-Hyemin POV-
Aku membuka mataku perlahan sambil menggeliatkan tubuhku diatas kasur. Dengan mata masih memicing, aku memandang ke jam diatas meja kecil disamping ranjangku. Pukul 10 pagi lewat 15 menit. Aku tersenyum sambil memeluk jaket olahraga berwarna biru dengan nomor punggung 22 yang menyelimutiku semalaman tadi. Wangi parfumnya sudah menghilang tapi aku masih jelas mengingat seperti apa wanginya, karena tadi malam aku mencium wangi seperti itu lagi. Aku tidak berharap bahwa pemilik jaket ini adalah Hyukjae karena orang seperti dia tidak mungkin mendatangiku malam-malam waktu di lapangan basket itu, tapi kenyataan bahwa Hyukjae dan jaket ini memiliki wangi yang sama membuatku tak berhenti tersenyum.
Astaga, malah sepertinya aku memimpikan Hyukjae. Tapi mimipi apa ya? Aah! Kenapa semua otakku terisi oleh wajahnya!!! Aku menutupi seluruh wajah dan kepalaku dengan jaket itu sambil menggerutu tak jelas.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarku. Aku muncul dari balik jaket itu dan ketika tahu bahwa yang datang Jiyeon, aku refleks menyembunyikan jaket itu dibawah bantalku.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk kesini???” seruku pada Jiyeon sambil menegakkan tubuhku, bersandar pada kepala ranjang.
“Hyemin-ah~~~” tanpa menggubris pertanyaanku Jiyeon langsung duduk di tempat tidurku dengan wajah berbinar-binar.
Aku memandangnya heran, “Ada apa sih? Minggu pagi dateng tiba-tiba ngga ngabarin dulu, ngga ngetuk pintu. Ada apa?”
Jiyeon memegang tanganku lalu menariknya ke dadanya, “Katakan bahwa aku tidak bermimpi...”
Aku menarik tangaku kembali, “Yah! Kau kenapa?”
Masih dengan mata yang berbinar-binar, ia memandangku dan mendesah, “Katakan bahwa tadi malam aku benar-benar menghabiskan waktu dengan Donghae oppa...”
Aku memutar bola mataku, “Ya kau memang menghabiskan waktu dengan Donghae dan aku terpaksa pulang dengan si sialan itu.”
Jiyeon tersenyum bersalah, “Tapi kan aku jadi bisa pulang sama Donghae...”
“Kau senang, aku sengsara!” balasku. Aku mengingat peristiwa manekin itu. “Aku nyaris mati, tau, gara-gara Hyukjae!”
Jiyeon terkejut, “Apa? Serius? Memang kalian ngapain?”
Sebenarnya sih mati karena bahagia, jawabku dalam hati. Tapi tentu saja aku tidak berkata seperti itu pada Jiyeon.
“Kau pikir saja sendiri!” balasku ketus. “Kau meninggalkanku sendirian dengan orang macam itu, jelas aku mau mati.”
“Yah, Hyemin! Serius! Bagaimana ceritanya?” tanya Jiyeon penasaran.
“Sudah-sudah, tidak usah dibahas. Aku lapar, mau sarapan,” jawabku sambil beranjak dari kasurku. “Kau tadi kesini sudah sarapan belom?”
“Belom. Aku bangun tidur langsung mandi dan buru-buru kesini saking bersemangatnya,”
Aku terbelalak heran pada Jiyeon, “Masih untung kau ingat mandi.”
*****
-Hyukjae POV-
Aku terbangun dari tidurku karena tiba-tiba sebuah lengan mendarat di dadaku. Aku memicingkan mataku dan menoleh. Lengan Donghae melingkar diatas dadaku dan wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku, masih terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Aku lupa kalau Donghae menginap disini. Tadi malam ketika aku pulang dari mengantarkan Hyemin dia belum pulang dan aku tertidur duluan. Dan sekarang bocah ini juga yang membangukanku.
Aku mengangkat lengan Donghae sekaligus mendorong badannya menjauh dari tubuhku. Tiba-tiba aku ingat aku bermimpi bahwa Hyemin tidur di pelukanku. Tapi aku merasa mimpi itu sangat nyata. Eh...? Jangan bilang aku memeluk Donghae???
Spontan, karena kaget dengan pikiranku sendiri, aku terduduk lalu mendorong Donghae sekuat tenaga hingga ia jatuh dari ranjangku.
“Yah!!!!!” seru Donghae yang langsung terbangun karena jatuh dari atas ranjangku. “Ada apa sih???”
Aku tak menjawab pertanyaan Donghae. Aku masih memikirkan mimpiku yang terasa nyata itu, masih agak shock jika benar yang aku peluk sambil tidur adalah Donghae.
Donghae mengambil guling dan menampar wajahku dengan guling itu, “Hyukjae-ah!!!”
“Aku tidak memelukmu kan semalam dalam tidur?” tanyaku pada Donghae.
Donghae mengernyit, “Mana aku tahu, aku kan tidur.”
“Aku bermimpi memeluk seseorang semalam, dan itu terasa nyata sekali. Aku tidak benar-benar memeluk orang kan? Masalahnya yang disampingku itu cuma kau!”
Donghae bangkit dari lantai dan pindah lagi keatas tempat tidur, “Kau kan diam-diam memang nafsu padaku,” gumamnya sambil duduk menelungkup dan menenggelamkan kepalanya diatas guling, masih benar-benar mengantuk.
Aku menendangnya hingga nyaris jatuh lagi, “Aku serius! Tadi malam aku mimpiin Hyemin!”
Donghae menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Ia hanya mengangkat sedikit kepalanya dari gulingnya dan memandangku dengan sorotan mata meledek, “Berduaan sama Hyemin semalaman sampai kebawa mimpi ya?”
“Ini semua salahmu kan? Kau yang meninggalkan aku dan Hyemin berdua!” balasku.
“Tapi kau senang kan?” sahut Donghae. Ia akhirnya menegakkan tubuhnya, “Ngapain aja semalam? Aku melihat kau banyak kemajuan di mall kemarin.”
Aku mengernyit. Sial, Donghae pasti bicara soal kejadian manekin jatuh itu. Aku tak menjawab.
“Lalu apa ada kemajuan selain itu, Hyukjae?” desak Donghae.
“Tidak banyak. Yang jelas aku dan dia sudah bisa ngobrol biasa tanpa ada saling benci atau curiga,” jawabku pelan.
Donghae menepukkan kedua tangannya, “Yeah! Apa kubilang? Kau yang harus jalan duluan, Hyukjae, dan dia lama-lama pasti mengerti!”
“Iya, iya. Diam ah,” balasku tak perduli. Aku bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi.
*****
-IU POV-
Aku duduk di sebelah Taemin yang sedang serius mengerjakan tugasnya di ruang tamu rumah Taemin. Ini Minggu malam, seharusnya aku tidak ada jadwal memberikan pelajaran tambahan pada Taemin, tapi tadi sore ia khusus menghubungiku karena ada tugas yang sama sekali tidak dimengertinya. Sebagai guru yang baik tentu saja aku menurutinya, juga karena ia menjanjikan akan memberi biaya tambahan. Aku tidak munafik, aku bekerja sebagai guru les Matematika untuk beberapa anak SMP karena keluargaku butuh biaya tambahan untuk kehidupan sehari-hari.
“Begini?” tanya Taemin seraya menunjukkan hasil pekerjaannya padaku.
Aku memeriksa pekerjaannya, “Benar. Sudah mengerti kan?”
Taemin mengangguk.
“Aku bisa pulang sekarang?” tanyaku, seolah sudah amat tidak betah berada disitu. Ya, aku memang tidak betah berlama-lama di rumah itu sejak aku tahu Hyukjae mempunyai perasaan terhadap kakak Taemin, yang tidak lain adalah Hyemin. Aku bersyukur malam ini aku belum bertemu Hyemin.
“Buru-buru banget?” tanya Taemin sambil membantuku membereskan barang-barangku dari atas meja tamu
Aku tersenyum tipis, “Ada yang harus kukerjakan.” Aku memasukkan beberapa bukuku ke dalam tas lalu bangkit, “Aku pulang dulu ya.”
“Hati-hati, noona,” sahut Taemin. Ia mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. Taemin menutup pintu di belakangku dan aku melangkah menuju gerbang rumah itu. Namun harapanku untuk tidak bertemu dengan Hyemin malam itu ternyata tidak terwujud. Tepat saat itu, Hyemin baru saja masuk pekarangan dan ia terhenti saat melihatku.
“A-anyeong, IU eonni,” sapanya padaku.
Entah kenapa sepertinya Hyemin agak terlihat canggung kepadaku. Aku membalasnya dengan senyum tipis, “Anyeong.”
“Sudah mau pulang?” tanyanya sedikit lebih kaku dari biasanya.
Aku mengangguk, “Kau darimana?”
“Mengantar Jiyeon pulang sampai halte bus,” jawab Hyemin.
Aku tak menyahut. Tiba-tiba perhatianku teralih pada jaket yang dipakainya. Sebuah jaket yang agak kebesaran untuk ukuran badan Hyemin. Jaket berwarna biru dengan nomor punggung 22 yang disablon putih. Dan setahu aku hanya satu orang yang mempunyai jaket seperti itu.
“Kalau begitu aku masuk dulu ya. Hati-hati di jalan, eonni,” kata Hyemin seraya melangkah untuk masuk ke rumahnya.
“Hyemin,” panggilku. Aku tak bisa menahan diri lagi. “Bisa kita bicara sebentar?”
*****
-Hyemin POV-
Aku menghentikan langkahku sambil menarik nafas. Hal yang paling kuhindari sekarang adalah bertemu dengan IU, sejak aku tahu seberapa dekat ia dengan Hyukjae. Tapi sekarang IU justru memintaku bicara dengannya dan aku tidak bisa menolak.
Aku menoleh kepadanya, “Ada apa, eonni?”
“Ehm… Jaketmu bagus,” katanya sambil tersenyum.
Hatiku mencelos. Otakku segera menyambungkan kenyataan bahwa jaket ini dan Hyukjae memiliki wangi yang sama dengan kenyataan bahwa IU adalah orang terdekat Hyukjae, “Eh, ini…”
“Siapa yang memberimu?” tanya IU.
“Aku… tidak tahu,” jawabku. Oke, aku jujur kan?
“Tidak tahu?” ulang IU bingung.
“Ehm… Jaket ini datang begitu saja kepadaku,” jawabku seadanya.
IU tertawa, “Bagaimana bisa?”
Aku tak menjawab dan memang tidak mau menjawab. Entahlah, firasatku tidak enak.
Selama beberapa saat IU diam. Aku juga diam, menunggunya untuk bicara duluan. Dan akhirnya memang ia bicara terlebih dahulu, “Terserah kau mau mengakui atau tidak, tapi aku tahu jaket itu adalah jaket kesayangan milik seseorang yang kukenal, dan aku yakin kau juga tahu siapa orangnya.”
Lagi-lagi aku tak menjawab.
“Dengar, Hyemin. Aku tidak tahu apa maksud dia memberikan jaket ini kepadamu, tapi aku tahu ini benar-benar jaket favoritnya. Jadi aku mengambil kesimpulan, mungkin kau jauh lebih berharga dari jaket ini baginya,” kata IU.
Aku memandang IU. Suaranya terdengar lemah, namun tulus. Ia tersenyum padaku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia melanjutkan kalimatnya, “Jika kau memang begitu penting di matanya, aku terima kenyataannya. Tapi aku minta satu hal padamu. Tolong jaga dia baik-baik. Karena dia adalah orang yang berharga bagiku. Aku belum pernah melihat dia sebahagia itu, dan aku harap kau bisa menjaga kebahagiaannya.”
Aku tercengang memandang IU. Aku sama sekali tidak menyangka hal semacam ini yang akan dikatakannya. Aku pikir dia akan melabrakku atau sejenisnya, “IU eonni…”
IU tersenyum lagi. Aku melihat sebutir airmata akan turun dari matanya namun ia langsung menghapusnya, “Aku pulang dulu.”
Lalu IU pergi. Aku memandang punggung IU yang keluar dari pekarangan rumahku hingga menghilang di belokan jalan. Kata-kata IU membuat kepalaku mau pecah. Apakah yang dibicarakan olehnya itu… Hyukjae?
*****
-Hyemin POV-
Aku berdiri di balkon depan kelasku sambil memandang anak-anak yang berlalu lalang di lantai bawah, tetapi pikiranku tak ada disana. Aku tak bisa berhenti memikirkan kata-kata IU beberapa malam yang lalu padaku. Setelah itu ia sudah datang ke rumahku beberapa kali untuk mengajar Taemin, tapi dia tak pernah membahasnya kembali. Ia bersikap seolah ia tak pernah mengatakan apa-apa. Aku benar-benar ingin tahu apakah yang dia maksud adalah Hyukjae, namun aku tak pernah mempunyai keberanian untuk bertanya lebih jauh padanya. Lagipula, dia memang seperti tidak memberiku kesempatan untuk bertanya.
“Hyemin-ah!” seru Jiyeon tiba-tiba dari belakangku. “Ada yang mau bicara denganmu!”
Aku membalikkan badanku dan menemukan Jiyeon berdiri berdampingan dengan Donghae, “Ada apa?”
Jiyeon dan Donghae tersenyum lebar padaku lalu keduanya berpandangan dan bersamaan menarik seseorang dari belakang mereka. Orang yang tak kusadari kehadirannya sebelumnya, Lee Hyukjae.
“Ayo bicara!” seru Donghae sambil mendorong tulang rusuk Hyukjae.
“Siapa yang bilang aku mau bicara?” balas Hyukjae sewot, ia memandang Donghae dengan tatapan marah.
“Oppa, kan tadi kau yang bilang kau mau teman kencan untuk ke ulangtahunnya Yoona!” kali ini Jiyeon yang bicara dengan mata berbinar-binar.
“YAH!!! Kau!” seru Hyukjae berpaling pada Jiyeon. Aku melihat jelas wajah Hyukjae memerah.
“Sudahlah Hyukjae, sudah kepalang basah!” sambung Donghae, sorotan matanya super jahil. “Apa perlu aku yang bicara?”
Hyukjae diam saja. Ia berdiri di hadapanku namun matanya jelalatan kemana-mana, tak berani memandang mataku.
“Hyukjae oppa! Ayo!” seru Jiyeon semangat.
“Tidak mau,” jawab Hyukjae keras kepala.
“Baiklah, kalau begitu kau pergi denganku saja ya, Hyemin,” kata Donghae tiba-tiba.
“YAH!!!” seru Hyukjae keras. Sesaat aku melihat Jiyeon juga ingin meneriaki Donghae, namun ia mengurungkan niatnya, sadar bahwa ia bukan siapa-siapanya Donghae. Hey, tapi kan aku juga bukan siap-siapanya Hyukjae. Kenapa dia meneriaki Donghae seperti itu???
“Kalau begitu bicara!” balas Donghae gusar.
“Astaga, kalian kekanakan sekali. Baiklah, baiklah!” Hyukjae berpaling padaku. “Hyemin, pergilah bersamaku ke ulangtahunnya Yoona,” kemudian ia kembali berpaling pada Donghae, “Puas???”
Donghae dan Jiyeon bersorak, lalu ber-high-five di belakang Hyukjae. Aku setengah menundukkan kepalaku. Sungguh aneh karena aku begitu mudahnya tersipu karena kata-kata dari Hyukjae. Hyukjae sendiri kembali tidak mau memandangku.
“Jadi kau mau kan Hyemin?” kali ini Jiyeon bertanya padaku.
Aku tidak menjawab.
Tiba-tiba Hyukjae memandangku dan berseru, “Yah! Jangan malu-maluin dong! Aku udah susah payah ngajak kamu di depan dua orang tengil ini masa sekarang ditolak gitu aja?”
Aku terbelalak memandangnya, “Memangnya siapa yang minta diajak? Dan aku punya hak untuk menolak!” balasku.
“Tidak punya!” balas Hyukjae.
“Punya!” sahutku ketus.
“Kalo mereka berantem berarti jawabannya ‘iya’,” kata Donghae pada Jiyeon dan sekali lagi mereka ber-high-five di belakang Hyukjae. “Kita ketemu seminggu lagi di ulangtahunnya Yoona!”
“Siapa bilang???” seru aku dan Hyukjae bersamaan dan langsung membuat aku dan Hyukjae berpandangan salah tingkah. Kami sama-sama membuang muka. Jiyeon dan Donghae tertawa. Sepertinya hubunganku dan Hyukjae memang akan selalu rumit seperti ini.
*****
-IU POV-
Aku duduk meringkuk memeluk lututku diatas rumput di pinggir sebuah sungai kecil di Seoul. Aku menelungkupkan kepalaku diatas lututku. Aku tidak mau mengingat apa yang aku alami hari ini.
“Noona,”
Aku mendongak dan menemukan Taemin berdiri di hadapanku, “Taemin-ah. Darimana kau tahu aku disini?”
“Aku tahu kau selalu disini jika kau sedang galau,” jawab Taemin. Ia kemudian duduk bersila di hadapanku.
“Aku sedang tidak ingin mengajar, Taemin. Kan tadi aku sudah bilang di telfon. Maafkan aku,” ujarku pelan. Aku meletakkan daguku diatas lututku sambil memandang kosong ke arah sungai.
“Aku tahu,” jawab Taemin. “Dan aku kesini bukan untuk minta diajari. Aku khawatir padamu, noona. Kau sama sekali tidak terdengar sehat di telfon tadi.”
Aku tersenyum lemah, “Aku baik-baik saja.”
“Ada apa, noona?” desak Taemin.
“Tidak ada apa-apa,” jawabku.
“Jieun noona, aku kenal kamu bukan hanya dari kemarin,” kata Taemin lagi. “Aku ada disini agar kau bisa membagi bebanmu padaku.”
Aku tidak menjawab. Bagaimana aku bisa cerita jika mengingatnya saja hatiku sakit? Aku berusaha keras menahan air mataku di depannya.
Taemin meletakkan tangannya diatas lututku dengan hangat, “Aku khawatir padamu. Aku tidak tahan melihatmu begini,”
Aku memandangnya. Wajahnya terlihat begitu cemas. Aku meneteskan airmataku dan ia menghapusnya dengan tangannya sendiri. Selama ini ia memang sangat perhatian padaku dan aku beruntung memiliki seseorang seperti Taemin yang sudah kuanggap adik sendiri. Terlebih aku memang tidak punya adik. Tapi, haruskah anak ini tahu bahwa yang membuatku begini adalah kakak kandungnya sendiri…?
*****
-Hyemin POV-
Sudah pukul 8 malam dan Taemin baru saja pulang dengan wajah kusut dan masih berpakaian sekolah. Ia melewati ruang tengah dimana aku dan ayah sedang menonton TV tanpa berbicara apapun. Ia bahkan tidak menggubris seruan ibu dari dapur yang menyuruhnya langsung makan malam. Aku dan ayah berpandangan. Tidak biasanya Taemin diam seperti itu.
“Bicaralah padanya,” suruh ayah padaku.
Aku mengangguk lalu bangkit dari dudukku dan menuju kamar Taemin. Aku mengetuknya.
“Masuk,” jawab Taemin.
Aku masuk ke kamarnya. Taemin baru saja melepas kemeja sekolahnya. Aku duduk di kasurnya dan memperhatikan adikku satu-satunya itu. Ia mengganti bajunya tanpa suara dan wajahnya benar-benar menunjukkan ada yang tidak beres.
“Kau mau apa?” tanya Taemin setelah ia meloloskan kepalanya dari lobang leher t-shirt nya.
“Kau kenapa?” tanyaku.
Taemin duduk di kursi belajarnya dan membalikkan badannya, membelakangiku, “Bukan urusanmu.”
Aku mengernyit. Ini sama sekali bukan Taemin yang biasanya, “Sopan sekali kau padaku.”
Taemin tak menjawab. Ia tidak melakukan apapun diatas meja belajarnya. Tapi jelas sekali ia tidak ingin melihat wajahku. Aku terus berusaha memancingnya, “Kau hari ini tidak les sama IU eonni?”
“Dia sakit,” jawab Taemin singkat.
“Sakit apa?”
“Kau tidak bisa pikir sendiri?” balas Taemin tajam.
Aku naik darah. Ada apa dengannya sehingga dia kehilangan sopan santunnya seperti ini? Aku berjalan kearahnya dan memutar bangkunya menghadapku, “Kenapa kau?”
Taemin memandangku sambil mengangkat alis, “Memangnya kau perduli? Kau perduli dengan perasaan orang?”
Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang, “Taemin, katakan…”
“Kau yang katakan, apa salah Jieun noona padamu?” Taemin memotong ucapanku.
“Apa?”
“Apa salahnya sampai kau menyakiti dia seperti itu?” tanya Taemin lagi.
Aku mendengus heran. Ia berbicara padaku tanpa sopan santun sama sekali, “Apa maksudmu, Lee Taemin?”
“Kau yang membuatnya sakit seperti ini. Kau merebut orang yang dia sayangi. Kau tidak punya perasaan,” kata Taemin.
Aku tercengang. Apa maksudnya ini semua tentang Lee Hyukjae? “Maksudmu soal Hyukjae? Taemin dengar, kau tidak tahu seperti apa posisi aku, IU eonni dan Lee Hyukjae.”
“Aku tidak perlu tahu,” jawab Taemin. “Yang aku tahu aku benci melihat Jieun disakiti seperti itu. Aku benci siapapun yang menyakiti dia, sekalipun itu kau.”
“Taemin, kau tidak bisa mengatakan aku yang salah begitu saja tanpa mendengar semua cerita jelasnya!” seruku marah. Anak ini pikirannya sempit sekali.
“Sudah kubilang aku tak perlu tahu. Yang penting bagiku adalah kebahagiaan Jieun dan kau adalah orang yang merusaknya. Sekarang keluar, noona,” ujar Taemin tajam.
Oke. Aku keluar. Tidak mungkin mengajak Taemin berkompromi disaat dia sedang panas seperti ini. Ia memiliki sifat keras kepala yang hampir sama denganku. Aku melangkah menuju pintu kamar Taemin saat akhirnya Taemin bicara untuk terakhir kalinya.
“Dan jika kau masih ingin kuanggap kakak, jangan pergi dengan Lee Hyukjae-atau siapapun itu namanya-ke ulang tahun temanmu minggu depan,”
*****