Yang Tidak Diinginkan

Oct 25, 2015 09:33

Sejak dulu saya memang tak pernah mendambakan menjadi pekerja kantoran; saya yang berjiwa bebas ini lebih ingin melakukan apa yang saya suka dan menjadi manusia yang bermanfaat melalui hal tersebut. Selepas wisuda setahun lalu, saya memiliki beberapa bulan yang menyenangkan untuk melakukan apa hal yang saya suka: menulis novel. Saya suka kehidupan itu--menjauh dari keramaian, mengetik sepanjang hari, mengeksplorasi ide, mencipta dengan produktif. Total tiga novel saya hasilkan, dan meskipun dua di antaranya telah ditolak, saya merasa kemampuan menulis saya membaik sehingga semakin ke sini saya semakin belajar memperbaiki gaya dan teknik menulis saya. Practices make perfect, right? Selama enam belas tahun sekolah fokus saya selalu terbagi, tidak bisa saya gunakan sepenuhnya untuk menulis. Maka masa-masa bisa menulis seharian penuh itu benar-benar impian yang terwujud.

Tapi hidup tidak sesederhana itu. Ada tuntutan dan kewajiban sosial, ada kebutuhan untuk makan, ada realitas yang kadang tak sesuai harapan. Menulis memang menyenangkan tapi saya belum bisa hidup dari situ saja. Jadilah saya harus mencari pekerjaan yang memberikan penghasilan tetap agar bisa ini dan itu. Dan karena saya belum mampu berwirausaha, pekerjaan tetap berarti bekerja kantoran.

Mulanya saya menjadi pustakawan di media cetak yang merupakan bagian dari sebuah grup media ternama. Sejujurnya, dari dulu saya tak pernah respek dengan grup itu--saya memang sudah lama kehilangan kepercayaan pada media, terutama sejak zaman pemilu tahun 2014 lalu. Saya selalu memutar mata kalau bos-bos media menggunakan medianya untuk berkampanye dsb, apalagi cara kampanyenya sangat menggelikan. Tapi, Allah malah memasukkan saya untuk menjadi bagian dari grup itu.

Setelah resign dari sana, saya memiliki waktu sebulan untuk mengejar beberapa impian. Itu, lagi-lagi, adalah masa-masa yang menyenangkan. Akan tetapi, lagi-lagi juga, ada kebutuhan. Maka saya melamar kerja kantoran lagi sembari menunggu panen bibit impian yang saya tanam. Dan, lagi-lagi juga, Allah memasukkan saya ke sesuatu yang tidak saya inginkan.

Teman-teman dekat saya pasti hafal bahwa saya selalu berkata saya tidak mau jadi PNS. Saya pernah magang di perpustakaan umum milik pemerintah daerah, dan pengalaman itu membuat saya sangat men-despise kehidupan sebagai PNS. Lagi pula, sejak dulu keluarga besar saya tidak ada yang PNS. Gagasan tentang "ada profesi bernama PNS" baru saya dapatkan ketika kuliah, di mana hampir sebagian besar teman saya membidik itu sebagai tujuan hidupnya.

Selain itu, well, jujur saja, saya juga kurang respek dengan pemerintah. Saya tidak pernah menunjukkannya terang-terangan tapi begitulah faktanya. Pikiran saya rupanya terbentuk oleh media yang kerap tidak netral itu.

Tak pernah sekali pun saya membayangkan akan menjadi pegawai pemerintah.

Tapi itulah yang terjadi. Kini saya bekerja di bawah sebuah Kementerian. ID Card saya jelas: PTT di bawah Kementerian X. Saya digaji dengan uang negara, memakai fasilitas negara, dan melakukan pekerjaan untuk negara.

Sering kali hati saya berontak, merindukan kehidupan yang saya inginkan. Saya merasa terperangkap di dalam sangkar, bertanya-tanya kenapa saya harus bekerja kantoran, harus menjadi bagian dari grup media itu, harus menjadi pegawai pemerintah--harus melakukan hal-hal yang tidak saya inginkan? Kenapa Allah tidak membiarkan saya untuk melakukan hal-hal yang saya inginkan saja? Tulahkah ini?

Namun, pada titik ini, ketika saya menoleh ke belakang dan merenung, saya tahu bahwa Allah tidak melakukan ini tanpa alasan. Banyak sekali pelajaran yang saya ambil dan hikmah yang saya dapatkan: pengalaman dan pengetahuan yang bisa saya manfaatkan untuk novel saya kelak, berbagai benefit (ketemu seleb, makan gratis yang enak-enak, dsb), kesabaran, mentalitas, daya tahan, semangat juang, kemampuan beradaptasi, dan yang paling utama adalah agar saya berhenti men-judge sesuatu dari luarnya saja. Dengan menjadi bagian dari sesuatu, kita bisa melihat dari sudut pandang sesuatu itu, dan hal itu membantu saya untuk belajar tidak berprasangka negatif akan sesuatu tersebut. Saya yang tadinya tidak respek dengan grup media itu, jadi tahu ini dan itu sehingga bisa ber-"Oh, ternyata ini alasannya kenapa mereka begitu." Sama dengan pemerintah dan PNS, saya kini paham bagaimana mereka bekerja sehingga saya tidak akan sembarangan lagi men-despise mereka.

Menjadi bagian dari sesuatu berarti bisa melihat luar-dalam, baik-buruknya sesuatu itu. Saya yang tadinya hanya melihat yang buruk-buruk saja dari mereka, kini juga bisa melihat sisi-sisi baiknya. Rasa tak respek mungkin tidak seratus persen menghilang, tapi kini saya lebih punya pemahaman sehingga tingkat pemakluman meningkat.

Mungkin inilah mengapa kita tidak dianjurkan untuk sangat membenci sesuatu.

me

Previous post Next post
Up