Fanfic: Aftermath (Bagian Pertama: Sisi Biru)

Jul 03, 2011 10:11

Fandom: Yami no Matsuei

Rating: M

Genre: Angst/Drama


AFTERMATH

Bagian Pertama: Sisi Biru
 Kali ini bikin TatsumixTsuzuki lagi. Angst, yang sulit dihindari untuk ditulis jika melongok latar belakang mereka berdua. Mari kita tidak berpanjang-panjang lagi dan masuk ke ceritanya.

Matanya ungunya dibasahi air mata sekali lagi.

“Aku baik-baik saja Tatsumi,” dia mencoba untuk tersenyum, tapi matanya tak pernah bisa berbohong. “Aku tak apa-apa. Tak usah khawatir. Pulanglah.”

Tapi nada suaranya bergetar.

Hentikan, hentikan, kumohon….

Kilasan ingatan yang pedih.

“Kaasan, Kaasan kenapa…?”

“Tidak apa-apa nak….”

***O***

Aku terbangun lagi, terserang mimpi buruk. Air matanya, air matanya…. Oh Tuhan, mengapa harus ada…?

Kaasan….

Orang yang paling menyayangiku. Orang yang kudorong ke dalam keputusasaan.

Dan sekarang dia….

***O***

Tapi jika dia tersenyum….

Dia bahkan bisa tersenyum karena hal-hal sepele. Hanya karena youkan(1).

“Tatsumi, mau?”

“Kau saja yang makan.”

Tapi dia langsung menyodorkan satu ke depan mulutku.

“Eh?”

“Nggak suka youkan?”

“Suka kok,” aku langsung mengigit youkannya, padahal dia masih memegang tusukan kue ini. Menyadari itu pipiku jadi agak panas.

“Tatsumi?”

“Youkan-nya enak.”

Berapa banyak orang yang begitu polos dan spontan? Kebaikan sederhana itu, sikapnya yang polos dan tulus bagai anak kecil….

***O***

Tsuzuki-san jatuh berlutut, “Pembunuh! AKU PEMBUNUH!!!!!!! Mengapa aku harus ada? Mengapa...?” Tsuzuki setengah histeris, suaranya begitu merana.

“Tsu-Tsuzuki-san... waktu hidup anak itu sudah habis, ini sudah seharusnya,” aku terus beralasan, mencoba merasionalkan. Aku takut, aku takut mengakui kebenaran kata-katanya. Anak itu ingin hidup, sangat ingin hidup. Dan dengan semua yang kami lakukan, kami terus-menerus diingatkan tentang dosa kami, dengan harus mengambil nyawa. Kami hanya manusia, terbayangkah betapa sakitnya harus merenggut jiwa?

Keesokan harinya Tsuzuki-san tidak masuk kantor. Aku sudah bisa mengira apa sebabnya.

Sepulang kerja aku langsung menuju apartemennya. Pintunya tak terkunci, ceroboh sekali. Aku nekat masuk ke dalam.

Kamarnya….

Coretan-coretan gambar, seperti yang dibuat oleh seseorang yang kekanak-kanakan, atau oleh orang yang tak pernah sempat menjadi anak kecil, berlumur darah.

Matanya kosong.

Dan... dan lehernya... lehernya….

Pergelangan tangannya….

Ini tidak nyata! Tidak nyata! Ilusi!

Aku hanya bisa terpaku, tak sanggup bergerak melihat semuanya. Bayangan seorang wanita cantik berkelebat di dalam pikiranku. Orang yang hidupnya kubuat merana, ibuku sendiri, yang kubunuh perlahan-lahan.

Dan sekarang, orang ini, orang ini... aku juga sudah membuatnya menderita, aku tak bisa berbuat apa-apa….

Kesedihan.

Keputusasaan.

Penyesalan.

Dia akan berakhir seperti Kaasan.

Kau gagal Seiichirou. Selamanya gagal.

HENTIKAAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!!!

***O***

Air mata, air mata lagi.

Mengapa aku harus diingatkan tentang dosaku lagi, bahkan setelah aku mati. MENGAPA?????!!!!!

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berguna. Mengapa aku harus selalu begini lemah?

Tapi aku... aku…. Hatiku sesak melihatnya.

Jangan, kumohon jangan lagi. Jangan gelayuti aku dengan kesedihan.

Aku sudah lelah….

***O***

Aku harus menarik garis tegas. Aku sudah tak sanggup lagi. Jiwaku akan makin remuk kalau aku terus terseret dukanya.

Tapi dia juga sangat menderita Seiichirou. Kau tahu itu.

Aku tak sanggup lagi.

Aku lelah, aku sudah menyerah.

***O***

“Tatsumi, barusan apa yang...?”

“Maaf Tsuzuki-san, aku tidak bisa bersama-sama dalam tugas kali ini.”

“Ah, ya, nggak ‘pa-‘pa. Tugasnya mudah kok. Kalau begitu selanjutnya kita sama-sama….”

“Yang selanjutnya juga tidak. Yang setelah itu juga. Juga sesudahnya.”

“O-oh….”

“Tsuzuki-san….”

“Begitu, ya. Aku sudah mengerti,” nada suaranya jelas menyiratkan kegugupan, bicaranya lebih cepat dari biasanya. “Aku nggak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.”

Kalau begitu kenapa….

“Maaf ya Tatsumi, aku sudah merepotkanmu selama ini,” dia berbalik. “Terima kasih….”

... wajahmu begitu sedih...?

Pasti dia….

“Tsuzuki-san...,” aku berusaha meraih tangannya, tapi... jari kami hanya sempat bersentuhan, dia langsung menarik tangannya, berjalan menjauh dengan langkah gontai. Langkah kakinya bergema di lorong. Aku, lagi-lagi, hanya bisa berdiri terpaku. Seharusnya aku berlari mengejarnya, meraihnya dalam dekapanku…. Tidak, tidak, dia hanya akan menangis, meluapkan kemarahannya padaku. Tapi….

Aku menyangga tubuhku sendiri dengan sebelah tangan di tembok. Kusentuh dadaku, himpitan beban di sana tak juga lenyap, justru semakin menekan. Malah terasa perih.

Keputusan ini benar kan? Sudah tepat kan?

Akhirnya aku hanya bisa berbalik pergi.

Maafkan aku... maafkan aku….

***O***

Pasti nanti aku akan berpapasan dengannya di kantor. Tapi….

Tak apa-apa Seiichirou, tenang saja. Hanya akan bertemu sekilas, tak akan berinteraksi banyak, lagipula hari ini ada tugas luar.

Dia terlambat lagi, seperti biasa. Nyaris aku membuka mulutku, mengomelinya lagi, tapi….

Melihatnya saja terasa perih hati ini. Dan dia tak bicara sepatah kata pun padaku. Sekilas terlihat wajahnya menanggung derita, mata ungu bagai permata yang berkabut. Matanya sembab. Tapi dia dengan cepat memalingkan wajahnya, tidak mau aku melihatnya, dan cepat-cepat berjalan pergi.

Setalah dia berlalu, baru aku sadar tanganku gemetar.

Apa yang sudah kulakukan?

Seiichiro! Seiichiro! Kejar dia! Kejar dia!

Jangan! Jangan! Kau tahu akan bagaimana reaksinya. Kau sanggup menghadapinya?

Akhirnya aku juga cepat-cepat berjalan pergi, mencoba menghapus rasa tak nyaman di dada ini.

***O***

Aku harus mengambil nyawa lagi. Pahit, kau tahu. Ini hukuman. Apalagi setelah aku…. Aku terus terbayang reaksinya dalam situasi seperti ini. Rasa berdosa yang menyesakkan dada, merasa telah melumuri tangan dengan darah. Aku bisa membayangkan dia jatuh terpuruk dan menangis di sampingku.

“Tatsumi-san...?”

“Ah, ya, maaf,” pasti partnerku melihatku tak berkonsentrasi, melamun.

Tugas kali ini berhasil, tapi….

Mata ungu yang basah dengan air mata itu terus menghantuiku.

***O***

Mengambil nyawa orang lagi.

“Tatsumi….”

Bayangannya lagi…. Bayangannya lagi.

Aku berlari keluar menjauh, partnerku mengejar. Aku terengah-engah di luar.

“Ayo kita segera pulang saja.”

***O***

Aku termenung lagi.

Kalau saat bersamaku pun keadaannya seperti itu….

Aku tersentak.

Apa lagi? Apalagi yang akan dilakukannya?

Dia pasti….

Aku... aku... aku sudah begitu kejam padanya. Akulah yang membuatnya menderita, sama seperti Kaasan dulu.

Tak heran bayangannya makin menghantui setelah kami berpisah.

***O***

Seteguk. Dua teguk. Meminumnya tak membuat hatiku lebih ringan. Bayangannya masih tetap ada.

Tak kunjung lupa, padahal…. Aku hanya ingin melupakannya, walau hanya sejam saja. Lupa karena kesadaran yang mengabur. Aku ingin kesadaran itu lenyap, agar aku tak usah memikirkannya. Agar hatiku tak harus begini sakit, agar hatiku tak begini tertekan.

Minum lagi, minum lagi. Masih ingat, masih sadar. Mengapa pikiranku tak kunjung kosong?

Tak sadar aku sudah menangis. Menangis. Aku tertawa pahit. Menangis itu kenikmatan rupanya, rasa yang tersekap dalam dada bisa menyeruak keluar. Pertahananku runtuh, ambruk. Tekanan rasa bersalah dan putus asa yang kian menyesakkan.

Tak ada yang menolong.

Minum lagi, minum lagi. Aku akan minum lagi sampai aku lupa. Lupa bahwa aku kejam. Lupa bahwa aku sudah meninggalkannya. Lupa bahwa aku lemah.

Lupa bahwa aku sebenarnya mencintainya.

***O***

Hah??!!!

Aku tersentak, rupanya hanya mimpi. Tapi mimpi itu…. Kejadian dua bulan lalu.

Saat dia mendadak menangis suatu malam saat kami ada tugas. Bagaimana mungkin aku tak menyadarinya sedangkan aku tidur persis di sebelahnya? Dia tak bicara apapun saat kutanya, bahkan tak berusaha untuk tersenyum, hanya meringkuk dengan mata ketakutan. Mata dengan harapan aku akan menghiburnya, bahkan untuk itu pun tak ada keberanian. Aku berusaha membuatnya tenang, padahal tanganku sendiri gemetaran. Aku nekat memegang tangannya, dengan bodohnya mencoba menemukan kembali kekuatanku sendiri, lalu memeluknya, berupaya mendapatkan kembali ketenanganku. Lalu itu terjadi, aku sudah melewati batas….

Dengan itu aku bisa menekan kehawatiranku sendiri, rasa takut itu, rasa cemas itu….

Dan setelah itu aku bahkan tak sanggup memeluknya saat dia tidur.

Tak heran paginya dia menangis lagi, meringkuk di sudut ranjang sempit kamar hotel yang kami tempati.

Hebat Seiichirou, hebat. Kau sudah memanfaatkan Tsuzuki-san yang polos dan naif.

Lengan ini, tangan ini….

Waktu aku memeluknya, mendekapnya begitu erat, dan saat itu wajahnya begitu indah, begitu lepas. Andaikan itu bisa terjadi lagi…. Suaranya yang lirih memanggil-manggil namaku. Wajah dan matanya yang pekat dengan gairah, sepercik kebahagiaan di mata ungunya.

Andai saja itu bisa terjadi lagi….

Aku tertawa pahit lagi. Aku yang memanfaatkannya, aku sudah meninggalkannya, dan sekarang berharap dia ada dalam pelukanku lagi, mengikat diri kami dalam keintiman seperti itu.

Sungguh aku ini tak tahu diri.

***O***

Posisi sekretaris Divisi Shokan kosong. Aku sudah mengajukan lamaran untuk mengisi posisi itu. Setidaknya kalau begitu aku bisa punya pekerjaan di belakang meja, rendah resiko, gaji lebih besar. Dan lebih penting lagi, aku tak perlu berurusan dengan rasa bersalah dan kesedihan yang menyesakkan saat harus mengambil nyawa. Lamaranku dengan cepat diterima, mulai hari ini aku bertugas sebagai sekretaris.

Sudah lewat sebulan sejak kami berdua berpisah. Dengan posisiku sebagai sekretaris sekarang nyaris tak mungkin menghindari interaksi antara kami berdua. Laporan tugas pasti diserahkan padaku.

Mungkin lebih baik kalau kami berdua bicara lagi. Tak apa kalau dia berteriak dan meluapkan kemarahannya padaku. Itu lebih baik daripada dia memendam semua kekecewaan dan kemarahannya. Aku memang bersalah. Bersalah.

Ironisnya, dengan kesalahan besar yang sudah kulakukan, sudut hati ini masih menginginkan aku bersamanya. Padahal... aku pasti akan melukainya lagi. Dan itu subuah keegoisan yang tak mungkin jadi kenyataan, dia begitu membenciku, hingga tak mau melihat wajahku. Aku harus melawan perasaanku sendiri, melepaskannya. Bukankah akulah yang meninggalkannya?

Dan benar saja, dia datang menyerahkan laporan tugasnya padaku. “Tatsumi, ini laporannya,” dia berkata pelan.

“Terima kasih Tsuzuki-san. Apa tugasnya lancar?”

“Lumayan.”

“Partnermu membantu?”

“Ya.”

Dia keluar dari ruanganku, meninggalkan aku sendiri di sini. Entah kenapa aku merasa sedikit gembira dia mau bicara padaku, walau hanya jawaban pendek-pendek seperlunya. Tapi layakkah aku merasa begitu? Dia lebih dari pantas marah padaku, membenciku. Lihat apa yang sudah kulakukan?

Dan aku juga tak bisa berhenti mengkhawatirkannya, bagaimana keadaannya sebenarnya sekarang. Dia terlihat biasa saja, kadang dia terlihat sedih, seperti dulu. Apakah dia bisa bangkit? Apakah dia terus melukai dirinya sendiri?

Teriakilah aku. Maki aku. Marahlah padaku. Kalau kau ingin memukulku Tsuzuki-san, kuterima. Aku layak mendapatkannya. Hukumlah aku, tumpahkanlah semua kebencian itu.

***O***

Dia gonta-ganti partner lagi. Menurut kabar yang kudengar, mereka tak tahan dengan sikap aneh dan seenaknya itu. Setidaknya bukan karena dia rapuh. Setidaknya mereka lebih kuat daripadaku.

Setidaknya mereka jujur, tak memakai topeng dan bukan orang yang egois dengan rasa bersalahnya, berharap tekanan perasaan itu lenyap.

Dan mereka juga bukan orang-orang yang memanfaatkan kerapuhannya. Orang yang memberinya harapan, lalu dengan kejam membanting harapan itu sampai hancur….

***O***

Tahun berganti, waktu berlalu. Dia masih saja gonta-ganti partner. Tapi kulihat dia tidak bersikap bergantung pada mereka, bahkan tidak terlalu dekat, hanya sebagai kawan biasa.

Takutkah dia? Traumakah dia? Cemaskah dia?

Harusnya aku tak perlu heran. Akukah yang menyebabkan semua itu. Itu salahku.

Sekarang ada Watari-san, si ilmuwan gila yang hobi melakukan hal-hal aneh. Dia dengan cepat akrab dengan Tsuzuki-san dengan cara-caranya yang aneh dan gila-gilaan. Baguslah, Tsuzuki-san sekarang punya satu teman yang bisa membuatnya tertawa, atau lebih tepatnya, dia dipaksa tertawa oleh Watari-san tanpa ada pilihan lain. Dia juga sudah bisa bicara dengan normal padaku sebagai rekan kerja.

Normal. Normal. Cukupkah itu bagiku?

Ah, lagi-lagi aku egois. Dia lebih dari sekedar berhak membenciku.

Orang-orang baru terus datang. Tsuzuki-san dengan kebaikan hatinya dengan segera berteman dengan mereka, bahkan dengan Torii-san dan Fukiya-san yang tak kalah aneh dengan Watari-san, juga cepat akrab dengan Kannuki-san, penjaga gerbang Gensoukai. Dia dikelilingi orang banyak yang menyayanginya.

Dia sudah tidak membutuhkanku lagi

Dan aku? Aku sudah tidak layak berada di sampingnya lagi. Kesalahan yang kulakukan sudah terlalu besar. Aku hanya bisa menebus kesalahanku dan menjaganya dari jauh.

Aku mengusulkan agar dia dipindahkan ke area dua, Kyushu yang tenang. Agar dia tidak perlu menghadapi banyak kasus yang membuatnya tertekan. Hanya ini yang bisa kulakukan.

Dan sikapnya soal partner-partnernya…. Bukan berarti dia sama sekali tak kecewa. Diam-siam aku amati, dia makan kue lebih banyak dan minum-minum juga lebih banyak saat dia harus ganti partner.

Trauma. Trauma, itu pasti. Aku sudah melukai hatinya begitu dalam.

Dua partnernya sebelum aku jauh lebih stabil, mereka pegawai lama. Mungkin dia pikir, dia layak mendapatkan semua itu.

Entah kenapa, sikapnya pada partner-partnernya membuatku sedikit lega. Tak ada dari mereka yang dipandang dengan cara ia memandangku. Aku meninggalkannya, tapi masih tak rela tempatku tergantikan. Betapa egoisnya aku.

Karena aku dia tak membiarkan ada orang yang masuk ke hatinya lagi.

Maaf, Tsuzuki-san, maaf.

***O***

“Tatsumi, ini laporan kasus kemarin. Aku mau berangkat menangani kasus yang baru di Nagasaki.”

“Ini uang untuk tugas kali ini. Jangan dihambur-hamburkan! Aku tak mau dengar alasan apapun!”

“Iyaaa….”

“Mana partnermu?”

“Kachou bilang dia sudah ke sana duluan,” dia berbalik.

“Tsuzuki-san….”

“Ya?”

“Semoga beruntung dengan partnermu kali ini.”

“Terima kasih, “ dia menjawab dengan lirih.

Aku hanya bisa melihat punggungnya menjauh, seperti saat lima puluh tahun lalu. Dadaku rasanya seperti dipenuhi pecahan kaca. Sudah setengah abad berlalu, dia mungkin sudah bisa melanjutkan hidup lagi, siap menerima orang lain masuk ke hatinya lagi. Dan mungkin saja partnernya sekarang adalah orang yang baik, jauh lebih kuat, jauh lebih pengertian daripada aku atau partner-partnernya yang lain.

Dan aku tetap saja berada di sini, di belakang meja sekretaris, melihat orang yang kucintai pergi menjauh. Aku tetap mencintainya, walau hanya sepihak saja, walau di dalam hatinya dia pasti tak bisa memaafkanku. Aku hanya bisa menjaganya dari jauh. Aku ingin melihatnya bahagia. Akan kulakukan segalanya.

Dan untuk itulah hidupku ada.

(1)Agar-agar kacang merah, biasanya dimakan dalam bentuk potongan.

c: seiichirou tatsumi, c: asato tsuzuki, f: yami no matsuei, g: angst, fanfic, p: tatsumi/tsuzuki, g: drama, r: m

Previous post Next post
Up