Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya saya mencoba untuk memposting excerpt Nirvana. Selain sebagai pendongkrak semangat untuk saya revisi, sepertinya cukup tidak adil juga kalau saya sering membicarakan masalah Nirvana tanpa pernah memberi excerpt-nya. Dan juga, bab 1 yang ini sudah mendapat persetujuan dari co-author, jadi saya kira layak publish. hihi. *sembarangan*
Enjoy the excerpt!
SATU
Aku pernah mendengar bahwa setiap orang adalah sebuah pintu untuk menuju dunia yang baru. Semakin banyak kita bertemu orang lain, semakin banyak dunia yang bisa kita masuki. Sejak mengetahui ucapan itu, aku selalu membayangkan bahwa dunia yang kita tempati ini terdiri dari butiran-butiran kecil dunia pribadi, yang tersusun dan saling bertaut-kelindan hingga membentuk sebuah dunia yang kita pahami bersama. Pilihan dan takdir, semuanya berasal dari jalinan tersebut; jalinan dunia-dunia kecil yang berpilin dari zaman nenek moyang dan terlalu ruwet untuk bisa diuraikan. Rata-rata manusia tidak pernah repot-repot berusaha mengurai jalinan itu untuk menemukan akar dari diri mereka sendiri-dari pilihan-pilihan serta keputusan mereka-dan hal itu membuat mereka menjadi manusia yang buta.
Tapi di dunia ini ada juga orang-orang yang berusaha menguraikan jalinan itu. Sayangnya, sebagian besar dari mereka berakhir sedih. Aku juga pernah membaca kisah mengenai mereka yang berusaha mengurai jalinan ikatan dunia dalam diri mereka. Mereka tidak ingin menjadi palsu, katanya, lalu berusaha mencari asal mula mereka, diri yang tidak terpengaruhi oleh dunia-dunia kecil milik orang lain. Tapi lalu mereka berakhir menjadi pembenci dan menjadi orang-orang yang sedih. Semua itu karena mereka melihat dengan jelas bagaimana dunia-dunia kecil itu menjalin di sekitar diri murni mereka.
Aku sendiri mungkin adalah seorang dari golongan yang terakhir ini. Mungkin. Sebenarnya aku tak yakin apakah aku melakukannya atau tidak, yang aku tahu hanya bahwa saat ini aku merasa sangat sedih. Mungkin karena sekarang aku sedang berada di Singapura, dan bukannya sibuk ujian akhir semester di Indonesia. Tempat ini terasa asing, dengan cuaca di luar ruangan yang lebih redup begitu kontras dengan sinar lampu yang menyakitkan mata di dalam kamarku-terlalu menyakitkan hingga rasanya kepalaku sakit; bau karbol di ruangan ini juga terlalu menyengat; langit-langit, dinding, dan semua perabotan terlihat begitu mengilat dan dingin. Rasanya setiap kulitku bergesekan dengan sesuatu di kamar ini, dingin menyengatku. Aku kedinginan dan sedih. Menyedihkan.
“Ada masalah, Anjali?” tanya Papa yang duduk di sofa panjang di sudut ruangan. Aku lupa sudah berapa hari Papa terus duduk di sana, waktu terasa menghilang di tengah cahaya putih tempat ini. Papa mengamatiku. “Perlu Papa ambilkan obat?”
Aku menggeleng, “Homesick, Pa.”
Papa tersenyum lelah. Dari situ kusadari kerut-kerut di wajahnya yang selama ini tak pernah kuperhatikan. Papa terlihat lebih tua hanya dengan beberapa hari di tempat ini. Wajahnya yang biasanya penuh dengan kebanggaan dan kepercayadirian kini terlihat redup. Sepertinya tempat ini mempunyai kemampuan menyerap kemudaan. Mungkin wajahku juga terlihat sangat kacau saat ini.
“Kita akan segera pulang, Nak,” ujar Papa. “Istirahat yang banyak.”
Aku menurut. Kututup mata dan inderaku lalu membiarkan diriku tenggelam dalam deru yang bernama kehidupan. Di balik deru itu, perlahan aku bisa mendengar musik bermain di kejauhan. Lalu musik itu akan semakin kencang, mengalir dan berdebum dengan membawa serta memori-memori yang menjadi alasan keberadaanku di tempat ini, sekarang. Setiap merasakan hal ini, seringkali aku hanya terbentur di satu memori khusus. Sebuah memori yang penting namun bukan menjadi alasan utama keberdaanku di sini. Sibakanku terhadap gempuran memori itu terhalang, lalu aku akan membiarkan diriku tenggelam di sana dalam kegamangan, seperti saat seseorang menonton sebuah film yang bagus tapi tak diinginkannya.
Namun kali ini, saat memejamkan mata, entah kenapa memori-memori itu menyeruak dengan sendirinya, menuntunku melesat menuju sebuah tempat yang jauh dalam pikiranku. Kenapa tempat itu terasa begitu jauh, aku juga tidak mengerti. Padahal begitu memori itu membuka di hadapanku, aku sadar bahwa memori itu bukanlah kejadian yang terjadi di waktu yang terlalu lampau. Ada Bima di bayanganku, dan alunan musik yang tadinya terdengar samar kini makin menampakkan nada-nadanya. Lalu aku teringat.
With the lights out, it’s less dangerous.
Kegelapan datang, dan aku kembali terayun di tengah lautan memori.
***
Pertama aku berkenalan dengan lagu itu adalah saat aku tengah mendamparkan diriku di rumah kosan Bima, laki-laki setahun lebih tua dariku yang bisa dibilang sebagai sepupu angkatku. Kosannya adalah tempat yang selalu kudatangi ketika aku sedang suntuk akan berbagai hal yang terjadi di sekitarku. Rumah itu hanyalah sepetak rumah kecil di antara deretan rumah-rumah seragam di kanan-kirinya, muncul seperti sekumpulan jamur di bawah lindungan pohon-pohon besar yang sebenarnya jarang terlihat di Depok yang terkenal gersang. Bima mendapatkan kosan tersebut dari pamannya yang juga dosen di kampus kami, dan sejak aku menyusul masuk ke kampus yang sama dengannya setahun kemudian, aku selalu menjadi pengunjung dengan intensitas terbesar sepanjang bulan.
Kali itu aku datang untuk mencoba CD player Bima yang didapatnya dari bekas milik Om Aga, adik Papa dan ayah asuh Bima. Sebenarnya Bima tak pernah ingin menerima hal-hal yang bersifat hiburan seperti CD player atau televisi untuk diletakkan di kosannya, karena selain menambah pengeluaran untuk membayar listriknya, Bima mengaku benda-benda bersifat rekreasi akan menghambat kuliahnya. Karena itu begitu Bima secara ajaib menerima CD player dari Om Aga, aku tak menyia-nyiakan waktu untuk datang meledeknya. Player itu berdiri dalam posisi aneh di rumah kosan Bima yang kecil, terpojok di atas meja belajar lipat anak bergambar SpongeBob di dekat sekat dapur. Di sampingnya televisi 21 inci diletakkan begitu saja di atas lantai. Kenapa CD player itu mendapat kehormatan untuk berada di atas meja lipat, aku juga tidak tahu. Bima kadang terlalu aneh untuk dimengerti.
Sebuah kotak sepatu tersimpan di samping tv menarik perhatianku. Aku tidak pernah melihat kotak itu sebelumnya. Ketika dengan iseng kuambil kotak itu, aku menemukan di dalamnya penuh dengan CD lagu. Dua-tiga CD adalah album jazz, mungkin diberikan Om Aga bersama dengan player-nya. Tapi yang mengejutkan adalah banyaknya CD album rock barat dengan kover album berwarna gelap. Aku tidak pernah membayangkan bahwa Bima menyukai musik seperti ini. Kuambil satu album dengan kover dominan biru: Nirvana. Lalu baru kusadari kemudian bahwa ada cukup banyak album band Nirvana di dalam kotak sepatu tersebut, semuanya terlihat usang dan seolah baru ditarik dari dalam mesin waktu.
Suara langkah Bima terdengar berdebum tergesa ketika aku menyetel CD tersebut di player. Kepalanya muncul dari balik sekat dapur, ekspresinya terlihat seperti bocah yang terpergok bolos sekolah.
“Nirvana, Bim?”
“Kenapa dengan Nirvana?” balasnya cepat, defensif.
Aku mengangkat bahu. Sulit bagiku membayangkan anak kalem seperti Bima mendengarkan lagu rock. Badannya memang besar, tapi Bima adalah tipe laki-laki dengan raut wajah ramah dan cenderung tolol hingga membayangkannya mendengarkan musik keras sambil melakukan headbang akan menjadi semacam lelucon.
“Band lama, ya?”
“Nirvana,” ujar Bima, seolah aku tidak bisa membacanya di kover album. “Band yang eksis di tahun 1980-an hingga 1990-an awal. Bubar setelah vokalisnya bunuh diri.”
“Tipikal punk.”
Bima hanya mengangkat bahu.
“ Kenapa suka Nirvana?” tanyaku.
Bima terlihat memikirkannya sejenak, “Karena mereka salah satu band rock yang musiknya nggak bikin pusing atau bosan walau disetel berulang-ulang.”
Aku bilang aku tidak suka rock. Bima kembali mengangkat bahu lalu menyuruhku mencoba mendengarkan lagu mereka dengan ditemani segelas susu hangat. Ketika aku menatapnya seolah dia gila, Bima tertawa lalu menekan tombol pengulangan di player dan kemudian kembali menghilang ke dalam dapur. Aku hanya bisa mendengus jengkel, tapi kuambil tempat CD Nirvana itu dan kubawa bersamaku saat aku berselonjor di atas kasur lantai dan memeluk guling yang semuanya beraroma khas Bima. Kuambil buklet lirik dari dalam tempat CD dan mencoba menyanyikan lagu yang tengah diulang di player: Smells Like Teen Spirit. Tipikal lagu yang sejak not pertama sudah mengajak untuk melakukan headbang, tapi anehnya aku tidak merasa jengah. Biasanya telingaku cepat merasa pengang saat mendengarkan musik penuh hentakan seperti ini, tapi lagu ini memiliki semacam komposisi yang pas dalam hentakannya, tidak berlebihan dan vokalisnya tidak hanya berteriak-teriak serak sejak kata pertama. Aku baru sadar kalau aku telah ikut menganggukkan kepalaku ringan bersamaan dengan dentuman musik setelah segelas susu muncul tiba-tiba di depan hidungku. Bima menyeringai menang.
“Enak, kan?”
Aku mengambil gelas yang disodorkan padaku dan langsung menyeruputnya tanpa menjawab pertanyaan Bima. Sebuah desahan nikmat segera keluar dari dalam tenggorokanku seperti dengkuran kucing. Bima terkekeh mendengarnya. Sialan anak itu. Dia tahu betul bahwa aku lemah dengan susu hangat buatannya yang selalu dicampur dengan gula merah dan sedikit kupyuran jahe.
“Tolong jangan bilang masalah ini ke Papa Aga?” Bima berkata tiba-tiba. Papa Aga adalah panggilan Bima untuk ayah asuhnya yang juga sekaligus adalah omku.
“Memangnya kenapa? Walaupun Om Aga maniak jazz, gue rasa dia nggak akan membenci lo kalau lo suka musik rock.”
Bima menunduk malu seraya menyeruput susunya. “Nanti aku dikira anak urakan.”
“Astaga. Selama lo nggak nyandu atau jadi emo, sih, gue rasa Om Aga masih akan tetap mengira lo anak baik, Bim,” jawabku. Karena memang benar, kemungkinan Bima jadi anak urakan itu nyaris mendekati nol persen. Hobi mendengarkan musik rock tidak akan menjadi pencetus Bima sang Resi menjadi seorang anak urakan.
Bima kembali tertawa sebelum menghabiskan susunya dalam sekali tegukan besar, lalu memejamkan matanya dan mulai menganggukkan kepalanya sesuai irama lagu yang telah kembali terputar ulang. Dia kemudian meraih bahuku dan memandangku menantang, mengajakku ikut melakukan apa yang juga dilakukannya. Kusodok perutnya keras sebelum mengikutinya menghabiskan susuku dalam tegukan besar. Gempuran susu jahe membuat seluruh tubuhku terasa meremang hangat, dan sensasi itu membuat tubuhku terasa ringan. Gila, bagaimana susu jahe bisa membuatku seperti mabuk begini? Jangan-jangan Bima memang anak urakan tersembunyi, dan sekarang dia memasukkan sesuatu di dalam susunya?
“Tidak ada apa pun di dalam susu itu selain susu, gula merah, dan jahe, Princess,” katanya kemudian, seolah mendengar batinku. “Tapi efeknya mantap, kan? Susu hangat dan Nirvana adalah pasangan sejati.”
Aku mendengus tertawa mendengarkan ucapannya. Remangan hangat itu menyapu tubuhku, menyatu dengan dentuman dan hentakan musik yang keluar dari pengeras player milik Bima. Seketika aku bergidik. Lagu itu seolah mengalir ke dalam tubuhku, mengangkat bebanku, lalu menguncinya di sudut pikiran. Tubuhku terus berdesir hangat oleh jahe, dan lagu itu mengalir melalui hantaran desiran tersebut. Tak memerlukan waktu lama bagiku untuk ikut menganggukkan kepala, lalu dengan cepat kusambar ucapan Bima yang mulai menggumamkan liriknya. Kami bernyanyi bersama, hingga entah sejak kapan kami mulai meneriakkan liriknya, lalu tertawa bersama di akhir lagu hanya untuk mengulangi siklus kegilaan kami. Aku bergidik oleh gairah baru, atau mungkin saja, sebenarnya itu adalah sebuah gairah yang sejak dulu kucari namun terlupakan.
***
Dua minggu kemudian CD bersampul biru itu telah tergolek di atas meja belajarku, terbuka dan kosong di atas sebuah kartu undangan berwarna coklat seolah berusaha menutupinya dari dunia. Aku membeli CD itu segera setelah aku pulang dari kosan Bima dengan seluruh tubuhku yang masih meremang antusias. Karena band itu adalah band yang termasuk lama, maka sulit mencari albumnya di toko-toko biasa. Aku harus memesan ke toko online luar untuk mendapatkannya, dan perlu waktu lebih lama untuk melakukan pengiriman ke Indonesia. Aku merasa seperti diolok oleh takdir ketika paket CD yang kupesan sampai berbarengan dengan Pak Sadiman yang mengantarkan sampel kartu undangan pernikahan dengan huruf besar-besar yang dicetak meliuk dengan indah: Anggita Dyaningtyas & Adinata Damas Adiwangsa-Papaku.
Suara Kurt Cobain yang tewas karena bunuh diri itu hadir memenuhi dinding-dinding dan udara di apartemenku. Mati namun hidup, dan aku merasakan adanya sebuah desiran tersendiri setiap kali memikirkan ironi tersebut; dan kini aku terbaring di atas kasurku, memandangi langit-langit dan membiarkan diriku tenggelam dalam sensasi kematian yang terasa begitu hidup. Tapi aku membutuhkan remangan hangat yang dihasilkan oleh susu jahe buatan Bima untuk membantuku mendapatkan apa yang kuinginkan, sementara aku tidak bisa membuat susu jahe seperti Bima dan tidak mungkin aku memanggilnya kemari hanya untuk membuatkanku susu. Aku butuh alternatif.
Ponselku lalu berdering. Dengan malas, dan tanpa melihat siapa yang menelpon, aku mengangkat telepon itu.
“Halo?”
“Anjali? Kamu lagi ada di mana?”
Renaldo. Pacarku yang keturunan Indonesia-Arab tapi mempunyai nama yang tidak mencerminkan keduanya.
“Di kosan. Kamu nggak ada kuliah?”
“Ada kelas jam satu nanti. Mau lunch bareng?” tanyanya.
Aku tersenyum. Kurasa aku menemukan alternatifnya.
“Mau ke sini saja?” jawabku kenes. “Aku sedang diburu deadline tugas. Makan siangnya bisa tolong pesankan?”
Renaldo dengan cepat menyetujui, lalu menanyakan pesanan makan siangku. Kubilang aku ingin sushi, dan dia sepertinya menangkap maksudku. Kututup telepon dengan perasaan puas. Deruman adrenalin mengalir di seluruh tubuhku bersamaan dengan setiap kata yang dinyanyikan oleh sang vokalis yang tetap hidup dalam kematiannya. Aku ingat sekarang. Aku ingat sensasi yang kurasakan di kosan Bima waktu itu. Sudah lama aku mencarinya, dan entah sejak kapan tersingkirkan.
Hello, hello, hello, how low.
Waktu dan realitasku terasa mulai terdistorsi sejak saat itu. Karena akhirnya aku kembali menemukannya: Kematian.