Dark and Bright [Chapter XX Part 1]

Nov 09, 2010 00:20

-Hyemin POV-

Bel tanda sekolah selesai sudah berbunyi. Aku berjalan gontai menuju gerbang sekolah sendirian. Jiyeon sudah lebih dulu berpisah denganku untuk pulang dengan Donghae. Dan disinilah aku pulang sendirian sementara Hyukjae sudah 2 hari ini tidak mau aku hubungi.

Sudahlah, yang penting aku sudah berusaha minta maaf kepadanya, batinku. Aku sudah membuatkan makan siang untuknya, dan aku belum bertemu dengan Kyuhyun lagi karena ia sibuk dengan urusan kantornya. Sekarang hanya urusan Hyukjae mau memaafkanku atau tidak.

Aku sudah berjalan melewati gerbang sekolah ketika tiba-tiba seseorang memegang tanganku. Aku nyaris menepis tangan itu namun tidak jadi saat menemukan orang itu adalah Hyukjae. Ia tersenyum lebar di sampingku.

Aku nyaris memeluk orang ini kalau saja aku tidak ingat ini masih di kawasan sekolah dan kenyataan bahwa Hyukjae adalah seorang leader golongan Dark pastinya akan membuat sekolah gempar. Mau tidak mau aku hanya bisa membalas senyumnya.

“Halo,” sapaku canggung. Aku sebenarnya takut dia masih marah padaku.


Masih dengan senyumnya, Hyukjae tak membalas sapaanku malah langsung membawaku menuju parkiran sekolah dan membukakan pintu mobilnya untukku. Aku sejenak memandangnya dengan bingung, takut kalau-kalau aku salah mengartikan sesuatu, tapi ia sepertinya benar-benar menyuruhku masuk. Aku menurutinya.

“Ada apa sih?” tanyaku setelah Hyukjae masuk ke bangku pengemudi dan mulai mengemudikan mobilnya keluar kawasan sekolah.

“Apanya yang ada apa?” tanya Hyukjae balik.

Aku mengernyit. Pagi tadi dia masih mengacuhkan telepon dan smsku, sekarang dia bersikap seolah tidak ada apa-apa? Aku rasa aku harus mengubah pertanyaanku. Aku menarik nafas dengan ragu, “Kau… Sudah tidak marah?”

Hyukjae tertawa, “Memangnya kapan aku marah?”

“A…pa?” gumamku bingung. “Lalu kenapa kau tidak bisa aku hubungi 2 hari ini?”

“Anggap saja ponselku rusak,” jawab Hyukjae ringan.

Mataku membulat heran, “Lalu kau juga tidak mau ke kantin dan bertemu denganku.”

“Anggap saja aku hanya sedang tidak ingin ke kantin,” lagi-lagi Hyukjae menjawab ringan.

“Kau aneh,” balasku cemberut sebal.

“Jadi maunya aku marah padamu?”

“Bukan begitu!” tukasku cepat. Wajahku sepertinya terlihat terlalu panik dan membuat Hyukjae kembali tertawa. Seketika aku merasa udara seolah menjadi panas.

“Kau benar-benar takut aku marah ya?” tanya Hyukjae lagi.

Aku diam sejenak. ‘Percuma berbohong, dia pantas untuk tahu yang sebenarnya,’ pikirku. Aku mengangguk pelan.

Hyukjae tersenyum lalu mengacak rambutku dengan tangannya yang bebas tidak memegang setir, “Percayalah, aku tidak akan bisa marah padamu.”

Aku tak bisa mengendalikan diriku untuk tidak tersipu. Wajah Hyukjae makin sumringah melihatku. Ia memindahkan tangannya dari kepalaku, ke atas tanganku yang ada di pangkuanku. Ia menggenggamnya erat dan entah bagaimana aku bisa menjelaskan perasaan senang yang aku rasakan sekarang.

“Kamu ngga harus buru-buru pulang kan?” tanya Hyukjae setelah beberapa saat hanya ada kontak tangan diantara kami.

Aku menggeleng, “Memang mau kemana?”

Hyukjae tersenyum, “Lihat saja nanti.”

*****

-masih Hyemin POV-

Aku turun dari mobil Hyukjae. Hyukjae mendekatiku lalu ia memegang tanganku dan membawaku berjalan. Aku memandang berkeliling dengan bingung. Ia membawaku ke sebuah gedung sebuah komplek TK+SD di kota Seoul dan aku sama sekali tidak tahu kenapa.

“Kenapa kau membawaku kesini?” tanyaku dengan wajah benar-benar bingung.

“Ini sekolahku dulu,” jawab Hyukjae. Pandangannya menerawang memandang ke seluruh kawasan sekolah itu. Sekolah itu sudah sepi. Siswa-siswanya sudah bubar sekolah beberapa jam yang lalu.

Aku diam saja. Aku mengikuti Hyukjae memandang seluruh kawasan sekolah itu. Tanganku dan Hyukjae masih tertaut erat sementara kami menyusuri halaman sekolah di sore itu. Lalu Hyukjae menggiringku duduk di sebuah ayunan sementara ia bersandar di kerangka besi berwarna-warni tempat anak-anak bisa sebebasnya memanjat disana.

“Tepat disini,” ujar Hyukjae, matanya masih memandang berkeliling mengenang sesuatu. “Aku, Donghae dan Jieun pertamakali bertemu. Saat hari pertama Jieun masuk sekolah, ia sudah diganggu oleh beberapa anak nakal yang mengambil bekal makanannya. Aku dan Donghae memang sudah tidak suka dengan anak-anak nakal itu sejak lama. Kami pun datang membela Jieun yang menangis. Sejak saat itu kami bertiga pun berteman dekat hingga sekarang.”

“Kenapa nasib IU eonni di hari pertama sekolah terdengar seperti nasibku di hari pertama masuk Haneul?” ujarku sambil tersenyum lebar. “Diganggu oleh anak-anak nakal dan diselamatkan oleh orang.”

Hyukjae tertawa. Ia jelas tahu yang aku maksud anak-anak nakal dalam kasusku adalah ia dan teman-temannya, “Tapi untunglah untuk kasusmu ternyata anak nakal itu yang akhirnya berhasil mendapatkanmu.”

Aku tertawa. Selama beberapa saat aku kembali menunggu Hyukjae untuk bicara karena aku sama sekali tidak mengerti mengapa aku dibawa kesini, tapi ia tidak kunjung bicara. Aku menggunakan kesempatan itu untuk terus memandangi wajahnya yang sedang melamun. Aku tersenyum samar, mensyukuri dan sedikit tidak mempercayai kenyataan bahwa cowok tampan ini adalah milikku.

Hyukjae akhirnya menoleh kearahku, menyadari sudah lewat dari 10 menit aku memandangi wajahnya, “Ada apa?”

“Seharusnya itu pertanyaanku,” balasku sambil cemberut. “Ada apa tiba-tiba kau mengajakku kesini?”

Hyukjae tersenyum padaku. Jantungku berdebar 3 kali lebih cepat, aku belum pernah melihat senyum macam ini darinya. Ia menegakkan tubuh dari tempatnya bersandar lalu bergerak mendekatiku. Aku menahan nafas. Caranya memandangku, caranya berjalan mendekatiku, membuat aku seolah bisa merasakan aliran darah mengalir ke sekujur tubuhku. Ada sebuah gejolak aneh di dalam perutku.

Hyukjae berhenti persis di hadapanku, ia menekuk lutut kanannya sementara lutut kirinya bertumpu pada tanah. Sekarang aku sedikit menunduk memandangnya yang berjongkok di hadapanku. Ia memandangku dalam-dalam.

“Tempat ini adalah bagian dari sejarah hidupku. Aku ingin kamu mengetahui sejarah itu sebelum kamu mencetak sejarah baru dalam hariku berikutnya,” jawab Hyukjae. Ia meletakkan satu tangannya diatas lututku sementara matanya tak lepas memandangku dan bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Aku bersumpah aku seperti sedang berada di langit ketujuh sekarang.

Aku memaksakan senyumku dengan canggung. Terlalu canggung untuk terlihat bahagia.

Hyukjae tersenyum lebih lebar dan kali ini aku menangkap senyum jahilnya yang biasanya. Ia tahu aku canggung tapi ia terlihat puas. Ia kembali berdiri, sementara aku masih mematung tak bergerak. Ia mengacak pelan rambutku sebelum beranjak mengajakku pergi, “Yuk.”

“Kemana?” tanyaku lagi.

“Hari ini judulnya ‘Tur Bersama Lee Hyukjae’, jadi aku bebas membawamu kemana saja,” jawab Hyukjae lagi.

Aku merengut. Tapi toh aku mengikuti langkahnya. Menyadari aku sudah berjalan persis di belakangnya, tanpa menoleh, Hyukjae meraih tanganku dan ia membawaku berjalan bergandengan masuk ke dalam gedung sekolah itu.

Gedung sekolah itu sudah benar-benar sepi. Hyukjae membawaku menyusuri lorong-lorong kelas di sekolah itu dan akhirnya berhenti di sebuah mading kaca super besar yang berisi foto-foto angkatan siswa dari jaman dahulu hingga sekarang.

“Ah masih ada,” gumam Hyukjae. Ia menarikku mendekati sebuah foto di bagian kiri mading itu. “Lihat ini. Yang ini foto angkatanku, yang ini angkatan Jieun.”

Aku memperhatikan 2 foto yang ditunjuknya. Di foto pertama aku menemukan wajah IU eonni kecil dengan rambut dikuncir 2. Dan di foto kedua aku dengan segera menemukan seorang anak laki-laki yang memiliki rahang tajam dengan mata coklat berdiri di barisan belakang merangkul seorang anak laki-laki lainnya yang aku kenali sebagai Lee Donghae dari bentuk senyumnya. Aku tersenyum lebar memandang foto itu.

“Aku dulu lucu kan? Ganteng kan?” tanya Hyukjae.

Aku nyengir. Tiba-tiba aku terpikir untuk membalas dia yang selama ini sering menggombaliku, “Di mataku kau selalu ganteng, Lee Hyukjae.”

Hyukjae tak berkedip memandangku, seolah ingin mencerna baik-baik apa yang aku katakana barusan. Aku balas memandangnya sambil tersenyum manis. Hahaha, kali ini aku berhasil menggombalinya.

Aku menarik tangannya sambil tetap tersenyum menggodanya, “Ayo tunjukkan aku yang lainnya, ganteng.”

Hyukjae cemberut, “Darimana kamu belajar menggombal seperti itu?” Ia berjalan perlahan membawaku menjauhi mading itu.

“Dari kamu, kan?” balasku sambil menjulurkan lidahku. “Makanya jangan suka ngegombal kalau ngga mau digombali.”

“Aku suka gombalanmu. Lanjutkan,” sahut Hyukjae lagi.

Aku terbelalak memandangnya tak percaya. Astaga, orang ini.

Sesaat kemudian Hyukjae berhenti di depan sebuah lemari kaca besar berisi berbagai piala penghargaan para siswa di sekolah itu.

“Itu piala milik Jieun karena menjadi juara umum di angkatannya selama 6 tahun dan tidak tergantikan,” kata Hyukjae sambil menunjuk salah satu piala kecil di bagian depan.

“Wow,” desisku kagum.

“Yang di sebelah belakang kirinya adalah piala Donghae sebagai Aktor Terbaik dalam drama tahunan sekolah. Dia menang 4 kali, tapi pialanya yang lain dia simpan di rumahya. Ada beberapa piala lagi yang dia miliki karena lomba nyanyi,” lanjut Hyukjae.

“Wow,” desisku lagi. “Kenapa Donghae tidak jadi artis saja? Dia punya semuanya.”

“Dia memang sudah lolos dalam audisi 5 agensi terkenal, tapi Donghae memilih untuk serius sekolah dan akan meneruskan usaha ayahnya,” jawab Hyukjae. “Agak sayang memang. Sementara ribuan orang lainnya mau melakukan apapun agar lolos audisi, tapi Donghae yang lolos malah menolaknya.”

“Sangat sayang,” gumamku. “Pialamu mana?”

fanfiction, dark and bright

Previous post Next post
Up