Saya ini semacam nggak capek-capeknya bikin proyek. Oke, mari kita list. Sebelumnya saya sudah ada rencana rewrite novel fantasi saya, yang belum jadi-jadi, lalu saya berkolaborasi dengan co-author untuk membuat Trilogi Pencarian--yang akhirnya sekarang dihandle oleh co-author saya--lalu ada proyek kolaborasi lagi yang waktu itu untuk lomba dan sekarang masuk masa revisi, dan terakhir.... saya berencana untuk membuat proyek pribadi (lagi) dengan goal untuk diikutsertakan pada sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2014 nanti.
Oh yes, I finally have the guts for that.
Selama ini saya selalu mencegah diri saya mengikuti ajang DKJ karena saya masih merasa belum mumpuni secara skill untuk mengikuti sayembara tersebut. Tulisan saya masih cetek, dan kalau saya lihat pemenang-pemenang DKJ sebelum-sebelumnya, saya ini bukan apa-apanya. Saya menghormati sayembara ini, bahkan lebih menghargainya ketimbang Khatulistiwa Literary Award--yang notabene hadiahnya lebih... prestisius.
Lalu kenapa sekarang saya berniat untuk ikut? Asal mulanya ada di saat saya menyerahkan novel kolaborasi saya, Nirvana, pada Dewi K. Michellia, salah satu teman menulis yang saya kenal sejak 2008, saat kami masih sama-sama bernaung di Kemudian.com sebagai penulis amatir. Dan ya, mungkin beberapa yang baca namanya akan segera mengenalinya. Novel debutnya belakangan ini beredar di toko buku, berjudul "Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya" (atau disingkat hanya dengan Surat Panjang), dan juga, salah satu pemenang sayembara DKJ tahun 2012. Saya mengagumi orang ini dan semacam menghargai semua pendapatnya (ini serius, Dew, if you read this, I adore you, you know). Bahkan sejak kami sama-sama masih di Kcom, saya selalu menyukai tulisan-tulisannya, dan tentu saja tidak begitu kaget ketika dia dinobatkan sebagai salah satu pemenang DKJ.
Berawal dari situ, saat Dew--my nick for her--bilang ingin membaca Nirvana, tentu saja saya berikan tanpa basa-basi (well, duh). Dan ketika dia akhirnya memberi komentar soal naskah saya, saya cukup terkejut (aduh) ketika dia bilang, dengan sedikit revisi, Nirvana akan cocok dikompetisikan di DKJ 2014.
Well, tentu saya langsung membicarakannya dengan co-author, tapi akhirnya memang diputuskan untuk tidak membawa Nirvana ke DKJ--karena Nirvana memang dibuat tidak dengan tema DKJ (alias tidak nyastra)--dan lebih memfokuskan untuk merombak Nirvana lalu memasukkannya langsung ke penerbit. Tapi tentunya komentar Dew itu membuat saya termotivasi untuk mengikuti sayembara ini, karena setidaknya saya mendapatkan sebuah 'pengakuan' tidak langsung bahwa naskah saya berhak ikut DKJ--walaupun lagi-lagi, sebenarnya semua orang berhak ikut DKJ tapi yah....
Dari situ akhirnya saya memutuskan: saya sanggup ikut DKJ dan saya ingin ikut DKJ yang sudah lama jadi impian saya. Karena itu, dalam NaNoWriMo tahun ini, selain merevisi Nirvana, saya juga akan memulai melakukan drafting untuk proyek pribadi saya; judulnya Rumah Balon. Genre-nya akan bermain di genre (yang saya klaim sebagai) aliran saya, absurdisme dan realisme-magis, dan sedikit dicampur dengan unsur sci-fi. Dan karena kemarin saya dengan iseng berhasil menulis sedikit snippet dari Rumah Balon di Facebook saya, I'll let you read it.
"Ingatan pertamaku adalah tentang ibuku yang memisahkan dirinya sendiri dari dunia di hadapanku. Jika aku menutup mata, aku bisa melihat bayangan salju berjatuhan di sekitar kami, memantul di keempat dinding dan membias di langit-langit kamar, tempat ibuku menggantungkan kehidupannya pada seutas tali--yang kemudian membawanya pergi meniti tali itu dan menghilang di balik langit-langit kamar. Ketika kini aku menanyakannya pada Nenek, beliau selalu bilang bahwa aku bermimpi; bahwa ibuku telah mati, bukan pergi. Bagi Nenek, kematian adalah akhir dalam ketiadaan.
Setelah kejadian itu, aku merasa hidupku selalu berada di antara dunia yang kata mereka nyata, dan yang kata Nenek hanyalah sebatas mimpi. Namun dengan kondisiku itu, aku mampu menyadari hal-hal yang tidak orang lain sadari, seperti bahwa mimpi adalah sebuah bentuk dunia yang lain, dengan eksistensi dan pintu masuk tersendiri. Kondisi spesialku juga membuatku dapat meyakini bahwa, berbeda dengan pemikiran Nenek, ibuku tidak mati, tetapi hanya pergi menyusuri talinya ke dalam salah satu dunia yang diciptakan oleh mimpi-mimpi, dunia yang hidup dalam kegelapan pikiran dan teronggok di sudut kesadaran manusia.
Dan kini tali yang pernah disusuri oleh ibuku itu terulur di langit-langit kamarku, menungguku."