Nov 07, 2014 16:51
“When we are children we seldom think of the future. This innocence leaves us free to enjoy ourselves as few adults can. The day we fret about the future is the day we leave our childhood behind.”
― Patrick Rothfuss, The Name of the Wind
-----
Dua belas jam menunggu teman mengantre interview kerja memberikan banyak pengalaman buat saya. Terlepas dari bosan dan betenya, saya memetik banyak sekali pelajaran dari melihat suasana sekitar dan mengobrol dengan para orang tua yang juga menunggu anaknya di-interview.
Yang paling menghantam kesadaran saya adalah bahwa kami sudah dewasa. Fakta itu menyeret paksa saya untuk kembali ke realitas, padahal separo diri ini masih dibanjiri euforia wisuda. Nyatanya, hingar bingar wisuda kemarin hanyalah satu titik transisi untuk menuju fase memasuki dunia sebenarnya.
Kini saatnya menjadi orang dewasa: bekerja, punya penghasilan, bikin NPWP, berpenampilan seperti orang dewasa, bersikap seperti orang dewasa... mencoba menemukan tempat diri di masyarakat.
Ketika datang ke tempat interview, saya langsung tersadar bahwa sekarang bukan lagi saatnya mengenakan baju-baju kasual berwarna cerah meriah. Warna-warna mencolok itu semestinya diganti dengan setelan yang lebih formal, dengan warna pastel yang lebih kalem. Corak-corak kekanakan dikurangi. Bahan kaos diganti dengan katun dan sifon. Kaos kaki warna-warni harus mulai disimpan, diganti stocking halus tanpa pola. Dan ucapkan selamat tinggal pada Converse, sekarang saatnya Kickers.
Itu baru outfit, belum soal make-up. Para perempuan yang mengantre interview rata-rata mengenakannya. Pensil alis, maskara, eye shadow, blush on, bedak supertebal, lipstik. Seorang ibu-ibu yang mengobrol dengan saya memberi wejangan, "Mungkin sekarang kamu malas pakai make-up. Tapi kalau udah kerja nanti, ngeliat teman-teman kamu cantik-cantik, kamu juga bakal jadi pengin."
Saya diam saja, tapi mau tak mau mengakui bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Dalam hati langsung terlintas pikiran, jadi orang dewasa itu repot. Saya segera teringat masa-masa menyenangkan dari SD sampai kuliah ketika bisa berpenampilan sesuka hati, tak peduli apa pun style-nya. Ketika bisa mengobrolkan hal-hal ringan dengan teman, fangirling dan tertawa lepas sepuasnya, main kartu atau ABC 5 Dasar. Tak pernah saya sangka akan ada saatnya uang saku harus digunakan juga untuk lipstik dan hal-hal lain penunjang penampilan, setelah belasan tahun hanya disisihkan untuk novel, komik, film, dan jajan makanan.
Rasanya pengin jadi anak kecil selamanya yang bisa terus bersenang-senang tanpa mengkhawatirkan apa pun, tapi di sisi lain juga tahu bahwa ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus mulai dipikul.
It's time to grow up.
Sedih rasanya mengetahui itu semua... persis seperti kesedihan yang timbul ketika menonton ending Toy Story 3.
Tapi tetap saja, saya nggak mau mengucapkan selamat tinggal pada anak kecil dalam diri saya. Anak kecil itu akan tetap selalu ada di sana....
-----
“Someday you will be old enough to start reading fairy tales again.”
― C.S. Lewis
me