Tittle : Dearest (Chapter 2)
Author :
ritchuuki Rating : PG
Gendre : Romance, Fluff
Pairing : Sakuraiba
Language : Indonesian
Summary : Aiba Masaki hanya seorang Aiba.... Sakurai Sho hanya seorang Sho.... Mereka berbeda, namun dalam perbedaan itu timbul perhartian diikuti cinta. Benang merah bernama 'jodoh' yang lah mempertemukan mereka...
Hallo hallo hallo~ Saya muncul lagi di musim penghujan yang membuat orang malas pergi keluar. Dan internetku sangat parah dengan cuaca seperti ini TT^TT Ngepost fanfic aja susahnya minta ampun !
Kenapa setiap hari harus hujan di SHOnuary?
Bikin gundah aja, tapi kudu semangat donk di bulan ini. Langsung aja lanjutannya ! ^^ Semoga masih ada yang mau baca~ Happy SHOnuary~ Jangan lupa jaga kondisi badan di musim kaya gini ! Yup!
[Dearest sebelumnya]Sho memasuki rumahnya. Sepi seperti biasanya. Ibu tirinya pergi meninggalkan rumah tanpa ada makanan lagi tapi dia santai saja karena ia sudah menunggu hari ini tiba. Dia sudah dijanjikan mendapat beberapa ekor ikan segar dari toko ikan di dekat rumahnya sebagai ganti ia telah mengajari putra pemilik toko belajar matematika dan kini di tangannya telah ditenteng sebuah tas plastik. Sho lalu masuk ke dalam kamarnya. Dan mengelus mahluk kecil yang sedang tidur di ranjang lapuknya.
“Nyanko, kau lapar? Sesuai janjiku hari ini kita makan enak…. Aku punya ikan untukmu, tapi kita harus membaginya dan kau cuma akan dapat kepala…” Sho tersenyum melihat kucingnya bangun dan mengendus endus plastik di tangannya.
Sho lalu mengambil si kucing yang beresemangat lalu menggendong si kucingnya ikut ke dapur. “Kau pasti lapar, gomen ne… Tunggu sebentar, aku siapkan bagianmu.”
Sho lalu menaruh kepala ikan di mangkuk makan kucingnya dan memandang kucingnya makan dengan lahap. Senyum lalu tak pudar dari sudut bibir Sho. Puas memandang kucingnya ia lalu menanak nasi dan bersiap memanggang ikannya di atas pemanas untuk lauk makan nanti. Beberapa saat kemudian telepon rumahnya berbunyi.
Sho mengangkatnya, ternyata dari ibu tirinya, meminta dia datang ke tempat kerjanya membawa barangnya yang tertinggal. Ibu tirinya bekerja di sebuah Izakaya bar beberapa blok dari manshion kecil mereka.
Sho menghela nafas, lalu ia mencuci muka, segera bergegas berganti baju dan pergi untuk menuruti permintaan wanita itu.
---
“Sho… Ayo datang ke rumahku hari ini. Kau sudah berjanji kan? Nee? Nee??”
“Aiba-san, Uzai.”
“Nee? Sho-kun. Lagipula aku sudah bilang panggil aku Masaki,” ujar Aiba sambil cemberut di depan meja Sho. Pagi-pagi sebelum pelajaran di mulai dia sudah bahkan datang ke sini.
“Huft. Kau ini selalu bersemangat ya pagi-pagi begini…?” hela Sho.
“Nggak sih. Aku hanya bersemangat kalau aku sedang senang. Kalau aku sedang bad-mood semangatku rendah sekali. Tapi masih lebih bagus daripada kau yang sama sekali nggak pernah bersemangat,” gerutu Aiba.
“Baiklah. Baik. Tunggu aku di depan gerbang pulang nanti. Sekarang kau harus kembali ke kelasmu. Ayo, ayo…” ujar Sho menarik Aiba dari depan mejanya dan mendorongnya keluar kelas.
“Janji lho, janji…” ucap Aiba sebelum Sho menutup pintu kelasnya setelah mengusir Aiba pergi. Orang ini sama sekali tidak manis, batin Aiba keheranan dia segera kembali ke kelasnya karena bell baru saja berbunyi.
Dan seusai sekolah, tentu saja Sho langsung pulang ke rumahnya walaupun ia harus sembunyi-sembunyi pulang lewat gerbang belakang.Dia memang sejak awal berniat untuk tidak datang ke rumah Aiba, dia tak habis pikir kenapa orang itu ingin sekali dia datang ke rumahnya…
Aiba Masaki. Seorang yang kehidupannya sangat jauh berbeda dengannya. Rasanya dipikir sangat lucu melihat hidupnya sendiri yang sepeti ini…
Begitu membuka pintu rumahnya, dia segera masuk ke kamar dan berbaring. Lalu kucingnya menghampiri dirinya sambil mengeong kecil.
“Nani…? Kau lapar?” tangan Sho membelai si kucing yang naik dan malah melingkar tidur di atas badan Sho. Sho tersenyum. “Kau tahu bagaimana perasaanku ya? Kucing aneh…”
---
Sho terbangun mendengar bell di rumahnya berbunyi berkali-kali. Rupanya sudah malam, dia tertidur pulas rupanya. Sho bergegas menuju pintu, walaupun tahu paling-paling pacar ibunya atau siapapun itu yang mencari ibunya yang datang. Karena itu dia hanya berseru dari dalam rumah, “Kaa-san di tempat kerjanya. Tidak ada disini…”
“Anoo… Ini rumah Sakurai Sho kan? Sho-chan, ini Masaki…” ujar seorang cowok yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya.
“Masaki…? Masaki siapa?” tanya Sho yang penasaran akhirnya melirik dari celah lubang intip di pintu. Tak lama kemudian dia membuka pintunya.
“Aiba…!?”
“Ha-Halo, akhirnya aku menemukan rumahmu !” ujar Aiba tersernyum lebar. “Tahu tidak susah sekali mencari rumahmu…. Aku berputar-putar di blok ini puluhan kali untuk menemukan tempat ini !!!” jelasnya sambil bergegas masuk ke dalam rumah Sho tapi Sho langsung menahan tubuh Aiba.
“Siapa yang bilang kau boleh masuk!?”
“Ah~ Bukannya kau bilang kita berteman? Lalu kenapa aku tidak boleh masuk???” ujar Aiba penuh paksa untuk masuk ke dalam rumah. “Lagi pula kau yang mengingkari janji, kau tahu aku menunggumu selama dua jam lebih di depan gerbang dan kau sama sekali tidak muncul… Memangnya kau bisa seenak itu membodohiku??” bela Aiba. Akhirnya Sho membiarkan Aiba menerobos masuk.
“Tapi kau juga tidak harus kemari bukan? Memangnya apa yang ingin kau lihat?” tanya Sho.
“Maa~ Maa~ Kau tidak perlu marah segala. Aku cuma ingin tahu dimana rumahmu dan main ke sini saja, hehe,” jawab Aiba.
“Oh, Tuan Muda tertarik bagaimana rumah orang miskin ya? Kalo begitu silahkan… Ayo ke dalam,” ujar Sho dengan nada datar.
“Ah! Mou !! Kalau kau tidak mau aku datang baiklah aku akan segera pulang.”
Aiba segera berjalan ke pintu keluar, setelah menunduk minta maaf pada Sho.
“Matte!”
Aiba berhenti lalu menengok.
“Kau sudah datang sih, apa boleh buat. Kau boleh di sini sebentar, lagipula ibuku tidak ada jadi sebenarnya tak masalah…”
Aiba tersenyum. Lalu melihat seekor kucing berjalan di belakang Sho sambil mengeong.
“Eh… Kucingmu?”
“Iya, kenapa?”
“Tidak. Tak kusangka… Kukira kamu dingin, ternyata suka binatang,” ujar Aiba sambil mendekati si kucing. Aiba langsung mengelus-elus kucing itu dan terlihat begitu bersemangat. “Pus, siapa namamu? Kau kawaii sekali, betina ya… Nee? Nee? Siapa namamu??” tanya Aiba pada si kucing.
“Omae aho ka?” Sho lalu tiba-tiba tergelak.
“Ii deshou? Suka-suka aku donk!” Aiba kesal. “Pus, kenapa kau mau sih punya majikan seperti Sho yang galak dan tak berperasaan itu?? Kau seharusnya memilih majikan yang lebih baik!”
“Aiba, kalau kau ingin punya kucing seperti ini silahkan bawa saja kucing ini. Aku akan memberikannya dengan senang hati, lagi pula aku memang sedang mencari majikan baru untuk kucing ini karena aku sama sekali tidak berminat memeliharanya~ Lagian kau pasti akan membelikannya makanan kucing yang sekalengnya lebih mahal dari uang sakuku sebulan, pasti kucing ini akan lebih senang punya majikan sepertimu~” ujar Sho.
“Ah, gomen! Kenapa sih kau begitu perasa!? Mou! Aku salah, aku salah. Maaf…”
“Hahaha. Kau itu bodoh ya… Kalau memang aku tidak ingin memelihara kucing ini mama mungkin sekarang ia ada di rumahku. Kau juga perasa, dan sedikit-sedikit meminta maaf… Kau kikuk sekali…”
Aiba meringis. “Saa~”
“Kau belum pulang? Kakekmu tidak mencarimu?” tanya Sho.
“Kakekku masih di luar kota sampai awal bulan depan. Jadi di rumah sepi, makanya aku mengajakmu datang. Tapi sekarang aku disini, jadi sama saja deh. Hehehe,”
“Mobilmu menunggu di depan?”
“Engga, aku sudah menyuruh sopirku pulang. Kau tidak akan langsung mengusirku lagi kan?” tanya Aiba lugu.
“Ya… Ya… Ya… Apapun itu,” ujar Sho mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air lalu meletakannya di depan meja.
“Siapa nama kucing ini?”
“Nyanko.”
“Nggak keren… Kau nggak benar-benar menamai kucing ini dengan itu kan? Apaan yang nama, masa kau memanggilnya Nyanko (Kucing) sih! Ah nggak seru!” jelas Aiba kecewa. “Pus, yappari kau salah memilih majikan. Bagaimana kalau kau kuberi nama baru?”
“Jangan seenaknya menamai kucing orang.”
Aiba ngedumel sendiri tapi akhirnya dia diam asik bermain dengan kucing Sho. Lalu tiba-tiba Aiba bertanya, “Sho-chan, kau tinggal dengan ibumu bukan?” Aiba menengok kanan-kiri, “Tadi kau bilang sedang bekerja ya? Padahal aku sudah gugup akan bertemu ibumu… Aku baru pertama kali ini datang ke rumah orang lain jadi aku deg-deg-an.”
“Iya ibuku sedang bekerja. Pulang pun paling cepat jam 3 pagi.”
“Ah… Taihen da ne.”
“Daripada itu, kenapa kau terus-terusan menempel padaku. Kelasku jadi rame karena banyak orang yang terheran-heran kenapa tiba-tiba kau dekat-dekat denganku. Lagipula kenapa kau tidak bermain dengan teman sekelasmu saja sih? Bukannya kau banyak teman kan? Mereka selalu bersamamu di kelas bukan?” tanya Sho.
“Ah… Sebenarnya memang betul sih teman sekelasku selalu mengelilingiku. Tapi aku tidak tahu mana yang benar-benar temanku… Rasanya aku hanya dekat dengan Nino. Yah dia temanku sejak SMP sih… Tapi kalau dipikir-pikir lagi sepertinya dia lumayan memanfaatkan aku deh… Hemm…” Aiba berpikir sejenak.
“Nino? Ninomiya? Ah… Dia. Ya aku bisa paham. Dia lumayan terkenal suka bikin kepala sekolah pusing dengan tingkah bandelnya. Siapa lagi?”
“Hmm… Rasanya cuma dia deh… Tapi aku benar-benar sering sekali merasa dia benar-benar memanfaatkanku…”
“Betsu ni ii jan? Bukannya kau kenal dia apa adanya? Lagi pula kalau kalu benci dia kurasa kau sudah tidak ingin berhubungan dengan dia juga, sama seperti teman-temanmu yang lain.”
“Iya juga sih… Waktu aku sama Mika juga dia memperingatkanku…”
“Oh, sekarang muncul topik nama terlarang disebut di sekolah. Kupikir kau menempel padaku cuma karena ingin cepat-cepat punya teman lain dan tidak memikirkan dia lagi….” Timpal Sho asal.
“Mungkin juga… Soalnya si Nino itu susah sekali diajak bicara serius!”
Sho lalu mengabaikannya. Dia sibuk melakukan sesuatu di dapur.
“Sho-chan. Kau pernah jatuh cinta?”
“Cinta? Tidak mungkin.”
“Eh? Kenapa tidak mungkin?” tanya Aiba penasaran.
“Mendokusai?”
“Aku tidak percaya. Apa kau tidak pernah memperhatikan cewek?” tanya Aiba.
“Aku memperhatikan mereka.”
“Lalu, kalau kau memperhatikan mereka, memangnya nggak ada satu atau dua cewek yang manis menurutmu? Lalu menarik perhatianmu?” tanya Aiba serius.
“Maa~ Mereka memang manis. Tapi sebagian besar aku terlalu paham sifat mereka dengan sekali lihat. Sifat mereka bagaimana. Pola pikir mereka bagaimana. Kira-kira bagaimana keluarga mereka. Misalnya pun aku benar-benar tertarik, aku rasa belum ada orang yang berharga untuk benar-benar aku sukai. Para Ojou-san di sekolah kita hanya perduli pada diri mereka sendiri.”
“Kau dalam ya…” Aiba nyengir.
“Kau juga…”
“Eh??”
“Mau sampai kapan berpura-pura baik-baik saja? Kalau berada di sekolah kita terasa berat bagimu, kau bisa dengan mudah minta pindah sekolah dengan kakekmu bukan?”
Suara Aiba terdengar seperti akan menangis. “Kalau aku lari, berarti aku kalah… Aku akan takut jatuh cinta lagi selamanya dan aku nggak mau seperti itu.”
“Oh. Sou? Yaru ne, botchama (Tuan Muda). Pasti aka nada seseorang yang kau cintai setulus hati yang nantinya akan membalas perasaanmu secara sama. Yah, cerita manis seperti ini memang sangat cocok untukmu jadi percaya saja. Lagipula hidupmu masih sangat panjang setelah ini… Cucu seorang konglomerat terkaya di negeri pasti dengan mudah memilih pasangannya. Kau masih-masih akan bertemu orang-orang yang mungkin akan menjadi orang yang penting dalam hidupmu. Asal kau tidak mengulang kebodohanmu lagi sih.”
Aiba mengabaikan kata-kata terakhir Sho. “Lalu kau? Kau juga percaya hal yang sama?”
“Aku? Aku tidak percaya. Semua itu cuma kukatakan untukmu saja. Aku tidak cocok dengan cerita manis seperti itu. Lagipula manusia hidup hanya untuk saling memanfaatkan karena manusia tidak bisa hidup sendiri.”
Aiba mendadak kehilangan minatnya. “Aah~ Kenapa kau bisa seapatis ini sih.”
Lalu kembali asik bermain lagi bersama si kucing. Sho sedikit menertawai kekecewaan Aiba.
“Cuci tanganmu. Ayo kesini bantu aku… Hanya ada ikan, tapi kau boleh makan disini,” kata Sho berjalan dari dapur membawa dua mangkuk nasi.
“Eh? Nggak apa-apa nih??”
“Balasan terima-kasih untuk kemarin. Sudah kubilang aku tidak mau berhutang padamu. Lagian kemarin ibuku memberiku uang.”
“Berapa?” tanya Aiba sedikit penasaran setelah ia duduk manis di meja makan.
“3.000 yen.”
Aiba lalu sembunyi-sembunyi pelan-pelan membuka dompetnya dari balik meja. Ia memang tak pernah menghitung jumlah uang yang ada di dompetnya dan sekarang setidaknya ia menemukan ada 8 lembar pecahan sepuluh ribu di dalam situ. Dia sedikit merasa tidak enak dengan Sho.
“Andai saja aku bisa bekerja mungkin aku tidak akan seperti ini, mengandalkan dari orang lain. Setidaknya kalau saja aku tidak gampang pingsan aku bisa mencari part-time. Yah apa boleh buat, sejak kecil aku juga sudah begini…” kata Sho akhirnya duduk di meja makan.
“…”
“Ayo makan. Ittadakumasu!”
“Ittadakimasu! Woo~ Oishii!” ujar Aiba sengaja meninggikan nada suaranya.
---
“Sho… Sho…!” panggil seorang wanita paruh baya yang lalu duduk di meja makan. Pukul 5 pagi hari, dan Sho lalu terbangun mendengar panggilan itu. Dia segera bangun walaupun kepalanya agak pusing.
“Kau minum lagi, Miki…” ujar Sho setengah mengantuk pada ibu tirinya Maya Miki. Dia hanya memanggil ibu tirinya dengan nama karena ibunya yang meminta begitu. Ibunya bahkan tidak menggunakan nama Sakurai, ayah dan ibu tirinya tak sempat bercerai karena ayahnya yang tiba-tiba menghilang.
“Ah… Sudah tak usah mengomel dulu. Ambilkan air putih, kepalaku pusing…”
Sho segera mengambil air putih dan obat untuk ibunya. “Mau kubuatkan sesuatu? Sudah makan?” tanya Sho selanjutnya.
“Tidak usah, kepalaku pusing sekali…” wanita itu lalu sempoyongan bangun dari kursi meja makan dan dengan sigap Sho segera memapah wanita tersebut berjalan ke kamarnya.
“Hai, hai,” jawab Sho mengiyakan.
---
Ninomiya Kazunari. Teman sekelas Aiba Masaki. Selain terkenal akrab dengan cucu Aiba group, dia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Namun Nino tidak seperti selayaknya murid pintar di sekolah. Hobinya adalah membolos tanpa diketahui dimana berada. Selain itu dia juga berasal dari keluarga terpandang.
“Nino~ Kemana saja kau?” tanya Aiba pada Nino yang muncul 5 menit sebelum bell pelajaran dimulai. Nino duduk di meja sebelah Aiba.
“Eh?? Iro-iro.”
“Ano sa. Hari ini pulang sekolah kita ke game center?” tawar Aiba.
“Ii kedo, biasa kau yang bayar ya.”
Aiba membuat cibiran di bibirnya tapi sama sekali tidak merasa keberatan. Ia tahu paling tidak ia harus bergaul dengan orang lain juga… Sho sudah memperingatkannya agar tidak teralu mendekati dirinya berlebihan. Ia juga tidak mau dianggap terlalu menyebalkan.
“Kau sudah bosan dengan anak kelas II-7 itu, si murid beasiswa?” tanya Nino asal.
“Ah~ Dia tipe yang sedikit susah diajak berteman~ Tapi aku berhasil sih jadi temannya,” bangga Aiba.
“Sungguh? Aku sering melihat dia di ruang kesehatan. Tapi tak pernah mengobrol juga.”
Aiba lalu menebak. “Kau kesana untuk tidur siang?”
“Ya… Begitulah.”
“Kau ini… Mentang-mentang ayahmus seorang anggota dewan, kau selalu saja malas-malasan. Aku yakin kali ini kau akan diperingatkan wali kelas kita,” ujar Aiba mengancam.
Nino tertawa geli. “Kalau begitu mau bertaruh? Ada DS tipe baru nih…. Aku sangat menginginkannya.”
Aiba tahu dia akan kalah di taruhan ini tapi karena kesal dia terpaksa menyetujuinya. Lalu wali kelas mereka kemudian masuk dan dua orang ini mulai diam.
---
“Yosh! Aiba-chan, ayo pulang… Belikan aku DS-nya… Sudah ku bilang, uchi no oyaji meminta sekolah membiarkanku sesukaku. Yah asal nilaiku baik-baik saja sih. Praktis sekali kan?”
“Ya… Ya… Dan sampai kapan kau mau memalakiku terus, putra seorang politisi pasti kaya... Kenapa kau selalu membuatku membayar?” tany Aiba.
“Eh?? Aku tidak bilang ya? Aku me-na-bung.”
Aiba capek mendengar alasan tak masuk akal Nino. Lalu mereka bergegas keluar dari kelas sambil bercanda.
Di lapangan sebelum mereka berdua sampai ke gerbang, Aiba melihat Sho. Lalu Nino bertanya kenapa Aiba tidak memanggilnya, Aiba hanya bilang kalau dia selalu dekat-dekat dengan Sho sepertinya dia akan marah.
“Maji??” tanya Nino. “Aku baru tahu ada tipe orang yang nggak cocok denganmu. Tapi kalau dipikir, kita juga sepertinya tidak masuk akal bisa akrab sih… Yah, kalau setahuku, bukannya seisi sekolah ingin mendekatimu dan berlomba jadi temanmu? Cucu konglomerat. Kau juga tipe yang gampang di bodohi… Aneh saja kalau berpikir dia tidak mau memanfaatkanmu? Bukannya kepalanya pintar sekali?” heran Nino.
“Nino… Kata-katamu tega sekali! Hari ini aku mau pulang saja! Lupakan soal DS!” sebal, Aiba lalu berjalan meningalkan Nino.
“Hei…! Aku tidak serius Aiba-chan! Hei!” kejar Nino. Lalu Nino berusaha menjelaskan panjang lebar kalau dia cuma bercanda dan berharap DS-nya kembali.
Aiba lalu menghela nafas panjang… Kenapa teman-temanku semuanya seorang do-S, pikirnya.
---
Malam sudah larut. Sho terbangun karena perutnya sedari tadi berisik karena lapar. Dia jadi ingat masa kecilnya saat ibu kandungnya baru meninggal dan dia sementara tinggal di rumah pamannya. Saat ibunya meninggal karena kecelakaan, ayahnya juga sedang menghilang. Sama seperti saat ini.
Nii-san, bagaimana kabarmu? Tanya Sho dalam hati. Dia jadi ingat kakak sepupunya. Kakaknya begitu baik dan menganggapnya seperti adiknya sendiri serta benar-benar menyayanginya. Kalau tengah malam ia terbangun karena lapar, Nii-san pasti akan bangun juga dan membuatkan makanan untuknya… Sayangnya dia hanya tinggal selama 2 tahun bersama keluarga pamannya karena ayahnya berhasil ditemukan. Dia tidak bisa terus-terusan memumpang di rumah pamannya, itu yang dia tahu.
Dia tahu keluarga pamannya telah menampungnya secara terpaksa. Semuanya begitu palsu kecuali kebaikan Nii-san yang 7 tahun lebih tua darinya. Sudah 10 tahun lebih ia tidak bertemu Nii-san. Ia bertanya-tanya apakah Nii-san bisa mengenalinya sekarang…
Nii-san, aku berharap aku bisa bertemu denganmu lagi…
Sejak keluarga pamannya pindah dan ayahya menikahi Miki, ia sama sekali tidak menemukan cara menghubungi kakaknya itu. Nii-san pasti merasa bersalah sejak paman memaksa mengembalikanku pada ayah. Dulu Nii-san berkata seandainya dia 5 tahun lebih tua, dia pasti sudah mengajak Sho untuk tinggal berdua bersamanya.
Keluarga pamannya tahu benar seperti apa ayah Sho, tapi tetap saja tidak ingin Sho tinggal bersama mereka karena menampung seorang anak berarti menambah beban keluarga. Sho sendiri tahu bahwa keangan keluarga pamannya juga tidak begitu baik. Ia pun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pamannya…
Tapi saat itu dia masih sebegitu kecil. Dia terlanjur menyadari bahwa keberadaannya membuat orang-orang merasa terbebani. Dia terluka di usia sekecil itu. Ia sangat membenci ayahnya. Semua kemalangannya seakan disebabkan oleh ayahnya.
Tidak ada orang yang benar-benar ia percayai lagi. Ia tidak bisa mempercayai orang lain dan dia tidak terbiasa berharap akan segala sesuatunya.
Semua orang di dunia ini boleh saja mati, ia bahkan tidak akan perduli. Kecuali Nii-san mungkin.
Andai saja waktu itu dia bisa tinggal bersama Nii-san, mungkin hidupnya tidak seperti sekarang. Setidaknya akan ada seseorang yang benar-benar perduli tentang dirinya dan dia tidak merasa sebegini kesepian dan tak berdaya.
Ayahnya menghilang lagi dan ia jadi tinggal bersama ibu tirinya.
Sho tidak membenci ibu tirinya. Ia bahkan merasa berterima kasih karena Miki tidak membuangnya seperti ayahnya. Miki berjanji tidak akan membuangnya, itulah kebaikan Miki. Sho sudah bosan dibuang. Dioper kesana-kemari sejak ia kecil karena ulah ayahnya. Hanya Miki yang menerimanya tinggal disini. Ia tahu Miki senasib dengan dirinya, mungkin karena itu Miki masih sedikit perduli dengannya. Dan Miki dulu benar-benar mencintai ayahnya. Dia jadi seperti ini pun karena ayahnya juga, Sho tahu itu. Wanita yang bodoh… Pikir Sho. Kenapa memilih laki-laki yang tidak pandai bertanggung jawab? Kenapa mencintai laki-laki pecundang seperti ayahnya…. Sho tak habis pikir.
Ingantan kecil tentang ibu kandungnya yang ia ingat pun sama, ibunya sangat mencintai ayahnya. Kenapa semuanya begitu bodoh? Pikir Sho kembali.
Sho akhirnya bangun setelah ia yakin tidak membangunkan kucingnya, dan mencuci mukanya.
Jam 3 pagi lewat. Sebentar lagi Miki pulang. Tapi sepertinya gerimis malah turun… Sho lalu menelpon bar Miki. Bertanya apakah hari ini ibu tirinya membawa payung dan memastikan bahwa ibunya mabuk lagi atau tidak.
Beberapa saat kemudian Sho memakai mantel dan membawa payung keluar.
Lewat 15 menit, dia sudah sampai di bar tempat Miki bekerja. Dia hanya menunggu di luar dan tidak bisa masuk ke dalam bar. Lalu tidak lama kemudian ia melihat pacar ibu tirinya ke luar dari bar dan berlari menuju sebuah mobil yang menunggunya… Selang beberapa menit, Miki yang keluar. Sho segera menyodorkan payung pada wanita itu.
Miki memandang Sho, “Untung kau datang! Hujannya semakin deras… Ayo!”
Sho masih utuh berdiri di tempatnya.
“Kenapa?”
“Uang… Uangmu diminta lagi?” tanya Sho.
“Bukan urusanmu bocah~” jawab Miki. Berjalan acuh meninggalkan Sho.
Sho lalu berjalan juga. Dia tahu betul percuma berdebat dengan Miki yang keras kepala. Mereka sama sekali tidak bicara, tapi lama-lama ternyata wanita itu yang bercerita sendiri.
“Aku mencintainya. Karena itu aku membantunya. Lagian dia juga sudah bekerja sekarang, kau sudah tidak perlu menceramahiku.”
“Bagaimanapun dilihat, dia cuma memanfaatkanmu. Sudah berapa kali dia memintamu memberi uang? Kau mau terjebak dengan laki-laki pecundang seperti ayahku lagi?” tanya Sho dengan pandangan menajam.
Miki lalu geram dan menampar wajah Sho dengan keras. Egonya mengatakan kalau dia tidak terima jika dirinya dinilai tidak pandai memilih laki-laki. “Sekali lagi bukan urusanmu, bocah! Kalau kau mencampuri urusanku lagi kuharap kau tidak usah tinggal di rumahku lagi!”
Sho cuma diam saja. Ia bukannya sakit hati karena kata-kata itu tapi sebal karena ibu tirinya tidak mau mendengarkannnya juga.
---
Bagaimana? Moga-moga nggak kecewa deh! ^^
Sampe ketemu di chapter selanjutnya ❤❤❤ SHOnuary in our heart ❤❤❤