-Hyemin POV-
Sudah lama aku tidak duduk di sini. Berpuluh-puluh pasang mata memandangku tapi aku berusaha tidak memperdulikannya. Toh sebelumnya aku juga sudah biasa dilihat dengan cara seperti ini. Bedanya adalah sebelumnya tidak ada yang terus memegang tangan kiriku diatas meja sementara aku memakan makan siangku. Dan sebenarnya yang mereka lihat adalah tanganku itu.
“Tidak bisa kah dilepas sebentar saja?” tanyaku putus asa pada Hyukjae yang duduk di seberangku. Tangan kirinya memegang tanganku sementara tangan kanannya juga sedang memakan makanannya.
Hyukjae menggeleng sambil terus melahap makanannya.
Aku menghela nafas, “Hyukjae, aku mau minum.”
“Gunakan tangan kirimu,” balas Hyukjae tidak perduli.
“Aish,” gumamku kesal. Akhirnya aku mengambil gelas minumanku yang ada di sebelah kiriku dengan tangan kananku. Merepotkan.
IU-yang ada disebelah Hyukjae-mendengus, “Kau bertingkah seperti ini setelah sebelumnya kau mengatakan kau sudah melupakan dia?”
“Diam, Jieun,” balas Hyukjae. Ia masih memusatkan perhatiannya pada makanannya.
“Dia memang perlu diajari untuk tidak membohongi dirinya sendiri dan menyakiti orang-orang di sekitarnya,” ujarku mendukung IU.
Hyukjae akhirnya mengalihkan perhatian dari makanannya dan memandangku, “Bicara tentang membohongi diri sendiri, aku juga perlu mengajari seseorang karena dia pernah bilang tidak mau menjadi temanmu lagi.”
“Aku memang tidak mau menjadi temanmu lagi,” balasku serius. Aku menambahkan dengan pelan, “…aku mau lebih dari teman.”
Sepertinya Hyukjae tidak dengar perkataan tambahanku karena saat itu Donghae datang ke meja kami dengan Jiyeon menggandeng lengannya.
“Wow,” ujar Donghae saat melihat tanganku dan Hyukjae berpegangan di atas meja. Ia nyengir lebar.
Aku berusaha melepas tanganku dari genggamannya tapi ia malah mempererat pegangannya.
“Sepertinya ada yang ingin mengalahkan kita sebagai the best couple, oppa,” kata Jiyeon pada Donghae.
Donghae menggeleng, “Tidak mungkin bisa. Kita kan belum pernah putus. Mereka kan sudah.”
Hyukjae menoleh pada Donghae dengan tatapan tidak terima.
“Siapa suruh putus?” tanya Donghae sambil menjulurkan lidahnya dan setengah tertawa.
Hyukjae memonyongkan bibirnya sementara aku tersenyum geli.
“Kenapa senyum-senyum?” hardiknya padaku.
“Memangnya aku tidak boleh senyum?” balasku membela diri.
“Tidak,” kata Hyukjae lagi dan aku langsung melepaskan tanganku dari tangan Hyukjae.
Donghae, Jiyeon dan IU tertawa. Tapi Hyukjae tidak sempat memberikan balasannya karena ada orang lain lagi yang datang ke meja kami.
“Lee Hyemin,”
Aku menoleh. Victoria sudah berdiri di sampingku.
“Sebenarnya aku tidak diperbolehkan memberitahukan ini kepadamu. Tapi aku hanya ingin kau tahu, bagaimanapun juga kau temannya sejak kecil,” kata Victoria tiba-tiba.
Aku memandangnya bingung, “A-ada apa?”
“Kyuhyun sore ini berangkat ke Jepang untuk mengurus anak perusahaannya disana,”
*****
Aku diam saja sepanjang perjalanan Hyukjae mengantarku ke rumah. Sebenarnya aku sudah cukup diam sejak tadi di sekolah. Tapi di sekolah masih cukup banyak yang bisa dijadikan alasan untuk bicara, tapi sekarang aku tidak bisa mencari alasan apapun untuk banyak bicara.
Hyukjae melirikku sekilas lalu kembali memandang ke depan. Ia menggigit bibirnya, seolah ia ingin bicara tapi ia sedang berpikir keras.
Tiba-tiba ia membelokkan mobilnya bukan ke arah menuju rumahku.
Aku menoleh kepadanya, “Hyukjae… Kita…?”
“Victoria bilang dia tidak akan kembali kesini. Kau tidak mau kehilangan kesempatan terakhir bertemu dia kan?” tanya Hyukjae.
Aku terdiam. Hyukjae membelokkan lagi mobilnya ke jalan bebas hambatan arah bandara dan aku bisa memastikan yang dia maksud adalah Kyuhyun.
“Hyukjae, aku… Aku tidak apa-apa,” ujarku pelan.
Hyukjae mengacak rambutku dengan satu tangannya, “Jangan pernah membohongi diri sendiri lagi.”
Aku mematung di tempat dudukku.
Tangan Hyukjae berpindah dari kepalaku, menuju tanganku yang ada diatas pangkuanku.
“Maafkan aku,” kataku masih sama pelan seperti sebelumnya. “Aku sudah mencoba membencinya. Aku tahu dia menyakitimu dan aku juga sakit karenanya. Tapi dia sudah seperti kakakku sendiri, dia yang menjagaku sejak kecil, aku...”
“Aku tahu. Dan aku mengerti,” Hyukjae memotongku. “Makanya paling tidak kau harus mengantarnya pergi.”
*****
Aku berlari di bandara Gimpo, aku sudah mencari tahu jadwal penerbangannya dari Victoria dan sekarang aku harus mengejarnya karena penerbangannya tinggal satu jam lagi. Hyukjae ikut berlari di sampingku. Memiliki pacar anak perdana menteri memang ternyata sungguh menguntungkan. Petugas-petugas bandara langsung mengizinkan aku dan Hyukjae lewat begitu saja ketika Hyukjae menunjukkan kartu identitasnya.
Dan akhirnya aku menemukannya. Kyuhyun duduk di salah satu bangku di ruang keberangkatan. Dia memakai topi baseball, t-shirt dengan luaran jaket hitam dan celana jeans. Ia duduk menunduk sambil memandangi minuman kaleng yang di pegang diatas pangkuannya. Wajahnya tertutup sepenuhnya oleh topinya.
Aku merasa Hyukjae memperlambat langkahnya dan aku langsung menoleh ke arahnya. Ia tersenyum sambil menunjuk ke arah Kyuhyun dengan dagunya, seolah menyuruhku untuk segera kesana. Aku menggigit bibirku lalu perlahan mendekati Kyuhyun. Aku merasa Hyukjae masih mengawasiku.
“O-oppa,” sapaku saat aku benar-benar berdiri di depan Kyuhyun.
Kyuhyun mendongak dan aku bisa melihat wajahnya yang terlihat amat lelah di balik bayangan topinya. Kyuhyun terperangah melihatku dan langsung berdiri.
“Kau…?” tanyanya. “Kau sendirian?”
Aku menggeleng sambil menunjuk ke belakangku.
Kyuhyun melongok ke belakangku dan satu hal yang amat mengejutkanku, ia tersenyum dan mengangguk kepada Hyukjae. Aku ikut menoleh ke arah Hyukjae. Ia terlihat sama kagetnya seperti aku dan dengan canggung balas mengangguk dari jauh.
“Oppa,” panggilku lagi.
“Ya?” jawabnya. Kali ini dia memandang mataku. Matanya benar-benar terlihat lelah dan sayu.
“Kenapa kau tidak bilang kau akan ke Jepang?”
Kyuhyun hanya tersenyum tipis sambil membelai kepalaku, “Maaf, Hyemin-ah.”
Kenapa dia seperti ini? Kenapa dia seperti kehilangan semangat hidupnya? Kenapa tidak ada sorotan tajam yang biasa aku lihat dari matanya? Kenapa dia terlihat begitu lemah?
“Oppa, bagaimanapun juga kau harus bilang padaku,” ujarku dengan suara parau menahan tangisku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Hatiku sakit melihatnya seperti ini.
“Maaf, Hyemin-ah,” Kyuhyun berkata sekali lagi masih dengan nada yang sama dan posisi yang sama. Ia memandangku dengan lemah dan membelai kepalaku.
“Oppa…” aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku kehabisan kata-kata.
Tepat saat itu panggilan untuk nomor penerbangan Kyuhyun dipanggil untuk segera masuk ke dalam pesawat.
“Jaga dirimu baik-baik, Hyemin,” kata Kyuhyun. Sekali lagi ia tersenyum padaku kemudian ia mengambil koper nya dan berjalan menjauhiku.
Apakah hanya berakhir seperti ini?
“Oppa!” aku mengejarnya dan langsung memeluknya dari belakang. Aku akan menjelaskan soal ini nanti pada Hyukjae. “Oppa…”
Kyuhyun mematung di tempatnya. Aku menangis di punggungnya.
“Hyemin-ah,” kata Kyuhyun akhirnya. Suaranya serak, tidak seperti sebelumnya. “Ini kan bukan pertama kalinya aku keluar negeri.”
“Oppa…” lirihku. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Disatu sisi aku tidak ingin dia pergi, tapi di sisi lain aku mengharapkan dia pergi dan tidak mengganggu kehidupan Hyukjae lagi. Dan aku sedang menyalahkan diriku sendiri karena berpikir seperti itu.
Aku merasa Kyuhyun gemetar di pelukanku. Tepat saat itu, setetes air jatuh ke lenganku yang melingkar di perut Kyuhyun.
“Kita lebih baik hidup masing-masing untuk sementara ini, Hyemin,” ujar Kyuhyun. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan suaranya yang gemetar. “Lagipula banyak yang harus aku urus di Jepang.”
Aku tak bereaksi, masih memeluk Kyuhyun erat-erat.
Kyuhyun menghapus sesuatu dari pipinya kemudia ia mendorong lenganku untuk melepaskannya dari pelukanku, “Aku akan mengabarimu. Jalani hidupmu dengan baik, Hyemin-ah.”
Aku melepaskan pelukanku. Kyuhyun sama sekali tidak menoleh padaku saat berbicara. Ia langsung pergi begitu saja. Aku terdiam memandang punggungnya menjauh dan akhirnya menghilang di masuk ke lorong menuju pesawatnya.
Sebuah tangan merangkulku. Aku menoleh dan ternyata Hyukjae sudah ada di sebelahku. Ia meremas pundakku pelan, menenangkanku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
*****
-Nichkhun POV-
"Victoria," tegurku pada Victoria yang sedang bersandar memandang pemandangan malam dari balkon rumahnya.
Victoria menoleh sekilas dan tersenyum, "Khunnie."
Aku berdiri di sebelah Victoria. Kami berdua dia memandang halaman rumah Victoria malam itu.
"Kau memikirkan apa?" Tanyaku pada akhirnya. Victoria tidak biasanya sediam ini apalagi kalau ada aku disampingnya. Dia selalu berusaha mencari perhatianku. Tapi kali ini sudah beberapa menit lewat Victoria hanya berdiri diam dengan jarak setengah meter dariku.
Victoria menggeleng.
Akhirnya aku yang mendekatinya. Aku menyangga tubuhku di pagar balkon dan setengah membungkuk menghadapnya, "Kau tidak pantas berpikir berat-berat, tau?"
Victoria tertawa lalu memukul pelan pundakku. Hanya itu. Tanpa bicara sepatah katapun.
"Keberatan kalau berbagi pikiran denganku?" Tanyaku lagi.
Akhirnya Victoria menarik nafasnya, "Kyuhyun oppa pergi ke Jepang selamanya," ia bicara seakan hal itu adalah akhir dari dunianya.
"Dia juga sebelumnya ke Austria kan?" Jawabku. "Kau masih bisa berhubungan dengannya kan? Lagipula, Jepang justru tidak sejauh Austria."
"Aku tahu," sahut Victoria singkat, tapi tidak menjawab tanda tanya di kepalaku sama sekali. Kenapa dia seperti sangat sedih Kyuhyun pergi?
"Hey..."
"Haruskah aku juga pergi ke China?" Potong Victoria.
"...eh? Apa?" Tanyaku kaget.
"Kau ingat ayah memberikan satu perusahaan di China untuk aku urus kelak? Aku bisa kesana mengurusnya sekarang," kata Victoria.
"Mengurus perusahaan? Tanpa lulus sekolah terlebih dahulu?"
Victoria menggigit bibirnya, "Aku hanya merasa... Harus pergi."
"Kalaupun kau akan ke China, aku ikut denganmu," ujarku.
"Justru kau tidak perlu ikut!" Tukas Victoria begitu cepat sehingga membuatku menaikkan sebelah alisku sambil menatapnya. Victoria tidak pernah bisa hidup tanpaku sebelumnya.
"Victoria, ada apa sebenarnya?" Tanyaku. "Aku mengenalmu. Aku tahu ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu sekarang."
Victoria memandangku. Aku balas memandang matanya dalam-dalam. Akhirnya dia mengalihkan matanya dari mataku.
"Melihat Kyuhyun melangkah sejauh itu, aku juga perlu merasa begitu, Khunnie," ujar Victoria. Suaranya terdengar pelan dan gelisah.
Aku mengernyit.
"Dia sudah sadar Hyemin tidak bahagia bersamanya. Lalu dia melepas Hyemin. Dia tahu dia tidak akan bisa melepas Hyemin dengan mudah kalau dia tetap disini, makanya dia ke Jepang," kata Victoria. "Aku juga sadar kau tidak bahagia bersamaku, Nichkhun."
Aku tertegun. Dia berpikir begitu?
"Lalu kau akan pergi meninggalkanku disini? Sendirian?" Tanyaku.
"A-aku..."
"Hyemin punya Hyukjae bersamanya dan mereka memang tercipta untuk satu sama lainnya. Sedangkan aku?" Balasku dengan nada menuntut.
Victoria terlihat bingung dan berpikir, "Tapi kau tidak bahagia bersamaku. Aku sejak dulu memaksakan kehendakku padamu. Aku tidak memikirkan perasaanmu. Dan aku tahu aku tidak bisa terus begini."
"Lalu ini?" Tanyaku sambil menunjukkan cincin di jari manis kiri ku.
"Itu..." Victoria tergagap. "Itu tidak berarti apa-apa kan? Aku yang menyusun semuanya tanpa memperdulikan perasaanmu."
Aku tersenyum sinis, "Baiklah kalau itu maumu."
Aku melepas cincin tunanganku lalu meraih tangan Victoria dan melepas cincinnya juga. Aku menunjukkan kedua cincin itu di depan wajah Victoria, "Ini memang tidak berarti apa-apa."
Aku melempar kedua cincin itu ke halaman dan entah dimana jatuhnya. Victoria terbelalak.
"Khunnie..." Gumamnya pelan. Ekspresinya terjebak antara sedih dan bingung.
"Aku memang tidak menghargai pertunangan kita itu. Aku benci pertunangan itu. Aku benci kamu memaksakan kehendakmu padaku. Aku benci kamu memaksakan perasaanmu. Aku benci kau memanfaatkan keadaan keluargaku sebagai ancaman untuk tidak meninggalkanmu," ujarku.
Victoria terdiam memandangku. Aku menyadari matanya sudah berkaca-kaca. Ia membuka bibirnya, ingin membela diri namun tak ada kata yang terucap dari sana.
"Lalu sekarang kau pikir kau bisa menyelesaikannya hanya dengan pergi dari hidupku? Kau pikir semua masalah akan selesai?" Tanyaku.
Victoria masih terlihat ingin menjawab tapi tetap tidak ada yang suara yang keluar dari mulutnya.
"Kau ingin meninggalkan aku tepat saat aku sudah memberikan hatiku padamu, Victoria," ujarku pelan dan tajam.
Ekspresi Victoria berubah, "A-apa..?" Akhirnya ada suara yang terucap darinya.
"Akhiri saja pertunangan ini kalau itu maumu," kataku dingin.
"Khunnie, aku..."
"Itu kan yang kamu mau? Akhiri saja semuanya,"
Victoria kembali kehabisan kata-kata. Kali ini airmata membanjiri wajahnya dan ia terisak hebat.
Aku memegang pundak Victoria, "Kau akhiri saja semuanya. Lalu biar aku yang memulainya kembali."
Victoria masih terisak. Ia sepertinya belum menyadari apa yang sedang kukatakan sebenarnya. Tapi perlahan isakannya memelan. Ia memandangku.
"Jadi kau tidak boleh meninggalkanku. Karena kali ini aku yang memintamu. Kau tidak memaksakan kehendakmu lagi. Aku yang akan memulai semuanya," ujarku.
Seketika tangis Victoria berhenti. Ia memandangku dengan tatapan tidak percaya.
Di kesempatan itu lah aku mencium bibirnya. Tanganku memeluk tubuhnya seolah tidak mau aku lepaskan lagi. Victoria masih mematung sesaat setelah bibirnya kusentuh dengan bibirku. Tapi beberapa detik kemudian aku merasa dia membalas ciumanku. Ia kembali menangis, tapi aku tahu itu tangisan bahagianya.
Aku melepas ciumanku. Mataku tertaut dengan mata Victoria di hadapanku. Satu tanganku masih memeluk pinggangnya. Sambil tersenyum tanganku yang lainnya menghapus airmata dari wajah Victoria.
"Victoria, menikahlah denganku,"
*****