One-shot: Unreadable (Characters)

Mar 08, 2009 21:12

title: Unreadable (Characters)
author: mesti
fandom/pairing: Alice9, the GazettE/ ShouxRuki, ShouxHiroto
rating: PG-13
genre: angst
disclaimer: i do not own them

Unreadable (Characters)

Masih dingin yang sama menyelinap dari ambang jendelanya yang terbuka. Ia menggigil selintas, berusaha membiasakan diri pada udara penghujung musim dingin yang seharusnya ia kenal dengan baik. Dengan teramat baik.

Senyuman getir yang mengambang di sudut bibirnya seolah tengah mengejek, menertawakan. Seolah menodongkan satu jari ke mukanya sendiri. Orang bilang, hanya keledai yang akan terjatuh dua kali dalam lubang yang sama. Lantas, harus dinamai apa dirinya yang selalu dan selalu saja terjatuh dalam kesalahan yang itu-itu juga?

Huh! Sungguh menggelikan!

Dan…kau tahu apa yang paling lucu? Ia kembali ada di sana. Benar. Tepat di depan meja riasnya, duduk dengan mata nyaris terpicing. Berusaha untuk tidak menjatuhkan pandang pada tempat itu. Pada laci ketiga dari atas. Tempat ia menyimpan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan perbaikan penampilan.

Percuma. Matanya sama sekali tertuju ke sana.

Tidak. Tidak. Tidak…

Dan tanpa ia sadari, jemari tangan kanannya telah setengah langkah menuju pegangan laci itu. Ia terkesiap saat menyadari betapa hati kecilnya kembali mengkhianati logikanya.

Jangan lagi…

Dan di sanalah tangan itu sekarang, tepat di laci keparat itu, gemetar, ragu, takut. Menghindar. Namun selalu berakhir sama.

Kenapa semua harus selalu berada di luar kendalinya?

(Selalu, di suatu sudut terdalam
Warnamu melebur hingga tepi horizon diri.
Mencengkram. Menikam.)

Entah siapa, dulu seseorang pernah berkata seperti ini padanya… Waktu akan menyembuhkan luka. Dan ia yakin tidak salah mengingat redaksional kalimat itu. Ataupun salah dalam usaha memaknainya.

Waktu akan menyembuhkan luka…

Hei…seharusnya begitu, kan?

Hanya helaan nafasnya sendiri yang menjawab pertanyaan sarkastis itu.

Dan tangannya… Oh tangannya yang selalu jujur, kini tengah menggenggam sebentuk kertas yang terlipat rapi. Biru muda dengan corak langit cerah, tepat seperti warna kesukaannya. Sedikit lecek, dan nyaris mendekati kumal - ia tahu persis alasannya.

Tapi bukan itu yang membuatnya ingin tertawa dan menangis pada saat yang sama.

Ia harus berusaha keras agar nama itu tak terlontar dari mulutnya, walau hanya dalam bentuk bisikan lirih.

Ruki…

(Dalam rona yang terlalu cerah
Sosokmu mengambang beku
Terlalu kentara untuk dapat diabaikan)

Sudah satu tahun…

Ia sudah lupa bagaimana suara Ruki saat tertawa. Atau bagaimana sudut bibirnya menaik saat tersenyum mengejek. Atau bagaimana rasanya rambut Ruki dalam sentuhan jemarinya.

Ia tidak ingat lagi seperti apa hangat tubuh Ruki saat mereka berdekapan. Atau seperti apa suara itu tercekat saat bibir mereka saling menyapa, begitu karib.

Ruki kini hanyalah sebentuk ingatan kabur dalam sudut kepalanya. Bisu, tanpa tekstur, miskin gerak…

Dan masih saja… Masih saja, ia merasai luka itu. Meruyak, menganga semakin dalam. Tak lagi mengalirkan darah, namun bukan berarti tanpa perih.

Sakit…

Jika saja Ruki ada di sana, duduk di sampingnya, menggenggam tangannya… Merengkuh semua deritanya. Jika saja ia dapat mendengar sekerlip suara dari bibir itu, meski hanya sepatah, “Shou…”

Ia akan memejamkan mata, dan menyerahkan diri pada kebahagiaan.

Namun imaji selalu jauh dari realita. Terlebih untuk harapan yang muskil diwujudkan.

Ruki tidak akan pernah kembali…

(Ah. Yang Terkasih…
Menari menggoda mimpi
Menggarami setiap celah luka
Terawat dengan baik
untuk kungilui kembali)

Seberapa bahagia - atau terkejut -kah ia saat itu, saat menerima sepucuk surat itu dari Ruki? Sejak awal, Ruki bukanlah seseorang yang romantis. Selalu lurus pada poin yang ia maksudkan. Bicara terlalu blak-blakan, tanpa dibebani kewajiban untuk membingkai kata-kata dalam selaput manis. Namun terkadang, Ruki tak pernah gagal untuk menyiapkan kejutan indah.

Seperti malam itu. Getaran halus di ujung jemarinya yang memegang lembar kertas itu semata-mata meritmekan kebahagiaan. Membaca untaian demi untaian kalimat yang melulu menuangkan cinta. Dan cinta. Dan cinta.

Hanya pelukan dan kecupan lembut yang bisa ia berikan pada Ruki untuk menunjukkan betapa ia mencintai hadiah tak terduga itu. Hadiah terbaik yang pernah ia terima, sungguh.

Hanya binar kebahagiaan yang tampil di matanya saat ia mengantar Ruki hingga ke parkiran mobil di depan apartemennya. Ia melambaikan tangan sejenak pada sosok Ruki yang menyetir menjauhi tempat itu. Esok, pikirnya, ia akan membawa Ruki ke suatu tempat yang sangat indah. Sebelum kekasihnya itu terseret oleh rangkaian tour yang segera menjemput. Berada dalam band yang berbeda tak memberi mereka banyak waktu untuk bersama.

Esok pagi, pasti…

Namun esok itu tak pernah datang.

(Wangi duka terlalu manis
untuk tak direguk
Jatuh waktu hingga derita tak berdasar
Tak berakar)

Kadang ia ingin membenci Ruki karena meninggalkannya begitu saja. Begitu tiba-tiba. Tanpa firasat, isyarat, ataupun pertanda. Terhempas ke dasar bumi duka yang paling kelam.

Kecelakaan? Kecelakaan mobil, mereka bilang? Semudah itu Ruki direnggutkan dari sisinya? Untuk jangka waktu yang tak berbatas?

Terkadang keabadian terdengar begitu menakutkan.

Dan siapa ia untuk menolak takdir yang telah diguratkan Dari Atas Sana? Pun jika ia tak sepenuhnya percaya pada keberadaan Sang Pencipta. Tak ada yang bisa meniupkan kembali kehidupan ke dalam jasad Ruki. Tak ada yang bisa mengembalikan Ruki ke sisinya.

Tak ada. Takkan pernah ada.

Ia tak tahu lagi harus berpegang pada apa agar tak terperosok semakin dan semakin dalam pada jurang bernama keputus asaan.

Seseorang…

Seseorang!!!

(Tak sampaikah pekat ini pada matamu?
Tak sampaikah ngilu ini pada pendengaranmu?)

Dengan pahit, ia membiarkan jemarinya membelai bisu huruf demi huruf yang tertera pada secarik kertas itu. Tak ada satu kata atau tanda baca apapun berubah di sana. Tak ada. Matanya hanya gagal mengenali warna kebahagiaan yang seharusnya bertahta di sana. Atau mungkin pikirannya yang gagal untuk berfungsi sebagaimana mestinya?

Ya, mungkin memang ada yang salah pada otaknya. Ia bahkan tak menyadari seseorang telah berdiri tepat di belakangnya. Tidak hingga ia menyadari tekanan lembut tangan pada bahu kirinya.

Ia tak perlu membalikkan badan untuk mengetahui siapa empu tangan itu.

“Hiroto…”

(Cahaya. Cahaya.
Begitu lembut di ujung temaram
dan begitu pahit di retina
Selembut dan sepahit yang bisa kuminta)

“Pagi ini cuacanya tidak terlalu dingin ya…” Hiroto membuka percakapan. “Mungkin sudah ada kuncup sakura yang muncul di pohonnya…”

Selalu. Selalu tentang cuaca. Jika mereka tak punya topik khusus untuk dibicarakan, maka cuacalah yang akan menjadi penyela keheningan. Atau mungkin juga pereda ketegangan yang ingin mereka hindari sebisanya.

Apa Hiroto tak melihat lembaran kertas yang tengah ia genggam? Tidak, itu tidak mungkin… Ia bahkan tidak sempat menyembunyikan apapun.

Perlahan ia merasakan tangan-tangan lembut pada pundaknya. Dalam sekejap, ia sudah terkurung dalam rengkuhan lembut sepasang lengan itu. Begitu hangat, menjanjikan limpahan kasih sayang yang takkan pernah mengering. Begitu menentramkan…

Lalu kenapa ia harus menggigil?

“Surat dari Ruki-san?” Lagi. Nada yang begitu lembut. Tepat seperti sosok Hiroto yang ia kenal selama ini.

Hiroto yang memberikan uluran tangan padanya saat ia bahkan sudah tak peduli lagi pada dirinya sendiri. Hiroto yang memberikan tempat untuk melangkah saat ia bahkan tak mampu lagi melihat seutas harapan di ujung jalan. Hiroto yang mendampinginya di saat-saat paling kacau dan berbadai dalam harinya. Hiroto yang mencegahnya untuk menyakiti dirinya sendiri, saat ia bahkan tak memahami alasan apapun lagi untuk mempertahankan eksistensinya.

Benar. Hiroto. Sahabat terbaiknya. Dan juga…

“Maaf…” hanya itu yang bisa ia gumamkan. Memangnya apalagi yang bisa ia katakan? Ia sudah gagal. Gagal. Ia muak pada dirinya sendiri yang selalu saja mengejar bayang-bayang Ruki. Ia benci dirinya yang tak bisa berhenti menoleh ke masa lalu, merindukan hari-hari dimana Ruki selalu kembali ke sisinya. Bahkan di saat ia sudah memiliki Hiroto seperti saat ini.

Kenapa? Kenapa ia selalu seperti ini? Kenapa dirinya semakin bertambah buruk dari hari ke hari?

“Tidak apa-apa, Shou…”

Ia membalikkan badan demi mendengar sepatah kalimat itu. Tidak…itu tidak mungkin. Tidak mungkin Hiroto tidak apa-apa. Tidak mungkin Hiroto tidak merasa sakit…

Dan kini, saat mereka saling berhadapan, ia bisa melihat jelas rona luka dalam mata Hiroto. Begitu cerah, begitu tak terbantahkan. Senyata cinta yang selalu diberikan Hiroto padanya.

Namun bukan itu yang membuatnya ingin menangis. Senyum itu, senyum yang terukir di bibir Hiroto, begitu tulus dan dan sarat akan pengertian. Selalu, selalu saja…

“Aku sudah bilang, kan?”

Ya…ia masih mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Hiroto padanya tepat sesaat sebelum mereka menjalin hubungan.

(Terhempas dalam rengkuhan cahaya
Hanya getir yang menjawab tangan-tangan waktu
Hilang jejak. Mati arah)

Tidak apa-apa jika kamu tak bisa melupakan Ruki-san. Tidak apa-apa jika kamu tak bisa mencintaiku. Aku hanya ingin kamu bahagia, Shou…

Dan Hiroto selalu menepati kata-kata itu. Selalu. Betapa pun menyakitkan. Betapa pun melukakan… Hiroto selalu memahami dirinya dan menerima apapun keadaannya. Hiroto selalu berusaha keras untuk membuatnya bahagia. Untuk membuatnya mampu tersenyum lagi dari lubuk hati. Ia tahu betapa berat usaha Hiroto.

Lalu apa yang ia berikan pada Hiroto?

Tidak ada. Hanya luka.

Sungguh, Hiroto terlalu baik untuk pengecut seperti dirinya. Si tolol yang selalu menyembunyikan diri dalam cangkang kenangan, berkali dan berkali lagi terseret dalam dunianya sendiri. Sebuah dunia dengan jejak langkah Ruki di setiap jengkal tanahnya.

“Maaf… Maafkan aku, Hiroto…”

Hiroto hanya mendekapnya dengan lebih erat, lebih hangat. Tak ada kata. Tak perlu ada. Mereka sudah terlalu paham apa yang ada dalam hati masing-masing.

Perlahan, ia membiarkan dirinya bersandar pada kelembutan Hiroto. Sehelai kertas melayang turun dari sela jemarinya, meluncur tanpa suara. Lalu jatuh begitu saja pada lantai dingin, meninggalkan aksara-aksara yang berhamburan. Tak terbaca. Tak teraba.

(Dan kembali, kita terjerat
dalam pusaran prahara hampa makna
Sendiri
Tiada
Mengada)

............................................................

A/N: my first deathfic >.<

shouxhiroto, fanfic, shouxruki

Previous post Next post
Up