Jinguji Yuta/Iwahashi Genki, x/Iwahashi Genki, Haniuda Amu/Nakamura Reia
Summary: Cinta yang menunggu :3
Suara alunan musik yang seharusnya terdengar romantis justru terasa menyesakkan dada. Cahaya-cahaya malam di luar sana memperlihatkan megahnya kota, tapi tidak dengan hatinya. Malam yang terang. Juga hatinya yang gelap.
Jinguji tersenyum getir, lantas mengangkat gelasnya sebelum menegaknya dalam sekali teguk. Selanjutnya masih tersenyum, seolah ada seseorang yang akan membalas senyumnya. Meja berlapis sutra bersulamkan bunga lily keemasan, lilin-lilin dengan cahaya redup yang romantis, hidangan lezat di atas meja, juga sebuket besar lily putih dengan pita merah muda cerah.
Masih dengan senyumnya, Jinguji meletakkan sebuah kotak beludru berwarna gading yang terbuka di atas meja, menampakkan kilau ruby yang berdampingan dengan sapphire. Sebuah cincin emas putih yang begitu cantik, seolah berpendar menyilaukan mata.
Musik berganti, kali ini semakin romantis. Tapi air mata justru mulai mengalir dari sudut-sudut matanya.
Sosok di hadapannya tersenyum halus, dengan mata yang indah, wajah yang berseri.
“Genki!” Jinguji hanya berbisik pelan. Lalu menangis sendirian.
###
Tahun lalu.
“Menyebalkan. Ini kan hari ulang tahunku, bagaimana bisa kamu hanya mengucapkan selamat tanpa memberiku apa-apa!” Genki cemberut sambil mencubiti Jinguji hingga pacarnya itu tertawa bahagia.
Ini ulang tahun ke tiga Genki yang mereka rayakan bersama. Dulu Jinguji menyatakan perasaannya di tengah salju, dengan sebuket besar mawar merah berpita putih dan ice cream coklat. Genki langsung mengatakan bahwa Jinguji gila karena menculiknya dari kamarnya yang hangat tepat tengah malam saat udara begitu dingin hanya untuk menyatan cinta, dan lebih gila lagi karena memberinya ice cream.
“Aku bisa mati membeku jika makan ice cream ini. Aku bahkan hanya memakai piyama menyedihkan! Aku benar-benar tidak tau kalau sisi romantismu benar-benar mengerikan! Siapapun ingin tampil mengagumkan saat seseorang menyatakan perasaan padanya tau!” Genki juga menjadi begitu cerewet saat itu.
“Sudah jangan berisik. Sebelum kita berdua mati kedinginan dan menjadi patung es di tengah jalan, cepat katakan bahwa sekarang kamu adalah pacarku; Iwahashi Genki adalah milik Jinguji Yuta sampai mati!” Jinguji tidak kalah cerewet. Kakinya sudah hampir mati rasa karena lelah berlutut.
“Baiklah, sekarang aku Iwahashi Genki adalah pacar Jinguji Yuta, menjadi milik Jinguji Yuta sampai mati! Tapi, lain kali berikat aku bunga lily putih saja, bunga mawar terlalu mainstream!” Genki menutupi deburan rasa di dadanya dengan berteriak keras-keras. Apa jika ada orang yang mendengar, toh, sebelumnya Jinguji menyatakan cintanya dengan suara yang lebih lantang.
“ Yang benar saja, dimana-mana yang digunakan untuk menyatakan cinta adalah bunga mawar!” Jinguji bangkit dan memukul kepala Genki dengan buket mawar itu sebelum menyerahkannya pada Genki.
“ Kamu terlalu banyak nonton dorama. Amu bahkan memcari bunga edelweis langsung dari gunung Bromo untuk menyatakan cinta pada Reia. Cinta nggak ada hubungannya sama bunga mawar tau! Ngaku aja kalo ...!” Genki tidak sempat menyelesaikan omelannya karena Jinguji lebih dulu memeluknya erat-erat, menenggelamkannya dalam pelukan yang hangat.
“Kalau kamu banyak bicara lagi, kamu benar-benar akan menjadi patung es loh!”
Dan hari ini, tiga tahun sudah berlalu. Jinguji hanya datang ke rumah Reia saat senja untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan, Jinguji hampir menjadi orang terakhir yang mengucapkannya karena sejak semalam menghilang tanpa kabar, dan baru muncul setelah Genki hampir saja menelfon polisi dengan laporan ‘peliharaan yang hilang’, dengan kondisi yang acak-acakan pula.
“Jangan marah, aku akan memberikan hadiah yang istimewa hari ini. Ayo, ikut denganku!”Jinguji meraih tangan Genki, menggenggamnya erat-erat dan menariknya keluar dari rumah.
“Hei, kita mau kemana. Setidaknya biarkan aku ganti baju!”Genki sedikit kesal dengan kebiasaan Jinguji yang terkadang aneh. Di aniversary mereka tahun lalu, Jinguji bahkan membawanya ke Hokkaido hanya untuk makan malam yang mnurutnya romantis! Dan saat itu, Genki bahkan belum mandi!!!
Tapi itulah Jinguji-nya, selalu melakukan sesuatu yang membuatnya merasa sangat berharga. Meskipun kadang sifat playboynya yang parah itu kumat, dalam sejam, Jinguji akan kembali merayunya seperti sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.
Sikap Jinguji yang selalu membuat Genki jatuh cinta setiap harinya. Semakin hari perasaan itu seemakin besar, seolah nantinya akan bisa menyentuh langit senja yang merah.
Hari dimana perasaan itu terwujud, Genki ingin duduk berdampingan dengan Jinguji. Berjalan di sisinya, bergandengan tangan, memeluknya sehangat matahari pagi, mengatakan perasaan yang besar itu dengan bahagia. Saat itu ... Genki ingin mengatakan pada Jinguji bahwa ia adalah manusia paling berbahagia dengan perasaannya.
Sebuah rasa terimakasih dan syukur yang dalam.
Tapi, entah kapan. Genki hanya berharap tangannya akan mampu menggapai perasaannya itu secepatnya.
“Jangan melamun, nanti kamu tersesat!” Jinguji menepuk pipi Genki hingga tersadar dari dunia ego-nya.
Genki tersenyum, meletakkan kepalanya di pundak Genki sambil berjalan pelan. Malam telah turun. Genki bahkan tidak menyadarinya.
“Jika aku tersesat, bukankah kamu akan datang untuk menyelamatkanku?” Ujarnya manja. Kedua tangannya semakin erat ‘menguasai’ bahu Jinguji.
“Aku tidak akan membiarkanmu tersesat. Jika kita harus memasuki labirin yang rumit, aku akan menjadi peta sekaligus pemandu untukmu. Bukan hanya kebahagiaanmu, tapi juga apa yang terbaik untukmu, aku akan memberikannya!” Jinguji tersenyum menyadari kata-katanya sendiri, sementara Genki hanya mulai menunduk, menyembunyikah wajah memerahnya dari semua orang.
Jinguji terus membawa Genki berjalan hingga memasuki sebuah taman bermain yang buka hingga malam.
Masih terus berjalan, menuju ke tempat yang sudah dipersiapkannya. Bianglala.
“Ini sedikit menakutkan!” Genki berbisik setengah hati begitu bianglala mulai bergerak.
Jinguji hanya tertawa, membiarkan Genki sedikit beradaptasi. Tanganya menyusup ke dalam saku, menggenggap erat sesuatu yang ada di sana, menunggu bianglala raksasa itu semakin naik.
“Genki, terimakasih sudah menjadi matahariku selama enam tahun ini, berikutnya, aku akan bekerja lebih keras untukmu. Selamat ulang tahun!” Jinguji mengeluarkan sebuah gelang giok dengan ukiran bulan dan bintang di sebanjang sisinya.
Genki hampir menangis saat Jinguji memasangkan gelang itu di pergelangan tangannya. Bukan hanya karena gelang itu, tapi juga karena beberapa luka di tangan Jinguji. Genki tau, tahun ini juga, Jinguji pasti ,mengambil banyak kerja sambilan lagi untuk memberikan hadiah ulang tahun yang indah untuknya.
“Jangan cengeng. Aku tidak peduli harus sekeras apa, aku hanya ingin memberikan kenangan yang indah untukmu!” Jinguji mengusap pipi Genki yang memerah dengan beberapa tetes air mata di sana.
Genki menikmati setiap usapan tangan Jinguji, mengingatnya dalam memory jiwanya. Bukan sekedar ingatan.
Bianglala itu terus naik. Tapi mereka tidak lagi peduli pada keindahan yang bisa terlihat ketika bianglala itu berapa di puncak. Mata Jinguji hanya tertuju pada bibir penuh Genki . Diusapnya bibir kemerahan itu dengan ibu jarinya, lantas mendekatkan wajahnya dan mencium Genki dengan lembut.
Genki tersenyum dalam ciuman itu, menutup matanya perlahan, membiarkan Jinguji mengecap rasa manisnya yang memabukkan dalam ciuman yang semakin dalam.
***
Sembilan bulan yang lalu.
Genki tertawa saat Jinguji kalah jankenpon dari Amu. Jadilah Jinguji yang harus membayar semua yang mereka makan siang ini, sementara Amu berhigh-five dengan pacar tercintanya Reia sebelum mencuri sebuah ciuman yang membuat Reia blushing sambil marah-marah.
“Jangan di depan umum dong!” Protes Reia sebal. Dipukulinya bahu Amu, sementara sang korban hanya pura-pura memohon ampun.
“Genki, ayo kita ciuman juga!” Jinguji memonyongka bibirnya, berusaha mencium Genki.
‘Plak’ sayang sekali, Jinguji hanya berhasil mencium kamus setebal sepuluh sentimeter yang digunakan Genki untuk menutupi bibirnya.
“Kamu sudah gila!” Genki mendorong kening Jinguji hingga menjauh dari nya.
Mereka tertawa lagi hingga Genki menerima telfon dari ibunya, meminta Genki ke rumah sakit segera karena ayahnya mengalami kecelakaan serius.
***
Perdarahan di otak. Benturan keras di perut. Tiga tulang rusuk patah. Tulang punggung patah. Juga patah kaki kanan dan sejumlah luka serius lainnya. Begitu banyak tindakan medis yang harus dilakukan. Baahkan meski Genki dan keluarganya bisa mengumpulkan uang yang begitu banyak untuk tindakan medis itu sekalipun, kemungkinan besar jika ayahnya selamat, sisa hidupnya harus dilalui di atas kursi roda dan perawatan berkelanjutan.
Reia meminta Amu untuk sebisa mungkin membantu Genki mengumpulkan uang itu, tapi tidak mungkin Genki mengandalkan bantuan Amu terus menerus nantinya. Meskipun Amu mungkin tidak akan keberatan karena Amu menghormati Genki yang dulu membantunya untuk bisa dekat dengan Reia, tapi Genki masih punya cukup perasaan tidak nyaman. Amu punya kehidupan sendiri. Begitu juga dengan Reia. Membiayai dua operasi ayahnya, jasa itu sudah begitu besar bagi Genki. Jinguji juga berusa keras membantunya.
Tapi semua itu tidak akan cukup. Pintu keluar itu masih terlalu jauh untuk mereka tempuh.
Genki duduk di samping ayahnya yang masih koma setelah Jinguji pamit. Genki yakin Jinguji akan pergi kerja sambilan lagi. berjuang keras untuknya. Rasa bersalah karena menjadi beban membuatnya ingin meminta Jinguji berhenti, tapi Jinguji terlalu keras kepala.
“Genki,kamu tau kondisi ayahmu kan? Dan juga, adik-adikmu masih kecil ...!”Ibunya berbicara dengan suara bergetar. Seperti ada sesuatu yang sangat berat untuk dikatakan sehingga membuat wanita yang menjadi begitu kurus hanya dalam satu bulan itu ragu untuk mengatakannya. padahal, selama ini keluarganya begitu dekat.
Genki mengangguk. Sebenarnya tubuhnya beitu letih dan lemas. Seharian ini, meminum genap segelas air pun Genki tidak sanggup. Rasanya, memikirkan bagaimana ayahnya, ibunya, juga adik-adiknya sudah cukup untuk melupakan rasa lapar dan hausnya. Dan ibunya pun pasti begitu. Kesana-kemari, bekerja, mengurus adik-adiknya, menunggui ayahnya. Semuanya.
“Kamu ingat, kemarin, atasan ayahmu datang kesini ?” Ibunya masih bertanya.
Genki kembali mengangguk. Tentu saja. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan yang itu. Meskipun Genki terlalu bingung untuk mengingatnya secara detail.
“Beliau .... a ...kan ... mem-membiayai semuanya. Ayahmu, adik-adikmu, keluarga kita .... jika .... Genki bersedia menjadi istrinya!” Tangis ibunya pecah begitu kalimat itu selesai.
Perasaan bersalah. Tidak rela.
Genki mencoba memahami perasaan ibunya, beban beratnya yang jauh lebih berat dari semua yang pernah Genki tanggung.
***
Genki mengangis sekeras yang dia bisa dalam dekapan Jinguji. Keduanya terduduk di tempat yang juga menjadi tempat Jinguji menyatakan perasaannya dulu. Di bawah cahaya lampu penerang jalan yang temaram.
“Aku sangat mencintaimu, aku sangat mencintaimu. Sangat, hiks, sangat, sangat!” Genki berteriak sambil menangis.
Jinguji memeluk Genki semakin erat. Tangannya terkepal menahan sesak, airmata membanjir tanpa bisa ditahan lagi.
Bukankah dia sudah berusaha sekeras yang dia bisa? Merencanakan untuk melamar Genki di malam anniversary mereka yang ke empat nanti dengan seluruh hasil kerja kerasnya selama empat tahun.
“Aku Sangat mencintaimu!” Genki berbisik sebelum jatuh tak sadarkan diri.
Hatinya lelah, Fikirannya lelah. Tubuhnya letih.
“Aku tau, aku tau Genki. Aku mencintaimu jauh lebih besar dari yang kamu tau. Aku sangat mencintaimu!” Jinguji berbisik lemah.
***
Di hari berikutnya, Genki menemukan dirinya terbaring di rumah sakit dengan selang infus dan Reia yang menangis di sampingnya, sementara Amu berdiri gelisah, bersandar pada dinding sambil memejamkan mata.
“Reia, Amu!”Genki bersuara pelan, membuat Reia mengangkat wajahnya yang basah dan segera meminta Amu memanggil dokter.
Hari itu juga, Genki tau, Jinguji sudah melepasnya, memilih untuk berada entah dimana. tapi Genki masih bisa merasakan keberadaan Jinguji dalam hatinya.
Hari-hari selanjutnya hanya hambar. Minggu-minggu sepi, bulan-bulan kosong.Genki merelakan drinya meskipun rasanya begitu berat, tapi melihat ayahnya, ibunya, adik-adiknya. Genki tau dia hanya bisa terus bertahan.
“Jika Genki tetap bertahan, suatu hari nanti, perasaan itu pasti tersampaikan. Aku tidak tau apa itu mampu kulakukan, tapi jika aku, aku akan menunggu hingga hari dimana aku bisa mengatakannya kembali pada orang yang kucintai!”
Kata-kata Reia hari itu, ketika Genki nyaris bunuh diri karena kebingungan yang tidak bisa diselesaikannya seorang diri, saat Reia memeluknya dan mengatakan bahwa Jinguji akan berusaha lebih keras untuk membawa kembali Jinguji yang tersesat dalam labirin. Membuat Genki mengangkat wajahnya untuk menunggu.
Operasi-operasi ayahnya berjalan lancar. Adik-adiknya, ibunya, ayahnya, bahkan dirinya sendiri tidak perlu memikirkan masalah materi. Dan meskipun ayahnya benar-benar harus duduk di kursi roda selama sisa hidupnya, ayah dan ibunya tidak perlu memikirkan cara untuk membiayainya dan adik-adiknya.
Sebuah pernikahan yang bahkan Genki tidak bisa merasakan apapun di dalamnya. Tidak menangis di depan keluarganya. Tapi juga tidak tersenyum.
Semua terjadi tepat di anniversarynya dan Jinguji yang keempat. Dalam nuansa serba putih, mawar serupa ruby yang mengalirkan darah dari hatinya. Cincin berlian disematkan di jarinya, sementara di pergelangan tangannya, giok berukirkan bulan dan bintang di sepanjang sisinya.
Entah bagaimana, tidak ada yang bisa dirasakannya hingga Reia menyerahkan sebuket besar lily putih.
###
Jinguji menyippan wajahnya di atas tangannya yang terlipat di meja. Lagu-lagu romantis masih mengalun di balkon sebuah apartemen yang disiapkannya untuk ditinggali bersama Genki nantinya. Cincin ruby-sapphire itu masih ada di sana.
Tapi Genki akan cincin yang lain hari ini, besok, dan entah sampai kapan.
“Bukankah, hari ini kamu menerima lily putih, bukan mawar merah !” Jinguji terisak dalam gumanannya yang lirih.
Lilin-lilin itu kehilangan cahanyanya. Kekuatannya telah habis, mati satu persatu.
Matahari hari ini ... bersembunyi jauh di balik awan tebal, juga salju yang mulai turun.
###
END
Yaaaaa ... kelar dalam dua jam!!!! Maafkan mama, Genki baby, mama emang doyan banget bikin kamu menderita, kalo nggak gitu menistai anak sendiri. Itu karena kamu tiap hari diculik mulu sama Jinguji sampe nginep-nginep segala. Nggak bantuin mama nyuci baju, nyuci piring, setrika, nyapu, ngepel, ngurus kebun, benerin genteng, ngepel jalan raya #DigapokGenki. :3 Liat tuh, papa kerja mulu sampe tingginya nggak bakalan nambah selama seratus tahun #DigapokChii.
Yah, pokoknya begitu, dalam rangka menyalurkan kegalauan saya karena takut mau ngelanjutin ff horror-nya yabuNoo,dkk. Dan menyalurkan rasa frustasi karena nyari file-nya Hime yang setengah nggak ketemu. Mama yang hobby ngoleksi anak cute bikin genki jadi istri om-om #Plak.
Berikutnya .... ‘chuu~’ yang perlu disensor #GenkiKabur_NggakMau-Diapa-apain_Jinchan_diFF ini. :3
EPILOG.
Salju tidak lagi turun tengah malam ini. Tapi tumpukan salju yang dikumpulkan di tepi jalan cukup memberikan suasana putih yang polos.
Lampu penerang di tepi jalan itu bersinar redup, menunggu tugasnya selesai.
Genki merapatkan coatnya, menghalau dingin. Seluruh tubuhnya terbalut agar hangat, tapi Genki enggan memakai sarung tangan. Padahal dulu, sembilan belas tahun yang lalu, tubuh remaja enam belas tahunannya diseret ke tempat ini hanya dengan piyama.
Langkahnya ringan menapaki jalan yang sepi di tengah malam, menuju perempatan penuh kenangan itu. Setaipa tahun, pada tanggal ini, Genki akan selalu menghabiskan malam di sana. Bahkan lima belas tahun yang lalu, di malam pernikahannya, Genki memohon untuk berada di sana selama satu jam.
Tidak banyak berubah. Meskipun lima belas tahun terus berjalan dalam keresahan, tempat ini selalu memberinya kekuatan baru untuk terus bertahan. Berdiri dan mengingat kenangan-kenangannya bersama Jinguji, menyimpan setiap cinta yang Jinguji berikan sepenuhnya untuknya.
Cinta yang terus meninggi, perasaan yang menyentuh langit itu justru ditemukannya saat berada di sini lima belas tahun yang lalu dengan menggenggam sebuket lily putih pertama yang diberikan Jinguji untuknya.
Perasaan yang sampi saat ini dijaganya agar tidak berkurang sedikit pun.
Suaminya adalah tempatnya meletakkan rasa hormat dan kepatuhan, sementara cintanya tidak bisa terbagi. seperti yang Jinguji minta, Iwahashi Genki milik Jinguji Yuta sampai mati.
Genki berbalik saat merasakan seseorang mendekat. Senyumnya merekah saat seorang laki-laki yang telah terlihat dewasa setelah lama tak bertemu.
“Apakah akhirnya aku bisa menyampaikan perasaan itu padamu?” Genki bertanya dalam senyuman. Airmata menuruni pipinya. Hangat.
“Genki, aku telah berusaha sangat keras untuk bisa datang padamu lagi. Aku akan membawamu keluar dari labirin!” Jinguji tersenyum hangat. lagi.
Tahun-tahun yang berlalu itu adalah rasa rindu yang begitu berharga. Jembatan menuju cinta yang lebih dan lebih besar lagi.
Jinguji mengisahkan bagaimana hari-harinya, bekerja keras selama lima belas tahun, menunggu bisa kembali pada Genki tanpa peduli berapa lama itu. Dan Genki menceritakan bagaimana hidupnya selama lima belas tahun.
Menikah di usia yang begitu muda, menjadi istri yang patuh sambil menunggu Jinguji selama sepuluh tahun.
Bagaimana ketika suaminya meninggal karena sakit. Bagaimana ketika Genki tetap menunggu setelah itu.
Bagaimana ketika perasaan itu jadi lebih besar dan lebih besar lagi hingga menyentuh langit. Bagaimana ketika setelah itu ruby-sapphire melingkar di jari manisnya.
Beneran end ^_^