Jul 12, 2011 21:45
Yamada berlari melintasi hujan deras tiada henti pada malam yang amat dingin. Hawa dingin membuatnya dapat melihat hembusan nafasnya. Sepertinya jaket yang ia kenakan sama sekali tidak berguna. Yamada berpikir… sempatkah dia menyatakan cintanya pada orang itu atau tidak? Ia tidak peduli walau semua orang berdarah kerajaan akan mengutuknya atau menendangnya keluar dari kerajaan karena mencintai seseorang berdarah rendahan. Yang ia pedulikan hanyalah perasaan hangat di hatinya untuk orang itu.
‘Persetan apa yang ayah katakan… Aku mencintainya dan hanya itu!’ Pikirnya. Yamada menggigit bibirnya yang mati rasa saat kakinya terasa berat untuk diangkat. ‘Sedikit lagi… Kumohon bertahanlah!’
Ia berdoa dalam hati agar ia masih sempat mengejar kapal yang akan segera berangkat. Tetapi, sepertinya harapan telah mengecewakannya. Ia mendengar bel peringatan kapal akan berangkat. Matanya membelalak dan memaksa kakinya yang beku untuk bergerak lebih cepat. Derapan kakinya seirama dengan detak jantungnya yang pecah berkeping-keping.
Mulutnya terbuka sedikit tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Seberapa kerasnya ia berusaha untuk berteriak, tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Ya, itulah salah satu kelemahannya sebagai pangeran yang bisu.
Matanya menangkap kapal terakhir mulai berlayar meninggalkan pelabuhan. ‘Tunggu! Tunggu!’ Teriaknya dalam hati. Tapi, tidak ada satu orang pun yang mendengarnya. Yamada jatuh berlutut dan menangis. Ia tidak akan pernah bertemu dengan orang itu lagi… mungkin selamanya.
Awal Cerita
“Pangeran, ada lagi yang anda butuhkan?” Tanya pelayan setia Yamada sejak kecil, Yuto. Pangeran menggelengkan kepalanya pada Yuto. “Baik tuanku…” Yuto membungkuk sedikit sebelum pergi meninggalkan perpustakaan. Tetapi, ia terhenti didepan pintu oleh suara siulan. “Ya tuanku?”
Itulah cara putus asa Yamada saat memanggil seseorang. Ia terlahir sebagai pangeran yang bisu walaupun sejarah kesehatan keluarganya baik-baik saja terutama ia mempunyai darah kerajaan. Banyak orang mengatakan, dahulu ayahnya sering menjelek-jelekkan orang dan membanggakan dirinya sendiri, sehingga ia dikutuk untuk mempunyai anak yang bisu. Walau Yamada bisu, ia masih disayang dan dimanja.
‘Aku butuh arak…’ Kata Yamada dalam hati.
Yuto terlihat terkejut. “Tapi, tuanku… Sekarang ini masih siang dan lagipula tuanku masih dibawah umur…” kata Yuto, terdengar sedikit khawatir. Alasan Yuto menjadi pelayan setia Yamada, adalah Yuto dapat mendengar isi pikiran Yamada. Entah Yamada yang mempunyai bakat telepati atau Yuto yang mempunyai bakat telepati, tetapi setidaknya Yamada mempunyai teman ngobrol.
“Ambilkan sajalah!” Kata Yamada, memicingkan matanya.
Yuto mendesah. “Baiklah tuanku… apapun yang anda inginkan.” Yuto berjalan keluar dari perpustakaan sambil memijat batang hidungnya. Ia berpikir keras bagaimana ia akan menjelaskan tentang hilangnya sebotol arak dari gudang? Tapi, ia berani melakukan apapun demi Yamada untuk beberapa alasan.
Setelah Yuto pergi, Yamada kembali fokus dengan buku yang ia baca. Banyak sekali buku berisi berbagai macam pengetahuan yang Yamada baca sejak kecil, tetapi hari itu adalah hari pertama ia membaca buku tentang cinta. Bahkan ia sendiri tidak tahu apakah itu cinta.
“Cinta…” Ia membaca kalimat pertama di buku itu. “Adalah sesuatu yang lebih berbahaya dari hal apapun yang kita anggap berbahaya di dunia karena, cinta dapat membunuh kita perlahan-lahan.” Yamada mendengus, tidak mengerti apa arti kalimat itu. Tetapi, ia terus membaca seakan ia sedang membaca kamus biologi setebal delapan ratus halaman.
Semakin lama ia membaca, semakin banyak kata-kata rumit yang ia terima, dan sulit baginya untuk menjabarkan apa yang dimaksud. Ia heran. “Kenapa aku bisa mengerti seluruh isi tentang dunia alam atau bisnis, sementara aku sama sekali tidak mengerti tentang ‘cinta’? Aneh…” kata Yamada, merasa jengkel. Ia tahu dirinya lebih pintar dari kedua orangtuanya dan semua orang yang ia kenal tetapi, ia merasa seperti orang terbodoh yang pernah ada karena tidak mengerti apa itu cinta. Walau begitu, pangeran itu tetap membaca.
Beberapa saat kemudian, Yuto mengetuk pintu perpustakaan tapi pada ketukan pertama ia berhenti. ‘Mana mungkin aku bisa tahu kalau pangeran menyuruhku masuk.’ Pikir Yuto. Lalu, ia membuka pintu dan melihat Yamada masih membaca dengan posisi duduk yang sama, punggungnya mengahadap Yuto.
“Pangeran Yamada…?” Yuto memanggil, membuat Yamada terkejut lalu menutup bukunya dengan kencang.
“Ya?” Yamada berteriak dalam pikiran Yuto.
“Saya membawa minuman anda…” Yuto memaksakan sebuah senyum walau kepalanya pening karena suara Yamada.
Pangeran itu mengangguk dan menyuruh Yuto untuk menaruhnya di meja. Saat Yuto semakin dekat, Yamada menutupi tulisan sambung berwarna emas di sampul depan buku yang ia baca, seperti ia tidak ingin Yuto mengetahui apa yang sedang ia baca. Yamada memperhatikan Yuto menuang cairan berwarna kecoklatan itu ke gelas. Yamada tidak yakin apakah ia harus bertanya tentang ‘cinta’ pada Yuto, terutama ia hanyalah seorang pelayan. Tapi, akan lebih aneh kalau dia bertanya pada orangtuanya. Mereka pasti akan kebingungan karena untuk seorang pria berumur tujuhbelas tahun, harusnya sudah mengetahui tentang cinta. Tapi, Yamada sama sekali belum merasakan ‘cinta’.
Setelah Yuto menuang minuman, ia langsung melihat kearah Yamada, menangkap Yamada memperhatikannya tanpa berkedip. “Apakah ada yang aneh dengan muka saya?” Tanya Yuto, sedikit tertawa
Yamada berdecak lalu, melihat kearah lain. Jelas sekali ia terlihat malu. “Umm… Yuto…” Yamada mulai bicara.
“Ya tuanku?”
“Bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?” Tanya Yamada, pandangan masih terfokus pada buku yang ia baca.
“Apa itu tuanku?”
“Umm…” Yamada tidak yakin bagaimana caranya menanyakan hal itu. Ia tahu Yuto tidak akan menertawakannya karena pertanyaan konyol itu tapi, ia hanya takut Yuto akan berpikir dia itu sangat bodoh. “Apakah itu cinta?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari pikirannya.
Wajah Yuto yang tadinya tersenyum berubah menjadi wajah kebingungan. Yamada mendesah saat ia melihat wajah itu. “Ya aku ini emang bodoh… Tidak tahu apa artinya cinta…” kata Yamada.
“Tidak…” Yuto menjawab dengan nada datar. Belum pernah Yamada mendengar Yuto berbicara dengan nada seperti itu. Ia berlutut disebelah Yamada, sehingga mata mereka saling bertatapan. “Cinta itu… hal yang sangat berbahaya kalau tidak dijaga dengan baik. Dan sangat membawa ketentraman jika dijaga dengan baik. Saya tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata karena, cinta itu tidak seperti teori-teori pengetahuan yang pangeran ketahui.”
“Cinta itu bukan teori…” Yamada mengulang. “Lalu… apakah kau pernah merasakan cinta, Yuto?”
Yuto mendengus dan tersenyum. Ia menggigit bibirnya, bingung bagaimana menjawab pertanyaan sang pangeran. Ia merasa tidak yakin apakah ia harus menceritakan tentang cinta pada Yamada karena, itu adalah hal yang sangat pribadi. Tapi, ia merasa hubungannya sangat dekat dengan Yamada, bahkan lebih dekat daripada hubungan Yamada dengan orangtuanya. Jadi, ia mengatakan, “Pernah dan saat ini saya masih merasakannya…”
“…Oh… Lalu, apa rasanya?”
“Rasanya itu… Jantung saya berdegup seperti derapan ksatria menuju medan perang, dan ada perasaan hangat di dada, dan…” Yuto menggelengkan kepalanya. “Ah! Kenapa saya menceritakan ini kepada pangeran?”
“Tidak apa-apa! Lanjutkan saja!” Yamada memaksa, menggenggam tangan Yuto. Kalau ayahnya melihat hal itu, tentunya Yuto akan langsung dipecat tetapi, saat itu di perpustakaan hanya ada mereka berdua.
Jantung Yuto sempat terhenti oleh sentuhan tangan Yamada tetapi ia segera melupakan perasaan itu. “Dan saya akan merasa ingin menyentuh orang itu, memberikannya pelukan hangat, dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.” Lanjut Yuto.
“Oh begitu ya…” Yamada melepaskan genggamannya pada tangan Yuto. Ia mendesah sambil melihat ke buku yang ia pegang. Kalau ia ingat-ingat, belum pernah ia merasakan perasaan itu ke siapapun. Yamada mulai berpikir kalau ia mungkin tidak dapat memberi kebanggaan apapun untuk kedua orangtuanya.
Tiba-tiba Yamada meminum sebotol arak itu sebelum ia berlari keluar dari perpustakan tanpa mengatakan apapun dalam pikiran Yuto. Yuto hanya dapat melihat sang pangeran pergi meninggalkannya di perpustakaan, walalupun ia sangat ingin merasakan kehangatan tangan pangeran di tangannya lagi.
“Itulah yang kurasakan padamu, pangeran…” gumam Yuto.
‘Aku ini tidak berguna… Pangeran macam apa belum pernah merasakan ‘cinta’.’ Pikir Yamada, mengernyitkan keningnya saat ia membayangkan melihat teman-temannya sibuk bersama pacarnya, sementara ia hanya membaca buku di ujung ruangan.
Yamada masuk ke dalam kamar kedua orangtuanya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu, bahkan pintu terbanting ke tembok karena ia mendorongnya dengan kencang. “Ayah!” Teriaknya, tapi tentu saja tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Ia melihat ke sekitar ruangan tetapi, ia hanya melihat ibunya memelototinya dari tempat tidur. Sepertinya ia sedang istirahat dan terbangun gara-gara Yamada.
Yamada langsung menghampiri ibunya dan menggerakan mulutnya membentuk satu kata ‘Ayah’.
“Ayah sepertinya sedang di ruang musik. Ia baru saja memperkerjakan seorang pengelana musik. Entah sampai kapan orang itu akan bertahan karena tidak ada satupun orang yang betah mengajari ayahmu piano.” Kata Ratu. “Kau butuh apa, Ryo-chan?”
Yamada menggelengkan kepala dan mencium kening ibunya sebagai tanda terima kasih sebelum berlari keluar, dan menutup pintu dengan bantingan. Sang Ratu hanya dapat memperhatikan anaknya dari tempat tidur. Ia mendesah, “Anak remaja memang labil…” Lalu, ia kembali ke alam tidurnya.
Tidak mungkin Yamada akan membicarakan masalah yang ia hadapi dengan ibunya, karena ia tahu ibunya akan menjawab lebih baik dari ayahnya. Jadi, ia harus tahu akibat terburuk tidak merasakan cinta-dari ayahnya.
Jika didepan ayahnya, Yamada akan bersikap layaknya seorang pangeran. Sedikit dingin, gagah, dan terlihat pintar. Tetapi, ia akan terlihat seperti dirinya sendiri dengan beberapa orang tertentu saja, yaitu ibunya dan Yuto. Jadi, ia berdiri didepan ruang musik, menarik nafas dalam-dalam dan membangun karakteristik seorang pangeran sebelum mengetuk pintu ruang musik.
“Silahkan masuk!” Teriak ayahnya dari balik pintu kayu besar itu. Yamada membuka pintunya perlahan, dan mungkin… itulah pertama kalinya ia merasakan cinta.
“Ah! Ryo-chan, anakku.” Kata sang Raja saat ia melihat sosok kecil anaknya. Sebenarnya Yamada itu tinggi tetapi, sang Raja tingginya mencapai dua meter lebih sehingga ia terlihat kecil di mata ayahnya. “Kemari kau, nak! Sepertinya ayah mulai menyukai piano!” Cetus ayahnya.
‘Dalam waktu dua hari kau akan bosan!’ Kata Yamada dalam hati. Keuntungan yang ia dapatkan, ia dapat mengejek atau berbicara kasar dengan ayahnya dan tidak akan ada yang tau.
Pria yang mengajarkan sang Raja mengalihkan perhatiannya pada Yamada yang sedang tersenyum ramah pada ayahnya. Musisi itu menggaruk-garuk kepalanya dengan tidak hormat lalu, ia nyeletuk, “Apa yang anda katakan?” Pria itu bertanya pada Yamada.
Yamada melihat kearah pria itu, terlihat bingung tetapi ia masih berusaha mempertahankan figure gagahnya. Yamada menggelengkan kepalanya dan menggerakkan tangannya, memberitahu ayahnya untuk menjelaskan semuanya pada musisi itu.
“Oh maaf saya lupa menjelaskan… Anak saya ini mempunyai kekurangan…” Sang Raja sempat menoleh kearah Yamada seperti ia tidak yakin untuk menjelaskannya. Tetapi, Yamada membalasanya dengan anggukan. “Dia bisu…” Lanjut sang Raja.
“Oh…” musisi itu menganggukan kepalanya, mengerti situasi si pangeran. Tapi, ia berani bersumpah kalau ia baru saja mendengar sang pangeran berbicara. Tidak mungkin pangeran gagah itu berbicara didalam pikirannya. “Baiklah saya mengerti… Perkenalkan, nama saya Chinen Yuri.” Musisi itu atau Chinen membungkuk sedikit pada Yamada.
‘Orang ini… kelihatan imut juga… senyumnya… ah! Perasaan macam apa ini?’ kata Yamada dalam hati. Mata Chinen membelalak saat ia mendengar suara yang sama di dalam pikirannya. Tanpa sengaja, Chinen tertawa dengan aneh sambil menatap Yamada, yang mana Yamada juga menatap Chinen dengan ekspresi antara bingung dan tegang. ‘Apakah dia…’ Yamada menepuk pundak ayahnya dan menunjuk kearah pintu dengan jempolnya, dengan maksud ingin pergi.
“Ya ya… silahkan… Ayah masih mau melanjutkan latihan.” Ayahnya mengibas-ngibaskan tangannya pada Yamada seperti mengusir seekor anjing. Yamada membungkukkan badan pada ayahnya sebelum pergi meninggalkan ruangan dengan jantung berdebar-debar. Satu hal yang melintasi pikirannya adalah harus segera menceritakan apa yang terjadi dengan Yuto.
“Benarkah? Mungkin anda hanya salah pengertian… Yang bisa mendengar isi pikiran anda hanyalah saya, tuanku.” Kata Yuto, tersenyum dengan hangat.
“Aku yakin betul, Yuto! Aku tadi berbicara dalam pikiran… aku bilang dia itu imut dan rasanya aku ingin mencium pipinya yang tembem. Dan saat itu ekspresinya berubah dan tanpa alasan yang jelas ia tertawa dengan aneh. Seperti ia terkejut dengan perkataanku.” Yamada menjelaskan, meminum tehnya sebelum melanjutkan. “Yuto… bagaimana ini? Dan aku yakin betul dengan perasaan ini… perasaan yang kau katakan sebagai cinta.” Yamada menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur.
Yuto berjalan kearah Yamada. Ia melihat tangan Yamada yang dikepal dengan kencang hingga menjadi putih. “Bolehkah saya…?” kata ‘menyentuh’ berhenti diujung lidah Yuto. Ia merasa tidak pantas menyentuh tangan Yamada. Tetapi, seakan Yamada mengerti apa yang diinginkan Yuto, ia mengulurkan tangannya ke Yuto.
Yuto dengan malu-malu menaruh jemarinya diantara jemari Yamada, dan mengeratkannya seakan ia tidak akan melepaskannya. Jantung Yuto berdetak dengan cepat seperti akan melompat keluar dari dadanya. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya sulit dilupakan oleh kedua pria itu.
“Aku mencintaimu…” kata pengakuan cinta itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir Yuto. Ia tahu ia tidak berhak mencintai seseorang yang mempunyai darah kerajaan tetapi ia hanya memiliki satu kesempatan sebelum Yamada benar-benar mencintai si musisi itu. Ia hanya takut akan kehilangan seseorang yang sejak dulu telah ia layani.
Lalu, saat itulah pangeran muda itu merasakan ciuman pertama dari seseorang yang ia anggap sahabat.
Detak jantung Yamada terhenti saat Yuto menyentuh bibir Yamada dengan bibirnya. Kedua tangannya menahan kedua tangan Yamada di tempat tidur, membuatnya tidak dapat bergerak kemana-kemana. Awalnya ciuman itu sangat singkat, dan karena Yamada tidak memberikan reaksi pemberontakan, Yuto melanjutkan…
Ia mencium bibir Yamada dan memaksakan lidahnya untuk masuk kedalam mulut Yamada yang masih tertutup. “Buka mulutmu…” Kata Yuto diantara ciumannya. Yamada memisahkan bibirnya, dan ia langsung merasakan sesuatu menggosok isi mulutnya yang basah. Lalu, lidah kedua pria itu saling beradu.
Yuto mengeluarkan suara geraman dari tenggorokannya yang membuat Yamada merinding di sekujur tubuhnya. Pria yang lebih tua itu melepaskan bibirnya dari bibir Yamada dan mencium leher pria itu. Ia menghisap kulit yang sensitif dan halus itu. Tangan kirinya melepas pergelangan tangan Yamada, bergerak perlahan-lahan ke dadanya hingga ke sesuatu yang terasa keras diantara paha Yamada. Ia meremas benda itu, membuat Yamada mengeluarkan desahan yang dalam. “Ahh- Yu-to…!” Tiba-tiba saja mata Yuto membelalak dan ia segera melompat kebelakang, tersandung kursi, dan terjatuh.
Yamada menopang tubuhnya untuk duduk. Nafasnya entah kenapa menjadi terengah-engah dan matanya yang terlihat lemas melihat Yuto dengan bingung. Yamada tidak dapat berkata apa-apa didalam pikiran Yuto.
“Maafkan saya tuanku…” Yuto langsung bangkit berdiri, membereskan meja, lalu berjalan terburu-buru ke arah pintu. Yuto berani bersumpah ia tadi mendengar suara keluar dari tenggorokan Yamada.
Yamada menunggu dirinya sedikit tenang sebelum ia keluar kamarnya karena keheningan membuatnya terus membayangkan ciumannya dengan Yuto. Walaupun ia dan Yuto berasal dari keluarga yang beda jauh, ia menganggap Yuto sebagai sahabat dan juga saudara sendiri karena ia merasa berhutang budi dengan ayah Yuto yang telah mengurusnya hingga meninggal saat Yamada berumur sepuluh tahun. Sejak saat itu, Yuto lah yang melayani Yamada.
Yamada juga merasa sedikit bersalah telah memberitahu Yuto kalau ia mencintai si musisi itu. Ia sama sekali tidak tahu kalau Yuto mencintainya. ‘Pasti sakit rasanya mendengar orang yang dicintai, mencintai orang lain.’ Pikir Yamada.
Memikirkan soal sakit… Yamada tiba-tiba saja mendengar suara nada piano yang terdengar… sakit. Ia mulai berpikir gara-gara cinta ia cenderung merasa sedih. Satu hal yang Yamada saat itu bisa simpulkan adalah ‘Cinta itu membingungkan…’ Pikirnya. Lalu, berjalan kearah ruang musik dimana suara itu berasal.
Tidak mungkin ayahnya yang memainkan lagu itu karena, ia yakin betul ayahnya tidak bisa menguasai sesuatu dalam waktu singkat. Butuh waktu bertahun-tahun lebih lama dari sang Ratu.
Yamada mengintip kedalam ruang musik, dan sesuai dugaanya, ia melihat si musisi yang bertubuh lebih kecil dan terlihat lebih muda darinya sedang duduk dengan tegak sambil memainkan nada-nada yang terdengar menyakitkan dihati. Ia berjalan perlahan menuju Chinen, bermaksud ingin mengagetkannya tetapi, tiba-tiba saja lagu itu terhenti dan Chinen memutar badannya.
“Pangeran, saya tahu anda bermaksud mengagetkan saya.” Kata Chinen.
“…” Yamada hanya bisa terdiam.
“Pangeran? Apakah anda baru saja pergi lagi karena malu?” Tanya Chinen.
Yamada menaikkan sebelah alisnya, bingung. Jelas sekali ia masih berdiri sekitar beberapa kaki dari Yamada, dan pria yang lebih muda itu bertanya apakah dia baru saja pergi karena malu. Bukankah ia bisa melihat?
Yamada berjalan menghampiri Chinen, dan membungkuk tepat didepan mukanya. “Bisakah kau melihat aku ada didepanmu?” Tanya Yamada dengan telepati, yang mana ternyata Chinen dapat mendengarnya.
“Tidak…” Jawab Chinen. “Saya buta…” Sebelum Yamada dapat berkata apa-apa lagi. Chinen bertanya. “Bagaimana saya bisa mendengar suara anda walau anda itu bisu?”
“Itu karena… hanya orang-orang yang-” kata ‘berarti’ tertahan diujung lidah Yamada. Kalau ia mengatakan ‘berarti’, itu sama saja seperti ia menyatakan perasaannya kepada Chinen. Jadi, ia memilih kata yang lain. “Yang tertentu saja dapat mendengar saya. Termasuk pelayan setia saya, Yuto. Jadi umm… Lagu apa yang sedang kau mainkan?”
“Ini lagu yang saya ciptakan sendiri. Sayangnya saya tidak dapat menulis nadanya karena… ya saya buta.”
“Berati kau memang berbakat ya… Bisakah kau mengajari saya bermain piano?”
“Ya tentu saja… buat apa saya disini?” Chinen berdiri untuk mempersilahkan Yamada duduk tetapi, Yamada menahan pundak pria yang lebih kecil darinya.
“Geser saja duduknya. Aku mau duduk disebelahmu.” Kata Yamada
“Tapi…”
Yamada tertawa kecil. “Kalau sama aku, selama ayah dan ibu tidak ada, kau boleh menganggapku teman dekat atau sejenisnya. Tenang saja, tidak akan ketahuan kok.” Yamada mengedipkan sebelah matanya pada Chinen, membuat musisi itu merinding.
Lalu, kedua pria itu menghabiskan jam kegiatan siang dengan bermain piano. Terkadang Yamada sengaja membuat kesalahan agar Chinen dapat menyentuh tangannya dan membenarkan posisi jarinya. Yamada tidak dapat berhenti memperhatikan wajah mungil Chinen, dan sesuai yang Yuto katakan, akan ada waktu dimana ia akan merasa ingin mencium bibir orang yang dicintai. Tetapi, ia menahan perasaan itu karena, ciuman yang ia rasakan bersama Yuto terlintas di pikirannya.
TUNG!
Jari-jari Yamada terasa berat sehingga jempolnya tanpa sengaja menekan not yang salah. Kesalahan itu membuat Chinen menyeringai.
“Ada apa?” Tanya Chinen yang merasa hawa disekitar mereka terasa berat.
“Tidak ada apa-apa…” jawab Yamada setelah dengan pikirannya setelah beberapa lama. Ia melihat kearah mata hitam Chinen. Ia tidak akan tahu kalau sebenarnya Yamada baru saja menangis. Jantungnya berdebar-debar saat ia memikirkan Yuto, tetapi hal yang sama terjadi padanya saat melihat Chinen. Ia seperti tidak yakin sebenarnya orang yang ia cintai itu siapa? Kegalauan memenuhi hatinya hingga membuatnya menangis.
“Besok kita ketemu disini lagi mau tidak?” Yamada bertanya, menahan isak tangis.
“Tentu saja… dengan jam yang sama seperti sekarang ini?”
“Ya, tunggu aku disini… oke?”
“Baiklah, tuan-”
“Ah!” Yamada menghentikan kalimat Chinen dengan menaruh jarinya dibibir Chinen yang terasa lembab. “Jangan panggil aku tuan atau pangeran… panggil aku… Ryo-chan, oke?” Sebenarnya, hanya keluarga atau sahabat yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ryo-chan’. Ia hanya menginginkan orang yang amat ia cintai memanggilnya Ryo-chan, bahkan Yuto yang sudah lama bersamanya tidak pernah disuruh memanggil dirinya Ryo-chan.
“Ya, aku mengerti… Ryo-chan…” jawab Chinen, tidak lupa menambahkan senyumnya yang hangat.
“Bagus… Aku janji akan menemuimu disini!” kata Yamada sambil berjalan mundur kearah pintu. Perlahan-lahan ia mulai merasa kesedihannya merada jika melihat Chinen tersenyum hangat padanya.
“Kesannya seperti kau tidak akan bertemu denganku lagi…” Chinen tertawa kecil. “Aku akan menunggumu.”
Yamada mengirim ciumannya dengan tiupan kearah Chinen. Ia yakin betul pipinya akan terbakar andai Chinen dapat melihatnya melakukan itu. Tetapi, dengan hanya memikirkannya, Yamada sudah senyum-senyum sendiri seperti orang konyol walaupun perasaannya masih bimbang.
Hari-hari selanjutnya Yamada terus menerus menemui Chinen di ruang musik dengan alasan ingin melupakan kesedihannya. Semakin lama mereka semakin dekat dan mengenal satu sama lain, bahkan Yamada memperbolehkan Chinen yang lelah untuk tidur di pangkuannya. Walaupun Chinen buta, Yamada lebih mempedulikan sifat Chinen yang penyabar, ramah, dan juga sering sekali membuatnya dapat melupakan semua permasalahan yang ia alami, hingga Yamada seperti tidak membutuhkan seorang pelayan lagi.
“Akhir-akhir ini kau sepertinya sudah mulai mandiri, Ryo-chan.” Kata sang Raja setelah ia menelan daging ayam yang sepertinya terlalu besar untuk mulut Yamada. “Kalau ayah perhatikan, kau sudah jarang sekali berbicara dengan Yuto. Apa dia melakukan sesuatu padamu? Atau apakah ada sesuatu diantara kalian?” Sang raja menghujani putra tunggalnya dengan berbagai macam pertanyaan sampai Yamada bingung harus menjawab darimana. Akhirnya Yamada hanya dapat menggelengkan kepalanya, dan melanjutkan makan malamnya.
“Sayang…” panggil sang Ratu, melihat kearah sang Raja dan menggelengkan kepalanya, bermaksud memberitahunya untuk berhenti bertanya. Sang Ratu menyadari ada yang salah dengan anaknya karena, Ia seperti merasa lebih tertekan kalau membicarakan Yuto. Tentu saja, jika Yamada melihat Yuto atau mendengar namanya, ia akan membayangkan ciuman pertamanya dengan pelayan itu.
“Kumohon… aku harus mengetahui apa yang terjadi dengan putraku…” Pinta sang Raja.
“Dia juga putraku! Aku tahu betul ia tidak ingin membicarakannya!”
Lalu, kedua orangtua Yamada saling berdebat mengenai putra mereka. Yamada sudah biasa mendengar orangtua mereka berdebat gara-gara dirinya tetapi, yang membuat hatinya tidak tenang adalah melihat Yuto yang tadinya berdiri didekat pintu langsung berlari keluar seakan ia merasa bersalah telah mencium Yamada.
Dalam sekejap Yamada langsung berlari keluar ruang makan, membuat kedua orangtuanya terdiam dan keadaan menjadi semakin panas diantara mereka berdua.
Yamada mengikuti Yuto sampai ke taman. Andaikan ia mempunyai suara, ia akan berteriak memanggil namanya. Tapi, ia hanya bisa berjalan menghampiri Yuto yang sedang duduk menangis di taman.
“Jangan duduk disebelahku kalau kau tidak ingin kupeluk!” kata Yuto, meperingati Yamada. Nyatanya, Yamada malah duduk disebelah Yuto dan memeluk sahabatnya. Yamada dapat mencium aroma mint ditubuhnya. Aroma itu cukup berkelas untuk seseorang seperti Yuto.
“Aku yang ingin memelukmu…” Kata Yamada. Yuto terdiam disaat yang menganjalkan itu. Seharusnya Yuto sudah mengatakan sesuatu kepada Yamada seperti ia terkejut dan memanggil namanya lalu, mendorongnya. Tapi yang terjadi justru berbeda.
“Yamada… Apakah kau tertidur?” Yuto bertanya.
Yamada melepaskan pelukannya dan memandang Yuto dengan wajah yang terlihat bingung. Ia menggelengkan kepala. “Aku tidak tertidur, bodoh!”
“Hoi…” Yuto melambaikan tangannya didepan muka Yamada. “Kau sedang berbicara denganku atau- sial!” Yuto tiba-tiba saja menyumpah. Matanya terlihat berbinar-binar dibawah rembulan. Yamada tidak tahu apa yang telah terjadi diantara mereka tetapi, mata Yuto menjelaskan kalau ia baru saja menerima sesuatu yang lebih buruk. “Aku… tidak dapat mendengarmu berbicara di pikiranku lagi Yamada…” Yuto akhirnya berbicara.
Seperti kejatuhan beton seberat berapa ratus kilo, Yamada langsung ikut menangis. Rasanya ia seperti baru saja kehilangan teman satu-satunya. Mereka berdua telah melalui banyak hal seperti saat Yamada masih kecil, ia pernah tersesat ditempat umum dan Yutolah yang bela-belain mencarinya seharian tanpa istirahat. Saat Yamada berada dalam masalah dengan anak-anak lain, Yuto lah yang selalu membelanya, bahkan ia terima cacimaki teman-teman Yamada. Semuanya hanya untuk Yamada, dan ia berani bersumpah ingin mati saat itu juga karena Yuto sudah tidak bisa mendengarnya lagi.
Lalu, pangeran muda itu dengan gagu ingin mencoba mengatakan sesuatu tetapi yang keluar hanyalah suara-suara yang tidak jelas layaknya anak bayi. Ia terus menerus mencoba sampai air mata membasahi pipinya yang halus. Tanpa berpikir, Yuto langsung menariknya ke pelukannya. Yamada membenamkan wajahnya dileher Yuto, tidak dapat berhenti menangis.
“Aku berasal dari keturunan penyihir. Ketika kau lahir, aku langsung punya perasaan kau akan menjadi sesuatu yang indah. Itu suatu perasaan yang dimiliki semua penyihir dan perasaan itu tidak pernah salah… kau memang tumbuh menjadi seseorang yang kucintai…” kata Yuto secara tiba-tiba.
Yuto membelai rambut Yamada yang halus dan berbau vanilla. “Aku orang teregois yang pernah ada… aku hanya menginginkanmu untuk diriku saja… oleh sebab itu, kubuat kau bisu dan kubuat hanya diriku saja yang dapat mendengarmu. Tapi, kata ibuku, kalau kau lebih memilih orang lain, maka hanya orang itu yang akan bisa mendengarmu. Aku bisa membuat diriku mendengarmu lagi tapi…” Yuto menggigit bibirnya. Ia berusaha menahan isak tangis tapi tidak bisa, “Ta-tapi… A-aku hanya i-ingin kau bahagia dengan musisi itu… Tapi, aku akan mencintaimu sampai kapan saja dan kau tahu itu!”
Yuto memundurkan badannya lalu, menatap mata Yamada yang masih polos itu. “Selamat tinggal, Yamada…” kata Yuto sebelum dia mencium Yamada dengan penuh gairah seakan ia tidak akan pernah bisa mencium Yamada seperti itu lagi… Atau mungkin tidak akan pernah bisa lagi.
Yamada membalasnya dengan ciuman yang sama. Lidah mereka saling menggosok satu sama lain. Yuto menekan kepala Yamada agar ciuman mereka lebih dekat. Jantung kedua pria itu berdetak dengan cepat saat mereka merasa tubuh mereka mulai memanas walaupun suhu diluar dingin. Ingin sekali mereka berpindah tempat ke kamar dan melakukan hubungan intim saat Yuto tiba-tiba ditarik oleh seseorang dari belakang.
“Lihat… sudah saya katakan saya curiga dengan hubungan kedua anak ini!” kata sang Raja, menunjuk Yuto yang terjatuh dirumput seakan Yuto itu rendahan.
“Ryo-chan…” Sang Ratu menutupi mulutnya yang terbuka lebar dengan tangannya. Suatu kejutan yang sangat tidak baik di malam yang dingin. “Ibu tidak menyangka kau…”
Yamada hanya dapat memperhatikan Yuto dicacimaki ayahnya. Beberapa kata seperti ‘anak rendahan’, ‘tidak terhormat’, dan ‘anak miskin’ terlontar dari mulut sang Raja. Yamada akan meneriaki ayahnya untuk melindungi Yuto jika ia memiliki suara, tapi nyatanya ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sampai Yuto diseret oleh Keito, algojo sang Raja. Wajah Keito selalu tertutup oleh sebuah topeng yang sudah sedikit retak. Yamada selalu merasa merinding jika ia menatap langsung mata merah darah Keito.
“Hendak kemana kau? Ayah harus bicara denganmu empat mata!” Bentak sang Raja saat ia melihat Yamada berlari mengikuti Yuto.
‘Jika kau ingin menyiksa Yuto, kau juga harus menyiksaku, keparat!’ Teriak Yamada dalam pikirannya. Chinen yang saat itu ikut melihat dapat mendengar apa yang Yamada katakan. Hatinya tersentuh dengan kalimat itu..
‘Aku tahu Ryo-chan menyukaiku tapi… dalam hal apapun ia masih lebih mementingkan sahabatnya. Terutama sahabatnya amat mencintainya.’ Pikir Chinen. Tetapi, ia takut hal yang sama akan terjadi. Oh! Demi apapun Chinen tidak ingin diseret oleh algojo sang Raja yang mengerikan itu ke kematian mungkin. Lalu, pikirannya terpecah saat ia mendengar sang Raja berteriak kesakitan karena dipukul oleh Yamada.
“Ryosuke!” Teriak sang Raja, berusaha menghentikan Yamada yang sudah berlari kearah Keito, dan mengirimnya sebuah tonjokan di kepalanya.
Keito yang dipenuhi dengan emosi, memutar badannya dan menendang Yamada di perutnya, membuat pria yang lebih kecil dan lemah itu terjatuh. Tapi, perjuangan Yamada melindungi Yuto tidak berhenti. Ia tetap berdiri dan memukuli Keito dari belakang walau rasanya ia ingin memuntahkan seluruh isi perutnya.
Seorang algojo tidak bekerja untuk siapapun. Mereka bekerja untuk diri sendiri dan perkumpulan mereka demi menjaga keamanan. Dan mereka bernai membunuh siapapun yang akan merusak keamanan itu walaupun orang itu berasal dari keluarga kerajaan.
‘Apapun yang terjadi… Aku ingin melindunginya. Hanya ini yang bisa kulakukan…’ Pikir Yamada. Setiap ia memukul Keito, ia akan mendapatkan pukulan yang jauh lebih keras dari Keito. Setiap pukulan, Yamada akan teringat oleh hal-hal yang telah Yuto lakukan untuknya. Semua rasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit yang Yuto rasakan waktu ia dibantai banyak orang untuk melindungi Yamada ditambah rasa sakit di hatinya saat ini.
BUAK!!
Pukulan itu adalah pukulan terakhir dari Keito yang ia keluarkan dengan seluruh tenaganya. Pukulan itu dapat membunuh Yamada yang sudah dipenuhi memar dan darah, bahkan mata kirinya tidak dapat melihat apa-apa karena darah menutupinya. Tetapi, Yamada masih dapat bernafas. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi.
Flashback
‘Tuanku, jangan pernah sekali-sekali mencoba untuk berkeliaran sendirian! Tempat umum itu sangat berbahaya untuk anda.’ Yuto terdengar seperti orang dewasa walaupun umurnya masih duabelas tahun.
Yamada yang berumur sepuluh tahun hanya bisa terdiam. Ia awalnya akan menangis karena Yuto baru saja memarahinya, tetapi Yuto tiba-tiba membelai rambutnya dan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
‘Maafkan saya Tuanku… Tapi, saya bersumpah untuk melindungi anda sampai kapanpun walau nyawa adalah taruhannya… itu sebuah sumpah yang akan saya tepati.’ Yuto telah berjanji tujuh tahun yang lalu.
Yamada melihat pemandangan yang amat mengerikan didepannya. Ia melihat Yuto terbaring dirumput sekitar tujuh kaki dari posisinya. Ia dapat melihat darah yang amat banyak dari kepala dan mulut Yuto. Ia terlihat seperti sudah mati walaupun Yamada melihat dadanya masih bergerak naik turun dengan lemah.
Yuto sekarat…
Semua orang yang melihat kejadian itu terkejut dan tidak ada yang berani bergerak selangkahpun. Bahkan sang Raja sempat kehilangan nafasnya untuk sesaat sebelum ia yang memecahkan kesunyian.
“Bawa saja pelayan itu ke kampung halamannya sekarang juga… Pastikan ada orang yang dapat mengurus lukanya…” Nada sang Raja terdengar sedih tetapi ia langsung bergegas pergi sebelum ada yang sadar kalau ia merasa bersalah telah melakukan itu semua.
“Ja-hat…” Sebuah suara berkata dari belakang sang Raja. “Ja-hat!” Suara itu terdengar lebih tegas tetapi masih seperti hembusan angin. Sang Raja berbalik dan betapa terkejutnya ia melihat Yamada menggerakkan mulutnya dan mengatakan, “A-yah… ja-hat!” Lalu, Yamada terbatuk-batuk karena tenggorokannya terasa sakit seperti sesuatu mencekik lehernya agar ia tidak dapat berbicara.
Semakin keras Yamada berusaha untuk berbicara, semakin ia tidak dapat bernafas. “Ayah jahat! Jahat! Jahat! JAHAAATT!! KEPARAT!” Teriak Yamada sebelum ia termenggap menggap mencari nafas seperti ikan di darat.
Itulah kata pertama yang didengar orangtuanya. Kata yang sangat menyayat hati. Setiap orangtua amat bahagia jika mereka mendengar anaknya berbicara untuk pertama kalinya. Tetapi, entah sang Raja dan Ratu akan bahagia mendengar Yamada berbicara untuk pertama kalinya sangat kasar.
“Ryo-chan…” Sang Ratu berkata, terkejut.
“Ryosuke… kau… berbicara…” Sebelum Raja dapat menyelesaikan kata-katanya, Yamada hendak berbicara beberapa kata lagi tetapi tidak ada suara yang keluar. Sepertinya mantra yang mengikatnya menjadi semakin kuat setelah perlawanannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Yamada bangkit berdiri dan berlari dengan rasa sakit yang luar biasa disekujur tubuhnya. Ia hanya ingin mengejar Yuto… oh! Dia tidak akan melepaskan Yuto.
Saat itulah ia tersadar kalau ia, “Aku amat mencintai Yuto!” pikirnya dengan matang.
Masa Sekarang
Yamada baru saja menyaksikan kapal yang membawa Yuto ke kampung halamannya berlayar di lautan yang luas.
“Yuto, kumohon dengarkan aku! Yuto! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!” Teriak Yamada dalam pikirannya dengan harapan Yuto dapat mendengarnya. Tapi, dengan jarak yang jauh, ia tahu betul pikirannya tidak akan terdengar oleh Yuto.
Ia pikir semuanya telah berakhir saat ia mendengar suara orang yang amat ia kenal dari belakangnya. “Kesempatan terakhir… berlari sekarang atau tidak selamanya.” Kata suara itu. Saat Yamada menengok kebelakang, tidak ada orang dibelakangnya. “Kejar dia! Sebelum ia pergi lebih jauh lagi!” kata suara itu lagi.
Entah apa yang terjadi padanya, tetapi suara itu seperti memberikannya dorongan untuk berlari dengan kencang kearah kapal yang mulai meninggalkan pelabuhan. Rasa sakit dari luka-lukanya terasa menghilang dalam sekejap. Yamada melewati dua orang penjaga, menaiki jembatan yang digunakan untuk jalan masuk ke kapal. “Jangan berhenti! Melompatlah!” kata suara itu.
Yamada berlari mendekati ujung jembatan lalu, melompat setinggi mungkin kearah dek kapal. Hanya itulah kesempatannya untuk bersama Yuto… hanya itu. Kalau ia gagal menggapai pagar dek kapal, maka berakhirlah sudah.
“Sial!” Yamada sempat menggapai pagar kapal tetapi, ia kehilangan keseimbangan karena hujan membuat pagar besi itu menjadi basah.
“Pangeran!” Sebuah tangan yang dingin menangkap tangan Yamada, mencegahnya jatuh ke laut yang gelap. Sebelum Yamada sempat melihat orang yang menolongnya, orang itu telah menariknya ke kapal dan langsung menghilang di udara. Siapapun itu, ia memiliki suara yang sama dengan suara yang memotivasi Yamada untuk mengejar Yuto.
“Pangeran! Ikuti saya!” Kata suara itu. Yamada mengikuti arah suara itu dan ia melihat sebuah sosok seperti asap berlari ke dalam lorong kabin kapal. Yamada langsung mengikuti wujud berasap itu.
Ia sampai pada dua persimpangan dimana suara itu terdengar di pikirannya lagi. “Sebelah sini, Pangeran!” Yamada menengok ke kanan dan melihat wujud berasap itu seperti melambaikan tangannya pada Yamada dan menghilang di sebuah belokan di ujung lorong. Yamada mengikuti sampai ia berbelok dan melihat wujud itu menembus masuk pintu kabin di kanan.
‘Yuto pasti ada disitu!’ Pikir Yamada. Lalu ia membuka pintu kabin itu hanya untuk dikejutkan oleh algojo bertopeng yang langsung menyerangnya dengan sebuah tonjokan.
Yamada secara refleks langsung menghindar dari pukulan itu. Ia melihat Yuto terbaring lemah dikasur. Tapi, bagaimana ia dapat mendekati Yuto kalau algojo itu masih terus menerus menyerangnya dengan brutal? Sebuah bohlam muncul diatas kepala Yamada saat ia mendapatkan sebuah ide.
Yamada memancing algojo itu untuk mengikutinya sampai ke dek kapal. Mereka saling kejar-kejaran seperti macan dan rusa ditengah hujan yang deras. Lantai kapal menjadi sangat licin hingga Yamada sempat terpeleset (tidak sesuai yang ia rencanakan) dan algojo itu berlari menghampirinya yang sudah terpojok diujung dek kapal.
“Matilah aku!” teriak Yamada di dalam pikirannya.
Tetapi, saat algojo itu mendekatinya, seseorang muncul dibelakang algojo itu dan mendorongnya, membuat algojo mengerikan itu kehilangan keseimbangannya. Yamada langsung membantu dengan melempar algojo itu ke laut dengan tehnik lemparan bela diri yang ia pelajari sewaktu kecil. Ia terkejut tehnik itu benar-benar dapat digunakan pada orang yang lebih besar darinya.
Sebelum Yamada dapat bersenang-senang, orang yang mendorong algojo itu memeluknya dari belakang.
“Tuanku, sudah berapa kali saya katakan untuk tidak berkeliaran sendirian? Apalagi hanya untuk bersama saya…” kata orang itu, memutar badan Yamada agar ia dapat melihat siapa yang berbicara.
“Yuto…” suaranya tiba-tiba saja keluar dari tenggorokannya. Sempat membuat Yamada tersedak sebelum ia menyadari kalau ia tidak tercekik lagi saat berbicara. “Yuto…”
“Aku melempas mantranya darimu… Kini kau sudah dapat berbicara lagi seperti anak-anak lain. Itu kan yang kau inginkan? Ya kan? Lalu, jawablah pertanyaanku… kenapa kau mengejarku? Kukira kau lebih mencintai…”
Yamada memotong kalimat Yuto dengan mendorong bibirnya ke bibir Yuto. “Aku sadar arti cinta…” Yamada melanjutkan, “Cinta itu membingungkan. Cinta bisa mempermainkan perasaanku. Sumpah! Aku tidak bisa membedakan mana cinta dan suka. Tapi, yang kutahu… ini adalah cinta karena aku berani melakukan ini semua untuk bersamamu! Aku mencintaimu Yuto!” Yamada akhirnya mengutarakan perasaanya, membuat pria yang lebih tinggi darinya terdiam lalu tersenyum dengan hangat.
“Aku juga mencintaimu, bodoh…” jawab Yuto lalu, menekan bibirnya di bibir Yamada yang basah karena air hujan.
Setelah sekian lamanya, Yamada akhirnya merasakan apa itu cinta.
***
A/N: A long one shot fic… Semoga kalian menyukainya. Don't be a silent reader! Comment please hehe XD
otp: yutoyama,
jump: yamada ryosuke,
jump: nakajima yuto,
*fanfiction,
p: yamachii,
jump: chinen yuri