Title: I Love You when I Know I Can’t
Author: Giselle
Length: Chapter (9/?)
Genre: AU, Incest, Fluff, Angst, Romance
Rated: PG-15
Pairing: YunJae
Chapter 9:
Jaejoong berjalan lunglai masuk ke dalam gedung apartemennya. Matanya membengkak dan terlihat begitu lemas. Memalukan karena dia menangis begitu tiba-tiba di kelasnya. Tapi beruntung semua begitu peduli kepadanya (tentu saja, terkecuali Tiffany cs), mereka membawa Jaejoong ke UKS dan membiarkan Jaejoong menangis di sana, dan menjelaskan pada guru kalau dia sedang sakit. ‘Mereka jadi begitu baik padaku...’ batinnya sambil tetap melangkah menuju apartemennya.
Mungkin dia tidak bisa mengatakan kalau dia terganggu, lebih tepatnya kurang nyaman. Han HyoJoo orang yang paling peduli dengan keadaannya. Gadis itu yang begitu sabar menemaninya selama di UKS, bahkan dia tidak sekalipun mencoba menanyakan kenapa dirinya menangis.
“Aku tidak akan memaksamu. Itu masalahmu, bukan masalahku. Bila kau tidak bisa menceritakannya, lebih baik kau menangis saja. Aku sering melakukan hal itu.”
Kalimat-kalimat itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Menangisi masalahmu? Senyum lemah muncul begitu tiba-tiba di wajahnya. Tanpa perlu dikatakan orang, dia selalu melakukan hal itu. Setiap saat dia menangis, menangis dalam kesakitannya, menangis dalam kesedihannya... Dia tidak bisa menceritakan semua masalahnya pada orang lain. Kenapa? Karena dia tidak pernah bisa mempercayai orang lain. Jung Jaejoong yang malang harus bergelut dalam dunianya sendiri tanpa mendapat pertolongan dari orang lain. Hanya Yunho yang dia percaya, walau terkadang kepercayaan itu lama kelamaan membuat dirinya bergantung penuh pada pria itu.
Jaejoong mengambil kunci apartemennya, membukanya dan melangkah masuk. Tanda-tanda kepulangan Yunho tidak tampak. Tentu saja! Pria itu memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, mungkin selanjutnya, dia tidak punya waktu lagi untuk menjaga Jaejoong. Pikiran itu langsung membuat hatinya sakit lagi. Matanya yang bengkak terasa perih ketika merasakan ada yang menggenang di pelupuk matanya.
‘Titt.. Titt...’ Suara telepon. Menyadari suara itu membuat Jaejoong cepat-cepat menghapus air mata yang nyaris mengalir dan dia berjalan cepat menuju telepon rumahnya. Di deringan kelima, dia berhasil mengangkat telepon itu dan mendengar suara wanita di ujung sana.
“Jae...” sahut wanita itu dari ujung sana. Pikiran Jaejoong masih belum terlalu fokus dan dia tidak bisa menebak suara siapa ini. “Joongie.. Kau melupakan aku?” Dalam hitungan detik, air mata itu jatuh lagi. Dia mulai terisak, dan wanita yang berada di ujung sana yang mendengar hal itu langsung khawatir mendengarnya. “Omo... Joongie... Joongie... Honey... Kau tidak apa-apa, sayang?” suaranya begitu khawatir dan membuat Jaejoong tersenyum kecil ditengah isakkannya.
“Umma...” sahutnya akhirnya. Dia merindukan suara ibunya. Wanita muda yang begitu cantik dan begitu pengertian padanya. Orang nomor dua yang bisa dia percayai, tapi tidak sepenuhnya juga. “Aku merindukanmu...” desahnya dan menghapus kembali air matanya. Dia mendengar tawa kecil di ujung sana dan kembali tersenyum.
“Aku juga merindukanmu Jae... Oh, honey! Seandainya aku tidak terkurung dalam tumpukkan buku-buku ini, mungkin aku bisa segera menemui bersama appa-mu.”
“Appa datang ke sini?” Jaejoog mengangkat alisnya terkejut. Kalau benar datang, kenapa pria itu tidak mengunjunginya?
“Yeah, dia datang. Sayangnya dia harus segera kembali ke London. Hanya beberapa jam, dan hal itu membuatnya tidak bisa mengunjungimu. Kau tidak masalah dengan hal itu?”
“Mm... Well, tidak terlalu.” Dia tahu sesibuk apa ayahnya itu. Jadi dia bisa mengatakan apa? Memarahi ayahnya dan bertindak kekanak-kanakan? “Tumben sekali appa mau mengunjungi Seoul. Apakah ada masalah di perusahaan?”
“Masalah?” dia mendengar suara tawa kecil di ujung sana. “Tidak... Itu hanya alibi appamu. Ada urusan lain. Ini mengenai perjodohan Yun-ah. Kelihatannya dia akan dijodohkan dengan Ara.”
Bagai petir, Jaejoong membeku di tempat dia berdiri. Tangannya gemetar dan wajahnya memucat. Ganggang telepon itu jatuh dengan bebas dari tangannya. Matanya makin perih dan hatinya seolah-olah diiris menjadi beberapa bagian yang begitu kecil, tipis dan begitu mudah dihancurkan. ‘Perpisahan ini semakin dekat...’ batinnya dan berusaha menahan isakkannya, ketika dia mendengar suara umma-nya yang khawatir dari telepon. “Joongie?? Jonggie?? Kau masih di sana?”
Masih dengan tangan gemetar dan berusaha menahan air mata, Jaejoong kembali mengambil ganggang telepon itu. “Uhh... Ya, aku masih di sini.” Jawabnya sambil berusaha menahan getaran di bibirnya. “Aku... Maaf, umma. Aku harus mengerjakan sesuatu sekarang. Sampai jumpa.” Hanya itu, dan dia meletakkan kembali ganggang telepon itu.
Pertahanannya hancur kembali. Air matanya jatuh lagi. Kakinya tidak sanggup menahan bobot tubuhnya membuat dia terjatuh dan terduduk di lantai yang dingin. Dia menggigit bibirnya begitu kuat dan hampir berdarah, hanya untuk menghentikan air mata dan isakan itu. Tangannya menutup mulutnya dan dia begitu ketakutan di sana. ‘Tidak ada lagi yang peduli padaku... Tidak ada lagi yang bisa aku andalkan... Hyung akan pergi....’ isaknya dan memikirkan semua itu membuatnya makin ketakutan.
Dia tidak bisa berdiri hanya untuk mencari obatnya. Perasaan ketakutan ini bahkan lebih kuat dari yang biasanya. Semua mulai berubah kabur. Nafasnya tersengal disela-sela tangisan yang masih belum berhenti itu. Dia benar-benar tidak bisa menggerakan tubuhnya lagi. Ketakutan menghiasi wajah cantiknya dan tubuhnya begitu merasa kedinginan. “Hyung...” hanya itu, sebelum akhirnya dia terjatuh dan pingsan di sana.
‘Apakah aku tidak memiliki kesempatan lagi?’
~~~~~~~~~~~~~~
“Kita sampai.” Sahut Yunho ketika dia menghentikan mobilnya di depan sebuah mansion yang besar di pinggir kota. Sambil melepaskan sabuk pengamannya, Yunho berputar kesamping dan mendapati Ara yang sedang melepaskan sabuk pengamannya juga dan berbalik menghadapnya.
Dia hanya menjawab dengan senyuman tipis. “Trims, Yun-ah. Kau terlalu baik mau mengantarku pulang.”
“Tidak masalah. Kau temanku, dan itu hal yang wajar.” Jawab Yunho dan membalas senyuman itu. Dia menyadari kalau ekspresi Ara tiba-tiba saja berubah dan dia menunduk dalam. “Ada yang salah?”
“Tidak bisakah kau menghapus status ‘teman’ itu, Yun?” Yunho tidak terkejut mendengar hal itu. Suatu saat, cepat atau lambat Ara akan menanyakan hal itu. “Bisakah kita lebih dari itu?” Ara mengangkat wajahnya kali ini dan menatap Yunho dengan mata berair. “Aku menunggu selama 9 tahun hanya untuk bisa mendapatkan status lebih daripada itu...” wanita itu menggapai tangannya dan mencengkramnya kuat. Yunho tidak mengubah ekspresi tenang di wajahnya. Apa yang lagi yang bisa dia lakukan?
“Kau tahu aku tidak pernah bisa merasakan apa-apa padamu...” Yunho menjawab tanpa mengalihkan matanya dari mata Ara.
Wanita itu masih belum menyerah. Kali ini dia mulai menangis dan tetap berusaha membuat Yunho sedikit saja membuka hatinya untuk dirinya. “Aku mencintaimu... Aku mencintaimu Yun-ah... Kenapa kau tidak sekali saja membiarkan diriku masuk ke dalam hatimu? Apakah ada orang lain? Orang lain yang benar-benar melebihi aku?” isaknya dan berhasil membuat hati Yunho terenyuh. Tapi bukan karena sedih melihat Ara menangis, tapi karena mendengar kata ‘orang lain’.
“Memang ada orang lain.” Jawab Yunho akhirnya dan melepaskan tangan Ara dari dirinya. “Aku tidak bisa mengatakan orang ini melebihmu. Yang aku tahu, hanya dia yang berhasil membuatku membuka pintu hatiku. Tapi bukan untukmu, Ara.”
Suasana di mobil itu kembali begitu tenang. Tidak juga, sebenarnya lebih terasa mencekam. Yunho memperhatikan Ara yang masih menangis di tempat duduknya. Dia tidak bisa berbuat banyak. Mungkin benar kalau dia memang berniat mencari orang lain selain Jaejoong. ‘Shit! Tidak ada yang bisa melebihi Jaejoong...’ batinnya, tapi berusaha membuang jauh-jauh perasaan itu. Haruskah dia mengakhiri perasaannya pada Jaejoong? Cinta ini terlalu berat bagi dirinya untuk dijalani. Apa reaksi Jaejoong kalau tahu hyung selama ini dia percaya sebenarnya mencintainya melebihi sebuah status ‘saudara’? Apa reaksi ayahnya dan SoHee jika tahu dirinya mencintai adiknya sendiri?
“Tapi aku tidak akan menyerah, Yunho...” pikiran Yunho buyar ketika mendengar perkataan Ara. Wajahnya mendongak dan mendapati Ara yang sedikit lebih tenang walau tubuhnya masih gemetar. “Aku yakin pelan-pelan kau mau membuka hatimu untukku...”
Selanjutnya hal yang tidak dia duga terjadi. Ciuman singkat di bibirnya. Wanita itu menarik paksa kerah bajunya dan menekan kuat bibirnya di sana. Yunho tidak bisa bereaksi apa-apa. Dia tidak akan tega mendorong Ara dan melemparnya keluar dari mobil, tapi ciuman itu akhirnya berhenti juga. Mata mereka bertemu selama beberapa saat, sebelum akhirnya Ara pergi keluar tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
“Begitu berbeda...” desahnya dan menyentuh bibirnya dengan jempolnya, seperti berusaha menghapus ciuman itu. “Aku lebih menikmati bibir Jae daripada Ara...”
Tapi dia tahu dia harus secepatnya menghapus pikiran itu. Mungkin Yunho memang seharusnya mengabaikan perasaannya kepada Jaejoong. Dia tidak boleh selamanya terjerumus dalam perasaan ini. Tapi yang membuat dia penasaran, bagaimana reaksi Jaejoong nanti setelah mengetahui kalau dia akan berpisah lagi dari dirinya?
“Aku akan melihat nanti di rumah...”
~~~~~~~~~~~~~~
‘Lagi-lagi perasaan galau ini...’ batinnya ketika kakinya melangkah dengan begitu cepat keluar dari lift menuju apartemennya. Dia begitu takut, dan merasa ada hal buruk yang sedang terjadi, dan perasaan itu semakin kuat ketika dia berada di depan pintu apartemennya. ‘Jangan bilang kalau ini mengenai Jae...’
Malam sudah cukup larut. Langit kota Seoul malam itu hanya dihiasi sinar bulan dan ditambah kelap-kelip malam kota Seoul yang terlihat seperti tidak akan berakhir. Semakin larut malam, semakin takut dirinya kalau Jaejoong masih belum tidur juga dan sedang menunggunya. ‘Mungkin anak itu akan marah padaku.’ Pikirnya sambil membuka pintu itu perlahan. Gelap. Terlalu gelap. Mungkin Jaejoong sudah tidur. Tapi kenapa kegalauannya masih belum berhenti juga?
Tangannya mencoba mencari saklar lampu didekat pintu masuk, dan ruangan itu lumayan terang sekarang. Kakinya melangkah pelan, berjalan menuju ruang keluarga. Dari jauh dia tidak mendengar sama sekali tanda-tanda kalau TV sedang menyala. Tapi yang membuatnya terkejut dan sontak mengambil handphonenya adalah, ketika dia melihat sebuah sosok kecil dan begitu lemah terbaring tidak berdaya di lantai apartemen.
“JAE!!” teriaknya dan berlari mendekati tubuh yang tergolek lemas itu. Dengan satu tangan dia berhasil membawa Jaejoong kedalam pelukannya, sementara tangan yang lain berusaha mendial orang yang paling penting untuk datang sekarang. “Badanmu panas sekali Jae... God!! Jae, aku mohon, sadarlah...” dia merasakan matanya mulai basah ketika mendapati wajah Jaejoong yang begitu pucat dan tidak membuka matanya sama sekali. Ketakutan dan kegalauannya jelas karena masalah ini.
“Yunho-ssi? Ada masalah?” suara rendah dan lembut itu terdengar setelah dia menunggu selama beberapa saat.
“Leeteuk-ssi!! Aku mohon... Tolong datang segera! Jaejoong pingsan, aku tidak tahu kenapa, dan badannya begitu panas! Aku mohon tolong segera datang.” Yunho mengucapkannya begitu cepat, tapi tetap membuat dokter muda itu paham dan menjawab akan segera tiba di apartemen mereka.
Yunho yang tidak bisa berbuat banyak akhirnya membawa Jaejoong ke kamarnya dan membaringkan adiknya di tempat tidur. Dia sedikit ragu, tapi dia tetap harus mengganti seragam Jaejoong dengan sebuah piyama bersih. Setelah selesai mengganti baju, dia pergi mengambil air dingin dan kain bersih untuk mulai mengkompres Jaejoong.
“Jae... Kenapa kau tidak pernah tidak berhasil membuatku khawatir...” desisnya ketika memperhatikan wajah pucat Jaejoong dan begitu tidak sabar menunggu datangnya Leeteuk.
~~~~~~~~~~~~~~
“Dia hanya demam ringan. Tidak usah terlalu khawatir.” Kata Leeteuk akhirnya setelah melepaskan stetoskopnya dan memasukkan kembali ke dalam tasnya. “Tapi, mungkin ini disebabkan karena depresi ringan.”
“Dia kambuh lagi?” Yunho mengangkat alisnya tidak percaya.
Dokter muda itu hanya mengangguk kecil sambil berjalan keluar kamar, meninggalkan Jaejoong yang sudah tertidur dengan pulas dan keadaannya lebih baik dari sebelumnya. “Kau melakukan sesuatu padanya?”
“Tidak. Aku baru saja sampai dan aku sudah mendapati dia pingsan.”
“Mm... Mungkin ada alasan lain kenapa dia kambuh. Seperti stress karena tekanan di sekolah, atau ada orang yang menceritakan sesuatu hal yang tidak ingin dia dengar padanya.” Penjelasan Leeteuk membuat Yunho hanya mengerutkan dahi dan memperhatikan Leeteuk selama beberapa saat. “Kenapa? Ada sesuatu di wajahku?”
“Tidak. Hanya saja... Aku ingat kalau kau bukan seorang dokter jiwa, kan?”
“Oh, ayolah...” desis Leeteuk pelan dan berjalan mendahului Yunho ke arah pintu depan. “Aku memang bukan dokter jiwa, tapi setidaknya aku tertarik dengan masalah Jaejoong-ssi itu saja.”
“Dan hal itu sampai membuatmu pindah ke Seoul? Apakah kau begitu tertarik dengan Jaejoong, melebihi hal itu?” Yunho hanya menggoda dokter itu. Dia memperhatikan Leeteuk yang hanya memutar bola matanya.
“Sampai jumpa. Aku harus pergi sekarang sebelum aku terlalu gila dengan semua perkataanmu. Oh, dan satu lagi.” Kali Leeteuk berubah serius. “Jangan membuat dia semakin stress. Mungkin bukan kau yang melakukannya kali ini, tapi aku tahu secara tidak langsung ini mengenaimu. Selamat malam.” Dan dokter itu akhirnya pergi, meninggalkan Yunho yang berdiri di depan pintu dengan sejuta tanda tanya di benaknya.
“Karena aku??”
Yunho mencoba berpikir keras kenapa bisa dirinya yang menjadi alasan Jaejoong depresi. Tapi karena dia tidak menemukan jawabannya, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kamar Jaejoong dan memeriksa keadaannya.
Dia masih tidur dan Yunho bisa melihat dari lampu yang temaram di kamar ini kalau wajah Jaejoong mulai menunjukkan warnanya lagi. Dia membaringkan tubuhnya di sebelah Jaejoong dan menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur. Tangannya berjalan menyusuri kepala Jaejoong, mengelus rambut hitamnya yang halus. ‘Mungkin aku tidak akan bisa melakukan ini lagi padanya.’ Batinnya dan merasa sedih dengan pikiran itu.
“Hyungg...” dia menangkap suara erangan pelan, cepat-cepat dia mengangkat tubuh kecil Jaejoong ke dalam pelukkannya, berharap agar adiknya bisa lebih nyaman. “Nngg... Aku mohon...” apakah Jaejoong menginggau? “Jangan tinggalkan aku... Hiks... Hiks... Hyungg...” perlahan dia mengangkat wajah Jaejoong sehingga dia tidak terbangun dan menyadari kalau dia mulai menangis.
“Sshh.. Jae, aku tidak pernah meninggalkanmu...” bisiknya tepat di telinga Jaejoong dan mengusap lembut punggungnya. “Aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu...” perasaannya tercabik ketika merasakan cengkraman Jaejoong yang begitu kuat di bajunya. Tangisan makin keras, sementara Jaejoong masih tertidur. Yunho membawa tangannya ke dahi Jaejoong dan merasakan demamnya naik lagi.
“Jangan hyungg.... Jangan pergi.... Hiks.. Hiks...” Yunho tidak tahu harus melakukan apa lagi. Semua yang biasa dia lakukan untuk menenangkan Jaejoong tidak berguna lagi. Tangisannya makin keras dan cengkraman Jaejoong juga makin kuat, seperti mengisyaratkan kalau sewaktu-waktu Yunho bisa saja pergi dan digantikan oleh angin kosong.
“Jae...”
“Aku mencintai hyung...”
Suara isakkan masih terdengar, napas yang tersengal juga menjadi bukti kalau Jaejoong masih menangis. Tapi Yunho hanya bisa menahan napasnya. Matanya memperhatikan setiap seluk-beluk wajah yang dipenuhi air mata itu dan masih saja terus menangis. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’
“A... Aku juga... Mencintaimu, Jae...”
Hanya sebuah bisikan, tapi hal itu berhasil membuat Jaejoong berhenti menangis. Perlahan yang terdengar tinggal tarikkan napas yang teratur dan begitu tenang. Dia menahan napasnya. Bisakah dia menganggap ini hal yang sah? Bisakah dia mengakui kalau itu benar-benar keluar dari hati Jaejoong? Bisakah... Hal itu berarti lebih dari saudara?
‘Apakah ini lebih dari saudara Jae? Apakah ini lebih dari semua status yang ada di antara kita?’
*To Be Continue*