Tong Sampah

Jul 03, 2014 17:22

(Percakapan via SMS)
(Redaksional tidak sama persis)

Saya (S): Duh, maaf baru bales. Biasalah lagi bertugas jadi tong sampah sepupu, jadi nggak megang-megang HP....

Teman (T): Gapapa fad... hah, tong sampah? :o

S: Maksudnya lagi dicurhatin. :p

T: Berarti selama ini kalo aku curhat ke kamu, aku jadiin kamu tong sampah dong fad....

S: Hahaha, nyantai. Setiap orang butuh tong sampah, kan? Mendengarkan adalah semacam sifat alamiku. :3

T: Hehehe, jangan bosen dengerin curhatanku ya fad.... B-)

S: InsyaaLLah enggak. Profesi mulia tuh, jadi tong sampah. :D

T: Termasuk profesi juga ya fad?

S: Iyalah..., kan ada unsur "pengabdian"-nya, jadi termasuk profesi dong. :D

------

Yeah, itu salah satu karier yang sudah saya jalani sepanjang hidup saya selama 20 sekian-sekian tahun ini: jadi tong sampah; tukang dengerin curhat orang. Saya suka mendengarkan cerita orang, curhatan orang ... dan saya sempat berpikir, kalau saya punya seluruh waktu di dunia ini, saya mau menjadi pendengar bagi orang yang butuh didengarkan.

Tapi ... jadi tong sampah bukannya gampang lho. Menjadi tong sampah harus punya kekebalan tinggi untuk tidak ikut terbawa emosi: bersimpati tapi nggak ikut stres, nggak ikut kepikiran, nggak menyediakan ruang untuk emosi diri sendiri menjadi kacau. Mudahnya, nggak memberi dampak signifikan untuk diri sendiri. Perumpamaannya, seperti menaruh plastik (trash bag) terlebih dahulu sebelum siap menampung sampah. Iya sih, tidak dimungkiri bahwa terkadang plastiknya kurang besar sehingga tetap saja ada sampah yang tercecer dan mengotori tong sampahnya. Tapi ya itu kadang-kadang aja kan, nggak selalu.

Selain itu ... menjadi tong sampah harus bisa menahan diri untuk netral, tidak menghakimi, tetapi kadang-kadang mesti menyuarakan kebenaran kalau ternyata kesalahan terletak pada si Yang Curhat (baca: ngomelin dia). Harus pintar-pintar memosisikan diri kapan saatnya hanya diam menampung cerita, kapan saatnya memberi tanggapan atau nasihat, kapan saatnya mencoba memberikan sudut pandang lain agar perspektif si Yang Curhat jadi lebih luas.

Yah, tapi sampai saat ini pun saya masih terus berusaha untuk menjadi tong sampah yang baik sih. Sering kali saya tidak bisa berpura-pura peduli, terutama kalau saya nggak respek sama si Yang Curhat atau sayanya sendiri lagi nggak punya waktu dan energi untuk mengambil peran itu.

Terus ... apa saya sendiri nggak butuh tong sampah?

Tentu saja tong sampah butuh tong sampah lain yang lebih besar. Sama aja kayak tong sampah di rumah harus dibuang ke tong sampah di luar kalau udah penuh. Saya juga butuh, tentu saja. Dan alhamdulillah saya punya "tong sampah lain yang lebih besar" itu, meskipun karena saya introvert, seringnya sih saya langsung ke Tempat Pembuangan Akhir--muara segala keluh kesah, curhat, dan segalanya. That's enough for me. :)

me

Previous post Next post
Up