Belong to You - Gazette - 3/??

Jan 28, 2009 00:37

Starring: Reita x Ruki
Warning: written in indonesian, still naked Ruki >___< mxm hugs? XDD
Chap: 3/??
genre: drama, romance
rating: PG-13 for now

Disclaimer:

Cerita dibawah ini meminjam karakter dan jati diri personel band The GazettE. I’m not them, I do not own them either, and I don’t have any relationship with them. The story below just from my head and pure fiction. Tidak merusak lingkungan dan dijamin just for fun.

~.~.~.~.~


“Selamat pagi!” sapa Kai cerah. Ruki tersenyum sekilas dan memasukkan tasnya ke loker dan mengganti bajunya dengan seragam hitam-merahnya. Dengan hati-hati ia membuka kancing kemejanya dan melepasnya, kemudian melipatnya dengan rapi. Ia meletakkan bajunya yang sudah di lipat itu di dalam loker lalu menyadari bahwa ruangan itu hening.

Sebuah ruangan tidak akan bisa hening jika ada Kai di dalamnya.

Ruki berbalik dan menemukan Kai yang sedang bersandar di lokernya sendiri, menatap Ruki dengan pandangan intens.

“What do you looking at?” tanya Ruki heran. Kai mengangkat bahu, matanya menyusuri wajah Ruki yang seperti boneka, kemudian kulit lehernya yang pucat, turun ke bahunya yang sewarna susu, lalu ke dadanya, kemudian torso yang terlihat begitu lembut…

“Err… tapi kau tidak mengepel lantai tanpa baju kan?” tanyanya.

“Hah?” tanya Ruki, wajahnya mengisyaratkan kalau ia sedang meragukan kewarasan Kai.

“Si Suzuki itu, kau bilang dia tiba-tiba memintamu menjadi objek lukis… dia tidak melihat itu saat dia memintamu kan?” tunjuk Kai ke kulit Ruki yang terekspos. Ruki mengangkat bahu kemudian mengenakan seragamnya.

“Aku juga tidak tahu.” Ujarnya sambil mengambil celana seragamnya kemudian beranjak ke kamar mandi. Kai mengikutinya,

“Masak kau tidak merasa terhina? Kalau aku-”

“Kau akan melaporkannya ke kantor polisi, ya. Kau sudah bilang itu sejuta kali sejak dua bulan yang lalu, Kai.” potong Ruki dari dalam bilik WC. Kai menarik nafas. Terdengar bunyi denting logam dari ikat pinggang Ruki saat pemuda itu melepas jeansnya. Kai membayangkan seperti apa kulit lain Ruki yang tersembunyi di balik jeans itu.

Apakah sepucat kulit bahunya? Atau lebih pucat lagi? Lebih halus lagi? Ah, si Suzuki itu tahu benar mana yang barang bagus.

Ruki keluar dari bilik WC sambil mengancingkan resluting celana seragamnya.

“Kenapa wajahmu?” tanya Ruki heran malihat wajah Kai yang kosong. Kai tersadar dari lamunannya.

“Apa reaksinya ketika dia melihatmu tanpa busana pertama kali?” pertanyaan ini sudah sejuta kali pula dilontarkan Kai, namun Ruki juga sejuta kali menolak menjawabnya.

“Aku tidak mau jawab.” Ujarnya cepat dan berbalik keluar kamar mandi. Kai mengekorinya.

“Hei, apa salahnya menjawab? Aku kan cuma bertanya.” Kai cemberut. Ruki mengabaikannya dan memasukkan jeansnya ke loker, dilipat rapi di atas kemejanya, kemudian berjalan keluar ruang loker.

“Waktunya kerja.” Ujarnya, meninggalkan Kai yang tidak puas untuk ke sejuta kalinya.

~.~.~.~.~.~

Jam 9 pagi, Ruki hampir selesai mengepel kamar mandi ruangan Reita ketika didengarnya pintu ruangan itu dibuka. Bau parfum yang biasa digunakan Reita seketika menguar di seluruh ruangan, membuat cairan pel wangi yang digunakan Ruki tidak lagi berarti. Reita meletakkan tas kerjanya di mejanya, melepas jasnya dan menggantungkannya di sandaran kursi, merenggangkan dasinya, lalu melepas kancing di lengan bajunya. Ia berjalan ke kamar mandi dan tersenyum melihat Ruki yang sedang berkutat dengan alat pel.

“Hey, how’s your day?” sapa Reita. Ruki mengangkat sebelah alisnya.

“Err… wet?” ujarnya sambil menunjuk ke baskom penuh air. Reita tertawa dan meninggalkan Ruki untuk menyiapkan alat lukisnya. Sambil menggulung lengannya hingga siku, Raita berjalan ke arah lemari tembok tempat ia menyimpan alat-alat lukisnya. Dengan hati-hati ia menenteng lukisan Ruki yang belum jadi dari lemari tembok itu dan meletakkannya di sofa. Ruki menoleh dan melihat lukisan besar yang belum jadi itu. Potret dirinya yang meringkuk di lantai-betul-betul seukuran dirinya-yang belum selesai.

Kenapa dia harus membuatnya sebesar itu? Kalau lebih kecil kan bisa cepat selesai. Aku capek meringkuk di pojok terus.

Ruki selesai mengepel kamar mandi saat Reita selesai meletakkan kanvas di kuda-kuda lukisnya.

“Ready?”

“Ready or not…” Ruki sigh and begin to remove all his clothes one by one. Reita mengawasinya dari depan kanvas dengan ekspresi sama, sulit dibaca. Kemudian Ruki mengambil posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Meringkuk di lantai.

“Okay… now-”

“Don’t move.” Potong Ruki bosan. Reita tersenyum kemudian melanjutkan lukisannya.

Lima belas menit kemudian hanya diisi dengan bunyi sapuan kuas di kanvas, bunyi pendingin ruangan, dan bunyi sayup-sayup orang bekerja di luar ruangan.

“So… Ruki, tell me about your life.” Ujar Reita sambil terus menoleh ke kiri-ke arah Ruki-dan ke depan-ke arah kanvas, tangannya bekerja dengan hati-hati menggoreskan setiap sapuan kuas.

“Apa yang ingin kau tahu?” Ruki balik bertanya.

“Dimana kau tinggal, dengan siapa…”

“Aku tinggal tidak jauh dari sini, dan aku tinggal sendirian.”

“Dimana orang tuamu?” tanya Reita, bertekad membuat sesi lukis ini lebih berisi dibanding hari-hari yang lalu.

“Tidak tahu.” Jawab Ruki. Reita menghentikan gerakannya,

“Maaf?”

“Aku tidak tahu dimana mereka.” Ruki mengangkat bahu.

“Ap-”

“Aku tinggal di panti asuhan sejak umur dua tahun.”

“Oh… maaf…” Reita kembali melanjutkan melukis.

Hening untuk lima belas menit lagi.

“Apa mereka masih hidup?” tanya Reita.

“Siapa?”

“Orang tuamu.”

“Aku tidak tahu.” Jawab Ruki.

“Kau tidak sedih?”

Diam.

“Ruki?” Reita menoleh, dan kemudian terkesiap karena di mata yang indah itu kini menggenang air mata. Reita meletakkan alat lukisnya dan berjalan menghampiri Ruki.

“Kau kenapa?” tanyanya sambil menyeka air mata itu. Ruki duduk dari posisi meringkuknya dan merasa malu. Ia tidak tahu mengapa ia bisa menangis di hadapan bosnya. Ia tidak pernah memperlihatkan sisi ini pada siapapun sebelumnya, sisi lemahnya yang kesepian.

“Tentu saja aku sedih. Aku selalu iri melihat orang yang punya orang tua, mereka punya tempat bergantung yang kokoh… tempat bermanja, bahkan pada anjing pun aku iri…” Ruki terisak, membuat bahunya yang pucat berguncang pelan. Reita merasa bersalah karena telah membawa topik ini.

“I’m sorry…” bisiknya, Ruki menggeleng.

“It’s okay… it’s just… well, I’m lonely.” Gumamnya. Ruki betul-betul tidak mengerti mengapa ia bisa seperti ini. Keadaan seperti ini hanya ia perbolehkan keluar jika ia sedang sendirian, tapi sekarang…

Then two pairs of warm arms wrapped around his bare shoulders. Ruki closed his eyes and relax in Reita’s warmness. He don’t have any idea why he become this melancholic, but Reita was his boss, he paid him… he thing it doesn’t matter.

Setelah merasa Ruki cukup tenang, Reita melepas pelukannya. Tapi pemuda kecil itu menahannya,

“Please… hold me a bit longer…” Ruki said with those beautiful glints in his eyes. Reita gladly obeyed his want and hold that petite body once again in his arms.

“I like to hold you like this, Ruki.” ujar Reita. The feeling of Ruki’s skin brushing his bare arms was so amazing, he love it very much. To Ruki who never felt an embrace before, those words means everything to him. He doesn’t have parents to cuddle and he doesn’t have a close friend either. Maybe Kai, but he better attemp suicide then cuddling up with him.

But Reita…

He’s sure out of question.

Setelah beberapa menit, Ruki release him and back to his previous position-meringkuk di lantai.

“Sudah, ayo lanjutkan.” Katanya. Reita caress hit soft arm and stood up, kembali ke alat lukisnya.

Sungguh, ia ingin memeluk Ruki lebih lama.

“Kapan lukisan itu jadi? Aku bosan begini terus.” Sifat ketus itu keluar lagi, dan Reita lega karena itu berarti Ruki sudah baik-baik saja. Ia tersenyum.

“Entahlah. Mungkin dua atau tiga hari lagi.”

“Ugh!” hanya itu. Reita let out a chuckle and glancing at that vulnerable sight.

I really want to hold you forever… but how?

== to be continue

the gazette, reita, kai, fanfic, ruki

Previous post Next post
Up