Sebenarnya berencana bikin yang semacem valentine fic taun lalu tapi ternyata tidak sanggup huhu maafkan. Bikin dua saja lumayan lah HAHAHA rada gimana gitu dan judulnya random banget ini gara-gara saya tiba-tiba ngidam choco pie. *ya terus* Pertama kali bikin TakuNao! Selamat datang di ff saya @/takumi www lalu di twitter juga saya tadi menjanjikan gariyuupi tapi mon maap ditunggu saja(?) HAHAHA untuk takumi saya bikin gini karena di kepala saya dia orangnya kalem gitu. jadi di sini ceritanya dia seminggu sekali akan makan sendirian karena ingin ketenangan, bukannya karena tidak punya teman(?)
.
Oriyama Nao/Kitagawa Takumi
Setelah dipikir lagi, mungkin memojokkan Takumi di perpustakaan bukan ide yang bagus.
Setelah dipikir lagi, mungkin memojokkan Takumi di perpustakaan bukan ide yang bagus.
“U-um…” Kitagawa Takumi tampak kebingungan. Ia melirik ke kanan dan kiri dengan hati-hati, seolah sedang berusaha mencari jalan untuk kabur.
Di hadapan Takumi, Oriyama Nao berdiri dengan sebelah tangan terulur. Saat itulah, persis saat itulah, Oriyama baru menyadari bahwa ini adalah ide yang buruk. Pertama-tama, Takumi tidak mengenalnya. Mungkin. Entahlah. Setidaknya, mereka tidak pernah saling berbicara. Kedua, seharusnya ia tahu bahwa orang seperti Takumi mungkin tidak suka ’diserang’ seperti ini. Oriyama dapat melihat bagaimana punggung Takumi menekan rak buku di belakangnya-seolah-olah ia ingin menghilang ditelan rak tersebut.
Tetapi, Oriyama tidak punya banyak pilihan.
Ia sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Belajar membuat cokelat, berlatih di depan cermin, menghafalkan keseharian Takumi (“Stalker,” komentar Raul sambil tertawa. Oriyama tidak membantah)… Dan seharusnya, hari Jumat adalah jadwal Takumi makan siang sendirian di atap sekolah.
Seharusnya.
Rencana awal Oriyama adalah menghadang Takumi di atap. Atau mungkin di tangga menuju atap-tergantung situasi. Sayang sekali ia melupakan satu hal: ini adalah hari Valentine, dan atap sekolah dipenuhi para siswa yang menyatakan cinta. Sementara Oriyama menunggu Takumi di tangga, Takumi memakan bekalnya sendirian di ruang kelas.
Rencana penggantinya, tentu saja, adalah saat pulang sekolah. Oriyama menunggu di rak sepatu dengan sedikit tidak sabar, berkali-kali memikirkan apakah sebaiknya ia meninggalkan cokelatnya di rak sepatu Takumi saja. Tentu saja itu akan jadi lebih mudah. Tetapi bagaimanapun juga ia ingin berbicara dengan Takumi. Satu-dua patah kata saja tidak masalah. Ia ingin Takumi mengetahui keberadaan seorang Oriyama Nao.
Masalahnya adalah, Takumi tak kunjung datang. Kenapa? Padahal Oriyama tahu bahwa Takumi adalah tipe orang yang akan langsung pulang segera setelah bel berbunyi. Apakah belakangan Takumi bergabung dalam suatu klub? Apakah guru meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu? Atau rapat OSIS dadakan?
Benar juga-rapat OSIS dadakan! Mungkin sekali! Akhir-akhir ini OSIS memang sering rapat, mengingat musim kelulusan sudah dekat.
Karena sudah tanggung bersemangat, Oriyama cepat-cepat memutar tumitnya dan berjalan menuju ruang OSIS di lantai empat. Sebelah tangannya menggenggam sebungkus cokelat buatan sendiri yang dibungkus dengan rapi.
Tetapi saat melewati perpustakan di lantai tiga, ujung matanya menangkap seseorang.
Takumi.
“Ah!!” ia berseru tanpa sadar. Tubuhnya seolah bergerak sendiri-mendorong pintu kaca perpustakaan, berlari dan memojokkan Takumi di salah satu sudutnya, kemudian menyodorkan cokelat tersebut di depan mata Takumi. Tanpa dapat ditahan lagi, kata-kata yang selama ini memenuhi kepalanya pun meluncur keluar: “Aku menyukaimu!”
Ya, benar sekali. Inilah yang membawa Oriyama ke situasi sekarang.
“T-terima kasih…?” balas Takumi akhirnya, dengan ragu menerima cokelat pemberian Oriyama. “Oriyama… kan? Dari kelas 1-D?”
“Eh?! Kau mengenaliku?!” Suara Oriyama membuat Takumi terlonjak. Tenang, Oriyama Nao, TENANG! Jangan panik! Kau akan membuat Takumi ketakutan! Tenang, tenang, tarik nafas dalam-tentu saja tidak bisa, kan?! Astaga, astaga, ASTAGA, Takumi mengenaliku!
“Oriyama…?”
“Ah!!” Untuk yang ketiga kalinya hari itu, Oriyama berseru kaget. Ya ampun. Ini memalukan sekali! Padahal ia sudah berencana untuk memberikan cokelat pada Takumi dengan keren! Sambil mengedipkan sebelah mata, misalnya. Tetapi kenapa jadi seperti ini?! Takumi pasti illfeel padanya!
“Pfft-hahaha!”
Sekujur tubuh Oriyama seakan membeku. Ia mengangkat kepala, menatap Takumi yang sedang tertawa kecil. Melihat tawa Takumi dari dekat, rasanya jantung Oriyama melakukan jungkir balik.
“Terima kasih,” kata Takumi lagi, kali ini dengan suara yang lebih tenang. “Aku tidak menyangka akan… Yah… Ini pertama kalinya untukku. Aku tak yakin apa yang harus kulakukan.”
“A-aku juga… Sebenarnya… Ini pertama kali…”
Mata mereka bertemu, dan keduanya langsung menunduk malu-malu.
“Kitagawa?”
Momen tersebut rusak oleh suara asing yang memanggil nama Takumi. Oriyama menengok, mendapati pengurus perpustakaan sekolah berdiri dengan setumpuk buku di tangannya.
“Kitagawa, kau sudah selesai membereskan bagian sana?”
“Maaf, belum. Sedikit lagi.”
Untuk sesaat Oriyama berniat menawarkan bantuan, namun tatapan tajam pengurus perpustakaan membuatnya gugup.
“Aku selesai sebentar lagi,” kata Takumi dengan suara pelan, menatap Oriyama. “Tunggu aku di parkiran sepeda?”
“S-sungguhan? Kau tidak… Maksudku, kau sungguh tidak apa-apa? Kau boleh menolakku kalau mau, tidak ada paksaan.”
“Ssh, pergilah. Aku akan segera menyusul.”
Melihat kesungguhan Takumi, Oriyama pun mengangguk kecil. Ia menunduk kepada sang pengurus perpustakaan, sebelum membalikkan badannya dan pergi meninggalkan perpustakaan tersebut.
Takumi hanya menatap punggung Oriyama yang berjalan menjauh. Oriyama Nao-matahari kecil yang selalu membawa keceriaan dan kehangatan ke manapun ia pergi. Keberadaan yang selalu membuat sebuah ruangan terlihat lebih terang, suasana terasa lebih hidup. Tentu saja tak mungkin Takumi tak mengenalnya. Tak mungkin Takumi tak terpesona padanya.
Sambil menggenggam cokelat pemberian Oriyama dengan sedikit lebih erat, seulas senyum tulus mengembang di wajah Takumi.
.
Hashimoto Ryo/Inoue Mizuki
Hal pertama yang Ryo sadari adalah: bau gosong.
“Hashimocchan!”
Ryo tersentak bangun, mendapati Mizuki sedang mengguncang bahunya. Merasakan kepanikan dalam suara Mizuki, otaknya seketika terjaga. “Mizu-“
“Hashimocchan, tolong! Apinya! Kebakaran!”
“Eh?!”
Mizuki menarik lengan Ryo, membantunya turun dari ranjang dan setengah berlari menuju dapur.
Hal pertama yang Ryo sadari adalah: bau gosong. Hal kedua: panci yang diselimuti api di atas kompor listrik portabel mereka. Hal ketiga: alarm kebakaran yang ajaibnya sampai sekarang belum juga berbunyi. Dan terakhir: ekspresi Mizuki yang sedang menahan tangis.
“Maafkan aku, Hashimocchan, aku-“
Sebelum Mizuki menyelesaikan kalimatnya, Ryo sudah bergerak. Ia mencabut kabel kompor listrik, kemudian mengambil kain lap dan membasahinya dengan air. Dengan satu gerakan cepat, Ryo meletakkan kain basah tersebut di atas panci yang terbakar.
Hening sejenak. Ryo seolah dapat mendengar detak jantungnya sendiri-adrenalin di pagi hari, dan bukan karena hal yang baik. Yah, setidaknya, sekarang api sudah padam dan apartemen mereka tidak jadi kebakaran.
Saat itulah Ryo mendengar nafas yang tercekat. Ia cepat-cepat menengok, mendapati Mizuki yang bersandar di tembok sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.
“Maafkan aku,” bisik Mizuki dengan suara bergetar. “Hashimocchan, maafkan aku… Aku… Aku hanya berniat untuk… Tapi…”
“Mizuki, sudah, tidak apa-apa,” Ryo menarik Mizuki dalam pelukannya. Mizuki membalas pelukan tersebut dengan lebih erat, sebelum tangisnya pecah. Ryo hanya mengelus rambut Mizuki, mengerti bahwa Mizuki pasti kaget dan ketakutan setengah mati tadi. Maksudnya, sebagai orang yang senang bereksperimen dengan masakan, tentu saja ia pernah sekali-dua kali tanpa sengaja membakar masakan beserta panci-pancinya sekaligus. Ia tahu cara menanganinya. Tetapi, Mizuki? Ryo bahkan terkejut Mizuki tahu cara menyalakan kompor.
Sambil terus-menerus meyakinkan Mizuki bahwa kini semuanya sudah baik-baik saja, ia menuntun Mizuki ke sofa. Mizuki masih belum melepaskan pelukannya, namun kini tangisnya sudah berhenti.
“Hashimocchan… tidak marah?” tanya Mizuki akhirnya. Suaranya lemah, masih terguncang oleh kejadian barusan. “Maafkan aku…”
“Tentu saja aku tidak marah, Mizuki. Dan tak perlu minta maaf, hal-hal yang mengejutkan memang terjadi di luar kendali kita.”
“Aku… hampir menyebabkan kebakaran…”
“Dan sekarang kau tahu cara menangani kompor yang terbakar. Tidak perlu panik jika hal itu terjadi lagi, oke?”
“Maafkan aku.”
“Mizuki, apa yang kubilang soal meminta maaf?”
Mizuki menundukkan kepala, menghindari mata Ryo. “Aku berniat mengejutkanmu.”
’Dengan kompor yang terbakar?’, Ryo ingin bercanda. Namun ia menahan diri, tahu bahwa waktunya tidak tepat. Mungkin nanti-saat Mizuki sudah dapat membicarakan tentang kejadian ini sambil tertawa. Jadi ia memutuskan untuk menjawab dengan serius. “Dengan membuatkan sarapan?”
“Mm,” Mizuki mengangguk jujur. “Sarapan dan cokelat, karena ini hari Valentine. Tetapi aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba kompornya terbakar dan… dan… Maaf. Aku merusak nuansa Valentine-nya, ya?”
Ryo tertawa kecil mendengarnya. Mizuki yang jujur. Menggemaskan sekali. “Mizuki, kau tidak merusak apa-apa. Tidak kompornya, tidak hari Valentine-nya. Setiap hari denganmu adalah hari terbaik untukku.”
“Meskipun aku tidak dapat membuat sarapan untukmu?”
“Meskipun kau tidak dapat membuat sarapan untukku,” ulang Ryo yakin. “Kalau hanya soal sarapan, aku dapat membuat sarapan untuk kita berdua. Lagipula jika kau memang ingin belajar memasak, aku akan mengajarimu.”
Mendengar kata ’memasak’, Mizuki sedikit meringis. Oke. Sepertinya Mizuki tidak akan bisa berurusan dengan memasak dan api untuk sementara waktu.
“Oh, ya, bicara soal Valentine, kau sudah melihat kulkas?” tanya Ryo dengan nada ceria. “Aku menyiapkan kue cokelat.”
“Maksudmu, tupperware yang kau bungkus dengan lakban hitam seperti pengiriman narkoba?”
“Hei! Tapi kau benar-maksudku memang yang itu.”
Mizuki tampak lesu begitu menyadari bahwa Ryo menyiapkan cokelat sementara ia tidak. Ia baru saja hendak meminta maaf lagi, namun Ryo menghentikannya dengan sebuah ciuman lembut.
“H-Hashimocchan!” Mizuki menarik tubuhnya mundur, rasa panas menjalar di pipinya.
“Kau tahu, Mizuki, cokelat bukan satu-satunya hal yang bisa kau berikan saat Valentine, lho.”
“Maksudmu… bunga?”
“Hmm, bukan itu yang kumaksud.”
Mata keduanya bertemu, dan Mizuki langsung menyadari seringaian lebar pada wajah pacarnya tersebut. Saat itulah pemahaman langsung melanda Mizuki. Oh, yang benar saja. Pada situasi seperti ini, bisa-bisanya…?
“Aku baru saja hampir membakar apartemen kita, dan kau masih menganggapku seksi.”
“Sama sekali tidak salah.”
“Tidak di sini, kalau begitu.”
Ryo mengerjap, untuk sesaat tampak bingung. “Apa maksudmu?”
“Maksudku, setidaknya, kita pindah ke kamar tidur?”
Mata Ryo sedikit melebar ketika ia menangkap maksud Mizuki. Ekspresinya berubah dari kebingungan, menjadi sedikit takjub, sebelum berakhir dengan tawa geli. “Mizuki! Hahaha! Aku tak menyangka! Tentu saja yang kumaksud adalah hatimu. Tetapi, kau malah… ahahaha!”
“E-eh?!” Mizuki merasakan seluruh wajahnya memanas. Oke, ini memalukan sekali. Jika bumi terbelah saat ini, Mizuki akan dengan senang hati melompat ke dalamnya.
“Tapi, Mizuki,” tawa Ryo mereda, tergantikan dengan ekspresi serius yang hanya ditunjukkannya pada saat-saat tertentu saja. Ia menggenggam kedua tangan Mizuki, dan Mizuki berani bersumpah ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. “Kalau memang itu yang ingin kau berikan, aku tidak akan menolak, kok. Ayo pindah ke kamar tidur.”
Mizuki mendorong bahu Ryo kuat-kuat, mengabaikan tawa puas Ryo, mendadak menyesal kenapa tadi ia tidak sekalian saja membakar apartemen tersebut beserta Ryo di dalamnya.
.
yang hashimizu sebenarnya rada true story alias saya yang sebenernya pernah ga sengaja ngebakar kompor listrik di lab SMA pas lagi percobaan kimia untuk karya tulis. Bener-bener satu kompor diselimuti(?) api dan guru pembimbing saya dengan tenang memadamkan apinya pakai kain basah sementara saya mental breakdown di pintu lab www sekali lagi maafkan jika ooc or ada typo or endingnya kagok karena gimana caranya bikin ending sy juga bingung(?)