Withering Anemone
Chapter: 3/??
Author
noe_sakamotoGenre: Angst, Romance, Fluff
Pairing: ToraxShou
Rating: R to NC-17
A/N: tidak menerima segala jenis tabokan dan sebagainya XD #kabur
![](http://ic.pics.livejournal.com/noe_sakamoto/15183745/103065/103065_original.jpg)
Tora menggeliat di tempat tidurnya, samar-samar ia mendengar rintihan pelan dari kamar Shou yang terletak di sebelah kamarnya. Pria itu kemudian mengusap wajahnya pelan, sudah tiga hari Shou tinggal di apartemennya, dan sudah tiga hari pula setiap malam ia mendengar Shou seolah merintih ketakutan. Di malam ketiga ini, Tora kemudian berjalan ke kamar Shou, terlalu penasaran mengapa Shou selalu seperti itu. Ia sendiri sudah menanyai Shou mengapa pria itu merintih ketakutan setiap malam, namun Shou hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Sang dokter berambut hitam itu menduga, kemungkinan itu adalah efek dari benturan yang terjadi di kepala Shou, akan tetapi bisa juga hal itu terjadi di alam bawah sadar pria berambut pirang itu. Saat ini, Tora tengah berada di dapur, mengambil sebuah baskom logam dan mengisinya dengan air hangat, lalu pria itu mencelupkan handuk lembut ke dalamnya. Ia kemudian berjalan ke kamar Shou, dan meletakkan baskom tersebut di lantai. Pelan-pelan, ia menyeka dahi Shou dengan handuk basah.
Perlahan namun pasti, rintihan Shou pun menghilang. Tora bernafas lega, setelah Shou menjadi tenang. Pria itu kemudian bersiap meninggalkan kamar Shou. Akan tetapi, sebelum ia sempat membalikkan badan, Shou terbangun, dan menggenggam tangan Tora erat-erat. Tora mengernyitkan alisnya, dan menepuk kepala Shou perlahan.
“Kenapa Shou-kun? Kau mimpi buruk ya?” Tanya Tora.
Shou menatap mata Tora yang tampak seolah bersinar keemasan. Tatapan mata Shou yang memelas itu, membuat Tora menjadi semakin tak tega untuk meninggalkan Shou. Tora kemudian duduk di sebelah Shou, memeluk tubuh Shou yang masih menggigil, sembari sesekali ia mengelus lembut punggung Shou. Shou merapatkan tubuhnya ke dada bidang Tora, dan meremat kaus Tora erat-erat, seolah takut apabila Tora akan meninggalkannya. Tora masih merasakan bahwa tubuh Shou masih gemetar, kemudian mempererat pelukannya.
Pria itu mempererat pelukannya pada tubuh yang lebih kecil darinya itu, mencoba untuk memberikan kenyamanan pada sosok yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini. Setelah beberapa saat, Tora dapat merasakan bahwa Shou sudah mulai tenang. Ia dapat merasakan ritme nafas Shou yang teratur, tidak sekalut sebelumnya. Ia kemudian melirik ke wajah Shou, dan tersenyum.
Si pria berambut pirang itu, kini bergelung dengan nyaman di pelukannya dan tertidur bagaikan bayi. Tora tersenyum lembut, saat ia mendapati Shou menyembunyikan wajahnya di dadanya.
“Masih sama seperti dulu, tidak berubah.”
Begitu pikir Tora. Pria itu kemudian mengelus pipi Shou dengan lembut, lalu mengecup dahinya. Tora kemudian membaringkan tubuhnya di kasur Shou, dan membiarkan dirinya tertidur, dengan Shou yang masih bergelung dan menggenggam erat kaos yang ia kenakan, seolah tak mengizinkan Tora untuk pergi dari sisinya.
---
Paginya, saat Tora masih terlelap sambil memeluk Shou, Shou perlahan terbangun. Pria berambut pirang itu mengerjapkan matanya perlahan, lalu menggeliat pelan. Saat ia membalik posisi tidurnya, pria itu merasakan ada sebuah tangan memeluk tubuhnya, lalu juga sebuah dada bidang yang terasa amat nyaman. Shou menengadahkan kepalanya, lalu seketika wajah pria cantik itu memerah.
Bagaimana tidak memerah, saat itu ia melihat Tora, yang masih tertidur pulas dan sama sekali tidak melepaskan pelukannya dari tubuh Shou. Samar-samar Shou teringat, bahwa semalam ia bermimpi buruk, dan Tora datang untuk menenangkannya. Namun ia tidak menyangka, apabila pada akhirnya ia malah menemukan Tora tengah tertidur pulas sambil memeluknya.
Saat Shou masih melamun, Tora terbangun dan mendapati Shou tengah mengerutkan kedua alisnya, dan bibirnya menjadi sedikit lebih maju. Tora terkekeh pelan, dan hal ini menyebabkan Shou tergeragap kaget, lalu menatap sosok tampan di depannya itu.
“Ohayou, Shou-kun. Tidak baik kalau pagi-pagi kau memikirkan masalah dunia, nikmati pagimu dengan santai saja.” Ucap Tora masih sambil terkekeh, saat ia melihat Shou malah cemberut.
Shou kemudian mencubit pelan lengan Tora, lalu berkata, “Umm… Torashi, apa semalam aku merepotkanmu lagi?”
Tora hanya menggeleng, lalu mengelus rambut Shou perlahan, “Sama sekali tidak. Nah, sebaiknya sekarang kau bangun dulu, sebentar lagi suster Miyazawa akan datang untuk membantumu seperti biasa. Aku akan ke dapur untuk membuat sarapan dulu.” Ucap Tora sambil tersenyum, lalu membantu Shou untuk duduk di kursi rodanya.
Tora kemudian mendorong kursi Shou menuju ruang televisi, dan memberikan remote televisinya kepada Shou. Sembari menunggu suster Miyazawa tiba, tidak ada salahnya untuk membiarkan Shou menonton televisi dulu, sementara ia menyiapkan sarapan untuk mereka. Saat Tora tengah memasak sarapan, tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh. Tora segera mematikan kompornya, dan ia mendapati remote televisi yang digenggam Shou terjatuh, dan Shou sendiri memucat.
Tora kemudian menatap tayangan televisi itu. Di sana, tampak sebuah tayangan mengenai sebuah berita. Sebuah rumah di kawasan elite yang habis terbakar hingga hanya menyisakan puing-puing bangunan yang telah hangus. Tora kemudian menatap Shou sejenak, lalu ia pun meraih ponselnya, dan langsung menelepon Kai.
“Moshi-moshi, Kai-san? Ini saya, Dokter Amano.” Ucap Tora begitu nada sambung terputus.
“Ah, iya Dokter Amano, ada yang dapat saya bantu? Apakah ini mengenai kasus teman anda tersebut?”
“Ya, saya ingin meminta bantuan anda, bisakah nanti kita bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dengan anda.”
“Baik, pukul berapa sebaiknya saya menemui anda?”
“Saat makan siang, saya akan berada di rumah sakit.” ucap Tora sambil mengambil agendanya, dan memasukkan jadwalnya untuk bertemu Kai pada jam makan siang.
Setelah Kai setuju untuk menemuinya, Tora langsung menghampiri Shou, lalu meremas tangan Shou perlahan, “Tenang Shou. Aku akan membantumu mengingat semuanya lagi, sekarang kau sebaiknya istirahat dulu ya?”
Shou mengangguk pelan, dan ia pun meraih tangan Tora lalu berkata, “Baiklah Torashi, tapi aku tidak mau sendirian di kamar. Bayangan rumah terbakar tadi masih terasa segar di ingatanku.”
“Tentu, kau bisa menemani aku di dapur. Tidak masalah kan Shou?”
“Sama sekali tidak. Terimakasih ya, Torashi.” Ucap Shou sambil tersenyum.
Tora terkekeh pelan, ia pun mendorong kursi roda Shou menuju dapur, dan kembali melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat tertunda tadi. Setelah semua hidangan siap, Tora langsung menyiapkan sarapan Shou, baru kemudian miliknya. Pria itu menaruh semangkuk miso hangat, nasi putih yang masih panas dan juga salmon yang ia panggang dengan shoyu.
Shou menangkupkan tangannya saat Tora duduk di depannya lalu berkata, “Itadakimasu!” dan ia pun memakan sarapannya itu dengan sangat lahap.
Tora tersenyum lega, saat melihat Shou memakan sarapannya dengan lahap. Pria itu merasa sangat khawatir melihat Shou yang masih tampak sangat rapuh pasca kecelakaan itu. Tora masih asyik melamun, hingga tanpa ia sadari, Shou kini tengah menatapnya, sambil menggigit ujung sumpitnya, lalu berkata,
“Ne, Torashi, kau sedang memikirkan apa?” Tanya Shou.
Tora pun menoleh, lalu tertawa pelan dan berkata, “Tidak ada apa-apa, kau habiskan makananmu. Suster Miyazawa akan tiba sepuluh menit lagi.”
Shou mengangguk lalu meminum sup misonya perlahan. Bertepatan dengan saat Shou menghabiskan makanannya, bel pintu apartemen Tora berbunyi. Tora langsung berjalan ke arah pintu, lalu mempersilakan suster Miyazawa untuk masuk dan membantu Shou. Saat Shou dan suster Miyazawa sudah tidak tampak, Tora berjalan ke arah balkon sambil membawa secangkir kopi hangat. Pria itu menyesap kopinya perlahan, lalu menatap pemandangan di depannya.
Akhirnya, walaupun masih samar, ia mendapatkan petunjuk mengenai penyebab Shou muncul kembali setelah menghilang. Pria itu semakin yakin, apabila rumah yang terbakar itu memiliki hubungan erat dengan Shou. Sambil menyesap kopinya lagi, Tora pun menatap langit biru di depannya dan berbisik,
“Tenanglah Shou. Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkan ingatanmu kembali.”
Pria itu kemudian tersenyum, lalu menutup pintu balkon, dan mulai bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit untuk bekerja, dan juga untuk bertemu dengan Kai.
TBC