Because I Couldn't

Jan 04, 2011 15:15


Because I Couldn't

By: Rokudou Tsuzuki u_u

Disclaimer: Amano, LO BIKIN SPADE SAMA GIO JADIAN GAK? KALO GAK GUE TIMPUK LO-bercanda :)) Amano punya hak penuh atas KHRnya u_u saya cuma nyolong Spade sama Giotto doang

Rating: T

Warning: OOC. Hints sho-ai, mungkin?

Summary: Karena dulu, aku gagal melakukannya. Kau akan menjalani jalan yang berbeda-karena kau tidak akan mengalami kegagalan sepertiku dulu, Decimo.

A/N: BUWAKAKAK GUE MIKIR APAAAA! *banting kepala* Oke, gue emang udah lama nih nggak berkecimpung di fandom KHR bagian fanfic, tapi suer, episode 187 bener-bener ngebikin gue cinta lagi sama anime yang satu ini. Kenapa, lo nanya? YA LIAT TUH, HINT SPADEXGIOTTONYA AJEGILA OHOKHOKOHOK-dan itu semua menjelaskan, darimana fic ini lahir, bukan? ;]

Setting Episod 187, pas Tsuna vs Spade yang pertama ya :-h



"Kau lemah, Decimo. Terlalu lembek. Vongola tidak akan bisa bertahan jika dipimpin oleh orang yang sepertimu-karena kau terlalu sama dengannya."

Menatap, pandangan coklat itu ke arah pantulan dirinya yang diliputi oleh kemilau lain. Warna yang menandakan bahwa di hadapannya ini bukanlah suatu hal yang nyata-bukan merupakan yang asli. Indigo. Penanda dari mereka yang diselubungi oleh kabut. Mereka yang ditugaskan untuk menyembunyikan segala sesuatunya dari pandangan, memberikan kebohongan untuk menutupi apa yang namanya kenyataan. Tidak tersadari, memang, tetapi bukankah demikian takdir dari para kabut? Yang wajib menipu segalanya-bahkan mereka yang seharusnya paling mempercayainya sekalipun?

Pemuda berambut kecoklatan itu pun terbatuk perlahan setelah menerima satu pukulan yang cukup keras. Walau dia memang seharusnya berkonsentrasi penuh pada pertarungannya saat ini-entah kenapa, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda di sana. Tepat di kedua bola mata yang menatapnya-sama persis dengan kedua buncahan miliknya, tetapi menyimpan kedalamannya yang berbeda. Dan apakah yang disembunyikan oleh mereka yang dinamakan jendela dari hati itu? Apa yang sebenarnya ada di dalam sana-di balik tekukan senyum dari Guardian of Mist generasi pertama itu?

Apa?

"Kenapa-Daemon, kenapa kau melakukan ini?"

"Kenapa, kau bertanya? Bukankah kau telah mengetahuinya? Rencanaku-keinginanku yang sesungguhnya?"

Seharusnya.

Bukankah kau mengetahuinya, Giotto?

Bukankah kau sang Langit? Dia yang mengatasi semuanya, yang melindungi segalanya-

Dan yang mencegah kabut itu menghilang ke dalam kesunyian?

"Tapi biar bagaimanapun-dia adalah Guardianku. Apapun yang kalian katakan-"

Makna di balik makna.

Tidakkah demikian? Dulu, di saat dia mengatakan bahwa Sawada Tsunayoshi-bahwa Vongola Decimo akan melangkahi jalan yang berbeda dengannya, dia mengatakan segalanya. Semua. Jalan dari Vongola itu-dan juga termasuk, jalannya yang salah. Langkahnya yang bodoh. Segala kegagalannya di masa lalu, hal yang seharusnya dia tidak lakukan namun telah dia ambil sebagai suatu pilihan. Dan juga hal yang seharusnya dia lakukan-tetapi tidak dia ketahui sebelum waktunya telah terlambat. Sebelum segalanya sudah percuma.

Perlahan, dia yang dianugerahi gelar pemimpin Vongola pertama itu pun meraih ke dalam saku mantelnya. Mengeluarkan sekali lagi jam saku miliknya-yang jarumnya telah terhenti di saat itu. Waktu yang tidak lagi bergerak, karena penanda berwujud Sky Flame itu tidak pernah lagi menunjuk ke angka yang berbeda. Diam di sana, selalu, dan tidak akan pernah berubah. Saat di mana segalanya terhenti.

"Karena dia pun-mungkin waktunya telah terhenti saat itu," gumam pria itu lagi, perlahan tapi pasti. "Seperti jam ini."

Waktu di mana segalanya sudah terlambat.

"Aku yang menginginkan dia turun, Decimo. Aku yang menyusun segalanya. Segala rencana untuk membuatnya turun dari atas takhta pemimpin Vongola itu," sosok bayangan cermin yang sesungguhnya hanya ilusi itu pun menyeringai, menggarisbawahi setiap katanya dengan cerca dan cemooh.

Lantas yang dapat dilakukan oleh lawannya saat itu? Hanya terpana, terdiam, membatu. Tidak sanggup mengatakan apa-apa. Karena sesungguhnya yang ada di pikiran hanya satu-

"Ke-kenapa? Bukankah kau pun adalah salah satu dari Guardian-nya?"

Kenapa?

"Menurutmu?" Sosok itu menelengkan kepalanya sedikit, menghiasi wajahnya dengan seringai yang tidak kunjung pudar itu. "Dengarkan kata hatimu, Decimo. Mengapa aku menginginkannya turun? Tidakkah itu karena dia terlalu lemah untuk menjadi pemimpin Vongola, sama seperti dirimu yang sekarang?"

Tidakkah demikian?

Sungguhkah demikian?

Sesuatu yang ada di sudut pikirannya jelas-jelas menyangkal apa yang baru saja dikatakan itu. Sesuatu-yang entah kenapa ingin dia percayai. Ya, memang, mereka yang mewarisi tapuk kepemimpinan Vongola dianugerahi dengan intuisi yang patut diacungi jempol, bukan? Di mana mereka mampu mengerti apa yang tidak dapat dilihat orang lain. Dan karena itulah, pemuda itu, Sawada Tsunayoshi dapat melihat apa yang sesungguhnya tidak dinyatakan oleh orang yang seharusnya menjadi lawannya yang terbesar ini. Apa yang disembunyikan di sana-suatu gestur yang entah kenapa sama dengan yang pernah dilihatnya. Menyatakan suatu hal-padahal maksud sama sekali berbeda. Layaknya seorang Kabut.

"Apakah-memang benar yang kau katakan itu?" Kali ini pemuda berambut coklat itu telah menurunkan tangannya, tidak lagi mengacungkan kepalannya yang menyala oranye karena Dying Will Flame-nya yang telah aktif. "Kalau memang karena dia terlalu lemah, kenapa kau tidak memaksanya untuk berubah seperti yang kau inginkan? Sama seperti yang sejak tadi kau katakan kepadaku. Berubah-dan mengejar hanya kekuatan saja."

Tepat.

Dia tahu bahwa perkataannya tepat mengenai sasaran. Dia tahu, karena sekilas bola mata itu menyiratkan bahwa jiwa yang memilikinya sedikit terguncang. Tetapi dalam sekejap, kontrol diri sosok itu telah kembali lagi. Seringai tersungging, telah menyiapkan jawaban, rupanya?

"Karena dia tidak akan mungkin berubah. Bukankah sudah kukatakan itu?"

Tidak, bukan itu.

"Kau bohong," umpat sang Decimo, kini menatap tajam cerminan dirinya yang membelalakkan mata karena terkejut melihat dia justru tidak tersulut emosi mendengar segala pengakuan atas pengkhianatan itu. "Dia tidak mungkin berubah-atau kau yang tidak ingin dia berubah, Daemon Spade?"

Terbaca, jelas. Karena dia tahu bahwa memang itulah kenyataan yang sesungguhnya. Semuanya dapat dilihat dari bagaimana mata itu semakin membesar dalam ketidakpercayaan, dan bagaimana lelaki itu mengambil langkah mundur darinya sebagai tanda bahwa keterkejutan yang besar tengah melanda. Dia tahu, karena dia adalah Langit yang sepatutnya mengerti apa yang diinginkan semuanya. Harmoni yang merengkuh segala ke dalam kehangatannya, dan dapat melihat diri sesungguhnya dari sang Kabut di tengah delusi keburukannya.

"Apa?"

Sementara yang lainnya hanya dapat memekik demikian (kecualikan Alaude, yang hanya menyipitkan matanya mendengar perkembangan terbaru ini), Giotto hanya dapat tersenyum kecil. Pria berambut pirang itu tidak menatap para Guardiannya yang lain, tetapi hanya memandang lurus ke arah tempat di mana seharusnya Mist Guardian-nya dan juga generasi ke-sepuluh berada. Dia tidak menghiraukan pandangan tidak percaya G, serta tidak menggubris pandangan bertanya dari Asari. Karena dia hanya tersenyum-sembari mengingat dalam hatinya apa yang selama ini selalu dia katakan.

"Sudah kukatakan, dia pun salah satu dari Guardianku," tuturnya perlahan.

"Tetapi-apa maksud dari perkataannya itu, bahwa dia tidak ingin kau berubah?" tanya G dengan nada tinggi, mencoba meminta jawaban dari pimpinan Vongola yang telah lama meninggalkan dunia itu.

"Mengenai itu-" Berhenti sejenak. "-tidak akan ada yang dapat mengerti."

"Eh?"

"Spade-Daemon?"

Delik yang mengarah kepadanya. Dan Giotto, Vongola Primo yang ditakuti dan dipuja demikian banyak orang itu, hanya dapat tersentak. Ya, dia hanya dapat tersentak di atas pandangan warna langit yang padam itu mengarah kepadanya. Dia hanya dapat terdiam-tanpa mampu mengatakan apa-apa atas kedalaman yang disembunyikan sapuan itu-dan juga segala makna yang terdapat di dalamnya. Di saat dia seharusnya adalah langit yang mengerti semua dari para bagiannya? Di saat dia seharusnya adalah langit yang menaungi segalanya, yang mengayomi seluruh lingkupannya?

"Tidak kusangka, Vongola ini semakin lama semakin besar," datang tuturan yang dia tahu bukanlah maksud sesungguhnya dari kedalaman makna yang ada di sana. "Bukan lagi hanya sekadar mimpi kosong anak kecil, eh?"

"Aku tahu itu," jawabnya dengan kerut di dahinya. "Tapi apa sebenarnya maksudmu-"

"Kalau kau tidak turut berkembang bersamanya, maka dia akan hancur."

Diam. Kini, cercahan bola berwarna pucat itu membelalak menatap langit milik lawannya. Menatap pandangan yang mengisyaratkan segalanya-kekecewaan, keputusasaan, dan-

-dan kecemasan.

"Kau mengerti kan, Giotto? Jika kau tidak ikut berkembang, tidak membunuh hatimu yang lemah itu-maka Vongola ini akan hancur. Semuanya akan musnah karena kita mudah diserang oleh Famiglia lain. Orang-orang yang kau anggap berharga semuanya akan mati-di tengah kehancuran kita. Itu yang akan terjadi, seandainya kau tetap berbelas kasihan seperti ini," ujar pria itu, masih dengan pandangan datarnya yang menyimpan segala rahasia dari dunia. Bersamaan dengan setiap katanya, pria itu menyentuh pundaknya-hingga dia dapat merasakan lentik telunjuk yang dingin itu di sisi wajahnya. "Tapi-"

Kerut di dahi itu semakin dalam, satu jembatan akan rasa heran dan rasa bingung. Setelah segala perkataan yang mencemooh itu, ini yang sekarang dia dengar? Lantas apa keraguan itu-apa rasa bimbang yang dapat dilihatnya sekilas terbesit di bola mata Guardian of Mist-nya ini? Kenapa tangan itu seolah ingin ditarik-kenapa, kenapa, kenapa?

"-tapi kau tidak boleh berubah, Giotto."

Apa?

"Kau tidak ingin dia berubah. Walau kau terus mengatakan bahwa dia harus meniadakan sisi lemahnya itu, apa yang kau lakukan? Bukan memaksanya untuk menurut-tetapi justru membuatnya mundur. Karena dengan itu-" berhenti sejenak untuk mengambil nafas, Sawada Tsunayoshi masih menatapnya dengan gusar. "-karena dengan itu, dia tidak akan pernah berubah. Karena dengan itu, dia tidak akan mengotori tangannya lebih lanjut. Karena dengan itu-dia akan tetap menjadi sosok yang selalu kau kenal, bukan?"

Terdiam. Mungkin itulah satu-satunya yang dapat dilakukan pria yang telah lama dicap sebagai pengkhianat oleh mereka yang dulu berjalan di sisinya. Kesal? Tidak. Hanya saja-tidak percaya, bukan begitu? Tidak percaya karena ilusinya dapat ditembus layaknya seseorang melihat ke dalam beningnya kristal. Tidak percaya karena Vongola Decimo ini-anak-anak yang bahkan belum mengerti apa-apa soal dunia dan pengorbanannya-dapat dengan mudah mengetahui apa yang selama ini selalu dia sembunyikan. Yang bahkan tidak pernah diketahui oleh sang Primo sendiri-sebelum waktu mereka telah terhenti.

Kenapa?

"Ha! Jangan membuatku tertawa," ujarnya lagi, walau kedut di sudut bibirnya mungkin menyalahi nadanya. "Kau dan khayalan anak kecilmu, Decimo. Mana mungkin aku mengharapkan dia tidak berubah. Yang kuinginkan hanya satu: pimpinan Vongola yang kuat dan mampu menghancurkan lawannya, siapapun lawan itu!"

Kebohongan. Dusta. Hanya itu yang dapat dia lakukan di saat ini. Tidak, hanya itu yang dapat dilakukan oleh para Kabut, bukan? Mengatakan apa yang menyalahi keinginan hatinya. Karena-

-akankah ada yang mempercayai mereka, walaupun mereka mengatakan yang sebenarnya?

Miris, karena baginya pun, Langit-nya yang seharusnya senantiasa menjaganya agar tidak lepas tidak dapat melakukan apa-apa. Tidak dapat menerka apa yang ada di balik segalanya. Karena dia senantiasa ingat, di saat mata yang tersapu warna kekuningan itu telah membundar karena menyadari segala apa yang seharusnya diketahui dengan mudah, segalanya sudah terlambat.

Kesalahan itu, segalanya karena kenaifan. Dan bukankah itu juga yang akan dilakukan oleh sang Decimo di hadapannya ini?

"Nah, kau dengar sendiri apa yang dia katakan, bukan?" raung G kali ini, merasa dapat dibenarkan dalam segala sikapnya atas tuturan dari pengkhianat yang menyalahi segala yang telah dikatakan oleh sang Vongola Decimo sebelumnya. "Dia tidak pernah menginginkan yang terbaik untukmu, Primo!"

Pria berambut pirang itu hanya menghela nafas perlahan dan menutup matanya. Membiarkan tangan kanannya itu menenangkan diri-dan setelah beberapa saat kemudian, pelupuknya membuka. Memperlihatkan warna keemasan yang dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Segalanya terpantul di sana-kesedihan, penyesalan, dan juga pengertian. Sebab dia mengerti segalanya di saat-tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

"Kalaupun dia mengiyakan perkataan Decimo, akankah kalian mempercayainya?"

Perkataan itu pun membungkam semua yang mungkin akan membuka mulut mereka untuk memprotes. Ya, dengan akal yang telah matang sebagai orang dewasa, mereka tentunya tahu apa yang akan mereka lakukan seandainya Spade mengatakan bahwa ini semua memang dia lakukan hanya untuk satu hal-untuk melindungi Giotto. Mereka pasti hanya akan menyipitkan mata dan membuang ludah atas perkataan itu, dengan segera menyangkal segala kebenaran karena asumsi mereka-karena bukankah itu para kabut? Salah adalah benar, benar adalah salah.

"Jangan anggap aku menyalahkan kalian-karena aku pun melakukan hal yang sama," gumam sang Vongola Primo lagi, menundukkan kepalanya dalam penyesalan yang tiada akhir. "Karena aku menyadari semuanya di saat semuanya sudah terlambat-saat waktunya telah terhenti. Karena itulah, aku pun tidak lepas dari sejarah langkah Vongola yang salah."

Tak lama, senyumnya telah kembali terbit, dan dia pun kembali melayangkan pandangannya ke arah tempat itu.

"Tetapi aku tahu. Decimo berbeda denganku-karenanya, dia tidak melakukan kesalahan yang sama denganku."

Penyangkalan lagi, eh?

"Kalau kau mengatakan bahwa aku mirip dengan Primo, maka aku pun akan mengatakan bahwa kau sangat mirip dengannya," kali ini pemuda berambut coklat itu tersenyum dengan halus, Flame miliknya perlahan tapi pasti mulai menghilang ke dalam batas yang tidak lagi nyata. "Dia selalu mengatakan akan mengambil alih kendali atas tubuhku, mengatakan bahwa suatu saat dia akan menghancurkan Vongola. Tetapi pada akhirnya-dia selalu kembali untuk bertarung di sisi kami. Apakah untuk menghancurkan sesuatu harus membantunya untuk bangkit? Bahkan-"

Tidakkah ketika itu dia punya segala kesempatan? Di saat Vongola berada dalam kondisinya yang paling lemah, di saat Vongola tidak lagi memiliki kekuatannya yang paling ditakuti.

"Hmm-bagaimana kalau kukatakan itu adalah pikiran anak kecil saja?" Ilusi itu kembali tersenyum, bingkai penyalah arti yang tidak lagi dapat dibenarkan keasliannya. "Anak kecil yang masih ragu, tidak dapat mengambil kesempatan di saat yang benar. Siapapun dia yang kau bicarakan itu, tidak akan mungkin dia mirip denganku."

"Tidak, kau salah. Kalian sangat mirip-bahkan mungkin persis sama," jawab pemuda berambut coklat itu sembari tersenyum sekali lagi, dan sekarang kembali menyiapkan senjatanya. "Kalau kau tidak percaya juga, akan segera kuperlihatkan bahwa itu benar adanya."

"Menarik," gumam sosok itu sembari tertawa pelan. "Kalau begitu-tunjukkanlah kepadaku jawabanmu itu."

Lakukanlah, Decimo.

Karena di saat itu aku terlalu naif-aku tidak mampu mengerti apa yang dia inginkan. Aku baru mengetahui jeritan hatinya yang sesungguhnya-di saat matanya telah terpejam di hadapanku. Di saat jarinya telah dingin-di saat tidak ada lagi satu pun yang dapat kulakukan selain menitikkan air mata atas kebodohan fana yang sudah kulakukan saat itu.

Bagiku, semuanya telah terlambat, Decimo. Aku tidak dapat melakukannya.

Tapi kau-pasti bisa. Selamatkan dia.

Dan percayalah kepadanya. Sebab pada akhirnya, yang ingin dilakukan setiap Guardian hanyalah-melindungi Langitnya.

END

A/N: One-shot gaje u_u kalo gak sesuai sama anime ya maaf :-" kalau menggantung juga maaf *dijitak*

khr, yaoi, mukuro, tsuna, fanfiction

Previous post Next post
Up