Title: I Love You when I Know I Can’t
Author: Giselle
Length: Chapter (12/?)
Genre: AU, Incest, Fluff, Angst, Romance
Rated: PG-15
Pairing: YunJae
Chapter 12:
Kakinya berjalan gontai ketika dia harus membuka pintu apartemennya. Matanya berat dan tubuhnya sakit semua. Setengah hari dia habiskan dengan tertidur di sofa kantornya dan begitu bangun malam sudah menyambutnya. ’Jaejoong...’ Dia mendengar dari para petugas keamanan, adiknya itu telah pulang sendiri, tanpa memberitahu dirinya.
Apartemen itu begitu gelap. Ahh... Kenapa semuanya harus seperti ini? Setahun yang lalu, apartemen ini menjadi tempat yang sangat hangat dan penuh canda tawa. Semua senyum mereka terjadi di sini. Tapi sejak seminggu yang lalu, semua kejadian buruk dan kesedihan ini terjadi beruntun dalam kehidupan mereka. Apakah ini terlalu disengaja? Tuhan tidak seharusnya membuat semua ini terlihat begitu nyata. Ada apa dibalik semua ini?
Memori kecil terlintas dalam benaknya. Jangan sampai, karena dia tidak bisa mendapatkan cinta yang dia cari dan yang dia harapkan, dirinya harus berakhir tragis seperti ibunya. Bagi Jung Yunho, setelah pikirannya mulai dewasa, dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam kematian ibunya. Tidak ayahnya, tidak SoHee, bahkan tidak juga Jaejoong. Sedikit terlintas bahwa ini kesalah Solbi juga. Mungkin ibunya saja yang terlalu berlebihan. Semua masalah tidak harus diselesaikan dengan bunuh diri, bukan?
”Jae...” sahutnya parau ketika membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Matanya menjelajahi kamar kecil itu dan begitu terkejut ketika melihat Jaejoong belum tertidur. Dia sedang duduk di tepi tempat tidurnya dan terlihat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. ”Kau belum tidur, Jae?” tanya Yunho pelan sambil berjalan mendekati Jaejoong yang sudah sadar dari lamunannya sendiri. Mata mereka bertemu, dan senyum tipis terkembang di bibir Jaejoong.
”Hey, hyung...” sapanya dengan suara pelan dan sedikit terdengar lelah. Yunho mengikuti Jaejoong dan duduk di tepi tempat tidur. Kali ini mereka terperangkap dalam diam yang canggung dan sedikit sulit untuk bisa mencerna pikiran masing-masing. Jaejoong, yang merasa harus memulai sebuah percakapan, memutuskan untuk membicarakan hal ini. Walau dia tahu ini akan begitu berat baginya. ”Selamat, karena hyung sudah bertunangan dengan Ara noona. Kenapa appa dan umma tidak memberitahuku sama sekali? Harusnya aku orang pertama yang diberitahu tentang ini.” senyum yang begitu dipaksakan. Yunho tahu itu. Dan Jaejoong menyadari kalau Yunho tahu.
”Kau tidak terlihat seperti itu. Malah sebaliknya.” jawabnya dengan memberikan senyum tipis sambil mengacak rambut Jaejoong. Yang lain tidak memberikan reaksi dan hanya diam ketika merasakan tangan itu. ”Aku yakin kau lebih memilih menjadi orang terakhir yang harus diberitahukan.”
”Apakah hyung menginginkan pertunanangan ini?” Oh my... Pertanyaan bodoh, Jung Jaejoong!! Bagaimana mungkin kau menanyakan hal itu? Jangan sampai… Oh tidak. Lebih baik Yunho segera menyadari perasaannya. Biarkan saja dia menanyakan hal-hal yang bisa menunjukkan bahwa dia mencintai Yunho. Biar saja Yunho tahu. Tapi sayangnya, dia tidak bisa menebak apa reaksi Yunho nanti. ’Urrgh!! Rasa takut ini...’ batinnya dalam hati.
”Entahlah.” jawabnya singkat dan kembali tersenyum tipis. ”Aku belum memikirkannya. Ini terlalu mendadak, dan rasanya aku tidak bisa berpikir sama sekali. Mungkin kau bisa menebaknya sendiri.”
”Bagaimana kalau hyung menolak pertunangan ini?”
Yunho mengangkat alisnya tidak percaya dan memperhatikan Jaejoong dari sudut matanya. Dia tidak memberikan ekspresi sama sekali. Jaejoong hanya melihat ke satu titik yang tidak jelas tanpa memutuskan untuk melihat Yunho. ’Kenapa dia menanyakan hal seperti ini?’ pikirnya dan merasa ada sesuatu yang lain dari pembicaraan ini. Sesuatu yang tidak wajar, dan sesuatu yang lain dari pembicaraan yang biasa mereka lakukan satu sama lain.
”Mungkin appa akan menghajarku.” Well, Yunho setengah bercanda setengah serius. Tapi Jaejoong kelihatannya menanggapinya dengan serius, ketika dia memperhatikan ekspresi shock Jaejoong dan menahan napasnya, membuatnya merasa harus meluruskan masalah ini. ”Aku hanya bercanda... Kau tidak harus ambil pusing seperti itu...”
”Tapi... appa pernah melakukannya, kan?” gumam Jaejoong rendah dan memutuskan untuk tidak melihat wajah Yunho. Dia yakin pasti ada ekspresi terluka di sana. Ekspresi sedih karena mengingat masa lalu itu.
”Itu kesalahanku juga karena membantahnya.” desahnya sambil tersenyum masam. Pukulan terakhir dari ayahnya... ”... wajar saja kalau dia menghajarku karena aku sudah membuatmu jatuh sakit.”
”Lupakan itu. Aku tidak mau mengingatnya.”
Dan setelah itu mereka terdiam lagi. Sejak kapan mereka merasa canggung satu sama lain?? Selama ini, diantar keduanya, mereka selalu menikmati waktu mereka berdua saja, baik sedang berbicara maupun sedang diam. Tapi kali ini, mereka terjebak dalam diam yang canggung. Diam yang berhasil membawa mereka, kedalam kebingungan satu sama lain. Apa yang ingin mereka bicarakan? Apa yang mereka harusnya katakan satu sama lain?
Entahlah. Mereka tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Semua hilang, tapi tidak dengan pikiran kalau mereka harus berpisah dalam waktu yang cepat dan sesegera mungkin. ”Aku akan pergi.” gumam Jaejoong pelan, berharap agar suaranya tidak perlu Yunho dengar, dan biarkan saja dia pergi tanpa harus mengucapkan salam perpisahan. ”Aku akan pergi meninggalkan Seoul.”
Napasnya tertahan, dan tangannya yang sedari tadi memegang celananya, berubah menjadi sebuah cengkraman yang keras dan nyaris membuat celana jeans itu robek. ’Pergi? Dia akan pergi?’ kepalanya berputar sehingga dia bisa memperhatikan ekspresi Jaejoong, ekspresi yang begitu sedih. ”Apa... Maksudmu?” suaranya bergetar hebat dan ketakutan ada di sana. ”Kau... Sedang tidak bercanda kan, Jae?” sahutnya dan menyentuh bahu Jaejoong pelan.
Tapi Jaejoong tahu kalau dia tidak bisa terikat selamanya dengan semua kebaikan hyungnya. Dengan cepat tubuhnya menyingkir sehingga mereka tidak bersentuhan satu sama lain. Kenyataan ini membuat mata Yunho membelalak lebar dan hatinya begitu sakit. ’Dia membenciku... Setelah menginggau kalau dia mencintaiku? Apalagi ini...’
”Aku... Akan kembali ke London.” gumamnya lagi dan merasakan air matanya nyaris jatuh. Tidak. Dia tidak bisa menangis lagi. Ini terlalu sering dan terlalu lama dia lakukan. Menangis sepanjang waktu dan terus menerus menyesali apa yang terjadi dalam hidupnya.
”Kau yakin tentang hal itu?”
Tidak. Dia ragu, dan dia sebenarnya tidak mau. Kembali ke London menjadi dua persoalan dalam hidupnya. Disana dia bisa aman dan terjauh dari Yunho. Tapi disana pula menjadi tempat ketakutan terbesarnya. ”Ya.. Aku yakin.”
Yunho mendengar ketakutan di suaranya. Mungkinkah memang ini yang diinginkan Jaejoong? Perpisahan berarti jalan terakhir? Tidak bisakah takdir mengubahnya menjadi lebih baik? Atau memang ini takdir yang harus mereka hadapi?
~~~~~~~~~~~~~~
Suara napas yang pelan dan teratur seolah membangunkannya dari mimpi buruk itu. Matanya terbuka cepat, tapi tidak seperti biasa ketika dia mengalami mimpi buruk. Mimpi ini berbeda dari yang biasanya. Bukan mimpi yang biasa dia alami. Tapi kenapa tetap saja membuat air matanya mengalir dengan bebas?
Dia berusaha bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sana. Tangannya mencoba menjelajahi tempat tidurnya, tapi berhenti ketika merasakan seonggok tubuh disampingnya. Kepalanya berputar ke samping dan tidak terkejut melihat siapa di sana.
“Hyung…” gumamnya ketika melihat tarikan pelan napas Yunho dan wajahnya yang begitu tenang. Semalam, mereka tertidur begitu saja disini setelah pembicaraan itu. Tangannya mencapai wajah Yunho yang masih tertidur, dan dengan pelan tanpa mencoba membangunkannya, dia mulai menyentuh dan menyelusuri setiap lekuk-lekuk wajahnya.
Kenapa dia bisa begitu berani pergi? Kenapa selama ini, selama setahun ini, dia tidak pergi saja? Kenapa harus sekarang, ketika dia baru sadar kalau cinta ini memang terlarang? Kenapa dari dulu tidak dia sadari kalau cinta ini memang tidak akan bisa dijalani? Di saat perasaan ini makin dalam, dan di saat perasaan ini mulai menghantui setiap tarikan napasnya? Jung Jaejoong menyesali mencintai Jung Yunho? Tidak. Dia tidak pernah menyesalinya.
Yang dia sesali hanya satu. Kenapa harus Yunho, dan kenapa harus dirinya. Apakah di kehidupan yang lalu, mereka sudah melakukan kesalahan, sehingga harus terjebak dalam cinta terlarang ini? Di tubuh mereka mengalir darah yang sama. Mereka memang tidak seharusnya saling mencintai.
Air mata kembali jatuh membasahi pipi pucatnya. Dia bosan dengan rasa sakit hati ini. Dia bosan dengan tangisan ini. Bahkan, terkadang dia merasa bosan harus hidup di dunia ini. Mungkinkah dia harus mengakhiri hidupnya? Berakhir tragis seperti ibu Yunho, mengakhiri hidup karena dia tidak bisa memiliki orang yang dia cintai? Tidak. Jaejoong bukan orang yang seberani itu. Dia lebih memilih hidup dalam penderitaan dan melihat orang yang dia cintai bahagia. Tapi tetap saja itu menyakitkan.
Merasa tidak sanggup lagi berada di sana, dia turun dari tempat tidur tanpa menghasilkan suara yang terlalu berisik sehingga membuat Yunho terbangun. Kakinya melangkah keluar dari kamarnya, dan setelah menutup pintu kamar, dia jatuh dan bersandar di pintu. Tangisan keras dan suara isakan adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan. Ini akan menjadi tangisan terakhir. Seterusnya, dia akan memendam sendiri perasaan ini, menjadi dewasa dan berhenti menangis. Dia harus mulai berhenti melakukan hal ini. Menangis seolah-olah menjadi kebiasaan baginya. Dan kalau seperti ini terus, ini hanya membuatnya semakin larut dalam kesedihan dan tidak bisa melupakan perasaan ini.
Sebuah suara faks menyadarkannya untuk berhenti menangis. Kepalanya yang dia letakkan diantara lututnya segera dia angkat dan berjalan lunglai dengan kaki gemetar. Matanya memperhatikan kalau mereka baru saja mendapat sebuah pesan baru. Dia menunggu sebentar dan mendapatkan sebuah pesan yang ternyata dikirim oleh ayahnya.
*Yunho, aku tidak peduli sekalipun kau menolak pertunangan ini. Tapi yang pasti, dua hari lagi, hubunganmu dan Ara akan segera diberitakan di media massa. Aku tidak menerima kata ’tidak’. Jangan membuat keluarga Jung malu karena tindakan konyolmu. Jung DongWoon.*
”Dua hari lagi?” Batinnya benar-benar tidak sanggup lagi sekarang. Dia menggigit bibirnya begitu kuat dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Perpisahan ini benar-benar terus mengejar-ngejarnya, menjerit padanya untuk segera pergi meninggalkan Yunho. Pikirannya kacau, napasnya memburu, matanya kabur, dan kematian kali ini sesuatu yang seolah menjadi keberanian untuk dia lakukan. ”Bunuh diri?” desisnya pelan, dan tawa histeris keluar dari bibirnya.
Tidak. Dia masih belum sanggup melakukan bunuh diri. Mungkin masih ada cara lain? Tidak ada. Membunuh Go Ara? Dia sendiri akan bunuh diri setelah membunuh wanita itu. Mati bersama Yunho? Kalau begitu, dia sudah mati dengan dua dosa besar. Membunuh orang dan bunuh diri.
Jadi tidak ada cara lain? Berarti berpisah. Meninggalkan semua perasaan cinta ini, jauh di belakang sana. Menatap masa depan baru, dan bersikap seolah-olah semua perasaan ini tidak pernah muncul dan berkembang di hatinya. Tapi seberani apa dia melakukan tindakan itu?
CRACK...
Sontak dia langsung bangkit berdiri dan menghapus air matanya. Tangannya mencengkram kertas itu menjadi bentuk yang sangat kecil dan menyimpannya dalam saku celananya. Telinganya bisa menangkap suara langkah pelan yang mulai mendekati dirinya, sampai akhirnya mereka bertemu juga. Keduanya terdiam dan memperhatikan satu sama lain tanpa berusaha menunjukkan kesedihan.
”Sepertinya kepergianmu benar-benar begitu cepat.” Ucap Yunho parau dan tersenyum kaku. Tangannya mengangkat sebuah amplop putih, dan Jaejoong kenal amplop apa itu. “Tiket pesawat menuju London, jam tujuh malam.” Yunho memutar kepalanya dan berhenti di sebuah jam dinding. “Sekarang jam setengah satu. Lima setengah jam lagi kebersamaan kita, kan?” tuturnya ketika dia mulai berjalan dan duduk dengan nyaman di sofa mereka. Jaejoong terdiam dan menahan napasnya. Yunho sudah tahu, dan benar-benar tinggal menghitung jam lagi. “Aku juga tidak kaget ketika melihat koper-koper itu. Ini benar-benar sudah direncanakan dengan baik.”
“Begitulah.”
Mata mereka tidak bertemu dan sibuk dengan pikiran masing-masing. “Aku tidak akan mencegahmu.” Bukan sesuatu hal yang Jaejoong harap akan dia dengar. Matanya membesar dan memperhatikan Yunho yang perlahan bangkit berdiri dan berjalan membelakanginya. ”Lakukan yang kau mau. Sekarang aku tidak berhak untuk mengatur hidupmu. Kau punya kebebasanmu sendiri. Aku percaya padamu.”
Bibir Jaejoong bergetar hebat dan rasa sakit hati seketika menghantamnya. ’Tidak hyung... Tidak! Cukup katakan kau ingin aku tetap di sini... Cukup hal itu, dan aku bisa mengatakan kalau aku mencintaimu... Please hyung... Katakan kalau kau tetap ingin aku berada disini...’ dia menangis dengan keras dalam hatinya, dan berusaha menahan isakan yang akan keluar dari bibirnya. Yunho berhenti di ambang pintu tanpa memutuskan untuk berputar dan memandangnya. ”Selamat tinggal Jae...”
Dan pertahanan Jaejoong hancur lagi kali ini. Tubuhnya bergerak sendiri, berlari mengejar pria itu dan memeluknya dari belangkang. Mencengkram dengan kuat kemeja putih yang sedang dia pakai. Membasahi punggung kemeja itu dan menangis disana. Berkali-kali dirinya menjeritkan kata-kata ’Maaf’, ’Jangan’, ’Hentikan’, apapun itu. Yunho tidak mengerti. Tapi perasaan sedih dan bersalah menghantuinya. Dan karena apa?
”Jae... Kenapa dengan...” ucapnya bingung ketika dia memutar tubuhnya menghadap Jaejoong. Tapi hal selanjutnya membuatnya begitu kaget. Bibir mereka bertaut begitu tiba-tiba. Menekan dengan sangat kuat, dan terasa begitu pas dibibirnya. Kenapa ini bisa trerjadi? Tangannya berusaha mendorong tubuh Jaejoong menjauh, ketika dia nyaris kehabisan napas. Matanya menatap tidak percaya sosok Jaejoong yang juga kehabisan napas. Wajah pucatnya berubah menjadi merah dan mata besar itu memerah dan sesekali bulir-bulir air mata jatuh dengan bebas. ”Jae!! Apa yang kau...”
”Peluk aku hyung...” ucapnya dengan napas tersengal dan terdengar begitu frustrasi. Yunho membuka mulutnya lebar dan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Tunjukkan padaku kalau kau peduli padaku. Peluk aku, dan buktikan!!” jerit Jaejoong dan membawa tubuhnya untuk kembali melumat bibir Yunho.
Tapi Yunho tahu ini salah. Tangannya kembali berhasil menahan tubuh Jaejoong, membuat jarak mereka makin jauh. Namun, ketika melihat ekspresi kecewa Jaejoong, perasaan bersalah menghantuinya dengan cepat. ”Dengar Jae... Ini salah! Dan... dan aku tidak bisa...”
”Lakukan hyung!!” jerit Jaejoong, dan kali ini dia berhasil membuat bibir mereka bertemu. Ciuman itu lebih panjang dari sebelumnya, dan Yunho yang sebelumnya berusaha mencegah hal ini, akhirnya terbawa juga. Dia perlahan membalas ciuman itu, dan dia orang yang pertama membawa ciuman itu masuk ke dalam pergumulan lidah yang panjang dan berusaha saling dominant satu sama lain. Pikirannya mengatakan kalau ini salah dan tidak boleh seharusnya terjadi. Tapi kenapa hati kecilnya berpikiran kalau ini benar?
”Lakukan hyung... Buktikan kalau kau benar-benar peduli padaku.” bisik Jaejoong ketika bibir mereka berpisah ketika oksigen benar-benar diperlukan detik itu. Napas mereka tersengal dan dada mereka naik turun, seolah ingin menghabiskan oksigen yang ada di dunia ini. Yunho tidak tahu apa yang salah dalam pikirannya. Kali ini, dia sudah menghapus status saudara itu. Pikiran tabu kalau hal ini salah sudah dia buang jauh-jauh. Ketika pikirannya masih begitu jernih, yang dia ingat terakhir adalah, ketika dia yang kali ini membawa Jaejoong masuk ke dalam ciuman yang tidak kalah panjang seperti yang sebelumnya. Jung Yunho benar-benar sudah melupakan semua itu.
~~~~~~~~~~~~~~
Semua terasa begitu panas, dan mereka sulit sekali untuk mengingat apa yang terjadi. Tapi tentu saja, hal-hal seperti ini tidak akan mereka lupakan. Tarikan nafas itu. Desahan yang tidak pernah berhenti, seolah hari esok tidak akan pernah datang. Cengkraman kuat satu sama lain. Ekspresi penuh nafsu dan juga penuh kesedihan itu. Ciuman yang entah kapan bisa mereka hentikan, seolah-olah menjadi keharusan dalam setiap detik nafas mereka. Tangan dan jari-jari yang bergerilya di tubuh masing-masing. Keringat dan suhu tubuh yang meningkat dengan drastic.
Semua itu terdengar seolah menjadi mimpi mereka. Tapi satu hal yang paling membekas dalam benak mereka masing-masing. Bukan hanya desahan dan tarikan nafas yang berat yang bisa mereka dengar. Isakan juga mewarnai setiap detik kenikmatan yang melebihi semuanya terjadi. Sekalipun semua ini tetap begitu menyenangkan, air mata tetap harus mengalir. Apa pun yang terjadi, mereka tetap tahu kalau ini terlarang. Tapi siapa yang bisa menolak harum dan manisnya buah terlarang tersebut?
~~~~~~~~~~~~~~
Ini aneh. Tapi kenapa di sisi lain tetap terasa begitu benar? Matanya terbuka perlahan, begitu perih karena bekas air mata yang mengering dan seluruh tubuhnya begitu sakit. Dia memutar kepalanya dan tidak terkejut ketika melihat sosok Yunho yang masih tertidur. Bekas-bekas air mata masih terlihat jelas di pipi Yunho. Apakah dia salah karena sudah memaksa hyungnya untuk melakukan hal ini?
Tangannya menyapu perlahan setiap sudut wajah pria itu. Mulai sekarang, dia tidak akan bisa memilki semuanya ini lagi. Oh... Sebenarnya dia memang tidak pernah memilikinya. Semua yang ada pada Yunho bukan milik Jaejoong. Tapi setidaknya, hari ini dia bisa bermimpi memiliki semua itu. Walau hanya sekali ini...
Dalam waktu setengah jam, dia sudah selesai dengan persiapannya untuk berangkat. Jaejoong yang sudah selesai mandi dan berpakaian, tiket yang sudah berada di tangannya, dan beberapa koper yang akan menemani perjalannya. ’Aku akan meninggalkan banyak hal di sini.’ Batinnya ketika mendorong keluar koper-kopernya dari kamarnya menuju pintu depan apartemennya. Jaejoong meninggalkan sesuatu di meja dekat telepon. ”Selamat tinggal hyung... Aku mencintaimu...”
~~~~~~~~~~~~~~
Sesuatu yang kosong dan hampa mengganggu tidurnya. Masih dengan mata tertutup, tangannya menjelajah setiap sudut tempat tidur di kamarnya, memastikan kalau orang yang dia cari masih berada di sana. Yang dapat dia rasakan, hanya sehelai kain penutup, kosong dan tidak ada siapa pun. Hanya tinggal dirinya...
Kelopak matanya terbuka perlahan, memutar kepalanya hanya untuk meyakinkan kalau indera perasanya masih bekerja dengan baik. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Dia sudah pergi? ’Mungkin aku masih punya harapan...’ batinnya dan segera bangkit dari tempat tidur, menarik sepasang jeans yang tergeletak di lantai dan berjalan keluar dari kamarnya. Sepi. Dia berjalan memeriksa setiap sudut apartemen itu, ruang tamu, dapur, kamar mandi, tempat penyimpanan barang, kamar Jaejoon... Tidak ada tanda-tanda siapa pun. ’Harapanku benar-benar sudah tidak ada lagi...’
Hatinya kosong sekarang. Sesuatu yang telah lama dia simpan dan tutupi, akhirnya mengambang pergi. ’Ini lebih baik.’ Batinnya dan tersenyum kecut. Tidak ada lagi, beban pikirannya, tidak ada lagi rasa kecewa di hatinya. Semua pergi, bersamaan dengan perginya sosok itu. ”Jae...” gumamnya pelan ketika kakinya berhenti di ruang keluarga itu. Ruangan itu kosong, tidak ada siapa-siapa, dan terasa begitu menyakitkan tanpa sosok seorang Jaejoong. Matanya beralih kearah jam dinding dan menyadari kalau sudah jam setengah sembilan malam. ”Baru satu setengah jam dan kau sudah merindukannya?” tawanya dengan suara rendah dan terdengar begitu histeris.
Tapi sesuatu yang lain mengganggu matanya. Sesuatu yang berwarna merah, kertas yang sudah dilipat dengan sangat rapi dengan pita merah yang telah membalut kertas itu. Kakinya berjalan mendekati kertas itu, membukanya perlahan dan membaca kertas itu.
Dear Yunho-hyung…
Yang aku sayang dan aku percaya….
Aku harus pergi tanpa sempat mengucapkan salam. Aku bukan bermaksud buruk. Aku melakukan ini karena aku benar-benar terdesak, dan aku tidak ingin acara tangis-tangisan mengakhiri pertemuan kita. Mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita... Karena selanjutnya, aku akan fokus pada pelajaranku. Jangan khawatirkan diriku. Percayalah, sekarang aku bukan Jung Jaejoong yang kau kenal... Adik laki-lakimu yang senang menangis dan begitu lemah, sekarang aku sudah dewasa dan aku bisa hidup tanpa dirimu. Terima kasih sudah begitu peduli dan sayang padaku. Berbahagialah dengan hidupmu sekarang, hyung... Aku tidak akan mengganggu lagi dan aku senang kau bersama Ara-noona. Dia wanita yang baik. Selamat tinggal...
Orang yang paling menyayangimu di dunia ini
Dan tidak akan pernah melupakan kalau kau hyung terbaik di dunia…
Jaejoong
Yunho tidak memberikan reaksi apa-apa lagi. Tangannya kembali melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku celananya, dan menyadari kalau handphonenya berada dalam celana jeans itu. Jari-jarinya memainkan setiap pad handphone itu dan akhirnya mendekatkannya di telinganya. Sambil menunggu sesaat, dia mendengar suara panggilan, sampai akhirnya berhenti dan diganti dengan sebuah suara wanita yang pelan dan lembut.
-Yun-ah...-
”Ara...” gumamnya pelan dan duduk di sofa sambil menutup kedua matanya dengan tangan yang lain. ”Kau tahu konsekuensi dari pertunangan yang akan kita jalani ini kan?”
-...-
”Ara...”
-Apakah maksudmu, aku harus puas dengan resiko kalau aku harus hidup tanpa cinta darimu? Kalau aku harus puas kalau aku tidak akan bisa memiliki hatimu? Ya, aku tahu.-
”Apa kau seberani itu mengambil resiko ini?”
-...-
”...”
-Ya, aku yakin.-
Yunho akhirnya menghirup kembali udara yang sudah ditahannya selama beberapa saat tadi. ”Kalau begitu, aku akan menerima pertunangan ini. Sampai jumpa.” dan tanpa berbasa-basi, Yunho memutuskan hubungan telepon.
’Hidup yang baru. Jalani saja. Siapa yang tahu kalau suatu saat kau akan terbiasa?’
*to be continue*