"Hill house, not sane, stood by itself against its hills holding darkness within. It had stood so for a hundred years before my family moved in and might stand a hundred more. Within, walls stood upright, bricks met neatly, floors were firm. Silence lay steadily against the wood and stone of Hill House. And whatever walked there, walked alone."
Sebagai seorang penakut yang jarang sekali menonton film horor, aku cukup kaget karena ternyata berhasil bertahan menonton film ini dari awal sampai akhir tanpa paranoid berlebihan.
Haunting of Hill House memikat hatiku tidak hanya dari tingkat keseramannya yang masih bisa kutolerir, tapi juga dari alur cerita, karakter, dan kekentalan dramanya.
Cerita dimulai ketika pada suatu musim panas, keluarga Crain pindah ke suatu rumah yang disebut Hill House. Sang ayah, Hugh Crain (
Henry Thomas;
Timothy Hutton) dan istrinya, Olivia (
Carla Gugino), berencana merenovasi rumah tersebut untuk kemudian dijual lagi dengan harga tinggi. Berdua mereka datang ke rumah antik bergaya gothic itu dengan kelima orang anak mereka; si sulung Steve (
Paxton Singleton;
Michiel Huisman), Shirley (
Lulu Wilson;
Elizabeth Reaser), Theodora (
Mckenna Grace;
Kate Siegel), si bungsu kembar, Luke (
Julian Hilliard;
Oliver Jackson-Cohen) dan Nell (
Violet McGraw;
Victoria Pedretti).
Menganut alur maju mundur, adegan pembuka memberikan gambaran sekilas tentang Hill House dan bagaimana seramnya suasana dalam rumah tersebut. Setelah itu, meloncat beberapa tahun setelahnya, penonton akan melihat Steve, Shirley, Theo, Luke, dan Nell dewasa, serta Hugh yang sudah menua dan beruban.
Kembali ke masa kanak-kanak 5 bersaudara itu, teror dari Hill House mulai terasa dari kejanggalan adanya sebuah pintu bercat merah yang tidak bisa dibuka. Shirley dan Nell kecil berusaha membuka pintu tersebut dengan master key, yang seharusnya bisa dipakai untuk membuka semua pintu di rumah tersebut. Nyatanya, pintu merah itu tetap tidak bisa dibuka.
Saat plot kembali ke timeline dunia sekarang, misteri mengembang seiring dengan munculnya kabar kematian Nell, di Hill House.
Selanjutnya, cerita secara konstan bergerak maju mundur menguak kengerian yang dimiliki oleh Hill House, yang terus menghantui kehidupan anggota keluarga Crain.
Haunting of Hill House tidak hanya berupa jump scare dan keberadaan makhluk mistis, tapi juga tentang keluarga, persaudaraan, kasih sayang, struggle of life, duka, dan kasih sayang seorang ibu. Aura dramanya tak kalah mendominasi dari horornya, kurasa hal itulah yang membuat series ini jadi istimewa.
Salah satu yang juga menarik dalam series ini ialah adanya penampakan hantu yang terselubung dan tersembunyi pada adegan-adegan tertentu dalam setiap episodenya, seolah menunjukkan bahwa mereka ada di sana meski kita tidak melihatnya.
Kusarankan membaca
ini kalau kalian sudah selesai menonton sampai episode terakhir.
Olivia dan keanehan perilakunya selama mereka tinggal di Hill House menjadi kunci berjalannya plot cerita.
Ketakutan dan keseramannya dibangun dengan sangat baik, berjalan berdampingan dengan terkuaknya memori masa kecil si 5-bersaudara secara perlahan.
Setiap episode mengambil sudut pandangnya masing-masing; bagaimana Steve tidak pernah secara nyata melihat hantu-hantu itu tapi selalu merasa mengerti dan tahu segalanya, bagaimana Shirley deal with death, bagaimana Theo menjadi seseorang yang kemana-mana selalu memakai sarung tangan, bagaimana Luke tenggelam dalam kecanduan narkoba, serta bagaimana Nell terus-terusan dihantui oleh Bent-Neck-Lady. Hal tersebut merupakan layar perahu yang membawa penontonnya mengarungi lautan penuh teka-teki berbalut teror hantu campur masa lalu.
Salah satu dialog favoritku dari 10 episode itu datang dari Olivia di episode 9, "You go on without me."
Entah kenapa, aku merasa ada yang spesial dari kalimat tersebut.
Secara keseluruhan, Haunting Hill House menyajikan ketakutan yang mampu menggugah hati dan memancing air mata.
My Score: 9/10
Click to view
THERE WILL BE
SEASON 2!!!