Versi lengkap Hime, sudah samapai selesai ^_^
HIME
Amu/Reia, Jinguji/Reia, Fuu/Reia, dll.
Tentang Amu yang sebenarnya adalah tunangan Reia. Tentang Reia yang diam-diam menyukai Genki. Tentang perjuangan nggak kenal Lelah Jinguji,dkk. Dimana Reia adalah sang hime. Reia hime sama.
***
“jadi, kamu mau mati pake cara apa hah? Dicekik? Digantung? Dilempar dari puncak gedung? Dijadiin makanan hiu? Apa dimutilasi sekalian?!!!!” Teriak Reia sambil mengacungkan ganggang sapu tepat di depan wajah Jinguji yang tetap setia dengan senyum pantang menyerahnya.
“Nggak perlu segitu banget deh, Reia sayang. Senyum Reia yang begitu manis sudah membunuhku sejak pertama melihatnya!” Jinguji meraih ganggang sapu yang diacungkan Reia, lantas bergerak maju.
“Reia chaaaaaaannnnn. Fuu yang tampan datangggggg!!!!”
Belum sempat Reia meloloskan niatnya mencekik Jinguji, Fuu datang dengan seikat mawar merah yang barusan dipetik dari taman, membuat asap mengepul muncul dari puncak kepala Reia. Diikuti pertumbuhan ekor dan tanduk iblis. (beneran dicakar-cakar Reia abis ini!)
Seisi kelas yang melihat tontonan gratis itu menggeleng bosan, lalu kembali ke aktivitas masing-masing. Toh, drama romantis ancur-ancuran seperti ini sudah terlalu sering terjadi. Dan seperti yang sudah ditebak oleh mereka, selanjutnya, Reia segera bertransformasi ke mode anarkisnya, dan menggebuki Jinguji-Fuu dengan sapu tanpa ampun hingga siswa tetangga kelas itu lari tunggang langgang entah kemana.
Setiap hari, kejadian sejenis ini terulang, dan anarkisme ala anak TK sudah menjadi keseharian Reia. Dulu sih, para sensei selalu menegur Reia, bahkan nggak segan-segan ngasih hukuman, tapi sekarang hukum itu udah berhenti total. Permasalahannya, meskipun Reia dihukum atas ‘keributan’ yang dibuatnya, termasuk membuat para fansu yang nekat merayunya jadi biru-biru, ungu-ungu, merah-merah, penyebab keributan itu tetap saja maju setiap harinya. Siapa lagi kalau bukan para pemuja Reia.
Reia hime sama. Para pemuja Reia menyebutnya begitu. Dengan kecantikan yang menyihir, senyum yang memikat, tapi juga kemampuan menyiksa yang hebat. Anehnya, setiap hari, fansnya justru bertambah bukannya turun.
“Reia chaaannnn!!!” Tuh kan beneran. baru juga Jinguji dan Fuu diusir, para penggantinya sudah berbondong-bondong datang.
“Arrrrrrrggggghhhhh!!!! Menyingkir kalian semua!!!” Reia mengamuk sendiri tanpa peduli teriakannya membuat seisi kelas menutup telinga, kecuali satu orang.
Yah! Orang itu! Reia tidak peduli pada Jinguji, fuu atau yang sejenis mereka. Tapi sosok yang setiap istirahat selalu menatap ke luar jendela, duduk termenung sendirian seolah menunggu sesuatu atau seseorang lewat di depannya itu. Benar, sosok yang duduk di seberang sana itu.
Genki.
Reia selalu mencuri pandang, melirik Genki setiap ada kesempatan. Tapi sepertinya, Genki tidak tertarik sama sekali.
Reia seringkali berfikir, apa sih yang menarik sampai Genki selalu memandang ke arah yang sama setiap harinya.
***
Reia berguling-guling di atas kasurnya seperti anak kucing yang menemukan kehangatan di balik selimut. Seragamnya belum juga dilepas, padahal sudah sejak setengah jam yang lalu Reia berbaring di kasurnya.
Begitu asiknya hingga tidak menyadari kedatangan mama yang tersenyum geli melihat tingkah Reia yang begitu menggemaskan.
“Berhentilah berpura-pura menjadi anak kucing Reia chan, lalu segeralah bersiap, dua jam lagi sahabat papa akan datang untuk makan malam!” Mama menginterupsi acara berguling Reia sambil meletakkan sebuah setelan di tumpukan bantal yang disusun Reia menjadi semacam ..... emmm, menara?
Reia tersenyum manis pada mama sebelum akhirnya duduk dan memandang setelan yang baru saja diletakkan mama. Biasanya, saat ada acara penting, mama memang akan mencarikan setelan khusus untuknya. Apalagi jika ada tamu yang penting, atau Reia yang harus ikut ke acara-acara orang tuanya. tapi sepertinya kali ini lebih istimewa.
Dan di sinilah Reia sekarang, duduk manis diapit papa di kanan dan mama di kiri, berhadapan dengan sahabat papa, istri cantiknya yang selalu tersenyum pada Reia, dan anak mereka yang terus memandang Reia dengan tatapan yang membuat Reia ingin bersembunyi dibalik papa atau mama.
Sebenarnya, Reia terbiasa bersikap manis di depan tamu-tamu orang tuanya, tapi Reia tidak suka jika ditatap dengan tatapan yang seolah ingin menelannya bulat-bulat seperti yang dilakukan anak sahabat papa tu.
“Bagaimana, Reiachan kami sangat manis kan, Amu kun?” Mama bertanya pada Amu, membuat Amu mengalihkan sebentar pandangannya dari Reia untuk tersenyum pada mama dan menganggukkan kepalanya yakin.
“Seperti yang saya duga, benar-benar cantik. Reia hime!” Amu memberikan komentarnya sambil kembali menarap Reia, membuat Reia ingin melemparkan ke kutub selatan, atau menguburnya di dasar laut.
“Ah, baguslah kalau Amu berpendapat begitu. Kalian terlihat cocok sekali!” Dan kalimat mama Amu membuat Reia tertohok.
Akhirnya Reia faham maksud acara makan malam kali ini. Ditatapnya Amu dengan tatapan yang menggambarkan sebuah tantangan.
***
Brakk!!!
Reia membanting pintu kamarnya setelah Amu dan keluarganya pulang. Tanpa berfikir lagi, Reia segera melampiaskan kekesannya dengan mengacak-acak kamarnya. Setelah puas dengan hasil karyanya, Reia membanting tubuhnya ke kasur dan menangis sejadi-jadinya di balik selimut.
Papa dan mama yang masuk setelah mendengar tangisan Reia -yang mungkin bisa didengar tetangga- hanya menggelengkan kepala. Mereka sih udah faham betul seperti apa anak tunggal mereka: cantik, mempesona, suka semaunya, sedikit ‘tegaan’, tapi sebenarnya anak yang penurut. Cukup membiarkan Reia melampiaskan sedikit kekasalannya sebelum nantinya akan kembali menjadi anak manis.
“Jadi, bagaimana menurut Reiachan, Amu itu sangat tampan dan menawan kan?” Mama memancing api setelah Reia menyelesaikan acara menangisnya selama dua jam.
Dengan mata sembab dan pipi basah, Reia menatap mamanya yang masih bertahan di kamarnya, padahal papa sudah mengungsi ke lantai bawah untuk menonton pertandingan bola.
“Jelek! Jelek banget!!” Reia menjawab dengan hati berapi-api. #Siram pake air kembang tujuh rupa.
***
Reia cemberut sepanjang hari di sekolah. Setelah acara menangis semalaman yang membuat matanya sembab, ternyata Reia juga harus menerima kenyataan asin (pahit udah keseringan!) mendapat hukuman dari sensei karena terlambat. Lebih bagusnya lagi, Reia dihukum bareng sekelompok fansnya yang dikomandani Jinguji untuk membersihkan lapangan sekolah.
Bukan membersihkan lapangan sekolahnya yang bikin Reia kesel setengah mati, tapi ulah Jinguji yang selalu membuatnya ingin mencakar-cakar wajah tampan yang nggak tau kenapa lebih sering ngeselin itu. Orang dihukum normalnya kan sebel, tapi Jinguji malah senenh-seneng aja, plus masih sempat narsis pula.
“Kalau bersama Reia hime, dikirim ke zaman dinosaurus berdua pun aku nggak keberatan!” Begitu katanya.
“Pergi aja sendiri!” Reia sewot sambil nendang kaleng kosong yang sukses membuat polisi tidur bersantai di jidat Jinguji.
Penderitaan Reia itu akhirnya di-cut dulu dengan selesainya acara hukum-hukuman itu. Reia yang masih sebel bahkan nggak berniat menggubris sedikit pun Fuu yang mengajaknya pergi kencan.
Yang masih sempat diperhatikannya cuma Genki yang masih dengan posisinya seperti biasa. Duduk dengan manis di kursinya, menopang dagu dengan salah satu tangannya, lantas menatap ke luar jendela.
Reia sering memikirkan itu. Memikirkan alasan Genki selalu menatap berlama-lama ke arah yang sama. Apa yang menarik perhatian Genki hingga betah melakukan kegiatannya itu sepanjang yang bisa Reia perhatikan.
Kelas Reia ada di lantai dua, tepat di ujung. Di sebelah kanan kelas, tepat di tempat Genki biasa menatap hanyalah salah satu taman tak seberapa luas yang berisi beberapa jenis bunga dan tanaman hias. Di seberangnya, ada kelas untuk tahun terakhir, juga beberapa ruangan seperti ruang musik yang sering mereka gunakan.
Apa Genki sedang memikirkan sesuatu?
Reia meletakkan kepalanya di meja, mencoba memejamkan mata sebelum sensei berikutnya memasuki kelas.
Rasanya capek sekali. Apalagi dengan acara perjodohan yang direncanakan orang tuanya. Reia sempat berfikir untuk menjadi anak durhaka dengan menolak bertunangan dengan Amu, tapi kemudian mengurungkan niatnya saat mengingat betapa besar cinta orangtuanya padanya.
Amu itu, bagi Reia seperti hama pengganggu. Atau mungkin sejenis makhluk luar angkasa menyebalkan yang ingin menelannya hidup-hidup. Tapi, sempat kemarin Reia merasa bahwa Amu adalah orang yang pernah dikenalnya. Tapi Reia tidak ingat. Hanya terasa seperti sudah saling mengenal saja.
***
Reia ingin sekali melempar Amu ke planet di galaksi lain saat melihat cowok yang entah bagaimana disahkan sebagai tunangannya nampang di depan gerbang sekolahnya dengan tanpang -sok- ganteng dan -sok- kerennya. Tentu saja tanpa persetujuan Reia.
“Ngapain kamu ke sini?” Tanya Reia dengan wajah juteknya.
“Tentu saja menjemput tunanganku, apa lagi?” Amu tersenyum pada Reia yang langsung disambut rasa mual di perut Reia.
“Kamu fikir aku nggak punya kaki. Pergi sana!” Usir Reia
“Nggak bisa. Mamamu memintaku menjemputmu dan membawamu pulang dengan selamat!” Tolak Amu.
Reia belum sempat membalas penolakan Amu saat tiba-tiba Amu bergerak ke arahnya lantas langsung mengangkatnya, membawanya dengan paksa dan melemparkan Reia ke jok belakang mobil.
“Jalan!” Perintah Amu pada sopirnya yang langsung menyalakan mesin.
“Aaaahhhhhh .... menyingkir dari hidupku. Aku mau pulang sendiri!” Reia mulai berteriak dan mengamuk di dalam mobil.
Amu yang duduk di sampingnya duduk tenang seolah tidak mendengar apa-apa. Bahkan saat Reia memukuli bahunya, Amu cuma meringis kecil tanpa menanggapi.
“Diam atau ....!” Amu akhirnya bersuara setelah mobil yang mereka tumpangi melaju cukup cepat menuju rumah Reia.
“Atau apa, mau berkelahi denganku!” Tantang Reia.
Amu tersenyum menyeringai. Degan gerakan cepat, diraihnya pergelangan tangan Reia lalu menariknya hingga tubuh Reia tertark maju ke arahnya.
“Cup!”
Reia hanya mengedip-kedipkan matanya kaget saat Amu tiba-tiba menciumnya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Satu menit.
“Tidaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkk!!!!” Jeritan Reia bisa didengar hampir seluruh penghuni kota.
***
Reia menangis histeris di kamarnya. Apa saja yang berhasil dijangkau tangannya langsung dilempar atau dibanting.
Rasanya Reia mau meledak. Makhluk -sok- cakep yang mengaku sebagai tunangannya yang menyebalkan itu dengan seenak hidungnya mengambil ciuman pertamanya yang berharga. Perlu diulang? Ciuman pertama Reia.
Padahal Reia sudah berandai-andai ciuman pertamanya itu adalah dengan Genki. Jauh banget kan, sosok mempesona seperti Genki dengan sosok menyebalkan seperti Amu.
“Kamu ngapain sih nangis nggak jelas begitu?”
Reia langsung bangkit dengan wujud acak-acakan begitu mendengar suara Amu di sekitarnya. Dan matanya yang melotot langsung menangkap Amu yang berdiri bersandar pada dinding kamarnya di dekat pintu, dengan kedua tangan dilipat di dada.
Dengan sepenuh perasaan kesalnya Reia menunjuk Amu dengan jari bergetar.
“Kamu .... kamu .... berani-benarinya kamu mencuri FIRST KISSku haaaaaa!!!” Teriak Reia heboh.
Amu mengedipkan matanya dengan wajah tanpa rasa bersalah. Padahal dalam hati dia udah lompat-lompat sampa nyaris kepentok atap karena begitu bahagianya mendengar pengakuan Reia. Tapi harus tetep cool dong.
“Oh, kirain kenapa? kalo cuma itu jangan histeris kaya aku udah perkosa kamu dong!” Amu mengoceh dengan santainya tanpa memperhatikan Reia yang sudah siap mengirimnya ke neraka.
Dan, suara berdebam pun langsung terdengar bergantian dengan jeritan Amu.
Yah, walau bagaimana pun, Reia tidak sejinak yang diperkirakan Amu. Untung saja mama Reia segera datang dan mengamankan calon menantu idaman tercintanya sebelum Amu resmi menyandang gelar almarhum karena dimutilasi Reia dan dibuang ke dasar laut.
***
Reia benar-benar memandang Amu dengan tatapan membunuh. Di sini yang jadi korban kan seharusnya Reia, tapi kenapa Reia juga yang harus dihukum. Sementara si Amu yang -sok- keren itu sedang duduk dengan wajah penuh kemenangan di sofa.
“Reia, berapa kali papa harus mengatakan padamu untuk bersikap sopan!” Papa yang langsung pulang dari kantor setelah mendapat telfon dari mama memulai sesi ceramah yang entah akan selesai tahun berapa.
Dan jadilah Reia yang berlutut di depan Amu dan kedua orangtuanya hanya bisa mengutuk Amu dengan kutukan paling mengerikan dari yang paling mengerikan tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun untuk membantah. Jika saja berani, belum sampai kutukan itu selesai diucapkan, papa pasti langsung menvonisnya. Kehilangan setengah dari uang saku sudah cukup untuk membuat Reia tewas mengenaskan.
“Dengarkan Reia! Mulai besok, kamu berangkat dan pulang sekolah bersama Amu. Berterimakasihlah pada Amu yang sudah bersedia pindah ke sekolah yang sama denganmu!” Akhirnya papa mengakhiri ceramahnya yang disambut jeritan histeris Reia.
***
Reia mencibir dalam hati saat mendengar beberapa teman sekelasnya yang heboh karena kedatangan ‘murid baru yang keren’. Hoeek banget deh. Kerenan juga Jinguji, gantengan juga Amu, manisan juga Genki, cantikan juga Reia sendiri. Tapi kok cepet banget sih si Amu itu populer.
Rasanya malas sekali memikirkan Amu di saat seperti ini. Tapi meskipun Reia ingin sekali menonjok Amu setiap kali wajah itu nyasar ke otaknya, tetap saja Amu dengan senyum dan tingkah tidak jelasnya berkeliaran bebas di sekitarnya. Padahal wujud aslinya ada di kelas sebelah loh!
Genki juga masih seperti biasa. Memandang ke luar jendela seolah tidak ada tempat lain yang layak dipandang selain tempat itu. Menopang dagu dan berdiam diri berlama-lama tanpa peduli teriakan histeris memekakkan telinga atau keributan seperti apa pun yang ada di sekitarnya.
Terkadang Reia ingin sekali menyapa Genki lalu memukuli kepalanya agar bisa mengerti apa yang difikirkan anak itu. Tapi tetap saja Reia hanya bisa duduk di kursinya tanpa bisa berjalan mendekat.
Genki yang duduk di kursinya jauh di seberang tempat Reia dengan tenang. Menopang dagu dan memandang ke luar jendela.
Aktivitas seperti itu. Suasana seperti itu. Kenapa Reia merasa akrab sekali ya? Rasanya seperti de javu. Reia justru sangat tertarik memandangi Genki di saat seperti itu. Seperti bertemu dengan sesuatu yang dirindukannya.
“Reiaaaaa!!!!!”
Reia langsung mendengus kesal saat mendengar suara itu. Siapa lagi kalau bukan Jinguji dan Fuu, plus segerombolan fansunya yang nggak pernah tau situasi. Ditolak baik-baik datang lagi, diusir senyam-senyum, digebukin juga nggak mau kapok.
“Reia, ke kantin yuk!” Jinguji yang datang-datang langsung duduk di depan Reia setelah mengusir penghuni sebelumnya mengangkat kedua alisnya. Mencoba peruntungan seperti biasa.
“Unn, bagaimana kalau pulang sekolah nanti kita kencan!” Fuu justru lebih terang-terangan. Mata berbinarnya memandang Reia penuh ketakjuban, seperti melihat bulan yang tiba-tiba punya kaki dan ngedance heboh.
Reia masih tidak peduli. Tetap sibuk memandangi Genki yang juga sedang sibuk memandangi entah apa atau siapa.
“Reiaaaaaaa chaaaaannnnnn, ayo kita menikah!!!!!!!”
Brakk!!!
Teriakan bersemangat dari luar sana membuat Reia langsung terjatuh dari kursinya.
Anak itu lagi!! haruskah Reia menendangnya hingga terbang ke planet mars?
Tanpa berfikir lagi Reia langsung melongokkan kepalanya ke luar. Di sana, tepat di bawah kelasnya yang ada di lantai dua seorang anak yang lebih tinggi dari Reia tapi berwajah bocah dengan pipi mochi melambaikan tangan penuh semangat. Di tangan satunya, ada seiikat mawar merah muda yang diikat dengan pita putih.
“Yah, bocah!!! Ngapain kamu teriak-teriak di sini?!! Sekolah kamu tuh di sebelah!!!” Teriak Reia nggak kalah nyaring.
Kalo Jinguji Fuu cs sih Reia bakalan langsung ngamuk-ngamuk. Tapi ini anak barusan lulus SD taun kemaren -atau kemarennya lagi ?- setiap istirahat selalu melanglang buana ke sekolah Reia dan meneriakkan yel-yel berupa kalimat nggak jelas yang bikin seisi sekolah ngakak guling-guling.
“Reia chan, papa udah setuju loh! Nanti kita honeymoon romantis yaaaa!!!!” Teriakan Kaoru kali ini benar-benar membuat Reia lemas seketika dengan muka memerah.
Sejak kapan bayi semacam Kaoru tau soal honeymoon?Terlalu cepat seratus tahun.
“Hei bocah, balik ke habitat kamu sendiri sana!!” Jinguji dan Fuu berteriak kompak sambil menunjukkan kepalan tangan mereka.
“Bodo, siapa mau ngomong sama kalian!!!” Kaoru malah nantangin.
“Ne, Reia chan, sebentar lagi istirahat selesai, Kaoru balik ke school dulu yah. Jangan kangen ya, besok ke sini lagi kok. Bye bye!” Kaoru lambai-lambai sambil pamitan lalu kasih kiss bye.
Sukses deh Reia ambruk!
“Bye bye du bye! Nggak usah balik sekalian!!” Reia meruntuk setelah Kaoru nggak kelihatan lagi.
Reia manyun begitu sadar semua orang tertawa. Biasanya sih begini juga. Bahkan Genki juga menahan tawa.
Yang bikin sebel justru suara tawa nyebelin dari depan kelas itu. Gimana jeleknya cara Amu menertawai adegan konyol barusan sambil dikelilingi beberapa ‘teman’ barunya yang sok manis dan sok ‘nempel’ seperti stiker murahan.
Masih sama. Ketika Reia menoleh, matanya hanya menatap Genki yang masih setia dengan posisinya.
Apa ... seperti itu disebut perasaan sebelah pihak?
Reia kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja. Terkadang, meskipun semua orang menginginkannya, memperebutkannya, tapi rasanya hanya seperti sebuah piala, hanya untuk dipajang setelah didapatkan.
Dulu sekali, rasanya Reia juga pernah menunggu hingga tidak lagi mengingat apa yang ditunggunya. Dulu sekali ...
***
Haruskah Reia mengirim Amu ke planet entah berantah atau justru memilih mengungsi ke planet Mars?
Dengan hebohnya mama meninggalkan pesan bahwa mama-papanya + mama-papanya Amu baru saja berangkat untuk berlibur ke Bali hingga waktu yang tidak ditentukan.
Pengumuman mengejutkan yang nyaris membuat Reia mengemasi barang-barangnya dan pindah ke rumah sakit jiwa adalah kenyataan bahwa selama orangtuanya pergi, Amu akan tinggal di rumahnya. Yang lebih parah adalah pemberitahuan yang ditulis mama dan ditempel seukuran poster artis idolanya di ruang keluarga.
Pengumuman tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Selama papa dan mama berlibur, Amu-Reia akan tinggal serumah.
2. Reia wajib ‘kalo perlu pake banget’ patuh pada Amu, bersikap sopan dan ramah, dan tidak membuat masalah.
3. Urusan membersihkan rumahdan memasak menjadi tanggung jawab Reia.
4. Jangan lupa untuk menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam untuk Amu. Uang belanja dan uang saku Reia sudah disiapkan. Tinggal minta ke Amu saja.
5. Jangan befikir untuk mengabaikan peraturan ini karena mama akan tau ^_^
Mama.
Dan Reia pingsan saat itu juga.
Berkat peraturan tidak manusiawi _menurut Reia_ itu, Reia terpaksa membereskan ruumah sendiri, bahkan berbelanja dan memasak. Amu hanya mengantarnya belanja, tapi hanya duduk memperhatikan saat Reia memasak makan malam.
“Yang benar saja, kenapa sekarang aku jadi seperti istrinya Amu begini?”Guman Reia sebal.
Nafasnya berhembus penuh amarah ketika lagi-lagi masakannya gagal. Ini sudah lewat jam makan malam tapi tidak satu pun dari eksperimennya yang berhasil.
Amu memegangi perutnya yang kelaparan. Sepertinya membiarkan Reia ‘bermain’ di dapur tidak akan membuatnya kenyang. Sejak sore Reia mencoba memasak tapi tidak ada satupun yang tersaji di meja makan. Tapi memandangi Reia yang sedang berusaha keras benar-benar membuatnya merasa bahagia. Di antara semua yang memperebutkan Reia, hanya dirinya yang beruntung bisa menemani Reia memasak, menjadi orang yang menjadi tujuan Reia memasak.
“Baiklah, sebaiknya kita makan di luar saja!” Amu menyerah setelah melihat Reia hampir menangis karena kesal.
Dan di sinilah mereka sekarang, duduk saling berhadapan sambil menyantap makan malam.
Awalnya Amu bersikeras ingin membawa Reia makan malam romantis, tapi dengan dalih malas pergi jauh-jauh, Reia menyeret Amu ke kedai ramen yang tidak terlalu jauh dari rumah. Makan malam romantis hanya untuk dua orang yang saling mencintai, begitu kalimat penolakannya.
Pipi yang memerah, senyum yang mengembang, dan ekspresi Reia ketika makan, Amu terpesona dengan semua itu. Mereka juga bisa bercanda dan ngobrol ketika makan, lebih akur dari biasanya.
“Ah, bagaimana kalau sebelum pulang kita belanja? Sekali belajar memasak saja kamu menguras isi kulkas!” Ajak Amu setelah keluar dari kedai ramen.
“Jangan menghina, begini-begini juga aku sudah berusaha sekuat tenaga!” Reia meninju pelan bahu Amu.
Amu hanya berpura-pura kesakitan. Tapi toh Reia setuju juga untuk belanja sebelum pulang, membuat Amu tersenyum sembunyi-sembunyi karena sekarang mereka seperti sedang kencan.
Berjalan berdua beriringan saat malam hari, menertawakan beberapa hal konyol, hingga mengomentari pejalan kaki yang lain. Amu seperti melihat sisi ceria Reia yang seutuhnya. Menariknya kesana-kemari, memaksanya membeli topi yang aneh, hingga tanpa sadar tangan keduanya terus bertautan saling menggenggam.
Reia menghentikan langkahnya dalam perjalanan pulang. Ice cream di tangannya mulai terabaikan karena Reia lebih memilih memandangi boneka kelinci yang di pajang di sebuah toko.
“Kenapa?” Amu ikut memandangi toko boneka yang tidak terlalu besar itu.
Reia tersenyum aneh dan memandangi Amu. Matanya berbinar dan tangannya mula menarik-narik ujung kaos yang dipakai Amu.
“Amu ..... belikan ya!” Rengeknya.
Dengan mulut menganga, Amu terpesona pada senyuman menggoda yang ditujukan untuk membuatnya patuh. Mata dengan binar memohon, Reia bermanja padanya dan bagi Amu itu adalah kesempatan sekali seumur hidup.
Amu tidak bisa menghindar ketika dengan sengaja Reia menyeretnya ke dalam toko dan memintanya memindahkan semua boneka di dalam toko itu ke kamarnya. Reia hanya terkikik tertahan ketika melihat wajah syok Amu. Mengingat Amu berasal dari keluarga kaya, isi toko boneka itu jelas tak seberapa.
Sambil memeluk boneka kelinci yang tadi dilihatnya dari luar, Reia mendekati Amu yang sedang membayar semua hasil rampokannya. Senyumnya memudar dan perlahan menghilang ketika tanpa sengaja sepasang mata rembulannya menangkap gambaran kertas usang bergambar dua anak kecil yang saling bergandengan di dalam dompet Amu.
“Ayo pulang!” Dan Reia hanya diam ketika Amu menggandengnya, diikuti beberapa orang yang sengaja di bayar Amu untuk memindahkan boneka-boneka itu ke kamar Reia.
“Amu ....!” Panggil Reia pelan.
“Hmmm, ada lagi yang kamu inginkan?” Tanya Amu ketika melihat Reia menatap ke arahnya dengan tatapan yang berbeda.
Reia menggeleng. Hanya mengeratkan genggaman tangannya.
***
Pantas saja, Genki yang selalu melihat ke luar dari jendela. Genki yang selalu terlihat edang mengharapkan seseorang memandangnya. Punggung yang selalu terlihat. Tempat duduk di seberang.
Reia mengingatnya sekarang. Semua perasaaan dekat dan nyaman itu lahir dari kerinduannya pada seseorang yang tidak bisa diingatnya dengan jelas. Lelah menunggu, ketika seseorang itu tidak juga datang, Reia memandang orang lain sebagai orang yang sama.
Pintu kamar Amu tertutup. Tapi Reia bisa melihat cahaya yang menerobos dari celah pintu. Dengan dorongan keingintahuannya, Reia mengetuk pintu kamar Amu. Tidak apa-apa jika orang itu adalah Amu sekali pun, meskipun Amu menyebalkan atau apalah di matanya, tapi asalkan orang itu benar-benar kembali untuknya, Reia akan memeluknya.
Amu sedikit kaget saat membuka pintu. Biasanya reia tidur lbih dulu, dan ini sudah lewat tengah malam.
Tanpa permisi, Reia masuk, lantas membaringkan tubuhnya di atas kasur. Amu hanya mengikutiku, duduk di samping Reia yang berbaring, bersandar pada kepala ranjang yang dilapisi bantal.
“Kamu kenapa, tidak bisa tidur?” Amu mengelus kepala Reia, membiarkan jari-jarinya bersentuhan dengan rambut lembut Reia.
Reia menggeleng, hanya balik memandang Amu.
“Maaf!” Reia berkata pelan, setengah berbisik. Lantas matanya mulai terpejam.
“Maaf karena tanpa sengaja aku melihatnya di dompetmu. Maaf karena tanpa sadar aku melupakanmu. Maaf karena tidak mengenalimu. Maaf, karena aku tidak menyambutmu ketika kembali, anak nakal!” Reia yang memejamkan mata masih berkata. Air mata merembes dari kedua matanya yang tertutup.
Amu tersenyum untuk selanjutnya berbaring menyamping, menghadap Reia dan memeluknya penuh sayang. Rasanya bahagia sekali ketika Reia kembali mengingatnya.
“Aku pulang, pengantinku!” Bisiknya.
Reia tidak lagi menjawab. Airmatanya mengalir, dan matanya masih terus terpejam.
“Mulai hari ini, jangan pernah melihat orang lain selain aku. Jangan menyukai orang lain selain aku. Jangan membiarkan orang lain menggandeng tanganmu selan aku. Jangan biarkan orang lain makan dari tanganmu selain aku. Jangan memeluk orang lain selain aku. Reiaku, Reia adalah punyaku!” Amu masih berbisik.
Satu kecupan halus di pipi Reia, dan Amu ikut memejamkan mata. Entah bagaimana reaksi seisi sekolah ketika besok Amu menggandeng Reia di sekolah. Amu hanya akan tersenyum bangga.
***
“Reia, kali ini, kumohon pergilah kencan denganku!” Jinguji berlutut lagi istirahat kali ini.
Reia menggeleng. Dia benar-benar mengantuk karena Amu membangunkannya pagi-pagi sekali untuk membuat sarapan. Meskipun Reia sudah ingat jika Amu adalah teman masa kecilnya yang dijodohkan dengannya, juga yang selalu ditunggunya hingga bertahun-tahun, bahkan sampai terlupa pada siapa dia menunggu, tapi Amu tetap saja sedikit menyebalkan dan semaunya.
Jinguji hampir meraih tangan Reia ketika tangan lain menepisnya.
Amu sudah berdiri dengan wajah murka di samping Reia yang tidak terlihat tertarik sama sekali. Yang diharapkannya sekarang hanya kasur dan bantal.
“Yah, ngapain kamu kesini, kelasmu di sebelah!” Omel Jinguji yang merasa terganggu.
“Jangan dekat-dekat Reia!” Amu melipat tangannya di dada, menatap Jinguji dengan tatapan menantang.
“Memangnya kenapa? Apa hakmu? Reia bukan pacarmu, jadi kamu ...!” Jinguji tidak sempat melanjutan kata-katanya ketika dengan santainya Amu mencium Reia.
Reia tidak membalas, tapi juga tidak menolak. Hanya merebahkan kepalanya di pundak Amu ketika Amu telah duduk di sampingnya.
“Reia memang bukan pacarku, hanya tunanganku!” Amu seolah memberi pengumuman karena meneriakkan kata-katanya, membuat semua yang mengincar Reia patah hati, patah tulang, bahkan mematahkan pensil yang sedang digenggamnya.
Semua yang mendengarnya kaget, kecuali Genki yang hanya melanbaikan tangan pada seseorang yang melambaikan tangan terlebih dahulu padanya dari luar jendela.
_THE END_
EPILOG 1 : Di rumah.
Setelah puas mengerjai anak semata wayangnya yang manja, papa dan mama Reia pulang dengan segunung oleh-oleh yang pastinya diperlukan sebagai upeti untuk meredam amukan Reia.
“Sudah jam segini, Reia dan Amu pasti sudah tidur!” Papa mengeluarkan kunci cadanagn dari tasnya.
“Yah, apapun. Cepat buka pintunya, mama sudah kangen sekali pada Reia. Ah, apakah mereka berdua akur? Jika cara ini tidak berhasil, kita kirim saja mereka berdua ke pulau tak berpenghuni seperti di dorama!” Mama Reia tersenyum sambil memasuki rumah begitu pintu terbuka.
Tapi keduanya hanya menatap tak percaya dengan mulut terbuka hampir berbusa ketika melihat pemandangan menakjubkan di ruang tengah:
Amu duduk di sofa dengan Reia dalam pelukannya.
EPILOG : Di sekolah.
“Genki, ayo kencan denganku besok!” Jinguji mengulangi ajakan kencannya yang ke tiga belas kali hari ini.
Genki yang selesai mengemasi barang-barangnya menatap Jinguji dengan tatapan kesal. Jadi seperti ini repotnya mengalami hal yang sama dengan Reia.
“Genki, jadilah pacarku. Aku akan menjagamu hingga titik darah penghabisan!” Fuu berlutut di depan Genki yang masih duduk di kursinya, bersandar ke dinding.
Sambil tersenyum, Genki menggeleng. Kalo soal jaga-menjaga, seharusnya Genki menyewa bodyguard saja.
“Genki chan, hari ini jadi pergi bersamaku?” Seseorang melambaikan tangan dari luar kelas.
Jinguji dan Fuu menoleh bersamaan. Keduanya menatap tidak suka dan penuh persaingan pada sesosok makhluk yang mereka kenali sebagai kakak kelas mereka, melambaikan tangan dan melempar senyum sejuta watt pada Genki yang tersipu.
Keduanya menganga selebar-lebarnya saat Genki bergegas meninggalkan mereka dan menghampiri kakak kelas yang setelah sekian lama diketahui Reia sebagai orang yang sering diperhatikan Genki diam-diam.
Berita baiknya, Genki merapat pada kakak kelas itu dan membiarkan pipinya dielus sayang.
“Jadi kita kemana dulu?”
“Sushi!” Genki menjawab semangat.
“Eh? Aku tidak bisa menolak kalo itu Genki chan!”
Keduanya tertawa, membiarkan Jinguji dan Fuu semakin merana. Apalagi saat melihat Genki dirangkul dan berjalan bersama dengan mesra seperti itu.
“Aaaaaaa Reia himeeeeeee, kembalilah kepada kami!!!!!” Jinguji dan Fuu berteriak histeris seperti sedang memanggil pemadam kebakaran untuk menyirami hati mereka agar tidak terbakar habis.
Sementara Reia yang duduk di pojokan, dipangku Amu, hanya tertawa cekikikan. Bahagia banget melihat mereka patah hati untuk yang kesekian kali.
“Reia chan milikku!!” Amu berujar sambil mengeratkan pelukannya pada Reia yang masih tertawa.
Then, cerita hari ini mungkin tidak terjadi besok kan?
-END-