Dark and Bright [Chapter XVIII Part 2]

Oct 04, 2010 15:49



-Hyemin POV-

“Tidak bisa!” seruku marah. “Ini kan kamarnya khusus berempat, mana bisa dia tidur disini!”

“Lalu Hyukjae hyung harus tidur dimana?” balas Taemin. Ekspresinya tak sabar memandangku, tapi aku tak perduli.

“Terserah dimana, tapi tidak disini! Ini kan kamar cuma muat berempat!” balasku ketus.

“Hyemin, kita bisa kok tidur berlima...” kata ibu.

“Tidak!” potongku. “Kalau aku bilang berempat ya berempat!”

“Sudahlah,” ujar Hyukjae sambil tersenyum. “Aku bisa tidur di luar.”

“Diluar mana?” tanya ayah. Cottage kecil ini hanya memiliki satu ruangan yaitu kamar tidur ini. Dan kalau Hyukjae bilang diluar, berarti memang benar-benar diluar.

“Tidak usah memikirkan aku, ahjussi,” jawab Hyukjae masih dengan senyumnya. Ia lalu mundur keluar kamar dan mengucapkan selamat malam sebelum akhirnya menutup pintunya.

“Kau jahat. Tega,” kata Taemin.



“Dia sudah baik sekali pada kita,” ujar ibu.

“Hyemin, dia kan temanmu,” tambah ayahku.

“Justru karena dia temanku, biarkan aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan kepada teman macam dia. Sudahlah aku mau tidur,” balasku. Aku menyusup ke balik selimut, menutupinya hingga kepalaku dan tidak lagi menggubris perkataan Taemin, ayah dan ibuku. Aku mencoba sebisaku untuk tidur, tidak menghiraukan suara-suara protes dari keluargaku. Tapi aku tahu mereka tidak ada yang berani menggugat keputusanku.

Tapi ternyata usahaku untuk tidur malam ini jauh lebih sulit dari malam-malam lainnya. Bahkan ketika sudah terdengar dengkuran lelap dari Taemin dan ayahku, aku masih tidak bisa tidur. Bayangan Hyukjae menghantui pikiranku. Bayangan senyum bahagianya membantu dan bergabung dengan keluargaku di liburan kali ini. Bayangannya meringkuk di bangku depan... Kedinginan...

Aku menyibakkan selimutku dan bangkit terduduk. Aku menghela nafas kesal. Bagaimana mungkin aku bisa setega ini membiarkan dia tidur diluar?

Aku menyelinap keluar dari selimutku dan tanpa pikir panjang meraih jaket sport biru yang ada di atas tas bajuku, yang tak sengaja kubawa karena itu adalah jaket teratas dari lipatan baju-bajuku di lemari. Tanpa suara, aku membuka pintu keluar dan segera saja angin malam yang dingin menerpaku. Aku menggigil. Tidak membayangkan bagaimana Hyukjae bisa tidur di udara seperti ini.

Aku melangkah ke teras dan menemukan Hyukjae sedang terbaring meringkuk di bangku panjang yang ada disana. Matanya terpejam rapat, tangannya memeluk lututnya sendiri. Hatiku tersentak, sepertinya memang aku terlalu tega kepadanya.

Dengan mengendap-endap aku menyelimutinya dengan jaket biru itu secara perlahan-lahan agar dia tidak terbangun. Tapi ternyata ketika aku akan menarik badanku kembali pergi, sebuah tangan yang amat dingin memegang tanganku dan menahanku. Aku menoleh.

“D..ing...in,” Hyukjae berujar pelan sambil membuka matanya dengan lemah. Ia menarik tanganku lebih erat dan aku sadar tangannya benar-benar dingin. Panik, aku langsung duduk di sebelahnya dan menyentuh dahinya. Dan tebakanku benar, suhu badannya panas sekali.

“Hyukjae...” gumamku panik. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

“Di...ngin,” ulang Hyukjae lagi. Ia memegang tanganku erat sekali.

Benar-benar panik dan tidak tahu harus bagaimana, aku akhirnya menarik Hyukjae bangun dan aku memeluknya tubuhnya dari samping seerat aku mampu. Hyukjae sepertinya sedikit kaget dengan gerakanku itu, tapi ia diam saja. Terlalu lemah untuk bereaksi.

“Maaf,” kataku pelan.

Hyukjae menarik nafasnya sejenak. Lalu membalas dengan suara lemah, “Bukan kamu yang salah kan.”

Aku diam saja. Beberapa jam yang lalu mungkin aku akan langsung memaki-makinya karena memang dia yang salah, tapi saat ini, aku merasa dia tidak punya salah apapun.

“Maafkan kata-kataku kemarin,” kata Hyukjae lagi. “Aku akan melakukan semua yang kamu inginkan. Apapun yang kamu minta.”

Aku diam saja. Pelupuk mataku mulai terasa berat dan dadaku sesak. Aku merasa Hyukjae mengatur nafasnya yang panas secara perlahan di pelukanku.

“Jangan pernah meragukan aku. Aku melakukan semua ini untukmu. Aku ingin membuktikan semuanya padamu dengan caraku...” sambung Hyukjae.

“Aku yang salah,” potongku. “Aku tidak akan memperdulikan apa kata orang lagi. Aku tidak akan membandingkan kita dengan siapapun lagi. Aku tidak akan meragukan kamu lagi. Aku tidak akan meminta apapun kepadamu lagi.”

Aku gemetar menahan tangisku, menyadari seberapa egoisnya aku. Hyukjae menarik nafasnya ingin berbicara sesuatu lagi. Tapi aku menduluinya.

“Maafkan aku,” ujarku. “Aku tidak akan memaksa apapun lagi darimu. Aku suka caramu. Kita akan hidup dengan cara kita sendiri.”

Hyukjae perlahan mengangkat kepalanya dan memandangku. Ia tersenyum lemah. Aku masih merasakan bahwa demamnya masih tinggi. Aku membalas senyumnya dengan senyumku yang paling tulus. Air mata menggenangi mataku.

“Jangan pernah bertanya kenapa aku tidak memintamu sebagai pacarku,” ujar Hyukjae. “Karena aku tidak menginginkanmu hanya sebagai pacarku. Aku meninginkanmu sebagai pendamping hidupku. Sebagai separuh dari jiwaku…”

Lalu sebuah ciuman hangat dari bibir Hyukjae mendarat di bibirku. Aku mematung. Hingga akhirnya Hyukjae melepas ciumannya, aku tetap bergeming. Hyukjae kembali masuk ke dalam pelukanku, sementara aku masih mencerna apa yang baru saja terjadi padaku.

Hyukjae merubah posisi jaket yang tadinya hanya menyelimuti tubuhnya menjadi menyelimuti tubuh kami berdua.

“Ternyata begini rasanya diselimuti jaket ini malem-malem,” ujarnya pelan.

Awalnya aku tidak menyadari apa maksudnya. Tapi akhirnya aku sadar aku pernah diselimuti jaket ini sebelumnya, saat malam pertama aku memilih netral di sekolah. Aku tersenyum. Berarti Hyukjae memang benar-benar pemilik jaket ini. Dan menyadari bahwa ia sudah memiliki keinginan untuk melindungiku sejak malam itu membuat aku berjanji untuk tidak pernah meragukannya lagi.

*****

-Hyukjae POV-

Aku masih belum bisa berhenti tersenyum walaupun sudah beberapa hari lewat sejak aku dan keluarga Hyemin pergi ke pantai. Tak ada yang berubah dalam hubungan kami. Tetap tidak semesra Jiyeon dan Donghae, dan tetap masih banyak yang meragukan kami pacaran. Tapi kenyataan bahwa kini kami sudah dapat saling mengerti dan memegang hati masing-masing, adalah lebih dari cukup.

“Sebenarnya apa sih yang kalian lakukan akhir pekan lalu?” tanya Donghae. Sekolah sudah selesai dan kami sedang berjalan menuju kelas Jiyeon dan Hyemin.

“Bukan apa-apa,” jawabku.

“Bukan apa-apa gimana?” balas Donghae. “Hari Seninnya kalian sama-sama mengeluh ga enak badan dan agak demam. Lalu yang perlu digarisbawahi adalah tatapan mata kalian berdua tuh beda dari sebelumnya.”

Aku tertawa, “Ga ada yang beda ah.”

“Terserah deh,” balas Donghae sambil mengangkat bahunya. Ia sepertinya sudah tidak mau mebahas lagi karena kami berdua sudah berada di depan Hyemin dan Jiyeon.

“Terserah apa?” tanya Jiyeon yang langsung menyambut Donghae dan memegang tangannya.

“Tidak. Aku hanya merasa Hyemin dan Hyukjae berbeda sejak akhir pekan kemarin,” jawab Donghae.

“Oh itu. Iya aku juga merasa begitu tapi mereka bilang tidak ada apa-apa,” balas Jiyeon sambil memicingkan matanya padaku dan Hyemin.

“Memang tidak ada apa-apa kok,” kata Hyemin membela diri.

“Tuh dengar kan,” aku menambahkan. “Sudah ah, ayo pulang.” Aku menarik tangan Hyemin.

*****

-Hyemin POV-

“Hanya Donghae dan Jiyeon ya yang menyadari perubahan kita,” kata Hyukjae saat seperti biasa Hyukjae mengantarku pulang dengan mobilnya.

“Memangnya kita ada perubahan apa?” tanyaku.

“Kau tidak merasa ada yang berubah?” Hyukjae balas bertanya.

“Tidak,” jawabku lagi. Aku diam-diam menyembunyikan senyumku. “Lagipula kan kita memang sudah berjanji tidak akan merubah apapun kan.”

“Iya sih, tapi kau lupa satu hal yang memang sudah berubah diantara kita,” balas Hyukjae. Aku menangkap senyum jahil di ekspresinya.

“Apa?” tanyaku, benar-benar tidak tahu.

“Bibirmu sudah jadi milikku,” Hyukjae menjawab dan langsung disambut dengan jitakanku di kepalanya.

“Mesum!!!” seruku kesal.

Hyukjae tertawa, “Aku tahu kau belum pernah pacaran.”

Wajahku memerah, “Sok tahu!”

“Aku memang tahu~” balas Hyukjae memainkan intonasi suaranya, mengejekku.

“Jangan bersikap seolah kau sudah pernah pacaran,” aku membalas. Sebenarnya aku hanya asal bicara, tapi ternyata reaksi Hyukjae justru menjawab semuanya.

“Enak saja! Aku pernah pacaran tahu, pacarku banyak,” jawab Hyukjae ketus.

Wajahnya juga memerah. Dan aku tahu, orang yang pernah pacaran berkali-kali justru akan menutupi jumlah pacarnya. Sedangkan orang ini justru membanggakannya. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

“Kenapa tertawa? Aku serius! Pacarku banyak,” ujar Hyukjae bersikeras.

Aku terpingkal hingga memegangi perutku yang terasa kejang, “Iya iya aku percaya. Jadi sekarangpun pacarmu bukan cuma aku?”

“Mmmm,” Hyukjae bergumam sesaat sebelum menjawab. “Pacarku banyak, tapi pendamping hidupku kan cuma satu.”

Seketika tawaku terhenti. Sial. Hyukjae selalu berhasil membuatku bertekuk lutut padanya.

Hyukjae tertawa sambil mengacak rambutku. Aku menepisnya sambil mengerucutkan bibirku berpura-pura kesal. Memang aku kesal sih, kenapa aku mudah sekali luluh dengannya.

“Tunggu, jangan turun dulu,” cegah Hyukjae setelah beberapa saat kemudian mobil Hyukjae berhenti di depan rumahku. Aku tidak jadi meraih kenop pintu mobil itu.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

Tanpa menjawab, Hyukjae hanya tersenyum lalu buru-buru keluar mobil. Aku memandang mengikuti sosoknya yang mengitari mobil lalu menghampiri pintuku dan membukakannya untukku.

“Silahkan, tuan puteri,” ujar Hyukjae sambil membungkuk ala sapaan terhadap bangsawan.

Aku tersenyum lebar seraya turun dari mobil, “Ternyata kamu multi fungsi ya. Bisa jadi supir juga.”

Hyukjae memonyongkan bibirnya, “Enak saja.”

Aku melangkah mendekati pagar rumahku, Hyukjae di belakangku. Aku kembali berbalik menghadap Hyukjae setelah berdiri tepat di depan pagar, “Terimakasih ya. Sampai ketemu besok.”

“Hanya begitu nih?” tanya Hyukjae.

Aku mengangkat alisku, “Memang harus bagaimana?”

Hyukjae memalingkan wajahnya, ia memejamkan matanya dan seolah menyodorkan pipi kanannya kepadaku. Hatiku berdebar.

Astaga, anak ini. Ini kan di tempat umum, gerutuku dalam hati.

Mau tidak mau perlahan aku berjinjit mendekatkan wajahku pada wajahnya. Tapi tiba-tiba aku mematung saat tak sengaja mataku menangkap sosok yang berdiri tak jauh di belakang Hyukjae.

“Hyemin-ah,”

Tanpa aku sadari, dan tanpa aku kendalikan, airmata sudah membasahi pipiku. Aku tersenyum, “Oppa...”

*****

-Hyukjae POV-

Aku tersenyum dalam hati saat mengintip dari antara kelopak mataku yang kupejamkan, bahwa ternyata Hyemin sedang berjinjit mendekatkan wajahnya pada wajahku.

Aku memejamkan mataku lebih erat. Sudah lewat beberapa detik tapi Hyemin tak kunjung mencium pipiku. Aku memutuskan untuk membuka mataku dan aku menemukan Hyemin sedang mematung di hadapanku. Matanya berkaca-kaca memandang ke satu titik di belakangku.

“Hyemin-ah,” tiba-tiba aku mendengar suara cowok yang tidak kukenal dari belakangku.

Aku masih memandang Hyemin, yang sepertinya memandang cowok itu. Hatiku tersentak saat Hyemin tiba-tiba meneteskan air matanya dan berkata pelan, “Oppa...”

Akhirnya aku memberanikan diri menoleh ke belakangku. Seorang cowok sedikit lebih tinggi dariku, dengan rambut hitam, memakai kaus polos putih dengan luaran blazer hitam yang lengannya digulung kasual dan celana jeans berdiri 5 meter di belakangku. Disampingnya ada sebuah koper berukuran sedang dan diatas koper itu ada tas laptopnya. Ia memandang gadisku lekat-lekat sambil tersenyum tipis.

Aku belum pernah merasa seperti ini. Dadaku sesak. Aku pernah mengalami rasa yang nyaris serupa pada Nichkhun, tapi aku merasa yang kali ini lebih sakit. Untuk Nichkhun aku berani segera bertindak, tapi kali ini aku tidak bisa.

Karena sesuatu di hatiku memberitahukanku bahwa Hyemin menganggap orang ini begitu berharga. Sesuatu itu juga memberitahu aku bahwa aku harus bisa mengendalikan diriku, menjaga perasaan Hyemin. Dan sesuatu dalam hatiku itu juga mengatakan bahwa cowok ini adalah cowok yang pernah diceritakan Taemin kemarin.

*****

fanfiction, dark and bright

Previous post Next post
Up