Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: Cinta dalam Setiap Gestur dan Kata

Dec 21, 2013 06:27

Mulanya saya agak meremehkan saat tahu Junot-lah pemeran utama film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Saya nonton dia dalam Di Bawah Lindungan Ka'bah dan saya sangat tidak menyukai film itu. Tapi, di film ini ....

Mungkin, ketika nonton film inilah baru pertama kalinya saya melihat sosok seorang laki-laki jatuh cinta sampai sebegitunya. Junot berhasil memerankan Zainuddin yang desperately fallen in love with Hayati, lalu broken ketika tahu Hayati sudah menjadi milik Aziz. Dan yang paling membuat saya kagum adalah akting monolog dia, waktu 1) Hayati mengunjunginya saat tahu dia sakit parah gegara putus cinta; 2) Hayati mengiba-iba padanya untuk menerima dirinya kembali setelah Aziz meninggal. Junot betul-betul menampilkan akting luar biasa sebagai pria dengan konflik batin--jelas banget terlihat bahwa dia masih sangat mencintai Hayati, tapi di sisi lain ada egonya sebagai laki-laki yang tidak mau menerima kembali perempuan yang sudah mencampakkan dia. Konflik batin yang sangat hebat, dan dia menampilkannya dengan sangat menawan.

Saya juga amazed karena gerak-gerik dia, yang berkaitan dengan Hayati, showed perfectly that he was still deeply in love with her, meskipun ditutupi oleh kesantunan sedemikian rupa. Kembali lagi ke itu tadi, konflik batin. Junot benar-benar menunjukkan konflik batin hebat yang dialami Zainuddin. Saya meleleh setiap mendengar dia menyebut nama "Hayati". Intonasinya khas, dengan suku kata "ya" yang agak dipanjangkan--jadi semacam "Ha-yaaa-ti". Dan saya bisa merasakan cinta terkandung di sana; cinta di balik setiap kata "Hayati" yang keluar dari mulutnya. He loved her so wholly, so desperately that he was broken then. Bagian-bagian ketika dia hancur lebur setelah Hayati menikah pun dapat Junot perankan dengan menyentuh, bikin simpati (sekaligus jengkel). Teman saya yang nonton bareng saya entah ngabisin berapa tisu tuh, apalagi di akhir ketika Zainuddin melepas Hayati pergi untuk selamanya.

Akting yang memukau, tidak lebay, menyentuh. Bahasa saya: dramatically natural. Pantas dapat Piala Citra.

Bagaimana dengan yang lain-lain? Sama bagusnya. Totalitas masing-masing pemeran sangat terasa. Pevita Pearce sebagai Hayati yang terjebak antara perasaan dan kewajiban, Reza Rahadian sebagai Aziz yang berengsek, Randy Nidji sebagai Muluk yang penuh humor. Semuanya terasa cukup natural, dengan bahasa Padang yang (kata temen saya yang orang Padang asli) lumayan lah.

Kualitas akting pemeran-pemeran film ini pantas diacungi sepuluh jempol.

Dari segi teknis yang lain. Waw, this is quite a great Indonesian movie. Saya bangga sekali orang Indonesia bisa bikin film sebagus ini.

Latarnya mantap. Kerasa banget tahun 1930-annya, baik setting kampung maupun kotanya. Eksotis klasik. Pacuan kuda, pesta-pestanya, kostum, other stuffs .... serasa benar-benar melihat zaman itu. Kebetulan saya suka sekali yang kuno-kuno begitu, makanya saya merasa mata ini sungguh dimanja. Yang mengecewakan cuma bagian kapalnya aja sih, mulai dari naik sampai tenggelam--karena kelihatan banget "bohong"-nya. :))

Visualisasi film ini indah banget. Banyak "gambar bicara" yang tak perlu dialog dengan sudut pengambilan gambar yang memanjakan mata. Terutama saya suka sekali karena "gambar bicara" itu ditunjang dengan kualitas akting yang sangat baik. Jadilah gestur si aktor/aktris semakin menyempurnakan visualisasi, membuat kita merasa film ini begitu romantis dan mendayu-dayu karena tanpa perlu kata pun apa yang mau disampaikan sudah tersampaikan.

Susunan adegan-adegannya rapi. Di sini banyak adegan "pembacaan surat", dengan narasi dan gambar yang sengaja dibuat nggak berbarengan--tapi tetap sejalan, tetap sinkron. Malah jadinya bagus dan "nyeni" banget, kayak film-film luar negeri. Timeline adegan agak melompat-lompat, tapi secara subjektif saya selalu suka kalau ada adegan film yang nonlinear.

Atmosfer filmnya menenggelamkan penonton. Emosionalnya dapet banget--orang yang mudah menangis pasti nangis lah. Humornya juga ada, tegangnya juga bisa dirasakan. Pokoknya melenakan, nggak bikin bosan, menyenangkan banget nontonnya.

Durasinya dua jam lebih--a bit too long, yet very satisfying. Saya belum pernah baca novelnya, tapi katanya film ini dibuat semirip mungkin dengan novelnya (dan teman saya yang sudah baca pun mengiyakan). Jadi wajarlah adegan-adegannya banyak dan jalan ceritanya padat. Tapi itu bikin puaaaaaasss banget setelah nontonnya. Nggak ada yang mengganjal di hati dan kita bisa keluar bioskop dengan senyum bahagia. :)

OST-nya bagus banget. Nidji is indeed the best choice. Lagu-lagunya pas banget, cocok sama filmnya. Mana diputernya pas banget lagi sama adegannya. Jadi pengin beli album OST-nya deh. :')

Yang paling bikin saya senang dari film ini adalah nggak ada produk ngiklan. Tahu sendirilah terkadang film Indonesia dijadikan ajang iklan; bahkan film sebagus Habibie & Ainun pun penuh selipan iklan. Nah, di sini enggak. Makanya saya seneng banget, nggak ada yang merusak keasyikan nonton gegara tahu-tahu ada produk apalah nongol.

Dan ... film ini mirip Titanic? Enggak. Sama sekali enggak. Wong cerita di kapalnya aja cuma dikit banget; itu kapal cuma selipan di akhir. Jalan cerita seluruhnya nggak terlalu menitikberatkan pada kapal. Ini jauh dari Titanic yang merupakan "romansa di atas kapal"; enggak sama sekali. Ini cerita dengan garis waktu yang panjang: 1930-1936, dengan segala kompleksitas permasalahan tokoh-tokohnya .... Beda sama Titanic.

Pokoknya saya bersyukur, puas, bahagia banget nonton film ini. Bangga banget anak negeri bisa bikin film sebagus ini. Aching for more like this! Orang-orang bakal lebih tertarik baca karya sastra lama kalau film-filmnya dibikin semantap ini. :')

4.7 of 5 stars :)

like

Previous post Next post
Up