title Aren't necessary
pairing/characters caspian/eustace
summary Eustace membencinya sepenuh hati. Ia sama sintingnya dengan Pevensie, padahal ia 'kan "Raja".
warning scene(s) aren't existed in Narnia's book and movie.
Eustace benar-benar tersiksa di sini.
Edmund benar-benar menjilat Caspian, habis-habisan. Lucy merebut kabinnya. Mereka bertingkah seperti dia adalah budak yang baru mereka beli dan mereka telantarkan di atas kapal. Ia mabuk laut. Dan, ia bersumpah demi kewarasannya, Caspian hanyalah berimajinasi dan berdusta -- ia bukan pangeran.
Perlukah ia berkata bahwa ia yang paling waras disini? Sepertinya hanya ia yang terkejut melihat seorang tikus -- ya, ia tahu nama tikus itu Reepicheep, terima kasih -- yang berbicara? Memutar matanya. Fakta di mana hewan bisa menghitung saja mengejutkan. Kalau sekarang hewan bisa langsung berbicara, berarti nenek moyang mereka bukan monyet. Bukan seperti yang Darwin katakan.
Tiap salah satu dari pengkhayal berbicara soal khayalan mereka, Eustace -- secara reflek -- memutar matanya. Konyol. Mereka seperti anak TK yang tidak pernah di ajarkan kalau berkhayal itu tidak terlalu baik, apalagi pada zaman realitis seperti ini. Mereka hanya mengerjainya, ia tahu begitu saja.
"Benar-benar bocah," Eustace bergumam, masih cemberut, mendelik ke arah Caspian, Edmund dan Lucy yang sibuk mengobrol soal Narnia. Ia persis seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tiga lainnya hanya mengacuhkannya saja. Membuat Eustace sebal, merasa dirinya benar-benar di acuhkan.
Eustace memandang ke arah Pangeran-Palsu itu -- Caspian. Mereka benar-benar menobatkannya menjadi Pangeran? Tak heran tempat ini begitu... kuno. Eustace hanya bisa mengernyit mengingat kejadian saat mereka di jual sebagai budak, sementara Caspian di beli dengan mudahnya...
...sedangkan ia di jual dengan harga murah pun tidak ada yang mau membeli.
Tiba-tiba pandangan Caspian, yang dari tadi terus memerhatikan Edmund, beralih ke arahnya, bertemu dengan matanya. Eustace memandangnya tajam, tapi ia bisa melihat ketengangan di mata sang Pangeran -- atau raja, ia tidak ingat -- jadi, ia memutuskan untuk mengalihkan matanya dan mulai berjalan pergi.
Baru beberapa meter ia menjauh dari sana, ia merasakan sentuhan di pundaknya. Ia menepis sentuhan itu, tahu bahwa tidak ada yang cukup baik di atas dek yang sedang berlayar ini. Ia mendapati mata Caspian menatap lurus ke arahnya. "Eustace," suaranya menggelitik telinga bocah snobbish itu.
Eustace mendelik ke arah Caspian, menatapnya tajam, tapi mulutnya menutup rapat-rapat. Tidak sekalipun ia berniat untuk berbicara dengan pemuda yang mempunyai gelar Istana di sini, jadi ia tidak akan mengeluarkan kata-kata apapun untuk lelaki ini.
"Hei--perajuk,"
Hening.
"pergilah ke ruang makan besok pagi."
#
Ruang makan ini selalu menjadi hal yang di benci Eustace Scrubb dari kapal ini. Salah satunya, dan yang mungkin kedua dari terburuk -- yang pertama adalah kamarnya dengan Eustace dan Caspian, tentu saja -- karena dentingan-dentingan gelas, kehangatan awak-awaknya --
...sementara ia duduk sendiri di pojok ruangan, atau keluar dari ruang makan mencari kesegaran udara. Eustace Scrubb membenci kehangatan yang tak bisa ia rengkuh, kehangatan yang jauh dari titik waras otaknya. Ia membencinya. Bahkan ia tidak bisa menekmati udara yang ia hirup.
Dan, Caspian. Ia soal yang lain. Eustace membencinya dengan sepenuh hatinya. Ia adalah seseorang yang harusnya bersikap realistis, menyadarkan Edmund dan Lucy dari mimpi mereka. Walau mungkin keberadaan Eustace sendiri di tempat ini sudah merupakan mimpinya.
"Melamun lagi, Scrubb?" penekanan seperti biasa pada akhir namanya. Memang namanya tidak sebagus nama Caspian yang begitu enak di sebutkan. Eustace memiringkan kepalanya, bertanya-tanya apakah sudah miringkah kepala orang ini. Mengernyit.
Ia menggeleng. "Bukan urusanmu," tepisnya tajam, tangannya di istirahatkan di atas kursi, meremasnya sampai tangannya sakit. Caspian hanya berdiri bergeming, sementara Eustace memandang ke arah meja makan yang kosong, padahal hari sudah mulai tua -- sarapan akan segera di jalankan.
"Easy on it, boy," Caspian meraih tangan Eustace, hanya untuk membuat tangannya di tepis, sekali lagi, oleh Eustace dengan kasar. Eustace memandang Caspian dengan tatapan 'apa-kau-gila' sedangkan Caspian meraih tangannya lagi, memegangnya keras. Menatapnya, intens.
"Lepaskan," Eustace memerintah dengan angkuh, ekspresi tidak suka jelas tampak di wajahnya. Ia mencoba melepaskan tangannya, namun cengkraman raja Narnia itu terlalu keras. Eustace mengulang, "Lepaskan," tapi Caspian mengacuhkannya, menganggap suaranya angin lalu.
Dua menit yang canggung berlalu, dan Caspian melepas cengkraman tangannya. Eustace meringis, menatapi tangannya yang menampilkan bekas kemerahan di sana. Matanya berkaca-kaca. Caspian menatapnya dengan tatapan yang tajam, sedangkan Eustace tidak menyadarinya--sama sekali.
"Perajuk."
Caspian meninggalkan ruangan, meninggalkan Eustace sendirian.
#
"Lady," ia mendengar suara Caspian, berbicara. Di matanya terpampang jelas rasa cinta yang dalam. Eustace menatapnya dengan tatapan setengah tidak perduli, lalu berpaling dan meregangkan kakinya. Tapi ia berhenti sebentar untuk mendengar suatu hal yang terdengar dari suara yang sama--
"Tch," Eustace menendang udara kosong.
"--aku harap aku bisa berbicara denganmu lagi ketika aku mematahkan sihirnya," suara itu terdengar begitu keras. Sementara Eustace memandang langit dengan matanya yang memantulkan bulan di permukaannya, menggenggam bajunya erat seperti mencari pegangan.
(Ia tidak tahu, ia tidak mengerti kenapa dadanya tiba-tiba sakit.
Oh, mungkin ia cuma mulai mendapatkan sakit jantung karena semua hal absurd yang terjadi sejak dua Pevensie tinggal di rumahnya--itu saja. Alberta dan Harold di pastikan tidak akan mengundang satupun Pevensie ke rumah mereka lagi... oh, kecuali Susan.)
#
Akhirnya--tiba juga. Waktu untuk berpisah. Waktu untuk melepaskan semuanya. Waktu yang seharusnya ia syukuri, karena ia bisa kembali kepada 'negeri yang beradab'. Tapi, setelah semuanya terjadi, ia malah tidak menyukai untuk pergi ke dunianya lagi.
Di temani hamparan bunga lili, ia menatap hazel terang itu. Raja itu menyadari sedang di pandangi, maka ia memandangi balik, walau terlalu datar. Tidak seperti tatapan penuh cinta yang hanya untuk Putri Ramandu. Eustace mendecak dan berpaling, mencoba menahan air matanya.
Caspian ingin ikut bersama Reepicheep--dan mereka bertiga, tentu--ke Ujung Akhir Dunia. Mata sang Raja kadang melirik ke arah matanya, Eustace tahu itu. Ia tidak perduli, tidak sepenuhnya. Tapi, ia tidak bisa menahan untuk menggigit bibirnya ketika melihat Caspian terisak.
Terisak, seorang Raja Narnia, yang seharusnya bisa memerintah rakyatnya dengan adil dan bijak. Eustace menonton dari pinggir kabin, bersandar kepada kayu kapal yang terasa sangat dingin. Ia menutup mulutnya, hanya memandangi sang raja yang terlihat begitu rapuh--hanya pada saat ini.
Sang raja pun berhenti merajuk, tapi Eustace tidak berbicara sama sekali. Pribadi cerewetnya pun terbaiki setelah ia berada di tempat ini, yang di koarkannya sebagai "negeri tidak beradab". Ia berubah berkat negeri ini, berkat Aslan, yah--setengahnya, tapi ia tahu sebenarnya apa yang telah merubahnya.
Caspian.
#
"Eustace, selamat tinggal," Caspian merangkulnya, mengusap-ngusap kepalanya, membuat rambutnya acak-acakan. Eustace tersenyum simpul dan sopan, tapi tidak berbicara sama sekali. Caspian memandanginya beberapa saat, wajah mereka begitu dekat dan--
Tidak ada yang terjadi. Bibir Caspian mendekati telinganya, dan membisikkan suatu kalimat absurd yang membuatnya bergeming, terpaku, speechless selama beberapa saat yang lama, sampai mereka siap untuk berangkat, berangkat ke ujung dunia, pertemuan Eustace yang kedua kalinya dengan Aslan.
Eustace tersenyum tulus kepada Caspian. Kata-kata tidak di perlukan, karena suatu hubungan tidak perlu kata-kata. Karena Eustace mengerti apa yang di maksudkan Caspian. Dan Caspian juga mengerti arti pandangan Eustace. Seakan mereka adalah jiwa yang berhubungan.
(Aku juga mencintaimu, Caspian mengerti arti pandangan bocah yang kini sudah terlihat lagi. Words aren't necessary--karena mereka tahu, mereka akan bertemu lagi. Suatu hari nanti, tapi Caspian tidak perduli.
Ia akan menunggu sampai kapanpun.)