#40 holiday post: obrolan sore dan sepiring jamur goreng

Aug 21, 2012 22:13


Sore tadi, keluarga saya nginep ke rumah sepupu saya, Manggar, di Butuh. Kami rutin untuk menghabiskan waktu bersama keluarga ini setiap kami berlibur ke Kutoarjo. Supaya guyub kata ibu saya. Kami sampai disana sekitar pukul 4 sore. Kemudian saya membuat jamur goreng untuk dihabiskan bersama. Setelah setengah jam menyiapkan makanan kecil ini, akhirnya semua siap lengkap dengan teh dandang, teh merk lokal yang menjadi favorit keluarga kami di sini.
Kami berkumpul di halaman depan. Ada saya, ibu, Manggar si sepupu, Om dan Tante, dan adik saya Laras. Awalnya obrolan mengalir ringan seperti kuliah sambil mulut yang saling sibuk mengunyah. Sampai bahasan tentang kerabat di Wonosobo yang ingin kami kunjungi tapi tidak pernah ada waktu yang tepat hingga rencana pembuatan pohon keluarga besar dari sisi Mbahkung kami. Semua mengalir lancar hingga akhirnya muncul sebuah topik ini: Ambisi dan Masa Depan.
Yang saya ingat, saya tanpa bermaksud apa-apa melontarkan pertanyaan tentang rumah impian masa depan saya dan harapan-harapan yang ingin saya capai. Dan entah darimana mulainya, Om Gombloh menjelaskan bahwa sebaiknya kita tidak perlu ambisius dalam mengejar hidup. Hiduplah dengan bahagia dengan apa yang kita punya dan tidak perlu berlebihan.

Saya sangat setuju.

Tapi ada satu hal yang mengganggu saya. Sampai saat ini saya juga masih bingung dengan batasan antara ambisi dan cita-cita. Apa sebenarnya yang benar-benar memisahkan mereka. Bagi Om saya, mungkin mudah saja mengatakan bahwa beliau sudah cukup bahagia dengan apa yang beliau punya sekarang: Karier dan Keluarga. Tapi bagi saya yang bahkan belum sepenuhnya bisa memanfaatnya usia produktif saya tentu saja saya masih belum bisa mengorbankan cita-cita saya atau mungkin ambisi saya. Mungkin memang benar bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar absolut di dunia karena semua tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Om saya melihat dari sisi orang yang terbiasa hidup dalam tenangnya suasana kota kecil sedangkan saya lahir dan besar di kota yang selalu berpacu dengan waktu. Baginya melihat keseharian orang kota seperti melihat sisi ambisius orang-orang kota yang banyak mengejar dunia tanpa memperhatikan keperluan batin. Tapi bagi saya, ini adalah sebuah ritme hidup yang memang harus saya jalani. Lingkungan saja mengharuskan saya berlari setiap hari, atau pilihan lainnya saya akan mati. Tentang ketenangan batin, saya tentu menjalani apa yang diwajibkan oleh agama saya setiap harinya dan juga berusaha memahami kitab suci saya.
Kemudian pertanyaan lain muncul, bagaimana jika ritual agama tersebut hanya menjadi ritual dan sekedar menjadi penggugur kewajiban. Saya ingat sekali kejadian yang terjadi beberapa bulan kemarin yang sangat menghancurkan hati saya, berpisah dengan pacar pertama saya. Lalu saya hubungkan dengan pertanyaan diatas. Mungkin tidak ada hubungannya, tapi bagi saya ada. Pasti ada saat dimana saya merasa bahwa hubungan saya dengan Tuhan hanya terasa seperti ritual dan penggugur kewajiban semata. Tapi Tuhan selalu baik, Tuhan selalu punya cara untuk mengingatkan umatnya yang melenceng terlalu jauh dari  lintasannya. Saat saya merasa bahwa hubungan saya dengan Tuhan seperti kosong dan hambar, Tuhan kemudian memberikan cubitan kecil agar saya kembali ingat dan mengingatkan untuk kembali membangun hubungan yang lebih erat lagi dengan Tuhan. Hubungan yang lebih baik. Jadi bagi saya tidak ada masalah dengan ritual agama ini. Kemudian untuk beberapa saat kami semua diam. Sampai akhirnya Manggar berbicara bahwa apapun pilihan yang kita buat yang terpenting adalah hidup yang bermanfaat. Jika kita belum bisa berbuat baik maka jangan pernah merugikan orang lain.

Saya kembali setuju.

Obrolan sore ini mungkin tidak akan bisa dimengerti bagi yang tidak mengalaminya. Karena sekali lagi, sudut pandang sangat memengaruhi hasil akhir. Saya juga tidak berusaha untuk menyudutkan pendapat siapapun. Saya hanya berusaha untuk bertahan dengan pendapat saya. Sampai sekarang saya juga masih terus berusaha untuk menata rencana hidup saya, mungkin ada benarnya juga pendapat Om saya, hanya saja saya belum memiliki kesempatan untuk merasakannya. Dan juga berusaha untuk mencari garis batas yang jelas antara ambisi dan cita-cita.
Akhirnya obolan sore ini ditutup bersamaan dengan habisnya jamur goreng.



fams, holiday post, daily, contemplation

Previous post Next post
Up