Tittle : Dearest
Author :
ritchuukiRating : PG
Gendre : Romance, Fluff
Pairing : Sakuraiba
Language : Indonesian
Summary : Aiba Masaki hanya seorang Aiba.... Sakurai Sho hanya seorang Sho.... Mereka berbeda,namun dalam perbedaan itu timbul perhartian diikuti cinta. Benang merah bernama 'jodoh' yang lah mempertemukan mereka...
Hallo, happy a new year and happy SHOnuary. Ultah Sho bulan ini :3 plus school-life, rasanya cocok banget dengat potongan rambut Aibachii yang baru.
Aku akhirnya mempost fanfic ini, untuk menyenangkan diri sendiri saja sih... Tapi kuharap ada yang mau membaca dan merasa terhibur !! Terimakasiiih <3
Aiba Masaki adalah cowok terkaya di Ichinomiya High School. Selain penampilannya yang menawan, dia juga cowok baik hati dan pintar. Tak jarang banyak yang mengganggapnya sempurna dan wajar bahwa semua orang ingin mendekatinya. Dia ramah, karenanya dia memiliki banyak teman. Ke manapun dia pergi, orang-orang selalu berkumpul mengelilinginya. Dia sudah memiliki apapun, hanya saja terkadang dia merasa ada sesuatu yang kurang.
“Aiba-san. A-aku… Sudah sejak lama aku menyukaimu…” kata seorang gadis manis yang memberanikan diri mengajak Aiba kea tap sekolah pada jam istirahat makan siang itu.
Aiba sudah tahu kalau gadis ini akan menembaknya, ia akan mendenggarkan gadis itu sampai selesai baru dia menjawabnya. Aiba sudah tahu apa yang akan ia balas.
“A-apakah kau mau berpacaran denganku…?” tanya gadis itu walau dia langsung menunduk memalingkan wajahnya yang bersemu merah. Manis, sejenak pikir Aiba.
“Ahh…. Ano ne, Sebenarnya sekarang aku tidak diperbolehkan berpacaran,” ujar Aiba berbohong lagi. Entah ini yang keberapa kalinya… Sebenarnya menolak mereka satu persatu memanglah lebih jelas, tetapi bukan karena Aiba tidak menyukai mereka, ia hanya belum ingin berpacaran lagi setelah ia merasakan patah hati kali ini.
“Uso! Datte… bulan lalu Aiba-kun masih berpacaran dengan Mika-san bukan? Aku juga melihat kamu jalan dengan teman sekelas kita dua hari yang lalu…” bantah si gadis.
Aiba merasakan getir di hatinya begitu nama mantan pacarnya disebut. Mika, dia masih sangat menyukai Mika. Tapi semua berakhir tidak seperti yang ia bayangkan…
“Aku sudah berpisah dengan Mika-san, dan aku tidak berpacaran dengan siapapun sekarang. Sudah kukatakan sejak saat itu kakek jadi melarangku berpacaran,” dalih Aiba. Kakeknya sangat menyayanginya. Mana mungkin kakeknya tega melarang-larang Aiba-kun, lagi-lagi dia hanya mencari alasan yang bisa diterima semua orang dengan cepat. “Teman sekelasmu juga menyatakan perasaannya padaku, dia sudah kutolak juga, tetapi dia bilang ingin sekali saja deeto denganku sebagai kenangan untuknya jadi…” jelas Aiba pada gadis di depannya.
“Jyaa… Aku juga mau deeto seperti itu walau kau menolakku! Onegaishimasu!” balas si cewek membungkuk dalam-dalam.
“Jyaa… Baiklah…”
Setelah si cewek menyebutkan jam mereka harus bertemu besok, dia pun pergi meninggalkan Aiba sendiri di atap sekolah masih kebingunggan. Kenapa akhirnya setiap cewek yang ia tolak selalu berhasil membuat mereka kencan dengannya.
“Huft…” Aiba menghela nafas. Ia belum ingin kembali ke kelasnya. Juga tiba-tiba merasa tidak lapar. Ia hanya berdiri di sisi pagar. Menikmati hembusan angin yang cukup keras. Sebelumnya Aiba mengira dirinya sendirian, tapi ia baru menyadari bahwa ternyata ada seseorang lagi di atap sekolah. Aiba sebenarnya bermaksud ingin pura-pura acuh saja tetapi dia melihat ada sesuatu yang tidak beres pada keadaan orang tersebut.
“Kau tidak apa-apa…?” tanya Aiba menghampiri cowok yang tiba-tiba sempoyongan hampir terjatuh tersebut. Tangan Aiba segera merangkul dan memapahnya ke kursi terdekat. Lalu Aiba menyadari bahwa dia mengenal orang ini, siapa sih di sekolah ini yang tidak mengenalnya? Sakurai Sho si murid beasiswa yang selalu mengalahkannya di setiap pelajaran. Berkat itu ia selalu mendapatkan ranking nomer 2.
“Aku tidak apa-apa,” ujar Sho melepaskan tangan Aiba dari dirinya.
“Ayo ke klinik. Sepertinya kau sakit.”
“Cuma tekanan darah rendah. Tidak usah perdulikan aku.”
Aiba lalu memandang cowok didepannya sejenak. Lalu menghela nafas. “Baiklah. Tampaknya kau benci padaku. Aku juga tidak akan perduli,”
“Ya. Aku benci seorang tuan muda bodoh, jadi tidak perlu memperhatikanku.”
“Apa maksudmu?” Aiba meninggikan suarannya.
“Kalau kau menolak gadis itu kenapa kau berkencan dengan dia. Memangnya kau menyukainya?” Tiba-tiba Sho menatap Aiba.
“Jadi kau melihatnya? ”
“Kalau merasa terpaksa harusnya kau menolaknya saja. Mereka semua akan menggunakan alasan yang sama Tuan Muda.” Ujar Sho.
“Hentikan panggilan itu. Aku tidak menyukainya.”
“Nah, kau bisa mengatakannya dengan jelas. Harusnya kau menolak gadis itu dengan jelas tadi, atau mungkin kau ingin menikmati kencan dengannya dulu?” tanya Sho lagi. Sebenarnya ingin sengaja sedikit mengusik orang di hadapannya.
“Bukan. Aku melakukannya karena kasihan. Lagian aku juga tak ada acara. Dan aku bukan orang seperti itu !”
Sho tersenyum. “Yaya… Kelihatan sekali sih sifatmu itu, polos… Kau juga sangat tidak tegas.”
Aiba merasa malu, walaupun sebelumnya mereka saling mengenal tapi mereka sama sekali tidak pernah berbicara sebelumnya. Dan rivalnya ini malah menemukan kelemahannya.
“Menurutku cewek tadi sebenarnya menyukaimu. Hanya saja dia tahu betul bahwa dia tidak bisa bersamamu. Makannya dia menggunakan cara itu dengan nekat…”
Aiba tidak menyangka bahwa mengerti wataknya akan sangat mudah dimengerti orang lain. Tapi entah mengapa dia merasa Sho sama sekali tidak bermaksud burukbesok dia jadi merasa sedikit lega. “Jyaa… Berarti tak apa kalau aku menemaninya sebenar…”
“Iya, asalkan kau tak usah membawa dompet.”
“Eh…?”
“Kubilang, asalkan kau tidak membawa dompet. Cukup bawa 5000 Yen saja, itu sudah cukup untuk bermacam hal.”
“Maksudmu….”
“Iya.”
“Ahh… Sokka. Asalkan nggak bawa dompet ngga papa ya… Hahaha,” Aiba terpaksa tertawa, memang semuanya sangat lucu. Tapi bukan karena ingin tertawa tapi ia tertawa. Ia malah jadi berpikir. Kenapa selalu seperti ini…? Mika juga. Ya… Berkali-kali ia dikhianati orang-orang hanya karena masalah uang. Mika, orang yang pertama kali ia cintai dengan sepenuh hati juga ternyata sama saja.
Tiga bulan mereka bersama, gadis itu hanya membuat Aiba membelikan barang-barang untuknya tanpa Aiba sadari. Aiba juga merasa sangat malu pada kakeknya saat Mika mengancam akan menyebarkan foto telanjang mereka berdua jika kakeknya tidak membayarkan sejumlah uang… Aiba yakin seluruh sekolah tahu ini. Tapi tak ada seorangpun yang berani menyinggung permasalahan ini karena kakeknya melarang itu. Aiba sangat sedih setelah tahu bahwa sejak awal Mika hanya menyukai dia karena uangnya saja. Dia terlalu shock. Dia bahkan sudah tidak percaya dengan kemampuannya sendiri dalam menilai orang lain.
Dia tidak ingin bertemu Mika-Mika lain dalam hidupnya… Cukup kali ini saja kakeknya yang terpaksa menyelesaikan seluruh perkara itu―membuat Mika menyesal telah mempermainkan Aiba dan bermain-main dengan perasaan cucunya. Cukup satu kali ini saja atau Aiba akan merasa sangat malu sampai ia tidak ingin hidup lagi. Kakeknya tidak pernah menuntut apapun, juga sama sekali tidak melarangnya berpacaran lagi. Kakeknya berkata bahwa ia hanya perlu menyelesaikan 2 tahun SMA-nya dengan baik, itu saja. Tetapi, hati Aiba yang sudah terlanjur terluka tidak akan sama seperti sediakala. Satu titik di hatinya telah terlubangi.
“Kau ini… Terlalu ikut campur ya!”
“Aku hanya malas melihat ada orang bodoh sepertimu.”
“Kau..!”
“Apa? Tuan Muda?”
“Sudah kubilang hentikan panggilan itu! Ah, sudahlah! Sakurai Sho! Kau menarik juga! Baru kali ini ada orang yang blak-blakan padaku! Jadilah temanku!”
Sho diam. Lalu tak lama kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Yang menarik itu kau… Hahaha!” dia tidak bisa berhenti tertawa sampai bermenit-menit. Membuat Aiba makin kesal.
“Nee, kau tidak makan siang? Sebentar lagi jam makan siang akan selesai…” Aiba berusaha mengalihkan perhatian sambil menunjukkan jam. Seperempat jam lagi bel akan berbunyi.
“Aku tidak makan siang,” jawab Sho.
“Eh? Kenapa?”
“Aku tidak memiliki uang.”
“Oh…” Aiba sebenarnya kaget tapi dirinya berusaha bereaksi sewajar mungkin. “Jadi kau tidak makan siang…? Maksudku apa kau tidak lapar?”
Sakurai Sho tiba-tiba tergelak, lagi-lagi, “Kau ini bodoh ya? Mana mungkin tidak lapar… Tapi kalau maksudmu sudah terbiasa, ya, memang aku sudah terbiasa tidak makan siang.”
Aiba merasa tidak terbiasa dengan kata-kata “bodoh” kareba kata itu tidak pernah dipakai pada Tuan Muda Aiba Masaki. Dan Sakurai Sho sudah berkali-kali mengatainya seorang bodoh. Sebenarnya dia sedikit merasa senang, baru kali ini juga ada orang yang bersikap apa adanya dengan dirinya. Melupakan bahwa dirinya adalah seorang cucu tunggal dari Aiba Group yang berpuluh-tahun telah memonopoli industri furniture di seluruh Jepang.
“Aku lapar, ayo kita makan bersama, ayolah…” ujar Aiba mengajak Sho.
“Kau selalu mengajak makan semua orang yang baru kau ajak bicara…?” tanya Sho.
Aiba berpikir. Ia jadi sadar bahwa dia sebelumnya memang selalu begitu. “Aku…”
“Tidak perlu, Tuan Muda…” potong Sho segera. “Orang sepertiku sudah terbiasa dengan perut kosong tidak seperti anda. Sebaiknya anda segera pergi ke kantin atau semua menu sudah akan habis sebelum anda datang…”
Aiba merasa tidak nyaman dengan cara berbicara penuh sarkasme Sho. Mereka baru saja kenal, apa salahnya sih berbaik hati sedikit pada orang yang baru dikenal. Maksudnya ia berharap agar Sakurai Sho tak perlu bicara dengan gaya seperti itu. Tapi kalau dia memang benar-benar ingin berteman dengan tipe orang yang berbeda dengan orang yang selama ini dikenalnya, mungkin dia harus menyesuaikan diri dan tak terburu-buru.
“Baiklah! Sampai nanti…!”
---
Sakurai Sho baru saja melewatkan kesempatannya makan siang. Kemarin malam padahal dia juga tidak makan. Kepalanya bahkan terasa pusing dan ia bahkan tadi hampir pingsan. Tapi egonya mengatakan bahwa ia tidak ingin dibantu oleh orang yang menyebalkan bernama Aiba Masaki. Seorang tuan muda bodoh yang selalu dimanfaatkan oleh orang lain.
Sho sendiri sebenarnya tahu bahwa Aiba bukanlah bodoh. Cowok itu hanya teralu berbaik hati, semua orang di sekolah ini tahu benar dan memanfaatkannya.
Sho seharusnya kembali ke kelas segera. Iya, ia tidak seperti tuan muda itu yang bisa membolos seenaknya tanpa harus takut pada peraturan sekolah. Dia tidak bisa membolos, tentu saja beasiswanya akan terancam jika ia melakukan itu. Sudah susah payah ia masuk ke sekolah elit bergengsi tanpa membuat ibu tirinya mengomel karena mengeluarkan uang. Ia tahu benar bahwa ibu tirinya, satu-satunya keluarganya, tidak akan mau susah payah membayar uang untuknya bersekolah.
Ia bahkan tidak tahu apakah ayahnya masih hidup atau tidak. Ayahnya meninggalkan ia bersama ibu tirinya sejak 6 tahun lalu karena itu ibu tirinya tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Tapi ia tidak bisa membenci ibu tirinya pula, ia masih bersyukur ibu tirinya mau menampungnya. Ia tidak punya sanak saudara lagi. Hidup bagi Sakurai Sho sudah sewajarnya berat. Ia tahu itu sejak beberapa tahun lalu. Ia tidak akan mampu bertahan jika ia tidak memiliki apapun.
---
Aiba berjalan di lorong sekolah. Sudah lewat beberapa hari dari kejadian di atap itu dan sejak ia bertemu Sho. Kelas mereka berbeda. Kelasnya II-1 dan kelas Sho itu II-7. Aiba baru sadar kalau Sho itu sekelas dengan Mika yang kini sudah tidak ada di sekolah ini lagi, Aiba tahu bahwa kakeknya-lah yang membuat dia pindah sekolah tetapi Aiba tidak ingin pikir pusing.
Aiba datang ke atap sekolah. Tapi tidak ada seorangpun di sana. Dia tidak bisa menemukan Sho dan dia tidak tahu dimana dia bisa menemukan cowok itu. Ia jadi berpikir untuk menghampiri Sho dikelasnya. Ia cuma merasa ingin bertemu dengan Sho saja. Dan tak begitu lama orang yang ia cari kemudian berada disana, rupanya ia datang lebih cepat dari pada Sho.
“Kau disini?” tanya Sho begitu melihat sosok Aiba. “Ada apa Tuan Muda datang kemari? Tidak biasanya. Atau ada yang menembakmu lagi tadi?”
“Ini bukan tempat yang tidak bisa kudatangi. Dan, apa maksudmu selalu berbicara dengan nada seperti itu terhadapku?” Aiba sampai kesal dan lupa kalau sebelumnya ia lah yang mencari-cari Sho.
“Benar, Tuan Muda bisa datang kemana saja…” Sho mengangguk-angguk. “Lalu, bagaimana kemarin? Kau benar tidak membawa dompetmu?” tanyanya.
“Hai,” jawab Aiba lugu. Untung saja Sho yang bertanya, Aiba lega dia tidak harus tiba-tiba bercerita walaupun sebelumnya dia memang kesini karena bermaksud mengabarkannya pada Sho. Ia lalu mulai bercerita panjang lebar tentang kencannya.
“Benarkah?? Kau pasti membuatnya malu…” balas Sho. Tak lama kemudian Sho terpingkal membuat Aiba semakin gemas.
“Bukannya kau yang menyuruhku…!” seru Aiba.
“Iya-iya… Tapi aku juga tidak menyangka kalau kau sebegitu penurut,” jawab Sho diantara gelaknya. “Lalu bagaimana menurutmu kencan seperti itu?” tanyanya.
Aiba ragu untuk bercerita kesannya, “sugooii tanoshikatta!”
“Kalau begitu pacari saja gadis ini. Bukannya kau tidak ada acara dan punya banyak waktu luang?” tanya Sho pada Aiba.
“Aah~ Andai semudah itu. Aku rasa aku belum ingin berpacaran lagi…”
“Sou? Tak kusangka…”
“Aku… Aku rasa aku akan mencoba tidak memakai nama Aiba, dan ternyata berbeda sekali perlakuan orang-orang terhadapku…”
Sho tersenyum geli, “Tentu saja, Tuan Muda. Apakah mata Tuan sekarang sudah bisa melihat?”
Aiba tak menghiraukan pertanyaan Sho. “Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan walau kita sudah tahu nama masing-masing. Aku Aiba Masaki,” ujar Aiba sambil mengulurkan tangannya pada Sho.
Sho hanya memandangnya.
“Kau tidak mau berteman denganku…?” Aiba binggung, sebenarnya dia sangat mengharapkan dirinya memiliki seorang teman sebenarnya. Sakurai Sho sudah menarik perhatiannya.
Sho melirik mata Aiba, sebelum akhirnya menyambut tangan cowok manis itu. “Baiklah, karena aku benci orang kaya, kuharap kau tidak memakai uangmu terhadapku.”
“Jadi, murni pertemanan saja?” tanya Aiba tersenyum.
“Sakurai Sho, deal.”
---
Aiba membereskan barangnya di meja dan bersiap pulang, beberapa detik lalu jam usai pelajaran berbunyi. Tiba-tiba perutnya merasa lapar, dia baru ingat bahwa tadi siang dia belum makan siang karena terlalu asik mengobrol dengan teman barunya.
Sho ternyata memang murid pintar, dia mendapat beasiswa selama bersekolah di sini, dan walaupun sepertinya dari keluarga tidak mampu, Sho sama sekali tidak tertarik mendekatinya karena uang. Aiba menghargai Sho karena kemampuannya, Sho bercerita ia selalu belajar sendiri supaya menjadi juara satu di setiap test dan beasiswanya tidak lepas, Aiba pun selalu belajar dengan rajin untuk merebut peringkat pertama demi menyenangkan kakeknya tapi tak pernah sekalipun mengungguli Sho sejak mereka kelas satu.
Sho orang yang tekun, punya pendapat dan pendirian pun yang kuat. Benar-benar tipe yang berbeda dengannya. Selain itu Sho juga memiliki selera humor yang bagus. Aiba makin mengagumi teman barunya itu.
Apa aku mengajaknya saja makan di rumahku ya… Dia pasti juga lapar, pikir Aiba saat keluar kelas. Tanpa sadar dia sudah menuju kelas Sho untuk menghampirinya. Kalau di rumah kan wajar kalau aku mengajaknya makan?
Dilihatnya Sho baru akan keluar kelas, “Sho-chan…!” panggilnya.
Sho menoleh. Ia sedang membereskan barang-barangnya. Tapi bukan hanya Sho saja yang menoleh karena semua orang di kelas Sho juga menoleh terhadap Aiba. Mungkin mereka heran kenapa murid cuek dan pendiam yang sepertinya dibenci banyak orang seperti dirinya bisa tiba-tiba akrab dengan pangeran sekolah yang terkenal.
Sho menghampiri Aiba di lorong, masih ditatap seluruh orang. “Ada apa?” tanyanya pada cowok yang lebih tinggi itu.
“Aku mau mengajakmu main ke rumahku. Kau punya waktu kan…?”
“Aiba. Aku baru saja jadi temanmu tadi siang, sekarang kau sudah mengajakku datang ke rumahmu. Aku juga tidak mau orang tuamu bertanya-tanya dengan siapa anak mereka berteman. Dan… Sepertinya aku tidak bisa, lain kali saja ya… Aku ada urusan,” jawab Sho malas-malas sambil berjalan melambai meninggalkan Aiba.
“Ayolah… Kau selalu dingin begitu pada temanmu?” ujar Aiba mengejar Sho. “Orang tuaku sudah meninggal, dan aku hanya sendiri saja di rumah. Kakekku sering ke luar kota.”
Sho berhenti lalu menatap Aiba, “Gomen.”
“Tidak apa-apa,” Aiba tersenyum. “Bagaimana? Kau mau datang?”
“Maaf, Aiba-kun. Sepertinya aku tidak bisa hari ini…. Mungkin besok, atau lusa,” balas Sho. Tiba-tiba Sho berhenti berjalan dan tangannya berusaha bersandar di tembok.
“Sho…?” tanya Aiba. “Ya Tuhan! Wajahmu pucat sekali, kau tidak apa-apa…?” tanya Aiba tapi Sho tidak mendengarnya lagi karena ia terjatuh pingsan.
Aiba kebingungan. Lorong masih ramai waktu itu, tapi daripada dia berteriak meminta pertolongan, Aiba langsung saja mengangkat tubuh kurus Sho dan berlari ke ruang kesehatan. Aiba panik sekali,
Baru kali ini ada orang pingsan di depannya. Ia tidak tahu harus bagaimana.
“Sensei…!! Senseeii!!!” panggil Aiba begitu dia membuka pintu ruang kesehatan.
“Ada apa?” jawab seorang dokter muda mengenakan jubah putih menghampiri mereka. “Pingsan? Sebaiknya kau rebahkan dia di sini…” perintah dokter itu pada Aiba.
“Iya, teman saya pingsan, entah kenapa… Saya…”
“Iya iya, kau duduk diamlah di sana, biarkan aku memeriksa Sho-kun sebentar…” ujar Okada-sensei.
Aiba masih saja panik tapi dia menuruti kata-kata dokter itu. Setelah beberapa menit dokter itu akhirnya memasangkan selang infuse ke lengan Sho. Aiba jadi bertanya, “Sensei, apakah dia akan baik-baik saja?”
“Tentu saja, Aiba-san. Kau tidak perlu secemas itu… Kau baru mengenal Sho-kun?” tanyanya.
“Ah… Benar, aku memang baru mengenalnya…” Aiba sebenarnya ingin bertanya kenapa Sensei itu mengenalnya karena dia sama sekali tidak pernah datang ke sini sebelumnya. Tapi siapa yang tidak mengenalnya di sekolah ini? Semua guru dan murid memang mengenalnya.
“Kalau begitu kau tidak usah khawatir, dia memang sering pingsan seperti ini karena anemia. Aku sudah memperingatkannya untuk makan teratur dan minum obat tetapi dia pasti melanggarnya lagi. Oh ya, bisakah kau belikan dia sesuatu? Aku yakin dia belum makan siang,” kata Dokter muda itu.
Aiba mengangguk, “Baik…”
Aiba lalu kembali dengan membawa beberapa potong sandwich dan dua botol susu kotak. Hanya ada itu saja di kantin. Aiba lalu duduk menunggui Sho untuk bangun. Sudah 30 menit berlalu Sho masih saja tak sadarkan diri.
“Kau tidak pulang dulu saja, Aiba-san?” tanya Okada-sensei pada Aiba. “Aku yang akan menungguinya sampai bangun. Lagipula dia hanya sedang tidur saja sekarang, kau tidak usah khawatir.”
“Ah, tidak Sensei. Aku tunggu saja sampai dia bangun,” jawab Aiba.
“Oh, sou… Kalau begitu aku akan pergi menelepon orang tua Sho dulu dari kantor. Tolong tunggui dia sebentar,” pinta Okada Sensei.
Aiba mengangguk. Lima menit setelah mereka tinggal berdua saja kemudian Sho sadar.
“Aaah… Sepertinya aku pingsan lagi,” ujar Sho setelah membuka mata dan menyadari Aiba ada di sebelahnya.
“Kau baik-baik saja? Apa mau aku panggilkan Sensei?” tanya Aiba pada Sho.
“Tidak. Ah, maaf. Aku membuatmu kaget? Aku lupa bilang kalau aku sering pingsan.”
Aiba mengangguk seakan mengerti. Lalu ia teringat bungkusan ditangannya, “Oh ya. Kau belum makan kan? Aku lapar sekali, aku baru saja mau makan… Ayo temani aku,” ujarnya melemparkan sekotak susu dan beberapa potong sandwich pada Sho.
“Aku memintamu menemaniku makan, sudah sewajarnya aku membagi makananku! Ayo makan, aku lapar sekali!” ujar Aiba.
Sho pun membuka plastik sandwich dan memakannya pelan-pelan.
“Sho-kun, kau sudah bangun? Seperti biasa tidak ada yang mengangkat telepon di rumahmu…” ujar Ohkada sensei yang masuk ke dalam ruang kesehatan lagi.
“Tentu saja, sensei, ibuku pasti baru saja berangkat bekerja.”
“Tidak ada yang bisa menjemputmu pulang?” tanya Okada.
“Tidak apa-apa, saya bisa pulang sendiri…”
“Biar dia bersama saya saja, Sensei.”
“Baiklah. Tapi Sho-kun baru boleh pulang setelah infusnya habis.”
Sebelum hari petang, mereka sudah pulang. Aiba mengantar Sho dengan mobilnya. “Rumahmu disini?” tanya Aiba di dalam mobilnya.
“Benar, masih berjalan 10 menit lagi sih tapi di sini saja. Mobil susah masuk ke sana karena jalannya sangat sempit.”
“Kalau begitu kuantar kau berjalan,” tawar Aiba segera.
“Tidak usah, kau sudah mengantarku sampai sini. Aku baik-baik saja,” ujar Sho membuka pintu mobil.
Aiba menuruti Sho akhirnya. Lalu Aiba berkata, “kau sebenarnya tidak punya urusan kan tadi?”
“Ah. Tidak. Aku benar-benar punya urusan kok. Sankyuu. Sampai besok!”
---
Segini dulu yaaa.... Ditunggu lanjutannya di SHOnuary ❤
[Dearest Selanjutnya]