[Fanfic] Surat Tak Berujung (Genki, Miyachika)

Jul 27, 2015 17:00


Title : Surat Tak Berujung
Cast : Iwahashi Genki, Miyachika Kaito (Semuanya Johnny’s Jr)
Genre : Angst, Shounen-Ai
Rating : G
Summary : Surat demi surat yang datang secara tak terduga-lah yang membuat Genki bertahan hidup. Tapi ada satu kebenaran yang tersimpan dalam setiap goresan pena.

A/N 1 : …… I don’t want to speak the truth…
A/N 2 : Okay, I’ll speak the truth. I just watched ‘P.S. I Love You’
A/N 3 : Just don’t expect more from me. Like what my friend’s said. It’s a difficult time to write some story.
A/N 4 : Bad summary. I’m sorry. I’m suck at summary.
A/N 5 : Bad angst. Aaaah maafkan aku yang gak pandai bikin angst ini QAAAQ

WARNING! Fanfic ini mengandung unsur Shounen-Ai dari awal hingga akhir.
Don't like, don't read

==================================================================================

Pemuda berambut cokelat itu berjingkat sembari memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. Ia melongokkan kepalanya dan terus menoleh seakan mencari sesuatu. Ketika seorang pria paruh baya muncul dari persimpangan jalan dengan mengendarai sepeda berwarna hitam, senyuman merekah di wajah pemuda manis tersebut.

“Selamat pagi, Iwahashi.” Pria paruh baya tersebut berhenti tepat di depan Iwahashi─atau yang lebih sering dipanggil Genki oleh teman-temannya─. Ia merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan beberapa surat lalu mengulurkannya pada Genki yang tersenyum senang.
“Terima kasih, pak pos. Anda baik seperti biasa.” Pemuda bernama Genki itu tersenyum hingga kedua lesung pipi miliknya muncul.
“A-a. Tidak, Iwahashi. Aku masih ada pekerjaan, jadi aku tidak bisa menemanimu makan burger kesukaanmu.” Pak pos langsung mengangkat tangannya ketika Genki sudah hendak bicara lagi. Genki seketika tertawa kecil ketika pak pos tahu apa yang ia ingin katakan. Pak pos pun berlalu sembari melambaikan tangannya pada Genki yang balik melambai.

Pemuda kelahiran bulan Desember tersebut melangkah kembali menuju kamarnya di lantai tiga apartemen sembari melihat-lihat surat yang diterimanya. Ada surat dari Reia yang datang dari Amerika, surat dari Tanaka Juri yang sedang menemani kakaknya tur konser musik keliling Jepang, surat dari adiknya, dan surat terakhir tanpa nama dan alamat pengirim di amplopnya.

Kriet

Pintu depan terbuka dan Genki melangkah masuk. Ia menaruh tiga surat di dekat telepon di atas lemari sepatu dan membawa amplop putih putih tanpa nama pengirim bersamanya. Ia berdiri dan bersandar pada meja dapur seraya membuka amplop yang selalu memiliki aroma khas tersebut. Ia menarik sebuah surat dari dalam dan merentangkannya. Sebuah surat yang dimulai dengan kalimat ‘Dear my lovely American boy’.

Dear my lovely American boy,

Bagaimana harimu? Yeah, kau tidak perlu menjawabnya karena aku yakin jawabannya adalah ‘baik’. Terima kasih pada ide cemerlangku untuk menuntunmu melalui surat-surat yang sudah kurencanakan. Aku jenius kan?

Kau bisa memilih jalanmu sendiri, Genki. Kau sudah tidak butuh bantuanku. Ingatlah bahwa kau tidak sendirian. Akan selalu ada bantuan selama kau mempercayainya. Tapi ingat, jangan mengurung diri dan jangan menutup diri. Juga jangan takut melawan orang-orang yang mengganggumu. Oke?

Have a nice day!

Jinguji Yuta

P.S. I Love You

===========================

Tok Tok Tok

“Genki! Aku tahu kau ada di dalam! Buka pintunya! Ini Miyachika!”

Detik demi detik berlalu tanpa ada sahutan. Pemuda berambut hitam yang telah berdiri di depan pintu apartemen Genki sejak lima belas menit yang lalu akhirnya memutar kenop pintu depan yang ternyata berhasil. Ia mendorong pintu itu sehingga memberikan ruang yang cukup untuknya melangkah masuk.

“Holly Shit.”

Pemuda bernama Miyachika itu mengumpat ketika melihat keadaan apartemen Genki yang sungguh berantakan. Majalah, buku, dan pakaian berserakan di lantai. Tampaknya Genki membanting banyak barang selama beberapa hari ia absen dari pekerjaannya. Sambil berhati-hati menginjakkan kaki di antara barang-barang Genki, Miyachika berjalan menuju pintu kamar Genki dan membukanya.

Keadaan di dalam kamar jauh lebih rapi daripada di ruang tengah dengan hanya ada beberapa kertas yang berserakan di lantai. Miyachika berlutut dan memungut kertas-kertas tersebut sementara Genki tetap memandang ke luar melalui jendela kamarnya dengan menopang berat tubuhnya pada siku yang ditekannya pada kusen jendela.

“Genki…”
“Tidak ada surat lagi… Sudah dua bulan pak pos yang baik itu tidak membawa surat tanpa nama pengirim…” Genki bergumam lirih. Miyachika menghela nafas panjang sebelum berjalan menuju Genki.
“Ayolah, Genki. Sudah kubilang kan, ini waktunya kau maju ke depan. Biarkan Jin─”
“Tidak!!”

Miyachika yang hendak menyentuh pundak Genki terperanjat. Pemuda berlesung pipi tersebut baru saja menjerit, hal yang tidak pernah terjadi selama satu tahun belakangan. Terakhir kali Miyachika melihat Genki menjerit histeris adalah saat mereka pulang dari pemakaman Jinguji, tunangan sekaligus teman semenjak Genki berusia dua belas tahun.

“Genki, kau harus menerimanya. Jinguji sudah tiada dan ia tidak mungkin meninggalkan surat yang begitu banyak hingga bisa menemanimu sampai hari tua. Kau harus melepasnya.” Miyachika meremas pundak Genki sebelum Genki berbalik dan menatap Miyachika.
“Tidak akan pernah, Miyacchi. Aku masih merasa kalau Jinguji masih ada di sini. Di kamar ini. Di kursi yang selalu ia duduki di dekat meja makan. Di sofa yang selalu menemaninya memetik dawai gitar. Aku masih merasakannya, Miyacchi. Aku masih bisa mencium harum parfum yang selalu ia kenakan.” Bibir Genki gemetar setelah ia mengucapkan semuanya. Ia tersenyum, atau lebih tepatnya menarik paksa otot-otot di kedua ujung bibirnya.

Miyachika memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa melihat pemuda manis itu meneteskan air mata. Ia sungguh tak sanggup melihatnya bersedih, walau keadaan memang memaksanya seperti itu. Tangannya terangkat dan menarik Genki ke dalam pelukannya. Ia merengkuhnya dan membuatnya nyaman di sana. Jauh di dalam hatinya, ia bahkan berharap bahwa dekapan itu dapat membuat sahabat masa kecilnya tersebut melupakan semua kesedihannya.

“Hm… Tumben parfummu sama seperti yang biasa dipakai Jinguji.” Gumam Genki tak jelas sembari memejamkan matanya.

Kedua mata Miyachika terbuka. Namun kali ini pancaran sinarnya berbeda, bahkan membuat raut wajah pemuda berisik tersebut menjadi terkesan datar. Ia memegang kedua pundak Genki dan mendorongnya menjauh. Ia lalu memajukan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya pada Genki. Tepat ketika bibir Miyachika hendak menyentuhnya, Genki mendorong teman masa kecilnya itu kuat-kuat.

“Apa yang kau lakukan?!” Genki meraih sebuah buku yang tergeletak di meja di dekatnya lalu melemparnya pada Miyachika. “Kau mengkhianati Jinguji!”
“Mengkhianati apa?! Dia sudah tiada yang artinya kau sudah lepas darinya! Sadarlah, Genki. Dia sudah tiada! Dia tidak akan hidup lagi! Dia sudah meninggal!”
“Tidak!! Dia masih di sini! Dia masih menemaniku di setiap suratnya! Dia ingin aku tinggal dan terus bersamanya!”
“Dia yang menyuruhku untuk menulis surat-surat itu untukmu dan sebenarnya semua sudah berakhir tujuh bulan yang lalu! Aku yang mengarang surat-surat setelahnya, Genki! Itu aku! Aku!!”

Seluruh tubuh Genki mendadak lemas. Kalimat yang baru saja dilontarkan Miyachika telah menyengatnya, melumpuhkan seluruh sarafnya. Ia seakan kehilangan kontrol atas kendali otaknya, bahkan otaknya seakan menolak informasi yang baru didapatnya untuk masuk dan dicerna dengan baik.

Miyachika yang merasakan emosi yang mendidih di kepalanya segera berjalan meninggalkan apartemen Genki. Ia tidak menoleh sedikitpun walau hanya untuk melihat Genki yang jatuh terduduk sembari menjerit histeris. Miyachika meraih kenop pintu depan dan membantingnya menutup.

Blam!

::: FLASHBACK Lima bulan yang lalu :::

“Kau gila, Miyachika? Apa yang sebenarnya kau pikirkan?”

Tubuh Miyachika merosot jatuh. Ia memegang kepalanya yang rasanya bisa meledak setiap saat karena membawa beban yang terlalu berat. Tak jauh darinya, seorang pemuda berambut hitam mengerling padanya. Cukup lama ia terdiam hingga ia menghela nafas panjang karena Miyachika tidak menggubris pertanyaannya.

“Oi, Miyachika. Jawab aku!”
“Rasa cintamu yang terlampau besar membuatmu tak bisa berpikir jernih. Benar kan, Miyachika?” Seorang pemuda berambut cokelat gelap yang tengah duduk di atas tempat tidur angkat suara. Ia menatap Miyachika lalu menatap pemuda yang tadi sempat komplain karena Miyachika tidak menggubrisnya. “Aku benar, Aran.”
“Tapi tidak berarti dia harus mengarang surat-surat palsu itu untuk Genki, Kishi.”
“Diamlah, kalian berdua!”

Semuanya berubah semenjak Jinguji, tunangan Genki, meninggal karena kanker otak tujuh bulan sebelumnya. Hidup Genki mendadak suram tanpa adanya canda tawa yang biasa ia lontarkan pada siapa saja. Bahkan hari itu, sepulang dari pemakaman, Genki mendadak menjerit histeris seharian di kamar apartemennya. Pemuda lembut tersebut baru tenang ketika tiga sahabatnya─Miyachika, Aran, dan Kishi─telah berkumpul. Keesokan harinya saat Genki terbangun, ia menggumamkan ‘Selamat pagi’ pada tempat kosong di atas tempat tidurnya dengan masih memejamkan mata.

Namun semua kembali normal saat sepucuk surat tanpa nama pengirim tiba di kotak surat. Surat tersebut tiba bersama sebuah tape recorder yang berisi rekaman suara Jinguji sebelum ia meninggal. Jinguji meninggalkan beberapa kejutan kecil untuk Genki karena ia tahu umurnya takkan lama lagi. Semangat hidup Genki seketika kembali seiring dibacanya surat pertama tersebut.

Sayangnya, Jinguji hanya menitipkan tujuh pesan untuk Genki yang tiap bulannya akan ditulis oleh Miyachika dan dikirimkan ke alamat apartemen tempat tinggal Genki dan Jinguji. Karena tidak tega membayangkan Genki yang akan kembali terpuruk dalam kesedihan, Miyachika memutuskan untuk menulis surat-surat palsu pada Genki, membuatnya seolah-olah Jinguji masih menitipkan pesan pada Genki. Tapi ternyata pilihan yang diambilnya adalah sebuah kesalahan besar.

“Ia pasti akan semakin tidak bisa menerima kenyataannya setelah ia tahu bahwa kau memalsukan beberapa surat yang diyakininya berasal dari Jinguji.”
“Dan kau tahu betul, Miyachika, betapa Genki mencintai Jinguji sejak dulu dan ia sama sekali tidak bisa kehilangan Jinguji sepersekian detikpun.”

::: FLASHBACK End :::

Miyachika mendorong pintu kayu yang telah dicat putih tersebut dengan perlahan. Ia melongokkan kepalanya ke dalam dan melihat seorang perempuan paruh baya tengah menyuapi Genki dengan sepiring nasi kare. Rupanya perempuan itu menyadari kehadiran Miyachika karena ia sontak menoleh.

“Ah. Lihat siapa yang datang, Genki. Miyachika-kun datang.” Ujar perempuan tersebut pada Genki yang langsung tersenyum senang.
“Ada surat?” tanya Genki riang. Miyachika tersenyum singkat lalu melangkah masuk sembari mengulurkan sebuah amplop putih pada Genki. Pemuda berlesung pipi tersebut langsung melompat turun dari tempat tidur dan menghambur memeluk Miyachika.
“Terima kasih, Miyacchi, sudah membawakan surat Jinguji untukku.” Genki melepas pelukannya lalu mengambil amplop tanpa nama pengirim di tangan Miyachika dan kembali duduk di atas tempat tidur.

Perempuan paruh baya yang tadi menyuapi Genki memberi isyarat pada Miyachika untuk mengikutinya keluar ruangan. Miyachika menurut dan berjalan keluar setelah mengacak rambut Genki. Setelah menutup pintu ruangan tempat Genki berada, perempuan paruh baya yang merupakan suster rumah sakit jiwa tersebut berbalik dan memberikan pandangan sedih pada Miyachika.

“Apa kau yakin ini baik untuknya?” Perempuan tersebut meremas salah satu lengan Miyachika yang usianya sama dengan usia putranya. Miyachika tersenyum dan memilih tidak menjawab pertanyaan suster itu.
“Bagaimana perkembangannya?”
“Aku tidak tahu… Semua yang diceritakannya hanya tentang dia, Jinguji Yuta, dan tiga sahabatnya. Dia menceritakan semua hal tentang Jinguji Yuta padaku. Kau tahu waktu aku memintamu untuk memberikan surat-surat itu padaku dan tidak langsung menyerahkannya pada Genki? Aku bilang pada Genki bahwa tidak ada surat lagi dan…. dia mengamuk. Dia benar-benar mengamuk.”

Miyachika tersenyum lemah. Suster tersebut pamit untuk mengurusi beberapa hal kemudian pergi, meninggalkan Miyachika sendirian di depan kamar rawat Genki. Miyachika menoleh hanya untuk melihat Genki yang kini tengah membaca surat yang dibawanya dengan wajah bahagia.

Punggung Miyachika dihempaskan dengan cukup keras membentur pintu kamar rawat Genki. Sesaat kemudian ia merosot jatuh. Ia mengangkat kedua tangannya dan mulai menutup wajahnya. Dalam kegelapan yang dilihatnya, ia berharap bahwa semua ini hanya mimpi dan saat ia membuka matanya semua akan kembali normal.

Dalam perasaan bersalah, Miyachika terus menatap kegelapan. Dalam bisik lirihnya, ia terus mengatakan bahwa surat-surat tak berujung tersebut bukanlah kesalahannya…

……. yang sayangnya memang merupakan kesalahnnya.

---------------------------------------------------TAMAT--------------------------------------------------------

Bad? Then I’m sorry. I’ve told you that it’s a difficult time to write some story.
Yah… Maaf ya, Genki, udah bikin kamu kaya gini di sini :”)
Maafin aku ya, twin :”)
#PelukGenki
#AbaikanMiyachika

fanfic : shounen-ai, fanfic, johnny's entertainment, fanfiction, johnny's jr fanfiction, miyachika kaito, fanfic : one-shot, johnny's jr, iwahashi genki, indonesian fanfiction, one-shot fanfic, fanfic : angst

Previous post Next post
Up