[ff] Your White Wings (Chapter 9-10)

Apr 29, 2021 10:25


Tittle : Your White Wings
Chapter : 9-10
Author : ritchuuki
Rating : PG
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto (Brothership)
Genre : AU, Angst, Family Drama
Language : Indonesian

Summary :
Waktu yang mengalir tanpa henti... ada satu jiwa yang ingin diselamatkan...

Sho hanya merasa ada sesuatu yang spesial dari pemuda yang baru saja diperkenalkan Aiba.
"Senangnya kalian semua tinggal di dekat sini."
Aiba tertawa dengan Jun dan Ochan. "Iya benar, rasanya senang sekali bisa tinggal berdekatan."

"Benar. Kamu harus bersyukur," tukas Sho sambil sedikit menggoda Aiba. "Aku sedikit iri" ucapnya kemudian.

Aiba terlihat mau menimpali kata-kata Sho tapi bingung. Lebih dari itu Ochan menariknya, memberi kode.

"Sho sebentar sepertinya Ochan mau aku membantunya."

"Benarkah? Kalau begitu karena sudah siang, aku harus segera pulang. Jun dan Ochan... Sampai ketemu lagi?" ujar Sho mengambil tasnya selempang hitam miliknya.

"Eh, secepat itu? Aku bahkan baru sampai..." tahan Jun.

"Maafkan aku... Aku ingin sekali tinggal tapi aku bukan orang sehat yang bisa melakukan aktifitas normal. Sebagai pasien yang menyelinap keluar rumah sakit, aku harus segera kembali."

Ohno hanya menyalami dengan lambaian tangan melihat Sho pergi. Di dalam hatinya sedikit terasa lega, setidaknya tidak terjadi hal yang tidak diinginkannya, pikirnya.

Sekarang dia agak panik menyadari Jun masih disini.

Cepat-cepat Ochan menarik Aiba. "Aiba-chan, kita harus segera bicara".

Mereka berdua pergi meninggalkan Jun tentunya.

"Kau ingat siapa Ayah yang dicari Jun? Bukankah itu Ayahnya Sakurai Sho?" ujar Ochan dengan gugup. "Kamu tidak memberitahu Jun?"

Aiba merasa tiba-tiba kakinya lemas. "Apa aku yang harus mengatakannya?"

"Jun tidak tahu bukan?"

"Iya, sepertinya begitu..."

"Dia bahkan sudah bertemu dengan orang yang dia cari."

"Aku tidak berani mengatakannya pada Jun, bagaimana ini." Aiba semakin bingung. "Aku yakin tak bisa menceritakannya dengan baik."

Ochan akhirnya berujar, "Sudahlah. Sebaiknya kita bicarakan nanti, lagipula Sho sudah pulang."

Tak lama mereka kembali ke Jun. "Maaf membuat menunggu," ucap Aiba.

"Tidak apa-apa,... Tapi kalian aneh sekali."

"Ah kami harus membereskan eventnya, kami sedang berseteru siapa yang membereskan kursi-kursi ke Gudang."

"Kalau begitu biar aku saja" ucap Jun.

Memang Jun itu baik, bathin Aiba.

"Akan kubantu..." timpalnya segera.

Mereka lalu mulai melakukan pekerjaan itu berdua membuat suasana agak sepi dan hanya antara mereka berdua saja.

Setelah selesai sepertinya Jun mencuri pandang pada Aiba, "Hmm." Jun memulai pembicaraan.

Aiba menatap Jun.

"Ada apa?" tanya Jun.

"Tidak-tidak ada apa-apa... Kenapa?"

"Hanya sedikit aneh, setelah bertemu dengan Sho-san. Jadi begitu orangnya..."

Aiba sepertinya sejenak berpikir, "Ya benar, dia tak kusangga bisa membaur dengan baik. Sayang sekali kau hanya sebentar saja bertemu."

"Sebenarnya aku tidak mau lama-lama bertemu... Aku pasti akan jealous. Tahu lah... Kau kalah dari orang ini, seperti itu,"

"Kenapa bisa begitu?"

"Kelihatan jelas... Kamu menikmati bersama dia. Dan jika aku melihatnya terus, lama-lama aku takut jadi benci."

"Tidak!" Aiba menaikkan suaranya.

Jun kaget.

"Tidak maksudku,.. Jangan. Sho orang yang baik."

"Iya aku bisa lihat."

Aiba tak bisa menemukan kata-kata.

"Tapi aku tak bisa berhenti untuk cemburu. Semakin aku tahu." Jun lalu merubah raut mukanya. "Baiklah, aku benci diriku yang begini".

Aiba mulai khawatir.

"Masaki... Sebaiknya aku pulang duluan, aku Lelah".

---

"Jun. Ayahmu itu Sakurai Shu, apa itu benar?"

Ohno memanggil Jun ke rumah mereka di suatu hari sekitar 2 minggu setelah kejadian itu. Jun sepertinya masih patah hati akan Aiba. Karena itu walaupun dia berada di rumah Aiba dan Ochan, dia tidak berbicara dengan Aiba sama sekali.

"Jadi benar... kalian menemukannya?" tanya Jun namun hanya memandang Ochan.

"Ya.."

"Siapa? Dimana? Bagaimana kau bisa menemukannya?"

"Kami tidak pernah bertemu namun kami tahu orang yang kabarnya namanya adalah Sakurai Shu, sepertinya ciri-ciri yang kau berikan cukup memenuhi..."

"Betul orang ini punya anak laki-laki? Saudaraku??" tanya Jun, mulai tak sabar. Memandangi mereka berdua...dia merasa sesuatu.

"Tunggu... Tunggu... Apa ini benar? Jangan bilang kalau Sakurai Shu yang kucari adalah Ayah orang yang kutemui di acara lalu?"

"Apakah kita tidak bisa memastikannya?" tanya Aiba. "Mungkin aku harus bertanya pada Isogai-san! Dulu aku ingat dia pernah berkata hubungan Sho dengan Ayahnya tidaklah baik"
"Baiklah. Aku ingin memastikannya." Jun sepertinya membulatkan tekad.



Aiba akhirnya mengatakan mengenai Jun pada Isogai. Sudah hampir satu bulan, dan dia makin tidak tahu harus dibagaimanakan kedua orang ini. Dia tidak bisa berkata apapun pada Sho.

Dirinya bahkan belum mengungkapkan perasaannya pada Sho.

Tapi rasanya akan sangat janggal jika dia yang memperkenalkan Jun sebagai adik Sho pada Sho sendiri.

Isogai kemudian memberi penjelasan, "Mengenai hal ini. Jika benar yang bernama Matsumoto Jun ini adalah putra dari Tuan besar... kemungkinannya ada. Dikarenakan akhir tahun lalu saya mendengar bahwa tuan menemukan anaknya yang lain. Lalu mengajaknya untuk ke Tokyo, sebagai putra ke dua. Namun ditolak oleh putranya itu.

Putranya yang lain ini, bukan dari Nyonya besar, dan baru diketahui ada...baru tahun-tahun terakhir. Tapi ini semua hanya desas-desus yang saya dengar. Saya tidak menyangka dia ada dan benar mencari-cari Tuan muda."

"Isogai-san, lalu sebaiknya bagaimana?"

"Saat ini setahu saya, Tuan terus menerus membujuk anaknya yang lain ini untuk masuk keluarga Sakurai... Mungkin mengenai hal ini, Aiba-sama dapat mengkonfirmasinya sendiri jika benar dia teman Aiba-sama.

Tapi, yang pasti Tuan muda sedang agak lesu."

Aiba kaget, "Sho kenapa? Ada sesuatu terjadi?"

"Sebenarnya Tuan akhir-akhir selalu demam. Dan karena Aiba-sama datang menemui beliau, beliau sepertinya tidak kesepian tapi dia sedikit memaksakan diri. Saat Botchan membicarakan tentang Aiba-sama, dia terlihat bersemangat tapi saya rasa sebaliknya dia akhir-akhir ini terlihat sering termenung."

"Benarkah?"

Setelah mendengar banyak penjelasan dari Isogai-san, Aiba menemui Sho.
"Hi..."

"Aiba-chan" sapa Sho. "Kau datang."

"Sho-chan.. Genki?" Tanya Aiba masuk ke ruangan dan duduk di dekat ranjang.

"Seperti biasa," jawab pemuda pucat itu. "Kupikir aku melakukan kesalahan... saat waktu itu dan kau tidak mau jadi temanku lagi."

"Kenapa berkata begitu... Ah... Aku nggak datang 2-3 minggu ini?"

"Kau juga jarang membalas Line-ku."

Benar sepertinya tanpa sengaja Aiba telah menghindari Sho. Dengan dan tanpa sadar, dan Aiba merasa sedikit bersalah.

"Lagian kenapa kau muram sekali?" tanya Sho. "Atau kamu mau mengatakan sesuatu seperti tidak mau datang lagi? Tidak bisa jadi temanku lagi?"

"BUKAAN!" sergah Aiba segera.

"Ssst! Ini rumah sakit!" balas Sho. "Aiba-chan... ini aku hanya separuh bercanda. Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu... Kalau kau tidak bisa datang karena sedang mau memikirkannya, aku tidak apa-apa" jelas Sho. "Kamu nggak perlu menganggapku sebagai beban".

"Bukan begitu.."

"Kalau begitu mau bercerita? Memang kuakui aku bukan teman yang begitu baik. Tapi aku siap mendengarkan."

"Sho..." panggil Aiba. Sho menatapnya lurus. Aiba lalu berdiri mendekat kepada Sho. "Permisi.." lanjut Aiba. Aiba meraih dahi Sho dengan tangannya"

Sho bingung. Lalu menarik tangan Aiba dari dahinya. "Eh?"

"Ternyata benar kau sedang demam."

"Beberapa hari ini iya. Tapi mungkin imunku saja yang sedang lemah."

"Kenapa saat kutanya kau tidak pernah bilang? Minggu-minggu ini aku memang ngga banyak mengontakmu dan tidak bisa datang tapi itu bukan karena aku nggak mau.

Sedang kamu selalu tak bercerita, kamu juga nggak kasih ijin Isogai-san buat cerita apa-apa tentang kamu. Lalu aku juga jadi semakin bersalah karena ada hal yang juga aku belum sempat katakan," Aiba benar merasa sedikit kecewa.

Sho menghela nafas. Dia tidak menyangka bahwa Aiba akan membahas ini.

"Salah satunya aku menyukai Sho-chan".

"Aku tak pantas."

"Aku nggak perduli. Kupikir aku cukup jelas menunjukkan perasaanku. Tapi kamu selalu menarik garis batas. Bahkan kadang buat dirimu tampak jelek... kalau mau berakting begitu, sudah terlambat.

"Penyakit jantungku belum tentu bisa sembuh. Ngga ada jaminan aku masih hidup bahkan di tahun depan."

"Lalu kamu ingin aku mengubur perasaanku?"

"Jika bisa, sebaiknya begitu. Mungkin sebaiknya kamu menyukai orang lain yang lebih bisa membuatmu bahagia, si Matsumoto mungkin? Sepertinya dia perhatian."

"Sho... aku serius."

"Aku juga serius. Aku masih orang yang bodoh yang berusaha bunuh diri beberapa tahun lalu, kamu ingat?"

"Kenapa tak pakai alasan lain untuk menolakku? Kalau Sho-chan berkata begitu, aku tak bisa menyerah. Katakan saja kamu nggak suka aku supaya aku paham."

Sho mengangguk-angguk. Menghindari tatapan Aiba, dia tau dia akan kalah karena dia sadar hatinya merasa nyaman dengan pemuda jangkung ini.

"Demammu masih ada... Aku akan pulang, maaf kalau perasaanku merepotkanmu. Kalau maumu kita sebagai teman saja, aku akan berusaha mengerti. Dan kumohon kita jangan saling menjauh. Aku akan memilah perasaanku dan datang lagi sebagai temanmu yang biasa."

Aiba lalu memeluk Sho.

"Biarkan aku melakukan ini," bisiknya. Sho membiarkan.

Tak lama Aiba pergi, Isogai masuk.

Sho lalu mengajakknya bicara. "Isogai, apa aku terlalu keras kepala?"

Isogai sedikit membungkuk lalu berkata. "Terkadang Tuan muda memang keras kepala."

"Apakah semua orang menjauh karena ulahku sendiri?" tanya Sho lagi.

"Tuan.." Baru saja Isogai mau menjelaskan, tapi Sho memotongnya.

"Isogai, sudahlah. Aku mau tidur saja." Sho lalu berbaring untuk tidur.

"Tuan muda, sepertinya Aiba-sama pulang dengan menangis. Ada apa?"

"Aku tidak ingin membahasnya. Aku masih demam dan Aiba-chan marah karena aku tidak memberitahunya hal itu.
Aku harus istirahat supaya dia tidak khawatir."

"Tuan, harusnya melakukan itu untuk diri Tuan sendiri, bukan untuk orang lain."

"Sekarang aku sedang tidak bisa mendengarkan orang. Biarkan aku" ucap Sho.

Isogai mengangguk pelan. Menyelimuti Sho.

"Kalau bisa memilih aku juga ingin mengurangi kekeraskepalaanku. Aku pun menderita dengan ini."

"Tuan, kalau begitu ayo lekas sehat dan saya akan meminta izin pada dokter untuk keluar lagi. Kita bisa mampir ke tempat Aiba-sama dan membuatnya senang."

"Boleh kita pergi minggu depan?"

"Jika kondisi tuan membaik, tuan hanya perlu menyerahkan masalah itu pada saya."

"Baiklah,.." jawab Sho. Kemudian baru dia bisa terlelap.

---

Beberapa hari berlalu. Kondisi Sho tentunya membaik, demamnya sudah reda.

"Sho botchan, bangun..."

"Ada apa Isogai?"

"Ada yang tuan muda Ohno datang, apakah saya harus memintanya pulang?"

"Ochan datang?" Sho tersenyum. "Tidak, suruh dia masuk".

"Hi. Sho" sapa Ochan.

"Ochan... Ada gerangan apa?"

"Aku hanya mampir... Dari galery. Beberapa lukisanku terjual."

"Benarkah? Senang pastinya. Kalau kau membiarkanku membeli beberapa, aku akan sangat senang sekali. Aku selalu penggemarmu sejak Aiba-chan membawa gambarmu untuk dongeng".

"Terima kasih. Lain kali aku akan menjualnya padamu. Tapi aku tidak akan membawa lukisan yang kujual ke Galeri".

"Kenapa?"

"Aku rasa aku harus melukisnya khusus untukmu."

Sho terlihat senang.

"Kau benar hanya mampir?"

"Aku menghawatirkanmu. Aiba-chan bilang kau demam."

"Enggak, sudah benar baik kok."

Ochan bukan tipe pengobrol, begitu juga dia yang lebih suka mendengarkan orang dari pada bercerita.

"Kalo begitu, kau boleh menggambarku. Aku akan beli lukisannya kalau jadi."

"Aku akan beri harga mahal."

"Tenang, aku kaya."

Ochan lalu mengeluarkan buku sketsanya. Mulai menggaris-garis dengan pensil. Baru berapa guratan, "Sho... Bagaimana perasaanmu terhadap Aiba-chan?" Ochan penasaran.

"Aku tidak tahu."

"Lalu, kau akan seperti ini terus pada Aiba-chan?"

"Kami cuma teman."

"Aiba-chan sangat menyukaimu."

"Aku tahu." sejenak hening. "Aku juga menyukainya,"

Ochan mengangguk, lalu melanjutkan membuat sketsa. Sepertinya dia tau apa yang ingin dia buat.

"Ibuku meninggal saat aku kecil, aku tahu kalian pasti mengalami ditinggal orang terkasih juga."

"Benar," jawab Ochan.

Sho sangat ragu untuk bercerita, sangat takut untuk dinilai oleh orang lain. Tapi dari bibirnya kata-kata terucap.

"Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana aku akan hidup.

Ayahku sendiri sepertinya membenciku, karena mengingatnya saja membuatku marah.. Hubungan kami tidak pernah baik. Lebih baik jika jelas-jelas dia mati atau aku saja yang mati. Ini benar-benar menyiksa.

Aku tidak ingin mengatakan demikian. Tapi aku membenci hidupku. Sudah kukatakan pada Aiba-chan kalau aku tidaklah layak."

"Sho... Kau jangan terlalu keras pada dirimu. Aiba-chan tidak mengharapkan hal-hal yang seperti kau bayangkan."

"Aku tidak tau cara lain untuk hidup. Kalau aku sangat senang berada bersama kalian. Itu karena semuanya hanya hal baru dalam hidupku."

"Kau bisa memulai hal baru lainnya. Masih banyak hal yang ada. Cara hidup yang ada..."

Sho merasa Ochan pasti kaget dia tiba-tiba sempat meluapkan perasaannya. Emosinya yang ditahan berusaha dia kontrol namun dadanya terasa sesak.

"Ochan,.. boleh kau pulang? Panggilkan Isogai.. dia akan mengantarmu."

"Eh? Kenapa?"

"Turuti saja kataku, tolong". Sho berbaring dan menutupi dirinya selimut.

!fanfic, *aiba masaki, *ohno satoshi, *ninomiya kazunari, *matsumoto jun, *sakurai sho

Previous post Next post
Up