Title : When You Close Your Eyes
Cast : Sato Shori , Tenshi (Sora)
Genre : Fantasy, Romance
Rating : G
Word Count : 2,481
A/N : ........ Aku bingung sebenarnya, kenapa aku sampai ada ide untuk fanfic seperti ini. Yaaah, nikmati saja ya. Douzo~
------ Tenshi’s POV -----
Aku kembali memperhatikannya dari balik jendela. Lagi-lagi ia tertidur di atas meja belajarnya. Tangannya terlipat di atas meja belajar, menopang kepalanya agar tak membentur meja. Nafasnya pelan dan teratur. Matanya terpejam dan wajahnya tenang.
Aku mengamatinya dari balik jendela kamarnya sepanjang malam. Ketika cahaya matahari mulai menyusup ke dalam kamarnya dan membuatnya terbangun dari tidur lelapnya, aku kembali bersembunyi di atas pohon di luar kamarnya.
Ia menguap dan mengerjap-erjapkan matanya beberapa kali. Melihatnya seperti itu membuatku tertawa kecil.
“Shori! Cepat bangun!” terdengar suara ibunya dari balik pintu kamarnya.
“Iya, ma! Aku bangun!” ia balas berteriak pada ibunya. Lalu ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
Ia adalah Shori. Sato Shori. Sementara aku adalah malaikat penjaganya sejak kecil. Orang biasa menyebutnya Guardian Angel. Aku tumbuh bersama dengan dia. Ketika dia masih kecil, aku juga. Ketika dia beranjak dewasa, aku pun begitu. Usia kami sama persis.
Ketika ada seorang bayi lahir, saat itu pula malaikat penjaganya muncul. Bayi laki-laki akan mempunyai malaikat penjaga seorang perempuan. Jika itu adalah bayi perempuan, maka ia akan memiliki malaikat penjaga seorang laki-laki. Sang manusia dan malaikat penjaganya tumbuh bersama. Malaikat penjaga akan selalu berada di dekat manusia yang ia jaga. Malaikat itu bisa merasakan apa yang dirasakan manusia yang dijaganya, dengan begitu malaikat tersebut tahu apa yang harus ia perbuat. Malaikat penjaga dapat saling melihat malaikat penjaga yang lainnya, dan dapat melihat manusia yang dijaganya. Tapi manusia tidak bisa melihat malaikat penjaganya. Bahkan mungkin manusia tidak tahu bahwa mereka memiliki malaikat penjaga.
Mungkin kau ingin tahu namaku? Asal kau tahu saja, aku tidak memiliki nama. Semua malaikat penjaga sepertiku tidak memiliki nama. Kami selalu dipanggil malaikat. Jadi kalau kau ingin memanggilku, kau bisa memanggilku ‘Malaikat penjaga Sato Shori’.
----------
Aku melayang di dekat jendela kelas 2-D. Aku memperhatikan Shori dari balik kaca jendela. Sementara aku di sini, semua malaikat penjaga siswa kelas 2-D dan guru yang sedang mengajar ada di dalam kelas, berada tepat di samping manusia yang menjadi tanggung jawab mereka. Tapi aku tidak mau. Aku lebih suka berada di sini, mengamati Shori dari jauh.
Ketika sekolah sudah berakhir, Shori dan beberapa temannya pergi menuju aula sekolah. Untuk menyambut hari ulang tahun sekolah, maka pihak sekolah mengadakan berbagai macam acara. Salah satunya adalah drama, dan Shori ikut sebagai pemain. Di dalam drama itu, ia berperan sebagai malaikat. Ketika pertama kali tahu bahwa ia akan berperan sebagai malaikat, aku tertawa. Shori? Akan menjadi malaikat sepertiku?
Kostum untuk para pemain ternyata sudah selesai dibuat. Para pemain dalam drama langsung berebut mengambil kostum mereka masing-masing untuk dicoba. Shori juga ikut mengambil kostum untuknya. Kostum untuknya berwarna putih dan memiliki bulu-bulu putih halus di sekitarnya. Spontan aku tertawa.
Begitu memakai kostumnya, Shori bercanda dengan beberapa temannya. Setelah beberapa lama, Shori mengambil tempat di sofa di dalam ruangan di belakang panggung di aula sekolah. Di sofa itu, Shori menyandarkan kepalanya dan menaikkan kedua kakinya. Dan perlahan, ia tertidur.
Aku terbang mendekati Shori. Ketika sudah berada di sampingnya, aku memperhatikan wajahnya. Wajah tidurnya begitu tenang. Aku tersenyum kemudian membelai kepalanya lembut. Sangat lembut dan sangat pelan. Walau aku tahu bahwa Shori pasti tidak akan bisa merasakan tanganku yang sedang membelai kepalanya saat ini, tapi aku tetap berhati-hati.
Saat aku tengah membelai kepalanya, tiba-tiba Shori membuka matanya. Aku terkejut dan terdiam. Beberapa saat, aku sempat berpikir bahwa Shori menatap mataku. Tapi kemudian temannya datang dan Shori tersenyum padanya. Lalu ia berjalan pergi menuju panggung aula sekolah untuk berlatih drama.
Aku mengamati Shori yang berjalan pergi. Selama beberapa saat, sempat terlintas di pikiranku bahwa Shori menatap mataku. Tapi kemudian aku menggelengkan kepalaku keras dan meyakinkan diri bahwa tidak mungkin dia bisa melihatku. Aku adalah makhluk tak kasat mata dan tak mungkin Shori bisa melihatku.
Malam itu, aku kembali mengamati Shori dari balik jendela kamarnya. Shori membuang buku fisikanya ke atas meja belajar dengan wajah frustasi, kemudian ia bangkit dan naik ke atas tempat tidur. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut lalu tidur.
Aku tersenyum geli melihat tingkah Shori. Aku segera melayang masuk ke dalam kamar Shori dan mengambil buku fisika yang tadi dilempar Shori. Begitu membuka buku fisika itu, aku langsung merasa pusing. Aku tidak mengerti satu pun angka dan gambar yang ada di setiap halaman buku itu. Aku memutuskan untuk menaruh kembali buku itu di atas meja belajar lalu melayang terbang untuk mematikan lampu kamar Shori. Begitu lampu kamar mati, aku melayang mendekati Shori. Aku berhenti tepat di samping tempat tidur Shori lalu memandangnya.
Wajah Shori begitu tenang dan damai. Hembusan nafasnya tenang dan teratur. Aku tersenyum melihatnya. Tanganku terangkat dan mengusap lembut kepalanya.
“Aku merasa beruntung menjadi malaikat penjagamu, Sato Shori. Kau tahu, kau secara otomatis terhindar dari bahaya. Seakan bahaya yang menjauhimu. Jadi, aku tidak banyak pekerjaan. Lagipula, tingkahmu lucu. Aku bisa terhibur,” bisikku lembut sambil terus membelai kepalanya.
Tiba-tiba tangan Shori terangkat dan memegang pergelangan tanganku. Spontan aku terkejut dan memandang Shori. Shori telah membuka matanya dan sedang menatapku.
“Jadi, kau adalah malaikat penjagaku?” tanya Shori lirih.
“K-kau... Bagaimana bisa... Bagaimana mungkin kau bisa melihatku? Kenapa kau bisa mendegarku? Kenapa kau bisa menyentuhku? Bagaimana mungkin?” tanyaku cepat. Nada bicaraku tidak teratur. Aku terkejut, sekaligus takut. Shori memandang kedua mataku.
“Aku selalu dapat merasakan tanganmu yang selalu mengusap kepalaku lembut ketika aku baru saja tertidur. Dan ketika kau menyentuhku, aku bisa mendengar suaramu. Apa itu cukup menjawab pertanyaanmu?” Shori bertanya balik. Ia bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya, tepat di depanku. Tangannya masih memegang pergelangan tanganku.
“Tapi... Tapi ini tidak mungkin. Ini menyalahi aturan. Tidak mungkin kau bisa berinteraksi denganku. Aku hanyalah seorang malaikat penjaga. Aku adalah makhluk tak kasat mata. Bagaimana mungkin kau bisa berinteraksi denganku?” tanyaku cepat. Aku masih tak menyangka bila Shori selama ini dapat merasakan kehadiranku.
“Entahlah. Mungkin ini takdir?” ucapnya singkat seraya menatapku dalam. Aku terdiam dan segera menarik tanganku dari genggamannya.
Aku melayang dan duduk di kusen jendela kamar Shori. Badanku menghadap keluar dan kedua kakiku mengayun di luar. Aku menatap langit malam sementara Shori duduk di dekatku.
“Sejak kapan kau bersamaku?” tanya Shori.
“Sejak kau lahir,” jawabku singkat.
“Sejak aku lahir? Berarti kau selalu bersamaku?” tanya Shori lagi.
“Sepanjang waktu,” ucapku singkat tanpa melihatnya.
Shori bangkit dan menarik kursi ke dekatku. Ia duduk di sana dan menarik tangan kananku. Ia menggenggamnya dan menatapku.
“Sekarang aku bisa menggenggam tanganmu. Aku bisa menyentuhmu. Kenapa tidak dari dulu saja?” tanya Shori seraya terus menggenggam tanganku lembut.
“Aku benar-benar berharap kau tidak bisa melihatku, bahkan menyentuhku. Aku benar-benar tidak mengharapkan itu,” ucapku datar. Shori menghentikan gerakan tangannya dan terdiam. Kemudian ia bangkit dan melingkarkan kedua tangannya di sekitar leherku. Ia menaruh dagunya di atas kepalaku.
“Terima kasih karena selama ini telah menjadi malaikat penjagaku,” ucap Shori lembut. “Siapa namamu?” tanyanya kemudian.
“Aku tidak punya nama. Kau bisa memanggilku malaikat,” ucapku kembali datar. Shori mendongak memandang langit.
“Kau berasal dari langit kan? Kalau begitu, kau akan kupanggil Sora,” ujar Shori kemudian. Ia tersenyum dan semakin mempererat pelukannya.
“Sora…” gumamku.
----------
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Aku kembali duduk di rantai pohon di luar kamar Shori. Aku kembali mengamatinya.
Shori membuka matanya dan mulai bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela dan membuka kaca jendelanya. Ia memandangku lembut.
“Bagaimana kabarmu pagi ini, Sora?” tanyanya. Aku menghembuskan nafas pelan.
“Sama seperti biasanya,” jawabku pelan. Shori tersenyum.
“Gaun putih yang kau kenakan hari ini indah,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tapi aku setiap hari selalu memakai baju yang sama,” ujarku. Tapi Shori hanya tersenyum.
Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar tidak mengharapkan hal ini terjadi. Aku tidak pernah berharap Shori bisa melihatku. Aku tidak pernah berharap Shori bisa menyentuhku. Apalagi berharap, memikirkan hal ini akan terjadi saja tidak. AKu tidak mau. Aku takut.
Aku melayang menuju teras depan rumah keluarga Sato setelah Shori keluar dari kamarnya seraya membawa tas sekolahnya. Beberapa saat kemudian, Shori keluar dari rumah. Ia tersenyum memandangku lalu berjalan menuju sekolah.
Di sekolah, Shori sama sekali tidak memperhatikan pelajarannya. Ia terus memandang keluar jendela. Ia terus memandangku. Aku yang sepanjang waktu terus diamati oleh Shori jadi merasa tidak enak.
Bel tanda istirahat berbunyi. Shori segera keluar dari kelas dan berjalan menuju atap sekolah. Aku mengikutinya dari belakang. Begitu sampai di atap sekolah, ia mendekatiku dan menggenggam tanganku. Ia tersenyum dan mengajakku duduk di bangku yang ada di atap sekolah.
Waktu terus berjalan dan waktu itu dihabiskan Shori dengan terus menggenggam tanganku dan memandangku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak punya kuasa apa-apa, aku hanyalah seorang malaikat penjaga. Apalagi saat ini…
“Kenapa dari tadi kau terus memandangku? Bahkan kau tidak memperhatikan pelajaran,” ucapku tanpa memandangnya. Shori memegang pipiku dan membuatku menatapnya.
“Aku sudah tahu apa takdirku. Terima kasih karena selama ini telah bersamaku dan menjadi malaikat penjagaku. Mulai saat ini, aku ingin menggantikan posisimu dan menjadi malaikat penjagamu,” ucapnya lembut. Ia menatap ke dalam mataku.
“Kau tidak bisa bersamaku, Shori. AKu bukan manusia. Aku makhluk tak kasat mata. Kau sudah memiliki takdirmu sendiri dan itu bukan aku,” aku menatapnya. Aku mencoba menjelaskan situasi.
“Apakah ada yang tidak mungkin dalam cinta? Apakah cinta tidak boleh memilih?” tanyanya lembut. Aku terdiam.
Waktu berlalu seiring hembusan angin. Malam itu setelah Shori tidur, aku melayang masuk ke dalam kamar Shori dan duduk di sampingnya. Aku memandangnya. Sorot mataku meredup. Aku mengangkat tanganku dan membelai lembut kepalanya.
“Maaf, Shori. Maafkan aku…” ucapku lirih, lebih seperti bisikan. Aku sedih. Di saat seperti ini, aku menjadi benar-benar ingin seperti manusia. Karena malaikat tak dapat menangis.
“Aku tak tahu bahwa manusia bisa merasakan sentuhan malaikat penjaganya ketika malaikat penjaganya melakukan kontak fisik dengan manusia yang menjadi tanggung jawabnya. Maaf… Maaf karena membuatmu bisa melihatku. Maaf… Aku tidak bermaksud menyakitimu…” suaraku semakin lirih. Tanganku tetap aktif membelai lembut kepalanya. Shori hanya diam dalam tidurnya.
Keesokan harinya, Shori mulai terbangun ketika cahaya matahari menembus jendela kamarnya dan mulai mengusik kelopak matanya yang masih terpejam. Begitu Shori benar-benar membuka matanya, ia bangkit dan membuka jendela kamarnya. Ia menatap ke dahan pohon yang ada di depan jendela kamarnya. Memandangku.
“Selamat pagi, Sora,” sapa Shori lembut. Senyumnya begitu lembut.
“Selamat pagi, Shori. Bagaimana kabarmu hari ini?” sapaku balik. Shori tersenyum semakin lebar mendengar aku menyapanya.
“Baik saja. Sora, masuk saja sini. Di luar dingin,” ucap Shori sembari membuka jendela kamarnya semakin lebar. Aku melayang terbang dan mendarat tepat di sampingnya.
“Hari ini kau tidak pergi kemana-mana? Biasanya kan kau pergi bersama teman-temanmu,” ujarku sambil menatap Shori dengan heran. Shori hanya menggeleng.
“Aku tidak ingin pergi kemana-mana. Aku hanya ingin di sini, bersamamu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku bersamamu. Bersama makhluk seindah dirimu merupakan kesempatan yang tidak mungkin kusia-siakan,” ucap Shori sambil menatapku. Ia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya lembut. Aku menatapnya dengan sedih.
“Shori… Andai saat itu tidak pernah datang… Andai saja…” ucapku sedih. Shori menunjukkan raut wajah heran ketika mendengarku bicara.
“Apa maksudmu?” tanya Shori.
“Aku benar-benar tidak ingin memberikan kenangan yang tidak baik untukmu. Kau adalah tanggung jawabku. Sebagai malaikat penjagamu, aku sama sekali tidak ingin menyakitimu,” ucapku lirih dan semakin lirih. Tiba-tiba Shori mendekapku.
“Kau tidak ada salah apa-apa padaku. Sama sekali tidak ada. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kau pasti selalu ada di sisiku. Iya kan?” tanya Shori sambil terus mendekapku.
Jam terus bergulir. Shori sama sekali tidak membiarkanku pergi terlalu jauh darinya. Entah apa yang telah membuatnya seperti itu. Dia terus saja membuatku berada di sampingnya.
Matahari mulai terbenam. Dan pada saat itulah, Shori mulai menyadari sesuatu.
“Sora… Kau…” kata-kata Shori terputus. Ia tertegun melihatku. “Kau… Mulai memudar,”
Aku mengamati tubuhku sendiri. Cahayaku mulai hilang dan tubuhku mulai memudar. Tubuhku mulai tidak solid. Dan aura di sekelilingku tidak lagi putih, tapi berganti dengan warna hitam.
“A-Ada apa denganmu?” tanya Shori. Ia mulai panik.
“Maaf, Shori… Maaf…” ucapku sambil menunduk. Shori memandangku dengan kaget.
“Tapi… Kau tidak apa-apa kan? Maksudku… Kau akan terus berada di sini, kan?” tanya Shori sambil memegang kedua tanganku. “Tanganmu… Dingin…”
Aku tersenyum pada Shori lalu perlahan melepas tangannya yang memegang tanganku. Aku berjalan menuju jendela kamar dan mendongak memandang langit. Aku tersenyum.
Shori berjalan mendekatiku dan mendekapku dari belakang. Ia menaruh dagunya di atas kepalaku. Ia memejamkan mata dan membisikkan beberapa kata. Permintaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak bisa kupenuhi.
Malam itu, Shori tidur larut malam. Ia menolak ketika kusuruh untuk tidur. Ia terus menerus menggenggam tanganku, seakan takut aku akan menghilang tiba-tiba. Namun pada akhirnya, Shori menyerah dan naik ke atas tempat tidur. Ia memejamkan mata dan mengucapkan selamat tidur kepadaku.
Setelah beberapa menit, aku berjalan menghampiri Shori dan duduk di sampingnya. Beberapa menit telah berlalu dan aku yakin Shori telah tertidur. Aku memandang wajah Shori sejenak, lalu mendongak menatap jam dinding yang sudah menunjukkan hampir tengah malam. Aku kembali menurunkan pandanganku dan kembali memandang Shori. Sekali lagi, aku kembali membelai lembut kepala Shori.
“Ini adalah malam terakhir aku menjadi malaikat penjagamu, Shori. Maaf. Tak seharusnya manusia berinteraksi dengan malaikat penjaganya. Dan ketika manusia sudah bisa melihat dan menyentuh malaikat penjaganya, maka malaikatnya hanya akan berada di sisinya sampai tujuh hari ke depan. Setelah waktu tujuh hari itu telah habis, maka malaikat penjaganya akan menghilang dari sisinya. Dan manusia itu akan mengingat malaikat penjaganya sebagai sebuah kenangan buruk di masa lalu. Maaf… Ini karena kesalahanku sehingga kau harus mengalami semua ini… Maaf… Aku tidak bermaksud begitu… Maaf, Shori… Maaf…” ucapku lirih, sangat lirih.
“Selamat tinggal, Sato Shori…”
Aku menunduk dan mengecup lembut kening Shori. Tapi tiba-tiba Shori bangkit dari tempat tidur dan memelukku. Ia menciumku.
Cahaya tubuhku berpendar. Semakin lama semakin terang dan akhirnya menerangi penjuru kamar Shori. Dan detik berikutnya cahaya itu lenyap seiring lenyapnya diriku dan Shori yang jatuh pingsan di lantai kamarnya.
------ Tenshi’s POV END -----
Shori bangun dari tidurnya dengan terkejut. Mimpi yang ia lihat dalam tidurnya membuatnya terbangun dengan tiba-tiba. Mimpi yang merupakan kenangan buruk masa lalunya. Karena bangun dengan tiba-tiba, ia jadi merasa pusing.
“Oi, Shori. Kau pulang tidak?” terdengar seseorang berteriak memanggil nama Shori. Shori segera menoleh melihat seorang pemuda yang berdiri di pintu perpustakaan.
“Besok pagi aku ada jam kuliah. Kau mau pulang bareng tidak?” tanya pemuda itu lagi.
“Kau pulang saja duluan. Besok aku ada jam kuliah, tapi siang. Jadi aku mau di sini sebentar lagi. PR-ku tinggal sedikit,” ujar Shori menjawab pertanyaan pemuda yang masih berdiri di pintu perpustakaan.
“PR? Padahal beberapa menit yang lalu kau tidur di meja itu. Kalau mau tidur di sini bilang saja. Nanti aku sampaikan ke penjaga kampus kalau kau mau pindah, kau mau tinggal di sini,” ledek pemuda itu.
“Heh, diam kau. Pulang sana,” ujar Shori sambil melakukan gerakan tangan seakan mengusir pemuda itu.
Setelah pemuda yang tadi mengajaknya pulang bersama sudah pulang, Shori langsung berlari menuju salah satu jendela perpustakaan dan membukanya. Sesaat kemudian udara segar masuk ke dalam ruang perpustakaan. Udara tersebut berhembus menerpa wajahnya, membuatnya merasa segar kembali.
Shori meregangkan kedua tangannya dan mendongak memandang langit. Beberapa detik kemudian, sesuatu terbang melintas di atasnya. Sesuatu yang memiliki sayap hitam. Sesuatu yang memakai gaun berwarna putih. Sesuatu yang memiliki rambut hitam panjang dan lurus. Sesuatu yang memiliki kulit putih. Sesuatu yang mengingatkan Shori akan sesuatu.
“Itu…”