Fanfic: Aftermath (Bagian Kedua: Sisi Ungu)

Jul 03, 2011 10:23

Fandom: Yami no Matsuei

Rating: M

Genre: Angst/Drama



AFTERMATH

Bagian Kedua: Sisi Ungu

Ini adalah kisah dari sisi Tsuzuki. Menurutku ini lebih susah daripada menuturkan cerita dari sudut pandang Tatsumi. Yoko Matsushita sendiri masih menyembunyikan banyak hal terkait Tsuzuki.

Satu nyawa lagi.

Satu nyawa lagi.

Mengapa aku harus terus melakukannya?

Selalu memutus kehidupan.

***O***

Kachou memanggilku ke kantornya, mengenalkanku pada partner baruku.

“Tsuzuki, ini partner barumu.”

Aku mengulurkan tangan kananku, mengajaknya berjabat tangan, “Namaku Asato Tsuzuki, senang berkenalan denganmu. Mulai hari ini, mohon bantuannya.”

“Seiichirou Tatsumi. Senang bekenalan denganmu. Mohon bantuannya juga.”

Dia lelaki yang tampan, terkesan serius, namun sedih. Ya, sedih.

***O***

Dia memang serius, tapi tak seperti yang orang lain duga, sebenarnya dia orang yang baik dan lembut. Memang dia keras soal pekerjaan, tak sekali dua kali dia mengomeliku karena aku tidak kunjung bisa rajin.

“Tsuzuki-san! Bukankah seharusnya partner senior yang membimbing pegawai baru?! Mengapa peran kita terbalik begini?!”

Maaf, maaf, Tatsumi. Harusnya aku jadi rekan kerja yang lebih baik untukmu.

Meskipun dia selalu mengomel begitu, tetap saja dia selalu membantuku membereskan kekacauan yang kubuat. Dia memang ….

Sekali waktu dia pernah memakan youkan langsung dari tanganku. Waktu itu … waktu itu ….

Kurasa aku sudah jatuh cinta padanya.

***O***

Pembunuh kotor seperti diriku ini….

Pendosa. Menjijikkan. Kotor. Tak pernah murni.

Air mataku menetes. Mengalir. Hanya ini yang usaha yang aku tahu bisa membersihkan diriku. Usaha yang selalu gagal, tapi tak ada cara lain yang aku tahu. Benarkah aku yang entah manusia atau bukan ini bisa membersihkan diri?

Dia yang selalu sedih. Dia yang belum lama bergabung di sini. Dia yang belum lama meninggal….

Dia amat terbeban melihat air mataku. Dia yang begitu tertekan. Apa yang sudah kulakukan?

Aku harus menahan diri. Harus kusembunyikan semua darinya. Aku tak boleh menambah bebannya.

***O***

Gagal. Gagal. Gagal.

Meskipun aku sudah berusaha tersenyum dan meyakinkan Tatsumi bahwa aku baik-baik saja, tapi tetap saja wajahnya tegang melihat keadaanku. Pasti aku tidak bisa membuat wajahku lebih meyakinkan.

Maafkan aku, maafkan aku Tatsumi. Maafkan aku yang begini lemah. Maafkan aku yang hanya bisa jadi bebanmu.

Akankah dia membenciku setelah semua ini?

***O***

Satu nyawa lagi. Menyakitkan. Aku tak tahan. Harus berusaha, harus berusaha menyembunyikannya dari Tatsumi. Aku harus menahan air mataku tak tumpah dan tak ada isakan yang keluar dari mulutku sampai dia tidur.

“Tsuzuki-san, kau baik-baik saja?”

Ah, bodohnya aku, mengira dia sudah tidur. Harusnya aku diam, agar dia yang tidur di sebelahku tak sadar. Harusnya aku bersembunyi saja di kamar mandi, agar dia tak tahu. Bodohnya aku, berharap dia menghiburku. Bodohnya aku, padahal aku pasti membebaninya dengan keadaanku yang seperti ini, padahal dia sudah begitu baik padaku.

“Tsuzuki-san, Tsuzuki-san, tenanglah…,” tangannya yang hangat menggenggam tanganku yang dingin. Kedua lengannya yang kuat merengkuhku, menarikku dalam pelukannya. Aku ada dalam pelukan pria yang kucintai. Mungkin kalau begini, aku bisa sedikit lebih kuat. Mungkin....

Lalu…, lalu….

Sentuhannya, belaiannya, dekapannya… Apa ini artinya dia mencintaiku juga?

Tidak. Tidak. Dia tidak memelukku setelahnya.

Aku sudah menjebaknya. Aku sudah memanfaatkannya demi ketenanganku sendiri. Memperalat rasa kasihannya. Menjebak orang yang selalu tertekan melihat air mataku. Partner-ku sendiri. Laki-laki yang kucintai.

Mengapa aku tak bisa mengendalikan diri?

***O***

Anak yang begitu muda. Begitu ingin hidup. Kontras denganku yang selalu mengejar kematian. Tapi aku… sudah memutus hidupnya. Haruskah ini terjadi?

Tanganku… tanganku….

“Pembunuh! AKU PEMBUNUH!!!!!!! Mengapa aku harus ada? Mengapa...?”

Mengapa aku terus terjebak pada lingkaran yang sama?

Tak terampunikah aku?

Dan saat itu aku juga melakukan kesalahan yang sangat besar, memperlihatkan wajah yang tidak seharusnya dia lihat. Meskipun begitu, dia masih mengantarku pulang. Tidakkah dia membenciku? Aku sudah begitu kejam menjebak dan memanfaatkannya.

***O***

Sret. Sret. Sret.

Pennsilku menggores kertas. Mencoba memahami apa yang dirasakan anak-anak yang sangat ingin hidup.

Tak bisa. Tak bisa. Aku sudah lupa rasanya. Mungkinkah aku tak pernah tahu dan paham karena aku bukan manusia? Mustahilkah aku paham karena aku hanyalah iblis pencabut nyawa?

MENGAPA?! MENGAPA?! Mengapa aku terus menjadi pendosa…? Mengapa aku hanya bisa menjadi pembunuh…? Tidak bisakah aku jadi manusia selayaknya…? Tidak bisakah aku membuat orang di sekelilingku bahagia…?

AKU HANYA INGIN JADI NORMAL!!! KENAPA TAK BISA??!!!

Aku menjerit sekuat tenaga, agar kepedihan hatiku hilang, agar rasa marah ini reda….

Beruang Teddy. Simbol anak-anak.

Buat apa benda ini ada kalau aku tak pernah jadi kanak-kanak sesungguhnya…?

Mengapa aku begitu tak berdaya? Begitu tak berguna?

Tak ada lagi harapan. Semuanya gelap.

Satu gores. Dua gores. Darah ini akankah bisa membersihkanku lebih baik dari air mata? Nyeri tubuh ini akankah bisa menghapus lara di hati? Aku bersedia menukar kepedihan jiwa dengan sakitnya raga kapan saja.

Makin dalam. Makin dalam. Biar saja darah ini menyembur. Membanjir.

Tak ada harapan. Tak ada daya. Dan tak ada yang menolong.

Aku sudah tak berdaya. Tak ada lagi tenaga tersisa, bahkan hanya untuk sekedar menggenggam pisau….

Pintu menjeblak terbuka.

Dia datang.

Dia melihatku begini.

Orang yang baru saja meninggal. Yang hatinya masih digelayuti banyak beban.

Dia berdiri terpaku. Diam. Tak bergerak. Kaku.

Untuk bicara padanya pun aku sudah tak lagi punya daya. Bahkan untuk sekedar berusaha tersenyum.

Dia pergi. Dia pergi.

***O***

“Tatsumi, barusan apa yang...?”

“Maaf Tsuzuki-san, aku tidak bisa bersama-sama dalam tugas kali ini.”

“Ah, ya, nggak ‘pa-‘pa. Tugasnya mudah kok. Kalau begitu selanjutnya kita sama-sama….”

“Yang selanjutnya juga tidak. Yang setelah itu juga. Juga sesudahnya.”

“O-oh….”

“Tsuzuki-san….”

Dia tak boleh sampai melihat wajahku.

“Begitu, ya. Aku sudah mengerti.”

Harus cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan ini.

“Aku nggak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.”

Tatsumi hanya diam.

“Maaf ya Tatsumi, aku sudah merepotkanmu selama ini,” aku berbalik. “Terima kasih….”

Dia memanggil pelan namaku, berusaha meraih tanganku. Tak boleh. Tak boleh. Aku harus bisa melepasnya.

Sudah kuduga. Sudah kuduga. Hal ini cepat atau lambat pasti terjadi. Lihat semua yang sudah kulakukan. Membebani jiwa dan hatinya. Memanfaatkan kebaikan dan belas kasihnya.

Aku tahu aku layak mendapatkan semua ini. Aku tahu aku tak pantas dicintai.

Tapi mengapa hati ini terasa begitu pedih?

Bukankah aku harusnya tahu diri?

Mengapa aku harus jatuh hati padanya? Jika tanpa perasaan ini, aku bisa melepasnya dengan tenang. Tanpa perasaan ini, aku tak perlu kecewa dengan hal yang telah dia lakukan. Tanpa perasaan ini, aku bisa sedikit membayar kesalahanku padanya.

Dan sekarang aku harus hidup tanpa senyum dan sorot matanya yang lembut.

***O***

Jaketnya masih ada di kamarku. Jaket yang dipinjamkannya kepadaku. Bagian dirinya yang masih ada padaku. Kupeluk jaket itu. Masih ada wanginya. Wangi Tatsumi. Seolah-olah aku masih ada dalam pelukannya. Dekapannya yang erat dan hangat.

Dia pasti membenciku. Memangnya aku pantas mendapatkan selain itu?

Wajar dia pergi….

Tapi aku mencintainya. Tapi aku menginginkan dia bersamaku.

Tatsumi….

Tatsumi….

Mengapa kau harus pergi…?

***O***

Jaketnya sudah kucuci. Hari ini akan kukembalikan. Tapi, sanggupkah aku menatap wajahnya dan bicara padanya. Mengapa hatiku begitu perih? Bukankah aku tak seharusnya merasa seperti ini? Bukankah semua ini akulah penyebabnya?

Aku hanya bisa jadi seorang pendosa. Mengendalikan perasaanku pun aku tak bisa.

Benar saja, aku tak sanggup menatap matanya. Tak sanggup bicara. Bukankah harusnya aku meminta maaf secara lebih pantas daripada waktu itu? Tidak. Aku lari.

Terlalu menyakitkan.

Pengecut, Asato. Pengecut.

Seharusnya dia yang marah dan membenciku, tapi mengapa sikapku seolah dialah yang berbuat salah begini?

***O***

Goresan-goresan merah di tanganku dengan cepat menutup. Sayat lagi. Sayat lagi.

Mengapa dia pergi meninggalkanku…?

Segores lagi.

Aku mencintainya. Aku ingin bersamanya.

Wajar dia pergi. Aku sudah membebaninya.

Dua goresan kali ini.

Tapi aku membutuhkannya! Tapi aku mengiginkannya!

Mengapa dia harus pergi…?

Lagi-lagi begini. Perputaran perasaan tanpa ujung.

Tusuk, tusuk! Tikam!

Kau makhluk menyedihkan, Asato.

Kalau begitu…. Kalau begitu…. Mengapa aku harus pernah terlahir?! Mengapa aku hanya bisa jadi orang tak berdaya?! Mengapa aku hanya bisa jadi orang yang begitu egois?!

Segala goresan tak beraturan.

Tidak adakah akhir dari semua ini?

Aku benci! Aku benci diriku sendiri! Aku benci! Aku….

Semua darahnya sudah kering.

Aku lelah… lelah.

***O***

Bunga-bungaku. Tanaman-tanamanku.

Mungkin bersama mereka hatiku bisa terasa lebih ringan. Tapi…. Hatiku masih saja kosong. Hampa.

Dan tulip itu…. Pemberiannya. Aku tak kunjung bisa lupa.

Histeris. Histeris. Entah kenapa kemarahanku meluap. Entah pada diriku sendiri, entah padanya. Mengapa aku harus merasa begini? Dan bunga itu…, tanganku sudah mencengkeramnya dengan kasar, mencoba menariknya.

Apa yang sudah kulakukan?

Bunga yang tak berdosa, bunga yang tak punya salah apa-apa.

Di sana, di sana, ada kenangan tentang dirinya. Hanya tinggal itulah yang aku punya. Itu saja….

***O***

Terbangun lagi tengah malam. Menatap langit-langit kosong. Pikiranku penuh dengan Tatsumi. Hanya dia.

Mencoba memakan kue lagi. Agar hatiku lebih ringan. Agar hatiku lebih gembira.

Kue paling enak itu tak ada rasanya. Tak ada rasanya. Kupaksa makan. Siapa tahu aku bisa tersenyum lagi. Dengan ini, siapa tahu aku bisa tertawa lagi.

Tergeletak lagi di tempat tidur. Rasanya sedikit cahaya pun sangat menyesakkan.

Gelap.

Gelap.

Kosong.

Hampa.

Mati rasa.

***O***

Mimpi-mimpiku penuh dengan dirinya. Impian yang penuh kelembutan dirinya, rasa cintanya padaku. Mimpi-mimpi yang membuatku bahagia. Dan kenyataan membantingku dengan kejam. Dan aku hanya bisa berlari ke dalam mimpi dan khayalan.

Alam mimpi begitu membuai, tapi jika pagi tiba, aku harus kembali menjadi boneka kosong. Bergerak secara otomatis tanpa kesadaran. Aku sama sekali tak tahu harus merasa bagaimana.

Tak bolehkah hatiku perih? Bolehkah hatiku perih?

Betulkah masih bisa? Tidakkah aku mati rasa?

Aku tak mengerti.

Ah, rupanya aku masih tak bisa bicara padanya. Tak bisa menatap wajahnya. Rupanya aku masih bisa merasakan kepedihan dan kepahitan. Tak seharusnya orang yang bersalah merasa sakit hati. Aku tahu itu.

Aku ingin kami berdua bisa bersikap wajar lagi, normal lagi. Bisa bicara selayaknya rekan kerja, tanpa ada rasa sakit hati berkelindan, meskipun ada kejadian yang getir di antara kami berdua.

Mungkinkah itu terjadi?

Bisakah aku setelah semua ini?

Andai aku tak perlu terus berpikir. Andai aku benar-benar sudah tak bisa merasakan apa-apa.

***O***

Sekarang dia jadi sekretaris Divisi Shokan. Dan itu berarti semua laporan tugah diserahkan padanya. Artinya aku harus bicara lagi dengannya. Mengapa begini? Pikiranku bicara aku harus bisa bicara normal lagi padanya, tapi entah mengapa ada rasa di sudut hatiku yang ingin menghindar dan kabur saja. Aku terus-menerus tercabik antara merindukannya, sakit hati, rasa bersalah, kebingungan, kehampaan, ketakutan….

Mungkin lebih baik kalau aku jadi sungguh-sungguh gila, tak perlu merasakan apa-apa. Tak perlu memikirkan apa-apa.

Aku takut. Sangat takut.

Sudah waktunya laporan diserahkan.

Lari! Lari!

Ayo, Asato, beranilah! Beranilah!

“Tatsumi, ini laporannya.”

Suaraku pasti pelan sekali. Kenapa aku terus begini?

“Terima kasih Tsuzuki-san. Apa tugasnya lancar?” dia bicara wajar dan tenang saja.

“Lumayan.”

Mengapa aku hanya bisa menjawab satu kata seperti ini?

“Partnermu membantu?”

“Ya.”

Aku buru-buru keluar. Aku pengecut. Aku pengecut. Aku sudah menetapkan hati untuk membuat semuanya kembali normal, tapi bahkan aku tak punya keberanian untuk itu.

Mengapa aku harus terus-menerus teriksa dengan berbagai perasaan seperti ini?

Aku bingung. Tak paham. A-aku….

Aku menyerah.

***O***

Tsuzuki si Bodoh. Ya, itulah yang kubiarkan mereka lihat. Kujaga jarak. Harus begitu. Jika tidak, kisah pahit antara diriku dan Tatsumi bisa terulang lagi.

Mencintai.

Memanfaatkan.

Berpisah.

Merasa begitu terluka karena semuanya.

Merasa begitu bersalah atas semuanya.

Dan tetap tidak ada yang bisa menggantikan tempatnya.

Mengapa aku masih terus mencintainya? Tanpa perasaan itu akan lebih baik bagi kami berdua.

***O***

Aku tak tahu apa aku bisa benar-benar tersenyum atau tertawa lagi, bahkan dengan semua ulah Watari, Yuma atau Saya. Bukan aku tak suka, aku tetap tertawa, hanya saja tawa itu tetap saja tidak bisa merasuk dalam hati. Tetap saja masih kosong rasanya.

Aku harusnya puas dengan apa yang ada, bukankah begitu?

Harusnya aku….

Mereka selalu bilang sayang padaku, tapi….

Dikelilingi teman. Rasanya itu terlalu muluk untukku.

Bukankah mereka akhirnya akan pergi juga? Seperti partner-partner-ku? Datang dan pergi.

Harusnya aku sudah biasa. Begitu semestinya. Tapi masih ada sakit hati yang tumpul dan aneh tiap kali itu terjadi. Lupakan. Lupakan. Minum lagi, minum lagi. Habiskan kuenya. Setidaknya bisa lupa walau hanya sekejap.

Setidaknya kalau begitu aku bisa menjaga wajah dan pembicaraan yang normal di depan Tatsumi. Paling tidak bisa bersikap layaknya rekan kerja.

Setelah semuanya aku masih tidak bisa membunuh perasaanku padanya….

***O***

Aku mengulurkan laporan di tanganku, “Tatsumi, ini laporan kasus kemarin. Aku mau berangkat menangani kasus yang baru di Nagasaki.”

“Ini uang untuk tugas kali ini. Jangan dihambur-hamburkan! Aku tak mau dengar alasan apapun!” wajahnya galak seperti biasa.

“Iyaaa….”

“Mana partnermu?”

“Kachou bilang dia sudah ke sana duluan.”

“Tsuzuki-san….”

“Ya?” aku menoleh.

“Semoga beruntung dengan partner-mu kali ini.”

“Terima kasih,” aku cuma bisa menjawab dengan lirih.

Akan ada orang baru masuk dalam hidupku. Ataukah aku akan benar-benar membiarkannya masuk? Apakah kali ini kami akan bertahan lama, atau dia akan segera pergi lagi? Apakah akhirnya dia akan bisa menggantikan tempat Tatsumi?

Dengan keberadaannya, apakah aku bisa mencintai orang selain Tatsumi? Apakah dengan keberadaannya aku bisa benar-benar tersenyum lagi? Apakah dengan keberadaannya, aku bisa memulai satu awal baru?

Dulu, waktu menulis fanfic ini bener-bener memanfaatkan kondisi emosi saya yang sedang tidak stabil. Mungkin itu untungnya, tanpa kondisi seperti itu terlalu sulit menyelami perasaan Tsuzuki. Menulis ini bisa dibilang penyaluran emosi lewat keran yang aman daripada menjebolkan tanggul.

Terima kasih teman-teman sudah mau meluangkan waktu membaca fanfic ini.

c: seiichirou tatsumi, c: asato tsuzuki, f: yami no matsuei, g: angst, fanfic, p: tatsumi/tsuzuki, g: drama, r: m

Previous post Next post
Up