho yang tampak sangat menderita dan mengingat kata-kata Higashiyama, dirasakannya kesedihan dan… kemarahannya bercampur menjadi satu. Mungkin kalau Sho sampai benar-benar meninggalkan dirinya, Jun akan menyalahkan dirinya sendiri. Dan dalam kegelapan dan kesendirian dia akan membunuh Jendral Matsuoka dan semua orang yang terlibat dengan cara apapun.
“Andai aku bisa menggantikanmu…”
Tiba-tiba Sho menggenggam tangan Jun yang hendak beranjak dan perlahan membawanya kembali ke sisi wajahnya.
“Ta-nganmu…ha-ngat…”, Sho membuka matanya dan berbicara dengan susah payah diantara nafasnya yang tersengal. “Tetap-lah.. di sini..Jun…”
Dan air mata Jun langsung tumpah begitu saja.
“Sho… maafkan aku, aku..tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi penderitaanmu-”
“Ti-dak, kali ini giliranku, Jun… a-ku akan jadi penjaga dan memenangkan perang ini…”
“Ka-kau sudah tau soal itu?”
Sho mengangguk pelan, “Inagaki-san yang memberitahuku..”
Jun memandang Sho dengan tatapan sedih bercampur takut, dia takut jika itu tidak berhasil, dia takut kehilangan Sho.
--
Ohno, Nino, dan Aiba mundur kembali ke markas Bukit Merah walaupun dengan banyak luka, mereka berhasil meloloskan diri untuk melapor. Pelindung telah runtuh, mereka tidak bisa membuang lebih banyak waktu lagi.
Dalam posisi duduk di tengah-tengah kolam mata air Kehidupan yang kering, Jun memeluk Sho yang berada dalam pangkuannya.
Higashiyama duduk bersimpuh di depan mereka berdua, mengeluarkan kotak batu pualam dengan ukiran yang sama dengan dinding ruangan dan dasar kolam itu kepada Jun.
“Ini Belati Es. Jika berhasil ia akan meleleh dan kembali dalam bentuk asalnya ke dalam kotak. Buanglah rasa ragumu, Matsumoto-san. Dan Pangeran Sho, kedua matamu sungguh mirip dengan Ratu, seakan dia juga ada di hadapanku sekarang. Aku yakin kau akan berhasil melewati ini dan menggantikannya.”, ucap Higashiyama dengan nada sendu tetapi tetap berwibawa.
“Bersama… kita akan memenangkan perang ini, Paman…”,jawab Sho dengan senyum lemahnya.
Higashiyama mengangguk penuh keyakinan sebelum membelai lembut rambut Sho, matanya sedikit berkaca-kaca.
“Maaf, aku harus meninggalkan kalian berdua di sini. Kami pun akan berusaha sekuat tenaga untuk menghadang Jendral Matsuoka dan pasukannya di luar sana.”, lanjutnya sambil kemudian bergegas pamit dan pergi.
“Jun...”
Jun hanya diam sambil memeluk erat Sho, wajahnya tenggelam di bahu sang pangeran yang dicintainya.
“A-aku…”
“Kau bisa melakukannya, Jun…”
Sho berbalik dan menatap lekat ke arah Jun yang juga memandangnya dengan sendu. ”Aku tak suka ekspresimu yang seperti ini…”, lanjutnya, mendekat, hingga dahi mereka berdua bersentuhan.
“Aku..minta maaf membuatmu harus melakukan ini.. tapi, kau, satu-satunya orang yang.. paling kupercaya saat ini… kumohon tetap percaya padaku juga, Panglima Matsumoto…” , ucap Sho sebelum kemudian menyatukan bibirnya dengan Jun.
Jun membalas kecupan Sho dengan air mata yang tak berhenti mengalir, tangan kirinya mengeratkan rengkuhan pada tubuh rapuh sang pangeran…
Mengumpulkan segala keberanian, sambil memejamkan mata, Belati Es yang tergenggam di tangan kanannya terhujam ke jantung putra mahkota.
Kembalilah padaku, Sho.
--
Jun membaringkan Sho dengan gemetar, tangannya yang berlumuran darah menyentuh lembut wajah sang pangeran yang bergeming . Belati Es itu masih berada di dadanya, tak meleleh.
“Sho… Kumohon…”, bisik Jun dengan kepanikan dan ketakutan yang jelas terpampang di wajahnya. “Kenapa benda ini tidak meleleh… kenapa…”.
Pakaian Sho yang semula putih sebagian telah berubah merah.
“SHO!! Buka matamu! Kembalilah Sho!”
BRAK
Suara bongkahan batu yang hancur tiba-tiba terdengar. Pintu ruangan itu luluh lantak. Dengan suara tawa yang mengerikan seseorang berjubah hitam yang tak asing itu muncul.
“Aku sudah tidak lagi merasakan aura kehidupannya, Pangeran telah mati. Ha ha ha. Ternyata aku tidak perlu repot-repot menghabisinya dengan tanganku, ironis sekali sang pangeran terbunuh oleh pengikut setianya sendiri. Kerja yang bagus, Matsumoto-san…”.
Jun terdiam. Diambil pedang panjang miliknya yang tergeletak di sisinya. Dengan satu tarikan, Jun menarik pedang itu lepas dari sarungnya, dan tanpa pikir panjang lagi ia lari menerjang ke arah Jendral Matsuoka.
Jun menyerang Jendral Matsuoka dengan membabi buta, tidak mengerti lagi apa yang dirinya saat ini rasakan. Rasa sakit kehilangan seseorang yang dicintai membuatnya ingin melampiaskannya kepada orang lain. Matsuoka yang menyebabkan semua penderitaan, dipikiran Jun hanya ada balas dendam sekarang.
“Kau pikir bisa mengalahkanku dengan pedang jelekmu itu? Ini lelucon…”
Jendral Matsuoka dengan lincah menghindari serangan-serangan Jun yang hanya petarung biasa. Matsuoka keturunan kerajaan dan ia memiliki kekuatan yang hampir sama dengan sang Raja ataupun Sho.
Lagi-lagi gumpalan seperti listrik itu keluar dari tangan Jendral Matsuoka dan meluncur cepat ke arah Jun.
Jun berhasil menghindarinya.
Tanpa disangka gumpalan kedua meluncur ke arahnya lagi, Jun yang tak sempat menghindar akhirnya terkena serangan itu. Tubuhnya terpelanting hingga mengenai dinding batu.
Rasa sakit yang amat sangat timbul, sang Panglima mengerang, berusaha bangkit sambil memegangi dadanya, ia terbatuk dan memuntahkan darah.
“Kau tidak akan bisa melukaiku sedikitpun…”, ujar Jendral Matsuoka mendekat ke arah lawannya.
Jun memandang dengan sengit ke arah sang Jendral, ia hanya bisa bertumpu pada pedangnya. Kekuatannya terkuras. Nafasnya naik turun.
Mungkin dia akan mati di tangan Jendral, menyusul Sho, pikirnya.
Jendral Matsuoka mengarahkan tangannya lagi ke arah Jun yang tak berdaya. Percikan listrik muncul.
“Matilah kau-”
Tanpa disangka, tubuh Jendral Matsuoka malah tiba-tiba terpental, dengan bunyi debuman keras ia tersungkur ke lantai yang keras. Matanya membelalak kaget mencari sosok yang telah membuatnya jatuh. Kengerian terpancar di wajahnya menyadari apa yang dirasakan dan dilihatnya.
“Sho…”,ucap Jun tak percaya, pandangannya tak lepas dari sosok yang dicintainya itu.
Bunyi air bergemericik mengaliri kolam mata air kehidupan. Pakaiannya kembali putih, tak ada noda. Sho berjalan keluar dari dalamnya dengan ekspresi tenang, sedang tangannya mengarah pada seseorang yang harus bertanggung jawab atas semua kekacauan ini.
Jendral Matsuoka bangkit dengan amarah yang menguar dari dalam dirinya.
“Tidak! Kau harus mati, Pangeran sialan! Hanya aku yang boleh memegang kekuasaan!”.
Sang Jendral mengarahkan kedua tangannya ke arah Sho, kilatan listrik membuncah dari telapaknya.
“Hentikan, Matsuoka, kau tahu sekarang kekuatanmu tidak seimbang denganku.”.
“Jangan sombong kau! Akulah yang berhasil membunuh kedua orang tuamu!”.
Dua gumpalan listrik meluncur ke arah Sho. Namun, tanpa harus melakukan serangan balasan apa-apa, bahkan tanpa bergerak sedikit pun, serangan itu perlahan pupus dan berubah menjadi cahaya-cahaya kecil berkelipan begitu mendekati sang Pangeran.
“Kekuatan pelindung! Kau-”
“Anda membunuh kedua orang tua dan melukaiku karena taktik licikmu. Sekarang kau hanya sendiri di sini, Matsuoka! Kau harus menerima hukuman yang setimpal karena mengkhianati kerajaan.”.
Sho memejamkan mata. Bunyi gemeretak kecil terdengar dari bawah kaki mereka, uap dingin muncul. Lantai di sekitar Matsuoka mulai membeku dan merambat ke tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan padaku!”, ujar Jendral Matsuoka panik. Es mulai membekukan bagian bawah tubuhnya, ia sama sekali tidak dapat bergerak dari tempatnya.
Kemudian yang terakhir terdengar hanyalah teriakan putus asanya yang kemudian hilang seiring dengan kristal es yang membungkus tubuh Jendral keji itu.
Dibukanya kedua mata Sho, helaan nafas terdengar dari dirinya.
“Matsuoka, kau akan selamanya seperti ini sampai ajal menjemputmu. Sendirian dalam kegelapan dan kehampaan tak berujung.” .
Pangeran itu kemudian menoleh ke arah Jun, dan seketika berlari mendekat. Kedua telapak tangannya memegang sisi wajah Jun dengan lembut. Matanya yang bersinar-mata yang selalu dirindukan Jun, menatap khawatir.
“Kau baik-baik saja?” , suara Sho yang dalam terdengar begitu indah di telinga Jun. Seakan menyembuhkan rasa sakitnya.
Sang panglima tak berkedip sedikitpun memandang wajah orang yang paling berharga untuknya yang ia pikir tak akan pernah kembali. Rona merah muda telah memenuhi pipinya. Cantik. Tidak ada hal lain di dunia ini yang dapat menggantikannya. Pangerannya telah kembali, kembali padanya.
“Kenapa kau diam saja, Jun? Matsuoka pasti telah melukai-”.
Tanpa berbicara sepatah katapun, Jun kemudian memeluk Sho dengan erat. Dirasakan kehangatan dari tubuh yang direngkuhnya itu, serta aroma yang dikenalinya.
“Jangan pernah meninggalkanku lagi.”.
Sho balas memeluk Jun dengan mata berkaca-kaca, “Tidak akan.”.
--
WARNING !
-Epilog -
Perang telah berakhir.
Sho dinobatkan menjadi Raja yang baru.
Semua pengikut Jendral Matsuoka yang berkhianat dihukum.
Kerajaan kembali tentram.
Dan satu hal lagi…
Hari ini tepat 6 bulan kedua pasangan ini menikah. Sang Raja dan Panglima telah meresmikan cinta mereka di hadapan rakyat.
Jun berdiri dalam diam dari balik pintu ruang kerja Raja. Ia mendapati Sho sedang berbicara dengan seorang wanita, yang tidak ia kenal.
‘Apa yang mereka bicarakan, aku tidak dapat mendengarnya.’, keluh Jun dalam hati. Entah kenapa perasaan cemburu muncul di dalam hatinya. Dilihatnya Sho tersenyum sambil sesekali tertunduk dengan ekspresi malu-malu, tetapi gelisah.
‘Apa yang terjadi?’
Jun bergeser dari tempatnya berdiri, menyelinap ke area dengan jarak yang lebih dekat dengan hati-hati.
“Tidak, biar aku saja yang memberitahu Jun…”, ucap Sho.
“Sungguh? Apa aku tak perlu ikut menjelaskan… dia pasti akan sangat terkejut karena kau tidak memberitahukan ini sebelumnya..”, ucap wanita itu sambil menggenggam tangan Sho.
“Tidak apa-apa. Ini salahku tidak memberitahukannya sebelum pernikahan kami. Kuharap ia tidak jijik padaku dan dapat menerimanya.”, balas Sho sambil berusaha tersenyum lagi.
“Sebagai Raja kau juga perlu keturunan, anak kandung untuk meneruskan-”.
Jun terdiam mendengar percakapan itu.
‘Jangan-jangan maksudnya…’
“Jun, aku harus membicarakan sesuatu…”
Sho duduk bersimpuh di atas tempat tidur, di sebelah Jun yang sedang membaca buku. Tangannya bertumpu pada lututnya dengan gelisah.
“Umm… sebelumnya aku minta maaf karena tidak mendiskusikan ini sebelumnya. Tapi kau tahu , sebagai seorang Raja..dan sebagai seorang pria, aku menginginkan seorang anak.”
Jun menutup bukunya lalu menghela nafas. Menatap Sho yang kemudian terdiam.
“Ayo lanjutkan…”, balas Jun.
“Dan…dan, hari ini aku bertemu seseorang, dia memberitahuku bahwa aku akan menjadi seorang ayah…”.
Jun berdiri dari tempat tidur. Memunggungi orang yang dinikahinya itu.
“Jadi wanita itu…”
“Eh?”
“Aku tidak sengaja mendengarkan percakapan kalian tadi siang di ruang kerjamu.”
“Jadi kau sudah tahu?”.
“Tidak semua percakapan kalian kudengar, tetapi setidaknya aku masih bisa mengira-ngira. Jadi apa wanita itu ibu dari anakmu? Kau melakukan ‘itu’ dengannya tanpa memberitahuku sehingga kau merasa bersalah , dan sekarang dia hamil?”.
Sho termangu mendengar perkataan suaminya.
“Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini, tapi aku ingin menenangkan pikiran-”
“Jun..”, Sho menggenggam lengan Jun. “Kau salah paham…”.
Sekarang giliran Jun yang terpaku. Mulutnya terbuka. Ia tak percaya mendengar ucapan Sho.
“Kau bercanda?”
Sho menggeleng sambil menunduk.
“Ka-kau yang HAMIL?!! Ja-jadi… itu berarti itu… anakku? Kau mengandung anakku. Terakhir kali ku cek, kau masih seorang pria.”.
Sho melemparkan bantal ke arah Jun.
“Wanita itu dokter dari Bukit Merah. Setelah aku menerima kekuatan sebagai ‘penjaga’, dia mengatakan padaku bahwa aku.. aku bisa memilih untuk bisa hamil. Tetapi, kemungkinannya kecil, jadi aku tidak memberitahumu. Dan..dan aku takut kau menganggapku aneh...”.
“Kenapa kau berfikiran begitu? Jadi ketika kau tiba-tiba jatuh sakit kemarin…”.
Sho mengangguk. “Aku kemudian menghubunginya diam-diam untuk memastikan kalau itu bukan sakit. Dan ternyata benar… ada janin yang tumbuh, anak kita.”.
Jun mondar mandir di dalam kamar tidur sambil menggigiti kukunya.
“Jun? Kau baik-baik saja?”
Jun kemudian berhenti dan berbalik memandang Sho dengan tatapan tajam, “Bagaimana aku bisa baik-baik saja?! Ini lebih dari pada baik-baik saja. AKU AKAN MENJADI SEORANG AYAH. MARVELOUS. MIRACLE. AMAZING! Kita akan punya anaaaak.”.
Jun kemudian berlarian mengitari tempat tidur mereka, naik ke tempat tidur,kemudian turun kembali, dan seterusnya berulang kali, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
“Jun, hentikan, kau membuatku pusing…”, ujar Sho sambil tergelak.
Jun berhenti dan ikut duduk bersimpuh di depan Sho, kemudian memegang wajah Sho dengan kedua tangannya. “Tapi apa ini tidak beresiko? Bagaimana dengan tubuhmu?”
“Kata Keiko-sensei aku akan baik-baik saja. Hanya akan seperti orang hamil pada umumnya. Dan kekuatanku akan melemah selama kehamilan.”.
“Tidak apa-apa aku yang akan menjagamu.”, ucap Jun sambil mencium dahi Sho dan menariknya lembut ke dalam rengkuhannya.
“Sho, aku benar-benar bahagia…”
“Kita bertiga akan bahagia…”
Tambahan disclaimer XD :
Night Fury itu nama jenis naga dari film animasi How to Train Your Dragon dari Dreamworks, karena aku suka film ini, aku suka naga, dan aku jatuh cinta pd Toothless, jdi kumasukkan. Cm dari genre cerita kupikir pke nama Night Fury lebih cocok drpd Toothless LOL
Dan katanya How to Train Your Dragon 2 bakal di rilis Juni 2014 XD *sekilas berita*
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ga kerasa uda taun 2014 saudara2 sebangsa dan setanah air.. semoga taun ini akan menjadi taun yang lebih baik dari sebelumnya, merdeka!
Misshitsu wa, yaburemashita *ngembat kata2nya Enomoto-san* (>.<)/
Ahamdulillah kami telah berhasil merobohkan Wall Maria(?) dan keluar dari 'That Locked Room' setelah mengalami peng'oven-an pda hari2 itu, semoga saya dan teman2 seperjuangan yg biasa nangkring bareng di pojokan derita bisa menapak ke stage selanjutnya,menjadi orang dewasa yg tangguh(???)...walaupun seperti kata lirik lagu Deeper-Deeper nya ONE OK ROCK "Another step up is taking taking taking taking long..." tapi kalo "Wherever you stand just start to walk" eh ternyata "Feeling alone, but oh its so simple.".
Dan seperti salah satu lirik fav, dari Happiness nya Arashi..
"Mukai kaze no naka de Nageiteru yori mo
Umaku iku koto wo souzou sureba Itsu no hi ka kawaru toki ga kuru"
"Rather than sighing into the head wind
If you imagine things going well, someday the time when things change will come"
(credit lyric and translate to yarukizero@LJ)
Hu um, berdasarkan pengalaman yg sudah2, kupikir apa yg terjadi sama hidup kita itu emang sbnernya bermula dari apa yg kita pikirkan *bahasaneee*
step by step, biar pelan-pelan dan mungkin ga se-wah sperti yang dibayangkan, tanpa disadari satu persatu hal yg saya pikirkan, yang saya diam2 inginkan itu bisa tercapai,hal sekecil apapun...
di sana ada waktu ketika sya benar2 merasa putus asa, sendirian, merana, terpuruk, menyesali bnyk hal yg telah terjadi, stuck dan merasa ga ada jalan keluar, bahkan sampai ngerasa pngen banget jadi superhero *ga nyambung*, tapi kemudian saya berfikir ulang lagi, siapa sih musuh yg sebenarnya dlm pertarungan ini...yup, itu diri saya sendiri.
Kadang memang perlu berfikir dari sudut pandang lain. Perlu adanya refreshing dan bertukar pikiran dengan kouhai, teman sepantaran, senpai, ortu, tetangga, hansip dan pak RT *manggut2*
Soalnya sering pikiran kita sendiri yang bikin semua masalah kecil jadi keliatan gede. Saya sadar, ternyata pada dasarnya saya ini pnya sifat alamiah alay dan lebay yang suka menerapkan majas hiperbola klo ada masalah.
Dipikir2, ketimbang menyesali, kenapa ga saya nikmati aja semua proses ini ya..., karena pattern nya biasanya habis siaaaal terus2an itu bakal terbitlah ketidaksialan *plak*, mksdnya Habis Gelap Terbitlah Terang, kata Ibu Kartini. Kata orang 'semua hal itu butuh proses, dan proses inilah yang bakal membentuk kita juga ngewarnai hidup kita. Dengan adanya proses, sebuah 'hasil' bakal lebih kerasa istimewanya.
Ada kalimat menarik dari dorama Kasuka na Kanojo (yg maen Katori Shingo) yg saya tonton kmrn2, dan membuat saya trsentuh, klo ga salah artinya, "Waktu hanya sesaat, tapi pengalaman itu untuk seumur hidup". Misal nton konser Arashi langsung cm 3 jam tapi pengalamannya bakal keinget seumur idup. *smoga gw bisa nton langsung beneran, amin*.
Saya mungkin ga pinter(eh belum pinter deh XD),pengalaman sdikit, ga percaya diri'an,dan ngerasa ga pnya modal apa2 (sperti tanah, sawah, maupun suami O.O) tapi...ternyata ada satu hal yg saya masih bisa punya, yaitu mimpi.
Selama mimpi msh gratis, jadi sya pngen pnya mimpi sebanyak2nya dan setinggi2nya, mo tercapai kapannya itu urusan nanti haha, asal konsisten dan pantang menyerah, ga-ganba desu (o.O;)9. Kalaupun jatuh yah qta msh bisa mimpi lgi, stidaknya klo mimpi yg tinggi jatuhnya pun msh keitung tinggi, tapi pengennya ga jatuh sih wkwk.
Tapi ya kembali lagi, jalan hidup orang ga ada yg tau, kita kembalikan lagi pada yg kuasa. Maka dari itu, kata2 ortu emg adanya benernya, selain mimpi, dan usaha juga hrus berdoa...(>.<)
Iya buundoooo, anakmu ini akan rajin sholat, puasa, mengaji, dan selalu bersyukur (>.<)v
Jadi pada intinya..RESOLUSI TH 2014
Besar : Fokus, disiplin, dan berfikir positif *kuuuh*
Kecil..eh sedeng deh : Support Arashi dengan membeli barang2 ori kyaa (>.<)/
the last things... Omedetou for my two childhood friends for your marriage, semoga menjadi keluarga yg sakinah, mawaddah, warohmah...dan semoga gw cpet nyusul *amin XDDDD*
Sho cpet lamar saya!!! *plak*
nb : rasanya malu abis nulis beginian hahaaahah O////o