[FF] Heroine Complex ~Swan Lake~

Jan 20, 2014 02:27

        Sekali lagi aku melewatkan makan siangku.

Sebagai gantinya, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatku di ruang senam. Lebih baik begini, disini aku tidak perlu menjadi seorang tuan putri.

Kini aku menjelma menjadi Odile yang menyamar menjadi Odette sang angsa putih untuk memikat pangeran. Dengan alunan musik yang mengalun begitu memikat aku terus menari. Melupakan semua yang ada di sekitarku.

Tidak ada Sendai Akame, yang ada hanya aku, Odile

Sang angsa hitam.

Akame tidak menyadari seorang siswa yang daritadi menontonnya berlatih. Matanya tak lepas memandang gadis itu, enggan beranjak dari tempatnya.

Ia, Miyachika Kaito.

Telah terjebak dalam sihir sang angsa hitam.

*****

Gadis itu nyaris saja melewatkan jam pelajaran ketiga. Untung ia bisa berlari dengan cepat sehingga bisa masuk ke kelas sebelum Noriko sensei. Teman-temannya menanyakan kemana dia pergi, yang hanya dijawab gadis itu seadanya.

“Ah...”

Ia lupa mengeluarkan kaset musiknya dari tape di ruang senam. Akame menghela nafas jengkel. Terpaksa pulang sekolah nanti dia harus ke ruang senam dulu untuk mengambil kasetnya.

“Akame...!” Seseorang menginterupsi gerutuannya dengan memanggil namanya. Akame menoleh untuk mencari tahu pemangilnya.

“Hmm....?”

“Pinjam ballpoint.” Gadis itu mendapati sahabat kecilnya berbisik padanya. Sedikit terkejut ia mengambil sebuah ballpoint dari tempat pensilnya dan memberikannya pada Aran.

Yang diterimanya dengan gumaman “terima kasih” singkat.

Tapi hal itu cukup untuk membuat gadis Sendai itu bersemu merah. Ia tersenyum gembira. Akari menyikutnya sambil berdehem menggodanya. Yang dibalas dengan cerucutan di bibirnya yang merah muda.

Ini jelas hari yang paling bahagia dalam hidupnya.

*****

“Kore, sankyu.” Aran memberikan ballpoint Akame setelah pelajaran berakhir.

“Doita.” Akame tersenyum dan memasukkan ballpoint-nya ke dalam tempat pensil. “Habis ini mau langsung pulang?” Tanyanya.

“Hari ini ada latihan.” Jawab Aran seadanya. “Duluan ya.” Katanya lalu berjalan keluar kelas.

“Sou ka, ganbare.” Akame berkata pelan.

“Un....” Aran bergumam tanpa menoleh. “Jangan melewatkan makan siang.” Setelah itu dia benar-benar pergi.

Akame tertegun.

“Ah...” Dia baru menyadari sesuatu. “Aku lupa kasetku...” Dia berseru panik dan berjalan dengan terburu-buru sambil berharap semoga ruang senam belum dikunci.

Yang menyambutnya ketika gadis itu membuka ruangan itu adalah suara musik yang penuh semangat. Dan sekelompok siswa yang menari dalam harmoni. Club dance ya. Begitu pikir Akame.

Ia menunggu di ambang pintu, sampai salah satu dari mereka menyadari kehadiran gadis dengan tinggi 157 cm itu. “Ah, sudah datang rupanya.” Seorang gadis yang penuh semangat melupakan koreo bagiannya untuk menerjang Akame sehingga menghancurkan seluruh tarian.

“Koharu...!” Anggota yang lain menggerutu kesal karena mereka terpaksa harus menghentikan tarian mereka. Tak ayal membuat Akame merasa tidak enak juga karena dialah penyebab semua kekacauan ini.

“Su-sumimasen.” Katanya sedikit tidak enak.

“Lama sekali sih, aku sudah menunggu-nunggu Akame dari tadiiiii.” Dia berseru senang.

“Menunggu...ku?” Gadis itu memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia bahkan tidak mengenal gadis berambut pendek ini.

“Koharu jangan bikin dia takut.” Akhirnya seorang anak laki-laki maju dan menarik gadis itu dari Akame. Kemudian dia tersenyum santai, melambai pada gadis itu. “Aku Miyachika Kaito, dan ini adalah teman-teman dari club dance.” Katanya memperkenalkan diri.

Akame sebenarnya tidak terlalu mengerti keadaannya tetapi demi kesopanan ia merundukkan tubuhnya sedikit. “Se-Sendai Akame, kelas 1A. Maaf karena mengganggu latihan kalian. Aku kesini untuk-“

“Teman-teman, kuperkenalkan..” Kaito menarik Akame mendekat. “Angsa hitam kita, Sendai Akame.” Katanya puas. Diikuti dengan tepuk tangan Koharu. Dan pandangan bingung anggota club-dan Akame.

“apa mak-“

“Yaaaaaaaayyyy...!” Koharu berseru gembira. “Aku Matsui Koharu, sebagai Odette. Mulai sekarang kita akan menjadi partner.” Gadis itu menari-nari seperti orang gila.

“Tu-tunggu sebentar..” Akame menyuarakan protesnya setelah sadar dari keterkejutannya.

“Jadi begini,” Kaito memutuskan untuk tidak membiarkan Akame membuang tenaganya dengan menanyakan hal yang sudah pasti akan Kaito jelaskan. “di festival pada hari ulang tahun sekolah nanti, Club dance akan menampilkan tarian Swan Lake, tetapi sejak Odile kami-Natsu pindah sekolah secara mendadak aku memutuskan bahwa kaulah yang akan menjadi Odile.” Katanya sambil melipat tangannya puas.

Akame bengong.

“Apa?” Dia berkata takjub. “Mana bisa, aku bahkan bukan anggota club ini.” Katanya berusaha untuk mengilah. Dilihatnya Kaito mengangkat sebuah papan dada yang menjepit selembar kertas yang berisi formulir. Dengan data-datanya yang ditulisnya beberapa bulan lalu. Bedanya hanyalah sebubuh tanda tangan dari pembina club yang menyatakan bahwa dia resmi adalah anggota club ini.

Tunggu-darimana dia dapatkan itu.

“Sekarang kau adalah anggota Club Dance.” Gadis itu melebarkan matanya.

“Aku tidak mungkin melakukan ini, aku tidak bisa menari.” Katanya lagi, masih berusaha agar Kaito membatalkan niatnya untuk menjadikannya angsa hitam di festival sekolah.

Dan iris hazel gadis itu kembali melebar ketika dilihatnya pemuda itu mengangkat kasetnya. “Aku lihat kau berlatih siang ini. Dan coba tebak yang dia mainkan. Swan Lake.” Ujarnya. “Kebetulan yang sangat menyenangkan.”

Tunggu-dia melihat Akame berlatih?

“Ti-tidak apa-apa nih? Apa tidak sebaiknya anggota club dance yang lama saja yang memainkan peran penting itu?” Tanyanya dengan wajah semakin pucat. Dan akame hampir saja lega ketika mereka berpandang-pandangan dengan wajah ragu.

“Yah-kecuali Natsu kembali dari Osaka, kita tidak punya pilihan lain kan?”

“Kalau Sendai yang jadi Odile sih aku tidak ragu.”

“Pasti akan ramai yang menonton.”

“Tidak keberatan sih..”

Dan Akame hampir pingsan ketika semua mengangguk setuju dan Koharu memeluknya erat.

“Baiklah, besok datang lagi untuk berlatih ya.” Kata Kaito sambil menyerahkan kasetnya. Ia tersenyum lebar menunjukkan gingsulnya yang memberikan kesan manis di wajahnya.

Wajah yang saat ini ingin Akame tendang.

Hei, dia belum bilang setuju kan.

*****

“Sendai kamu menginjak kakiku.”

“Ah maaf.”

“Serius sedikit dong pementasan kurang dari 3 bulan lagi...!”

Akame mengangkat wajahnya gusar. Ia berusaha mengontrol nafasnya yang terengah-engah. “Sudah kubilang tarian yang kukuasai Cuma balet.” Dia berkata geram.

“Dan aku Cuma bisa Taiso.” Jawab Kaito. “Kau melakukan ini Cuma untuk membuatku kesal. Lakukan sekali lagi kali ini seriuslah.” Perintahnya dengan nada yang membuat Akame ingin mencekiknya.

Musik kembali terdengar dan Akame kembali menarikan gerakan yang baru saja diajarkan Kaito padanya. Tarian ini memang berbeda dengan Swan Lake yang biasa ia tarikan. Karena terdapat sentuhan hip hop modern yang ditambahkan oleh anggota club.

Sehingga gadis itu sedikit kesulitan ketika mempraktikannya bersama dengan pemeran yang lain. Makanya Kaito menawarkan dirinya untuk melatih Akame berdua saja di atap sekolah.

Yang disesali Akame karena begitu saja menyetujuinya.

“Bumi kepada Sendai, bumi kepada Sendai.”

“Aku dengar! Berhenti memanggilku seolah kau ini makhluk luar angkasa atau apa.” Gerutu Akame, lagi-lagi menghentikan gerakannya. Pelipisnya kini bersimbah keringat dan wajahya terlihat seolah dia lari marathon keliling lapangan sepuluh kali.

“Ah percuma saja.” Kaito menggerutu. Ia berpegangan pada tiang pembatas di atap. Menatap ke bawah. “Kau sama sekali tidak fokus. Kesini sebentar, kita istirahat.” Katanya menyuruh Akame untuk menghampirinya.

Dan gadis itu tidak memiliki pilihan untuk mematuhinya.

Dari atas sini dia bisa melihat lapangan sekolah yang masih terlihat ramai oleh berbagai macam kegiatan club. Club tenis, sepakbola, dan-

Baseball.

Bola mata gadis itu tidak berhenti menatap lekat sang pemukul yang bersiap untuk memukul bola yang dilempar oleh sang pitcher. Pemukul yang begitu dikenalnya, meski hanya punggung dan sebagian besar kepala yang tertutup topi yang dapat dilihatnya.

Aran.

“Ternyata orang itu~” Kaito memotong konsentrasi Akame dengan celetukkan singkatnya yang cukup membuat gadis itu tergagap.

“A-apa maksudnya...”

“Benar juga, kalian kan teman kecil.” Kaito mengangguk-angguk. “Kutebak, Abe itu cinta pertamamu kan?” Tanyanya.

“A-apa? Aku tidak---yah...” Akame memundurkan tubuhnya ke belakang dengan menumpukan berat badannya sepenuhnya kepada genggaman kedua tangannya kepada tiang. “Mungkin saja...” Katanya sedikit menerawang.

“Tahu gak? Biasanya cinta pertama itu gak akan berhasil, cinta kedua yang akan berjalan lancar.” Ujarnya tiba-tiba. “Kau sudah pernah naksir cowok selain Aran?” Tanyanya.

“Ti-tidak...” Jawab Akame jujur. “Jangan sok tahu, lagipula itu bukan urusanmu kan?” Tanyanya sedikit ketus.

“Yah, biasanya sih begitu.” Kaito menumpukan dagunya pada dinding pembatas. Matanya lekat memandang Abe Aran yang kini sedang berbicara sesuatu dengan temannya.

“Asal kau tahu saja,” Dia mulai bicara.

Tidak mau tahu.

“Abe itu..”

Aku tidak mau dengar.

“Menyukai Ko-“

Brukk..

Akame dengan sengaja melepaskan genggamannya. Sehingga ia terjatuh ke belakang. Bokong dan punggungnya membentur lantai atap yang dingin.

Rasanya sakit.

Tapi rasa di dalam dadanya jauh terasa lebih sakit.

“Sendai, tidak apa-apa?” Kaito bertanya khawatir. Ia sekarang berada di samping Akame. Menopang punggungnya agar ia bisa duduk dengan tegak. “Kau Anemia? Belum makan?” cecarnya lagi.

Aku tidak mau mendengar lanjutan dari omonganmu. “Aku tidak apa-apa.” Akame berdiri, menepuk nepuk bagian belakang roknya. “Sudah hampir sore, apa aku boleh pulang?” Tanyanya dengan sopan.

“I-iya...” Jawab Kaito sedikit ragu. “Biar kuantarkan...” Tawarnya.

“Tidak perlu.” Jawab Akame, hampir mengeluarkan suara sedingin es. “Permisi.” Dan gadis itu tidak banyak membuang waktu untuk menghilang dari pandangan Kaito.

***

Akame lega pemuda itu tidak mengikutinya atau memaksa untuk menemaninya pulang. Gadis itu menenteng tasnya dengan ringan. Hari ini dia pulang sendiri. Ya salahkan saja latihan yang mengharuskannya mengurangi intensitas bermain dengan sahabat-sahabatnya.

Dia menggerutu dalam hati. Mimpi apa dia bisa berurusan dengan orang aneh seperti Miyachika Kaito.

“Koharuuu~~~” Seorang anak perempuan menubruk bahu Akame. Melewatinya karena kelihatannya ia terburu-buru mengejar seseorang. Akame mengalihkan pandangannya ke depan. Gadis yang kemarin memeluknya itu kini berada sekitar 2 meter di depannya. Tertawa sambil berlari menghadap ke belakang. Tasnya ia cangklong di belakang punggung. Berkejaran seperti anak kecil.

Dan gadis itu tidak mungkin tidak menangkap iris pemuda bertopi baseball yang tidak lepas memandang Koharu dari balik pagar lapangan dengan wajah tersenyum geli dan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Akame meremas roknya.

“Aku kan sudah kasih tahu.” Entah darimana tiba-tiba saja Kaito sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu terlonjak. Terkejut dengan keberadaan pemuda itu secara tiba-tiba.

“Jangan muncul kayak hantu dong.” Protes Akame sebal. Ia menghiraukan pemuda itu sepenuhnya. Kini berjalan dengan cepat.

Gadis itu menghela nafas. Sebenarnya dari dulu juga dia sudah tahu. Sudah lama gadis itu memperhatikan. Bahwa ekor mata pangerannya selalu mengikuti anak perempuan yang penuh semangat dan terus tertawa itu.

Didorong oleh rasa penasaran. ia mencari informasi mengenai gadis itu. anak kelas sebelah yang telah merebut perhatian Abe Aran. Miyatake Koharu, kelas 1-B. Tinggi 155 cm, berat badan 42 kg. Pelajaran kesukaan Sejarah, pelajaran yang dibenci matematika. Punya banyak teman dan seekor anjing peliharaan.

Dan merupakan anggota club dance.

Makanya gadis itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam club itu dan batal untuk menyerahkan formulir yang sayangnya ditemukan oleh Kaito yang kemudian menggunakannya sebagai senjata untuk menariknya masuk.

Baginya, lebih baik jika Akame berpura-pura tidak menyadarinya. Bersikap seolah Miyatake Koharu itu tidak ada. Dan tidak pernah mencuri perhatian Aran.

“Aku tahu kamu sudah tahu dari dulu.” Kata Kaito. “Bahkan aku tahu tadi kamu jatuh dengan sengaja.” Lanjutnya. “Kamu tidak bisa menerima kenyataan. Dan lebih parahnya lagi kamu ingin melarikan diri darinya.” Genggaman di rok Akame mengerat.

“Kenapa... kamu selalu menggangguku.” Sentak Akame. “Semuanya baik-baik saja sampai kamu merusak semuanya. Bahkan.. bahkan kemarin dia meminjam ballpoint ku dan menyuruhku untuk tidak melewatkan makan siang. Lalu swan lake, odile, koharu. Kamu membuat kepalaku mau pecah.” Akame menahan air mata yang melesak keluar dari matanya.

Dia tahu. Dari dulu dia tidak punya kesempatan. Dia Cuma mantan teman kecil yang tidak punya ruang yang cukup berarti bagi pemuda yang sudah hampir 4 tahun ini dikaguminya.

“Kenapa harus dia yang kusukai.” Gadis itu menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya. “Kalau aku bisa, aku akan menyukai orang yang juga menyukaiku sehingga aku tidak perlu menjadi aku yang memuakkan seperti ini.”

Karena semua yang dilakukannya sia-sia.

“JANGAN MENDEKAT!” Akame segera berseru, ketika dia mendengar langkah kaki yang berjalan beberapa langkah mendekatinya. “Jangan menyuruhku untuk menangis. Jangan memelukku. Jangan memberikan kata-kata penghiburan untukku.” Perintahnya sedikit kasar.

Dan kelihatannya Kaito mengerti karena kemudian ia berjalan melewatinya. Meski sebelumnya ia menepuk bahunya sekali.

Dan dengan satu tepukan itulah Akame menjatuhkan air matanya. Ia berusaha untuk menahan air matanya dengan kedua tangannya meski beberapa tetes lolos menjatuhi tanah beraspal yang kering.

Pretty boring huh X''D

random, abe aran, fanfiction, miyachika kaito

Previous post
Up