[Aran/you] Little Eternity

Sep 09, 2018 18:20

Little Eternity

Abe Aran/you

Tanpa memedulikan masa depan di mana kita harus berpisah, tak ada salahnya menciptakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil, kan?

KANGEN BANGET GAK SIH SAMA ARAN! :'( pertama kalinya bikin fic (idol) x (reader) ughhh. Judulnya ngambil dari lagu Lil' Infinity. Waktu itu liat foto(?) Aran ngerokok buat yang Nanimono dan mikir mau bikin fic smoker!Aran. Terus kemaren ini baru makan bareng temen, dan waktu dia mulai ngeluarin rokok, entah kenapa langsung nyusun cerita ini di kepala(?).

.


"Tutup tirainya."

Aku menengok ke sumber suara, mendapati Aran dengan sebatang rokok di sela jarinya.

"Ini lantai delapan," jawabku. "Tak ada yang akan melihat kemari."

"Kau tak pernah tahu."

Tanpa menunggu jawabanku lagi, Aran menutup tirai jendela yang sebelumnya kubuka lebar. Aku mendengus, setengah kesal. Rasanya melelahkan sekali harus terus bersembunyi seperti ini. Maksudnya, kurasa Aran terlalu paranoid.

Aku berjalan ke dapur dengan langkah lebar-lebar. Mungkin segelas kopi hangat dapat sedikit memperbaiki suasana hatiku. Aran tidak menyukai kopi instan, tetapi aku suka karena mudah dibuat. Air panas... Ah, ini dia. Untung saja aku sempat menggodok air tadi.

"Besok aku akan pergi pukul tujuh," kata Aran tiba-tiba. Aku bahkan tidak melihatnya masuk dapur! "Kelasmu pukul berapa?"

"Sembilan."

"Ah, pagi juga..." gumam Aran. Ia mengambil asbak di tengah meja, kemudian mematikan rokoknya. "Kalau kau akan berangkat pukul delapan, mungkin aku harus berangkat lebih pagi lagi..."

Aku mengaduk kopi instanku dengan sedikit tidak sabar. Apakah Aran serius?

"Kau tahu? Kita bisa keluar apartemen bersama-sama dan tak akan ada orang yang peduli," kataku cepat. Aku bisa mengerti kalau ia ingin menutup semua tirai dan tidak ingin kami kencan di luar, tetapi aku tidak mengerti kenapa keluar apartemen pada waktu yang sama akan menjadi masalah. Mungkin orang-orang akan mengenalinya, tapi tak akan ada yang peduli padaku! Jadi tidak ada masalah, kan?

"Tetap saja aku tak ingin mengambil risiko."

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. Para idola dan semua ketakutan mereka.

Terkadang, aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bertahan. Atau kenapa Aran bertahan. Hubungan kami tidak ada artinya dibandingkan dengan karir Aran. Aku juga tak mau jika harus menunggu sampai berusia pertengahan tiga puluh agar dapat menikah dengan Aran.

Maksudnya, yang ingin kukatakan adalah, cepat atau lambat, kami akan berpisah juga.

Sementara aku sibuk dengan pemikiranku sendiri, Aran sudah mengambil sebatang rokok lagi. Aku menyalakan korek tanpa diminta, menyulut api pada rokok Aran.

Ah, benar juga. Saat pertama kali kami bertemu, aku bahkan tak dapat menggunakan geretan. Secara umum, aku takut api. Tetapi saat itu Aran hanya tertawa. Tangan kami saling bersentuhan, dan ia memberikan instruksi tepat di telingaku.

Aku melihat Aran mengisap rokoknya, kemudian mengembuskan asapnya ke samping. Ya, setidaknya ia tak pernah mengembuskannya langsung ke wajahku.

“Kopimu akan mendingin, lho.”

Kopi! Kenapa aku sampai lupa? Aku menyentuh cangkir di depanku, dan benar saja, kopinya sudah tidak panas lagi. Sepertinya lebih baik aku menyerah dan menambahkan es batu saja sekalian.

Ketika aku berdiri untuk berjalan menuju kulkas, aku dapat mendengar tawa pelan Aran dari belakang.

“Apa?” tanyaku sengit.

“Sifat pelupa-mu itu kadang keterlaluan,” jawab Aran santai, senyuman lebar di wajahnya tak juga memudar. Ia mengisap rokoknya sebelum melanjutkan, “Kau pernah lupa mencabut kunci pintu apartemen dan meninggalkannya menggantung di luar pintu seharian, kan?”

Belum sempat aku menjawab, Aran sudah melanjutkan perkataannya.

“Tidak hanya seharian, tetapi semalaman juga pernah, kan? Kau sudah masuk ke apartemen tetapi lupa mencabut kuncinya. Untung tidak ada orang jahat yang menguncimu dari luar. Kau juga sering lupa apakah kau sudah sikat gigi, atau apakah kau sudah makan siang, sehingga kadang kau jadi melakukannya dua kali.”

Aku hanya mendengus, tak dapat melawan. Bagaimanapun juga, yang Aran katakan memang benar adanya.

Aku membuka pintu kulkas dan mengambil tiga potong es batu dari freezer. Kopi dingin pada tengah malam kedengarannya bukan ide baik. Tetapi ya sudahlah, kurasa tak apa-apa.

“Suatu hari nanti…” Aran tiba-tiba menghentikan perkataannya. Pandangan kami bertemu, dan aku dapat menangkap sesuatu pada pandangan mata Aran. Aku tak dapat menjelaskannya, namun rasanya dadaku jadi ikut sakit.

“Ya?” desakku.

“Suatu hari nanti,” nada bicara Aran berubah. Senyuman lebar yang terasa dibuat-buat menghiasi wajahnya. Ia mengisap rokoknya kembali, memutus kontak mata kami. “Kau akan lupa siapa nama suamimu.”

Aku tidak menjawab.

Aku tidak bisa menjawab.

“Y-yang pasti,” aku memaksakan diriku untuk bicara. Aku tahu bukan itu yang ingin Aran katakan sebelumnya. Aku tahu ia mengganti perkataannya di saat-saat terakhir. “Yang pasti, namanya bukan Aran.”

Aran hanya menatapku, rokok menggantung longgar di antara bibirnya. Sesaat aku khawatir telah mengatakan hal yang salah. Tetapi aku melihat postur Aran mengendur dan senyum kecil tak dapat disembunyikannya. Ia membuang abu rokok ke asbak, kemudian kembali mengisap rokoknya yang kini tinggal sedikit. Saat pandangan kami bertemu lagi, ia menyeringai tipis.

“Aku berani taruhan, nama keluarganya pasti Abe.”

“Ha! Jangan terlalu percaya diri. Aku masih punya impian untuk menikahi idolaku.”

“Okada-kun sudah punya istri dan anak, kalau kau lupa.”

“Maksudku Sakamoto, tentu saja!”

“Yang cukup tua untuk menjadi ayahmu? Oh, silakan saja.”

“Atau.. hmm… Nishijima!”

“Standarmu terlalu tinggi. Ia tak akanmau denganmu.”

“Kau kan tak perlu mengatakannya seperti itu!” aku melipat tanganku kesal. “Seperti menabur pasir di atas luka!”

“Maksudmu, menabur garam di atas luka? Meskipun aku yakin pasir juga sakit, sih.”

Eh? Benar juga, ‘garam’. Kenapa sesaat tadi aku pikir ‘pasir‘ adalah kata yang tepat? Ugh, ini memalukan!

Aran mematikan rokoknya di asbak. Senyuman jahil tak juga hilang dari wajahnya. Ah, ingin rasanya aku mencakar wajah penuh percaya diri itu.

“Serius sekali kita,” aku menghela nafas panjang. “Membicarakan masa depan yang tidak pasti…”

“Bukankah di situ menariknya pembicaraan mengenai masa depan? Karena tidak ada hal yang pasti?”

“…aku tak paham.”

Aran hanya mengangkat bahunya, tampak tak begitu peduli. Namun, ketika ia berdiri untuk membuang isi asbak ke tempat sampah, tanpa sadar aku berjalan mengikutinya. Ketika aku menyadarinya, Aran sedang membersihkan asbak dan aku berdiri sangat dekat dengannya.

Wajah samping Aran. Sedikit berbeda dengan yang biasa kulihat di televisi dan majalah, memang. Rambut hitamnya berantakan dan kantung mata senantiasa menghiasi wajahnya. Lalu akhirnya perhatianku sampai pada bibirnya.

Memang, cepat atau lambat kami akan berpisah. Ini adalah sesuatu yang sudah kami ketahui sejak awal. Tetapi… Untuk saat ini saja, setidaknya...

“?!!”

Aku pernah dengar, kata orang-orang, rasanya seperti menjilat asbak. Aku mengernyitkan dahi. Dibilang seperti menjilat asbak juga, aku tak pernah sungguhan menjilat asbak. Rasanya hanya… bukan, bukan pahit. Agak sulit dijelaskan… Pokoknya, tidak enak.

Awalnya Aran menatapku dengan kaget. Ia mengerjap-sekali, dua kali-kemudian tawanya meledak.

“Kan sudah pernah kubilang,” kata Aran di sela-sela tawanya. “Setidaknya tunggu sampai aku selesai sikat gigi. Sudah tidak sabar, hmm?”

“Aku benci rasanya.”

Ya, sepertinya setelah ini aku harus membersihkan mulutku dengan air tujuh kembang-apapun itu maksudnya.

“Oh, tentu saja. Itu yang kau dapatkan jika kau tidak bisa bersabar sedikit.”

Aku merengut, dan ia tertawa semakin keras.

Tawanya… oh Tuhan, ia tertawa seolah-olah tak ada masalah di dunia ini. Tawa lepas yang membuatku mau tak mau tersenyum juga.

Benar, tanpa memedulikan masa depan di mana kami harus berpisah, tak ada salahnya kini kami membuat kebahagiaan-kebahagiaan kecil, kan?

Saat tawa kami mereda dan mata kami bertemu, rasanya dunia berhenti berputar untuk sesaat.

“Hei,” panggil Aran dengan lembut, jemarinya mengusap pipiku.

“Ya?”

“Kau melupakan kopimu lagi.”

.

kurang penting, tapi bagian pelupa(?) itu true story(?) wkwkw

abe aran, ff, you

Previous post Next post
Up