T-4194 WHITE (Bagian 1)

Oct 27, 2015 17:10

Warning : YAOI, RATE dapet tiba-tiba berubah. Juri/Taiga,SixTONES,Snow Man, Johnny's Jr.
Summary: Juri, baru saja mengetahui bahwa pacarnya, Taiga, adalah alien yang datang dari planet jauh bernama White, sebagai subjek penelitian dari ayah sahabatnya sendiri, Kouchi, dengan kode T-4194. Dianggap berbahaya, Taiga diburu oleh otoritas pemerintahan di planet asalnya selama 50 tahun. Tanpa keraguan Juri berusaha melindungi Taiga, tanpa sadar bahwa sesuatu di dekatnya akan membuatnya terluka dan membunuh Taiga pelan-pelan.
41 hari dan 94 menit dipertaruhkan antara membunuh Taiga atau menyelamatkannya_

Sebuah bangunan tua yang kumuh. Suatu malam_

"Jadi kamu sudah tau?" Juri bertanya dengan wajah terkejut.

Shin nyaris meledakkan tawanya jika saja Jesse yang baru kembali diikuti Kouchi tidak membanting pintu dan membuat keduanya tersentak. reflek menoleh ke sumber suara dan menemukan betapa muramnya wajah Jesse. Kouchi yang mengunci pintu nampak menahan diri untuk tidak segera bicara.

Nampaknya, hanya Juri saja yang tidak tau apa yang sebenarnya sedang mereka alami. Sebuah mimpi, halusinasi, atau skenario bergenre horror yang tidak lolos sensor.

Shin menepuk punggung tangan Juri ketika yang lebih tua sangat ingin bersuara, setidaknya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi dan kemana perginya Hokuto. Tepukan itu hanya berarti satu hal. Juri belum diizinkan untuk bertanya.


"Kamu pasti terkejut ya?" Tanya Jesse setelah beberapa menit berlalu dalam diam.

Lampu neon lima watt yang tergantung tepat di atas meja yang mereka kerumuni bercahaya buram. Angin dari jendela yang terbuka membuah kabel yang menggantungnya di udara bergerak acak.

Suara 'kriet-kriet' tidak akan semenakutkan ini jika saja suasana di antara mereka sedang cerah seperti biasanya. Oh, sungguh Juri sudah sangat merindukan kasur empuk dan selimutnya di saat seperti ini. Kalau pun bukan di rumah orang tuanya, setidaknya Juri bisa menyabotase apartemen Koki -kakaknya yang selalu merasa lebih tampan darinya- dan menendang Koki keluar dari kamarnya sehingga Juri bisa mengambil alih kasur bergambar karakter One Piece itu.

"Jika saja kalian memberitahuku lebih awal, setidaknya aku tidak akan seterkejut ini!" Jawab Juri. Butuh semenit untuk menjawab pertanyaan Jesse barusan. Jika itu bisa disebut pertanyaan.

"Aku ingin sekali memberitahumu sebenarnya. Tapi, kufikir kamu tidak akan percaya padaku!" Jesse menyampaikan alasannya yang langsung diangguki Shin dan Kouchi sebagai bentuk persetujuan.

Juri menghela nafas. Oh, sekali lagi dia merindukan kasurnya dan kali ini ditambah dengan masakan ibunya. Kalau tidak salah, menu makan malam hari ini sudah ditunggunya sejak seminggu lalu.

"Ok. Peduli setan dengan apa pun itu. Katakan padaku yang sebenarnya sekarang!" Juri mengacak rambutnya frustasi. Dia belum pernah sepening ini sebelumnya. Bahkan ini lebih parah dari saat ujian masuk universitas. Membuatnya lebih gugup dari ciuman pertama sekali pun.

Jesse mengalihkan tatapannya pada Kouchi yang segera mengerti bahwa Jesse ingin Kouchi yang menjelaskan semuanya. Atau sebenarnya Jesse tidak cukup percaya diri untuk merangkai kata-kata.

"Jadi, ini dimulai sekitar lima puluh tahun yang lalu. Secara tidak sengaja, seseorang yang sekarang kita kenal sebagai Taiga datang ke Bumi. Bisa dibilang, dia jenis manusia yang lain, tinggal di sebuah planet jauh. Taiga menyebut planet asalnya sebagai White, sebuah planet dengan enam satelit sebesar bumi. Karena suatu hal, Taiga tidak bisa kembali ke planet asalnya!" Kouchi mencoba menyusun kalimat sesederhana mungkin agar mudah dimengerti oleh Juri.

"Lalu, sekitar tiga puluh tahun lalu, kelompok lain, sebutlah mereka alien, mendarat satu kilometer dari tempat ini. Merekalah yang tadi kamu lihat sedang mengejar-ngejar Taiga!" Lanjut Shin.

Juri menatap tiga orang lainnya dengan wajah bingung.

"Jadi, Taiga itu alien. e, e, hee, mak-maks-maksud kalian selama ini pacarku alien begitu?"Tanya Juri.

Jesse menatap Shin dan Kochi sebentar sebelum mengangguk lemah.

"Tapi tenang saja, Taiga sama sekali tidak membahayakanmu. Yang berbahaya adalah orang erkm, alein maksudku, yang mengejar Taiga!" Kali ini Jesse yang bicara.

Juri merasakan seluruh ototnya melemas dan tulangnya seperti luruh.

"Lalu ... Hokuto?" Tanya Juri akhirnya.

Ya, yang tadi sore Juri lihat ketika akan mengejar Taiga, adalah Hokuto yang menatapnya dari atas jembatan. Taiga lari dikejar tiga orang tidak dikenal sementara Hokuto menyaksikan dengan mata membulat. Tapi setelah itu, Hokuto menghilang, hanay sepersekian detik ketika Juri berpaling.

Jesse memalingkan wajahnya, nampak gelisah.

Shin hanya menunduk.

"Hei, Kouchi. aku bertanya tentang adik tirimu. Apa yang terjadi padanya. Dia menghilang awal tahun ini, lalu tadi sore tiba-tiba aku melihatnya. Begitu aku tidak bisa menemukan Taiga, aku mendatangi tempat Hokuto sebelumnya dan di sana hanya ... hanya ada ... genangan darah. Tidakkah kamu ingin mengatakan sesuatu tentangnya juga? Kamu sangat menyayangi Hokuto kan?" Tanya Juri. Kali ini wajahnya begitu letih.

Seandainya saja dia tidak melihat Taiga berlari bahkan hingga melompati jendela dengan wajah ketakutan, dikejar tiga orang tidak dikenal, juga tidak melihat Hokuto dan genangan darah itu, apakah tidak akan ada yang memberitahunya?

Hei, mereka sudah bersahabat selama hampir empat tahun. Bahkan Juri mengenal Jesse lebih lama dari itu. Shin juga bukan hanya sahabatnya, tapi adik teman sekelasnya, seseorang yang mengaku sebagai sepupu jauh Taiga. Hokuto juga bukan hanya sahabatnya, bukan hanya adik dari sahabatnya -Kouchi- tapi juga adik kelasnya.

Apa yang salah dengan mereka semua?

Atau adakah sesuatu yang salah dengan dirinya?

"Hokuto ....!" Kouchi menghentikan suaranya, hingga Juri bisa mendengar helaan nafas Kouchi.

"Papaku tidak pernah menikahi mamanya Hokuto!"Ungkap Kouchi.

Melihat reaksi Jesse dan Shin, Juri yakin dua temannay itu sudah tau.

"Lalu?" Tanya Juri. Lagi.

Oh, adakah yang bisa membuatnya benar-benar mengerti sekarang.

"Itu terjadi saat aku masih kecil. Papaku membawa seorang anak laki-laki. Matanya biru bening seperti lautan yang jernih dan rambutnya hitam pekat. Kufikir dia adalah salah satu pasien papaku, tapi kemudian papaku mengatakan bahwa dia adalah Hokuto dan mulai hari itu Hokuto adalah adikku dan papa mengajarinya memakai softlens coklat. Semuanya normal hingga aku berusia dua belas tahun. Hokuto juga tumbuh seperti anak lainnya dan aku sangat menyayanginya. Tapi suatu hari, aku melihat Hokuto berdiri di balkon, tanpa softlens, dan tiba-tiba dia melayang seperti balon!" Cerita Kouchi.

"Lalu papa menjelaskan padaku siapa adikku sebenarnya!" Lanjut Kouchi.

"Alien?" Tanya Juri.

Jadi bukan hanya Taiga alien yang ada di sekitarnya selama ini?

Tapi Kouchi menggeleng.

"Tidak. Setidaknya, Hokuto bukan jenis yang sama seperti Taiga. Hokuto benar-benar adikku. Dia lahir di labolatorium papaku yang terbakar habis di hari Hokuto di bawa ke rumahku!" Jawab Kouchi.

Juri menautkan alisnya.

"Jadi, Hokuto itu apa... emmm, siapa?" Tanya Juri.

"Manusia! Bagiku, Hokuto manusia seperti kita juga!" Jesse menjawab cepat. Dia hanya sedikit berbeda. Ya, hanya sedikit berbeda.

"Papaku, mengetahui tentang Taiga semenjak muda. Dan Hokuto, 'dilahirkan' dengan beberapa kemiripan. Bisa dibilang, Taiga secara tidak langsung adalah ibunya!" Jawab Kouchi.

Hokuto?

Taiga?

Alien?

Remaja belasan tahun yang lahir di dalam labolatorium?

Sial.

Juri mulai merasa kepalanya semakin pening.

***

Suara kerikil yang ditendanginya meramaikan jalanan sepi lewat tengah malam. Juri terpaksa jalan kaki setelah ketinggalan kereta terakhir. Kouchi menawari tumpangan sebenarnya, tapi Juri meminta diturunkan dua kilometer dari rumahnya.

Suasana temaram di bangunan kosong tempat mereka berkumpul tadi masih berseliweran di kepalanya. Menumpuk dengan wajah Taiga dan Hokuto. Seolah semuanya bertransformasi menjadi palu-palu berukuran raksasa yang memukul-mukul kepalanya.

"Juri!"

Sebuah suara membuat Juri segera menoleh.

Taiga!

Juri baru saja mendengar suara Taiga.

Kanan, kiri, depan, belakang, bahkan Juri menoleh ke atas. Tapi Taiga tidak nampak dalam penglihatannya.

"Taiga!" Panggilnya pelan.

Juri menampakan wajah lega yang begitu kentara saat melihat Taiga keluar dari balik pohon. Bersembunyi di sana rupanya.

Melihat Taiga yang nampak basah kuyup dengan noda darah dan lumpur di baju dan wajahnya, Juri segera menerjang tanaman yang dirawat sebagai pagar hidup sebuah taman, lalu memeluk Taiga.

"Mana yang sakit? Apakah kamu terluka?" Tanya Juri.

Taiga tersenyum, lalu tubuhnya melemas dan ambruk dalam pelukan Juri.

"Hokuto~!" Bisik Taiga di akhir kesadarannya.

***

Kouchi membuka pintu dengan mata setengah terpejam, tapi Juri tau Kouchi tidak sedang tidur ketika dengan tidak sabaran ia menggedor apartemen Kouchi. Mata itu hanay lelah karena bermalam-malam terjaga.

Tanpa bertanya lagi, Kouchi membimbing Juri masuk ke dalam apartemennya.

"Kamu bisa kan membersihkan tubuh Taiga?" Tanya Kouchi dari dalam kamar mandi, menyiapkan air untuk Taiga.

Juri menatap Horror pada Taiga yang terbaring di kasur Kouchi, lalu bergantian pada Kouchi yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah menyalakan keran. Suara air yang mulai mengisi bathub terdengar samar.

"Haruskah aku yang melakukannya? Itu jika kamu tidak keberatan!" Kouchi melemparkan handuk. "Dan sepertinya kamu juga harus mandi!"

Juri menatap pakaiannya yang juga terlihat kotor.

"Panggil aku jika sudah selesai. Sekalian menunggu Jesse dan Shin. Aku juga akan memanggil seseorang untuk mengobati luka-luka Taiga!" Kouchi keluar tanpa menunggu jawaban Juri.

Tiga menit setelah itu, Juri bisa mendengar Kouchi sedang berbicara. Sepertinya memberitahu Shin bahwa Taiga telah ditemukan.

***

Lama tidak melihat sosok itu.

Tidak banyak berubah. Begitu yang bisa Juri tangkap dari sosok menjulang tinggi yang bersandar di dinding dekat pintu. Berhadapan dengannya yang duduk menunggui Taiga sebenarnya. Hanya saja, mereka di batasi ranjang dan sofa.

Terakhir kali, Juri bertemu Ryu di hari kelulusan SMA. Setelah itu, menurut cerita Shin, sang kakak pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan di sana. Juri tidak mendengar apa pun tentang Ryu selain dari cerita Shin sejak saat itu.

Dan sekarang, sosok yang entah bagaimana mengaku sebaga sepupu jauh Taiga itu kini berada di kamar Kouchi, bahkan datang lebih dulu dari yang lainnya.

"Luka-lukanya cukup parah. Sepertinya kali ini armada White yang mengejar Taiga tidak main-main lagi!" Dokter yang dipanggil Kouchi berbicara memecah hening sambil membalutkan perban di lengan Taiga.

Juri menatap dokter itu lekat.

Bahkan dokter ini juga tau?

"Mereka pasukan baru. Mendarat di lima puluh kilometer dari sini minggu lalu. Sangat dekat sekali bukan?" Ryu menjawab dengan nada datar.

Ugh. Ryu bahkan belum menyapa Juri semenjak tadi.

"Mungkin berikutnya mereka akan muncul tepat di depan mata kita!" Kali ini Jesse yang menambahi.

Dokter itu mengambil nafas dalam-dalam.

"Apakah kamu sudah melihat mereka, Ryu?" Tanya dokter itu.

Ryu mengangguk.

"Tentu saja. Dan untuk menjawab pertanyaan yang berat sekali untuk kamu tanyakan itu, aku membawa ini!" Ryu mengeluarkan sebuah kalung dari sakunya, lalu melemparkannay ke kasur. Persis jatuh di depan dokter itu.

Sebuah kalung dengan sebuah batu berwarna biru yang berpendar lemah.

"Fukka terlibat kali ini, Hikaru!" Ungkap Shin.

Dokter itu, yang baru saja Juri ketahui bernama Hikaru, membuang nafas jengah.

"Cepat atau lambat, Fukka memang akan bergabung dalam misi. AKu tidak seterkejut itu!" Hikaru seolah sedang menenangkan dirinya sendiri.

Sungguh.

Juri bisa melihat seringaian Ryu saat itu.

***
Bersambung~

bakaleya6, koichi yugo, morimoto shintaro, johnny's jr., snow man, tanaka juri, fanfiction, sixtones, matsumura hokuto, jesse

Previous post
Up