Title : Nostalgic
Author : me
Pairing : JunDa
Rating : G - PG13
Genre : Fluff
Disclaimer : They don't belong to me, indeed.
Summary : Ueda is bored. And He is not missing anyone. Really. uhm.. Really?
Warning: Indonesian language
A/N : I'm too lazy to translate it. I still post it, because if I didn't do it, this fic will end up in my laptop and be forgotten. I will translate it someday (When I'm not too lazy) >.<
Reds and Italics are flashbacks.
Ueda tidak sedang merindukan siapapun -atau apapun. Sungguh.
Dia hanya bosan. Dan saat dia bosan, dia akan melakukan hal-hal yang tidak biasa.
Tujuannya hari ini hanya berjalan-jalan di sekitar jimusho, kalau-kalau dia bisa menemukan sesuatu yang menarik dan menghabiskan waktu untuk membunuh rasa bosannya. Dia hanya berjalan, dan saat melihat pintu itu, dia tidak tahan untuk membukanya. Tentu semua orang di jimusho sangat mengenal ruangan ini: ruang audisi junior...
“..Kau benar-benar tidak berbakat, Ueda-kun. Gerakan badanmu terlalu kaku, gerakan kakimu terlalu lambat, tempomu tidak pernah tepat. Kau membuat segalanya kacau....”
Ueda segera melangkahkan kakinya menuju pintu dan menutupnya dengan keras begitu sang pelatih berkata bahwa mereka akan istirahat selama 30 menit. Menggerutu kesal pada rekan-rekan segrupnya yang tidak mau membantunya, juga pada pelatihnya yang perfeksionis, tanpa sadar ia sampai di kerumunan di dekat kafe jimushonya.
Huh? Ada apa? kenapa di sini ramai sekali? Tentu kafe jimusho selalu ramai, tetapi hanya di jam-jam istirahat normal, seperti jam makan siang atau makan malam. Tetapi sekarang belum jam makan siang dan jelas jam makan malam masih jauh lebih lama.
“Kalian lihat gerakan ini? Lakukan ini selama 400 kali, oke?” Ueda mendengar suara yang dibencinya dari ruangan yang baru saja dilewatinya. Audisi, huh? Dan apa yang harus dilakukan sebanyak 400 kali? Apa dia sudah gila? Penasaran, Ueda berjalan kembali ke ruangan yang baru dilewatinya.
Dilihatnya kira-kira 20 anak sedang berusaha melihat gerakan yang dicontohkan oleh pelatih tari di depan, saling dorong-mendorong dan menjulurkan kepala.
“Yak, mulai!” Kata pelatih tari di depan.
Dan gerombolan anak-anak itupun mulai melakukan sesuai yang diinstruksikan kepada mereka sebelumnya. Ueda melihat anak-anak ini kemungkinan seumuran dengannya, mungkin 1-2 tahun lebih muda darinya.
Mereka semua begitu bersemangat menirukan gerakan pelatih di depan. Namun, nampaknya semangat tersebut tidak bertahan lama, karena dilihatnya telah banyak yang tumbang satu jam kemudian. Dari 20 anak hanya tinggal 3 orang yang masih dengan semangat melakukan gerakan tersebut. Oh, dan satu yang tinggi ini. Well, sepertinya dia akan tumbang juga seperti yang lain, gerakan kakinya mulai tidak beraturan, dan Ueda bisa melihat napasnya mulai terengah-engah.
Dan betul saja, tidak lebih dari 5 menit kemudian, si tinggi ini terjatuh. Menunduk dan menggelengkan kepalanya, seakan ingin menjernihkannya, dengan napas yang masih terengah-engah, tiba-tiba seorang tua -yang dikenal Ueda sebagai Johnny-san- mendekati si tinggi itu. Menepuk pundaknya dan mengatakan sesuatu di telinga bocah itu. Dan seakan sebagai katalis, kata-kata itu nampaknya berhasil memacu kembali semangatnya, karena bocah tinggi itu kembali melanjutkan gerakannya.
Si tinggi itu nampak seperti kerasukan, terus dia melanjutkan segala apa yang diinstruksikan. Lelah seolah telah pergi sepenuhnya dari otaknya. Gerakannya kembali teratur. Kombinasi kecepatan berpikir, gerakan kaki dan keluwesan badannya membuat segalanya pada diri bocah itu sempurna saat ia bergerak. Dia masih tetap bergerak bahkan setelah kedua saingan terakhirnya telah tumbang. Membuatnya terpilih sebagai junior berikutnya.
Dan, ketika pelatih (yang dibencinya) di depan menepukkan tangannya seraya mengucap kata-kata yang diimpikan setiap junior yang berlatih menari dengannya (“Bravo..bravo..”), bocah tinggi itu akhirnya menghentikan segala gerakannya dan menoleh ke arah pelatihnya, ke arah Ueda juga. Tersenyum ke arah mereka.
Hal itu terjadi tidak sampai 10 detik. Matanya dan mata bocah itu bertemu. Ueda seperti terpaku di tempatnya kala mata itu menatapnya. Tajam, tapi pada saat yang sama sangat hangat. Matanya sangat captivating, sehingga membuatnya ikut masuk ke dalamnya. Terutama saat senyumnya kembali terkembang saat ia melihat keberadaan Ueda.
Oh, Matahari nampaknya memiliki saingan barunya....
Menyadari senyum yang diberikan bocah asing itu, Ueda mengedipkan matanya bingung. Butuh beberapa waktu bagi Ueda untuk kembali ke dirinya yang normal dan kemudian berjalan menjauh dari ruangan itu. Senyum mengembang di bibirnya seiring bayangan senyuman bocah tadi tergambar jelas di benaknya.
“Menarik...” Gumamnya pelan sambil berjalan dengan semangat baru menuju ruang latihan tari.
Tidak. Dia tidak merindukan siapapun-atau apapun. Terutama momen yang mengalir deras di otaknya begitu ia membuka pintu itu. Menyadari apa yang ia lakukan dan tidak ada yang bisa ia lakukan di tempat itu untuk membunuh rasa bosannya, Ueda menutup pintu itu kembali. Dan kembali berjalan.
Dan tidak, ia tidak memikirkan apapun saat ia membuka pintu di depannya. Pintu ruangan yang juga sangat familiar untuknya bahkan sejak ia masih junior. Ia bahkan menamainya sendiri: ruangan gitar...
“Uhm.. Ueda-kun. uhm... bolehkah aku bertanya?” Dilihatnya Taguchi berdeham gugup begitu menyadari dirinya meliriknya dari seberang. Tidak ada tanda-tanda jawaban, Taguchi melanjutkan,
“Uhm... apa yang akan kita lakukan di sini. Bukankah ini ruangan kosong-“
“Latihan.” Jawab Ueda singkat tanpa memberi kesempatan bagi Taguchi untuk melanjutkan ocehannya.
“Eh?”
“Duduk dan dengar.” Taguchi menganggukkan kepalanya gugup. Matanya mengikuti arah ke mana Ueda menghilang, dan kaget begitu Ueda kembali sambil membawa gitar. Tatapannya bertanya,
“Gitarku. Ini tempat yang biasa kugunakan untuk menulis lagu sambil bermain gitar. Dan ini lagu pertama yang kuciptakan. Untukmu.”
“Eehh -- ?” Taguchi menghentikan suaranya saat dilihatnya Ueda menatapnya tajam.
Begitu ia yakin Taguchi telah tenang dan siap mendengarkan apapun suara yang dihasilkannya, Ueda mulai memetik senar gitarnya.
Satu demi satu kata terucap dari bibir Ueda. Rima demi rima bersatu dengan petikan gitar yang menyatu, membentuk alunan nada yang menghanyutkan siapa saja yang mendengarnya. Bahkan Ueda sendiri. Hanyut dan masuk ke dalam dunianya sendiri, tanpa ia sadari aura di sekelilingnya berubah. Segalanya seakan menghilang, hanya ada dirinya dan bocah muda di depannya ini.
Rangkaian kata atau ungkapan hati pun ia tak tahu. Ia hanya tahu untuk terus menuliskan apapun yang ia ingin katakan seluruhnya ke dalam lirik-lirik tak bernama ini. Berusaha menyampaikan segalanya ke dalam bait demi baitnya, Ueda tanpa ragu menatap mata di seberangnya. Ia terus bernyanyi, hingga tanpa ia sadari ujung dari lirik selesai terucap dari bibirnya.
Ueda mengakhiri nyanyiannya dan petikan gitarnya perlahan memudar dan digantikan oleh kesunyian yang menyenangkan. Ueda menatap sosok lebih muda di depannya penuh harap..
“Ueda-kun...” Dilihatnya Taguchi menatapnya kosong, seakan enggan terbangun dari trans sesaat yang dialaminya. “kau.. kau yakin lagu ini untukku?”
“Hn.” Jawabnya singkat.
“Kau serius?... Barusan tadi... untukku? Apakah kau tidak salah orang, Ueda-kun? Untukku?” Kata-kata Taguchi ini, makna ambigu yang mungkin tertanam di dalamnya, membuat Ueda mengerutkan kening.
“Apakah hanya itu tanggapan darimu untuk lagu yang kuciptakan khusus untukmu sejak 6 bulan yang lalu?”
“Eh? 6 bulan? tapi, kenapa aku? kenapa kau menciptakan lagu itu untukku?” Taguchi mengalihkan pandangan kosongnya, dan menatap mata Ueda dengan mata tajamnya sebagai gantinya.
Ueda menaruh gitarnya, dan secara perlahan wajahnya mendekati Taguchi. Berhenti hanya beberapa inci darinya, keduanya saling menatap satu sama lain dengan sama tajamnya, ketika Ueda membuka mulutnya, “Ajari aku menari sebagai gantinya.”
Mendengar itu, Taguchi mengedipkan matanya bingung. Dengan memiringkan sedikit kepalanya, ia berkata, “kau... menulis dan menciptakan itu semua selama 6 bulan, hanya agar aku mau mengajarimu menari?” Dan ia mendapatkan anggukan dari Ueda sebagai jawaban. Masih beradu tatapan mata untuk beberapa saat kemudian, hingga akhirnya Taguchi tersenyum seperti biasa,
“Tentu, Ueda-kun. Aku akan mengajarimu.” Mendengar itu, Ueda tersenyum.
“Good. Ayo kita kembali ke ruang latihan, sebelum ada yang mencari.” Ueda menarik tangan Taguchi dan berjalan menuju pintu. Mereka belum mencapai pintu ketika Ueda merasa Taguchi berhenti di tempat. Ueda menoleh dan mendapati Taguchi tengah berdiri tersenyum di belakangnya,
“Ueda-kun... yang tadi itu, indah sekali.” Dan Ueda tidak yakin, apakah lagunya patut disandangkan kata indah jika senyuman di depannya sudah mendapatkan gelar itu terlebih dahulu.
Baka! Orang bilang dia selalu positif, selalu cerah dan menyilaukan dengan senyuman lebar yang telah menjadi trademarknya. Tetapi, menjadi seorang Ueda, ia mengerti kalau sosok ini sama sekali tidak positif jika sudah menyinggung tentang kepercayaan diri akan pandangan orang tentang dirinya. Selalu menilai dirinya jauh lebih rendah daripada apa yang pantas ia dapatkan. Seakan merasa ia tidak pantas mendapat sanjungan lebih atas segala aksi akrobatiknya, atas kemampuan tarinya, atas bakat menyanyinya, atas segala bakat dan kemampuan yang dimilikinya, yang memang patut mendapat sanjungan.
Oh, tentu tidak. Dia tidak sedang merindukan siapapun saat ini.
Tidak. Bahkan tidak saat ia dengan sengaja menitipkan kunci mobil sportnya yang mewah kepada security jimusho dan berjalan menuju salah satu stasiun subway kota. Menelusuri padatnya jalanan kota di siang hari terik di musim panas jelas bukanlah bukti kalau ia sedang merindukan siapapun.
Tidak juga saat ia saat ia mencari satu -atau dua- bangku khusus, yang membuatnya memutari stasiun hingga hampir tiga kali dalam pencariannya itu, untuk diduduki, dan menunggu kereta yang akan ditumpanginya.
“Tunggu, Uepi!” Sosok tinggi itu mengikutinya duduk di kursi mereka yang biasa. “Tunggu aku.. kau tidak tahu kalau hari ini panas sekali?” Sosok itu mengeluarkan uchiwa dari tasnya, dan mulai mengipasi wajahnya.
“Yang benar saja, Taguchi. Morning Musume? Kau fans mereka?” Katanya sambil merapikan duduknya dan menunggu kereta mereka.
“Kenapa memang? lagu-lagu mereka bagus. Kau harus mendengarnya sesekali, Uepi! Oh, lupakan..”Tambahnya,
“btw, kau serius ingin pergi ke toko musik? maksudku, ini hari minggu, Uepi. Ayolah! Hari minggu harusnya kita habiskan dengan bersenang-senang. Ini waktunya game center, benar kan? Kita bisa bersenang-senang di sana. Lagipula..” rona merah tiba-tiba mulai merebak di pipi Taguchi, “lagipula, ini kan weekend pertama kita...bersama-sama..” Jelas ia tidak mampu melanjutkan lagi kata-katanya, wajahnya sudah terlalu merah untuk berkata-kata lagi.
“Jadi? aku ingin kau tahu betapa menyenangkannya toko musik itu. Di sana banyak instrumen yang bisa membuatmu lebih tenang sedikit. Piano akan membuat otakmu lebih fokus, dan gitar jelas mengajarimu betapa indahnya nada-nada yang dihasilkannya. Kita akan ke sana, itu keputusannya sejak semalam. Kalau kau tidak mau ikut, kita tidak akan jalan bersama lagi.” Kalimat terakhir jelas menohok Taguchi. Mulutnya membentuk kerucut lucu sambil menggumamkan sesuatu seperti, “..aku tidak bermaksud untuk menolaknya..”
--
Ueda memutari satu demi satu lorong yang penuh dengan berbagai macam jenis piano. Mencoba memainkannya satu persatu, meneliti tipe-tipenya secara detail. Jelas ia melupakan sosok satunya yang sedari tadi hanya memandang bosan Ueda.
Setelah selesai dengan piano, Ueda kini beralih ke instrumen favoritnya, gitar. Dia berjalan dari satu gitar ke gitar lain. Memetik senar-senarnya dan memastikan kalau segalanya pas dengan yang diinginkannya hingga akhirnya ia memilih satu dan menyerahkannya kepada kasir. Sementara menunggu kasir menghitung belanjaannya, Ueda mengarahkan matanya ke sosok yang ada bersamanya tadi. Dilihatnya Taguchi tengah melihat-lihat satu set drum sambil sesekali menyentuhkan tangannya ke salah satu timbel. Kebosanan jelas terlihat di wajahnya.
Meminta agar langsung diantar ke rumahnya, Ueda membayar gitarnya dan kemudian berjalan ke arah Taguchi. Dia menyentuh ujung siku Taguchi ketika si muda itu terlonjak kaget dan menoleh padanya. “Waktunya game center untukmu, bocah.” Senyum lembut terbentuk di wajahnya.
--
Ueda menundukkan kepalanya demi menutupi kantuk yang jelas terpampang di wajahnya. Sementara suara desing peluru juga berbagai macam tembakan elektronik bergema di telinganya. Ia tidak mengerti apa yang menarik dari segala arena permainan ini? saling bunuh demi mendapat score tertinggi? Itu terdengar seperti hal terkonyol di telinganya.
Ironis. Ia berpikir demikian, sedangkan Taguchi terlihat begitu antusias untuk menghabisi tiap musuh dalam layar monitor. Berkali-kali pindah dari satu game ke game yang lain, hingga ia sendiri tidak tahu di mana si muda itu sekarang. Masa bodoh, ia sendiri sedang sangat mengantuk sekarang. Taguchi pasti akan kembali ke sampingnya saat ia selesai membunuh semua lawan di tiap game itu. Ia sudah bersiap untuk menutup matanya ketika dirasakannya ada seseorang yang menepuk pundaknya. Kaget, Ueda menolehkan kepalanya hanya untuk menemui... kelinci?
Sedetik kemudian Taguchi muncul di balik (boneka) kelinci itu. “Lihat Uepi.. aku berhasil! Aku berhasil mendapatkan boneka terbaik di sana untukmu. Lihat. Lucu kan?”
Ternganga akan niat Taguchi, Ueda tidak bisa berkata-kata.. Dan Taguchi pun mengerti. Senyum itu memberitahunya.
Dan game center itu masih sama ramai dan ributnya seperti beberapa tahun lalu. Dan Ueda masih sama tidak mengertinya bagaimana mungkin orang-orang ini menikmati saling membunuh satu sama lain hanya demi skor. Bagaimana orang-orang ini rela mempermalukan diri mereka dengan berteriak-teriak di tempat umum hanya karena mereka hampir kalah, kalah, atau bahkan saat mendapatkan satu poin saja. Dia tidak mengerti, dan mungkin tidak akan pernah mengerti.
Tidak. Tentu saja tidak. Dia tidak sedang merindukan siapapun saat ini. Tidak bahkan saat ia mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan mail.
To :Taguchi
Kita akan pergi makan malam hari ini. Pakai baju terbaikmu. Jam 7 malam.
Tidak sampai 5 menit ketika Ueda merasakan ponselnya bergetar.
From :Taguchi
Wah. Benarkah? Apakah kau aku? Bagaimana mungkin kau tahu aku ingin pergi keluar hari ini? Tentu.
To :Taguchi
Hn. Jangan terlambat.
Tentu dia tidak merindukan siapapun, atau moment apapun saat ia memasukkan kembali ponselnya sambil mengulum senyum. Tidak ketika ia mulai berjalan ke Restauran Italia favoritnya untuk membuat reservasi untuk dua orang di meja terbaik mereka hari ini.
“Taguchi-sama, Ueda-sama, meja anda di sini. Silakan panggil salah satu pelayan kami saat anda berdua sudah siap memesan.” Pelayan itu berjalan menjauh setelah memastikan kedua pelanggannya telah duduk dengan nyaman di mejanya.
“Kau benar-benar memakai jas itu.” Ueda memulai singkat.
“Uhm.. ya. Meskipun ada beberapa bagian yang agak kebesaran, dan aku harus melipat beberapa kali celananya agar panjangnya bisa pas untuk kakiku-“
“Taguchi,” Ueda menyela tajam, “tidak bisakah kau menekan sedikit kegugupanmu dan mengatakan hal yang sedikit....sesuai keadaan?”
Dilihatnya Taguchi semakin gugup di tempat duduknya, “maaf..” gumamnya.
“Itu lebih baik. Dan kau tampak... beautiful...” Dan ketika Taguchi memiringkan kepalanya sedikit saat mendengar punjiannya, itu sudah melewati batas Ueda, “Hentikan itu. Jangan bersikap seperti itu....” Hening,
“bolehkah.. aku menciummu?” Ueda mengangkat wajahnya untuk melihat reaksi Taguchi ketika tiba-tiba Taguchi menyentuh bibirnya dengan bibirnya perlahan dan cepat. Dia mengecup bibir Ueda.
Mengerlip kaget. Kemarahan seketika membuatnya berkata keras, “Kalau kau ingin menciumku, lakukan dengan cara yang benar!” Dan seketika ia menarik jas Taguchi dan menempelkan bibir mereka.
Setelah yakin bahwa jasnya telah licin dan semuanya telah sempurna, Ueda segera melangkah keluar dan mengambil kunci mobilnya. Itu saat ia menyadari satu hal, Ia belum memberitahu Taguchi tempat mereka akan makan malam. Shit!
Segera ia merogoh kantong jasnya, mengambil ponselnya dan mendapati kalau baterai ponselnya tengah lowbat. Double shit!
Haruskah ia menjemput Taguchi di apartementnya? Diliriknya jam tangan yang tertempel di ujung lengannya. 10 menit menuju pukul tujuh. Dia tidak akan sempat mencapai apartement Taguchi yang berlawanan arah dengan apartementnya dan kemudian menuju restauran. Bahkan mungkin ia juga akan terlambat sampai di restauran itu. Triple shit!
Tidak. Tentu ia tidak merindukan --- Oh,Fuck it.
Dia memang merindukan setiap momen yang ia jalani bersama Taguchi. Ia memang ingin menghabiskan waktu bersama si muda itu untuk beberapa saat. Dan apa salahnya itu? Segala memori yang menghujaninya di hari itu tidak membantunya sama sekali, dan hanya membuat kerinduannya menjadi semakin buruk.
Sibuk dengan pikirannya, Ueda tidak menyadari kalau ia telah sampai di restauran itu. Berniat untuk meng-cancle reservasi yang dibuatnya, Ueda berjalan cepat menuju pintu restauran. Dan pemandangan ketika ia membuka pintu membuatnya terkejut. Taguchi, lengkap dengan jas yang mirip dengan yang dipakainya bertahun-tahun lalu, berdiri dengan tenang di sana.
“Uepi. Kau terlambat.” Ueda hanya mengangguk.
Sesuatu dalam mata itu tidak pernah berubah. Bukan, bukan yang tajam. Tetapi sesuatu cerah dan captivating dan membuatnya selalu terhanyut di dalamnya. “Bagaimana...?”
“Bagaimana aku tahu? Kita sudah bertahun-tahun tidak ke sini, kan? Dan sudah berbulan-bulan kau tidak mengajakku keluar. Jadi.. ya, Aku hanya tahu pasti di sini.” Taguchi mengangkat bahunya, seakan itu adalah hal yang lumrah dilakukan.
Lagi, mata itu. Dan ditambah senyumnya.
“Ayo...” Ueda bergumam sambil mulai melangkah. Tidak sampai tiga langkah ketika dirasakannya sebuah tangan mencengkeran erat pergelangan tangannya dan menariknya. Lagi, Bibirnya kembali bersentuhan dengan bibir Taguchi lembut. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Sebelum Ueda sempat memperdalam kecupan itu, Taguchi sudah menjauhkan dirinya.
“Hanya sedikit, untuk nostalgia.” Ia tersenyum diantara jarak wajah mereka yang dekat.
“Bukankah sudah kubilang bertahun-tahun yang lalu, Taguchi? Kalau kau ingin menciumku, lakukan dengan cara yang benar.” Segera Ueda menaruh tangannya di leher Taguchi, berjinjit di atas sepatunya, menekan kepala Taguchi, dan akhirnya menempelkan kedua bibir mereka. Menciumnya dengan lembut dan penuh kasih sayang hingga dilihatnya mata si muda itu menutup, jelas menikmati momen kecil mereka ini. Butuh beberapa saat bagi mereka hingga melepaskan bibir dari satu sama lain. Melebarkan jarak diantara wajah mereka, namun tak cukup jauh hingga dahi mereka masih bisa saling bersentuhan. Senyum terpasang di wajah mereka.
“Time to eat, I guess.” Dan merekapun berjalan bersama menuju meja yang telah mereka pesan, dengan jari-jari yang saling bertautan.