[FICLET / PG+15] はじめて見る空だった (Hajimete Miru Sora Datta)

Apr 24, 2010 12:27

Title: はじめて見る空だった (Hajimete Miru Sora Datta)
Author: azura_caelestis 
Rating : PG+15 / straight
Casts: Mika Tahara and Hiro Sakurai
Genre: Fluff, Tragedy, Angst
Length : Ficlet (1408 words)
Disclaimer: I do not own any characters. They belong to themselves. I just own the story. But, I make this story based form the movie. I don’t make money from this story. So please don’t sue me.
A/N: It's my first ficlet then. This ficlet is based from a Japanese movie, titled "KOIZORA (SKY OF LOVE)". I don't want to change the casts, they belong to them selves. Mika and Hiro is together forever.

Warning:
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.



Hiro mengajariku untuk selalu menatap ke atas.
Tersenyum indah ke arah langit. Itu lebih baik dibandingkan menatap sedih tanah di bawah.

“Mika, kira-kira ke manakah orang meninggal akan pergi?”
“Surga?” tebakku sambil mengembangkan senyum ke arahnya.

Ia menggeleng.
“Bagaimana dengan langit? Aku ingin menjadi langit nantinya.”
Alisku bertaut.
“Jika aku menjadi langit, aku dapat melindungi Mika selamanya.”
Jangan berucap seperti itu, Hiro! Jangan menyimpulkan bahwa semuanya akan berujung kepada kematian. Aku benci itu.

“Ada apa denganmu?”
Tangan lembutnya menyentuh jari manisku. Tempat di mana benda perjanjian itu melingkar manis di sana.
“Nande mo nai.” Aku berusaha untuk menyeringai, menanggapi pertanyaan bodohnya.
Aku tahu, ia amat menderita. Tetapi, dengan sok kuatnya ia masih berkata seperti itu. Baka!

“Gomen ne.”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Menipu, membuatmu sengsara, dan mening-”
“Yamete!” Aku benar-benar muak dengan kata terakhir yang hendak diucapkannya. Hiro pasti tidak akan meninggalkan Mika untuk selamanya.

****
Ruangan ini tak asing bagiku.
Perpustakaan. Tempat di mana kami bertemu, bercanda, bertengkar, dan mengukir setiap kenangan di masa lalu. Aku merindukan itu.

Hiro berjalan terseok di sampingku.
Topi rajutan yang terpakai di kepalanya tampak lusuh.
Aku membenarkannya lalu memapah langkah Hiro menuju tempat di sudut ruangan.

“AH! Aku menemukannya!” Dengan bersemangat aku mengangkat papan tulis itu. Permukaannya sudah tampak kusam dan berdebu.
Namun, setiap tulisan kebahagiaan itu masih tertulis di atasnya.

“Apa kau masih ingat ini?”
Aku mengerling cerdik.
Tetapi, ia hanya mengangguk, lalu menyentuh permukaan papan dengan tangannya.

Aku tersenyum saat melihat jajaran tulisan ceria yang terukir di atas papan itu. Kapur-kapur mulai berterbangan saat aku ikut menyentuh permukaannya.
Aku masih ingat, diriku menangis saat membacanya waktu itu. Waktu di mana Hiro berkata bahwa hubunganku dengannya hanya sampai di sana.
Hatiku seakan hancur karenanya.

“Mika?” Hiro menyentuh pipiku dengan kedua telapak tangannya.
Ia mengapus derai air mata yang mulai menghujani pipiku. Aku menunduk sedih dan seakan melupakan ajarannya.

“Menataplah ke atas.” Aku sudah menduga bahwa ia akan berkata seperti itu.
Namun, sayangnya aku tak bisa.
Rasa sesak ini terlalu berat untuk kutahan sekarang. Aku tak sanggup kehilangan dirinya.

“Tersenyumlah.” Suara lirih Hiro seolah terngiang indah di benakku.
Ia menyuruhku untuk tersenyum. Baka! Ia berkata pada saat yang tidak tepat
.

****
“Mika, apa kau bersedia untuk mencintaku untuk selamanya?”
Aku mengangguk mantap akan pertanyaannya itu.
Hiro memahkotaiku dengan sebuah lingkaran bunga yang telah dirangkainya.

Hari ini. Aku harap waktu dapat berhenti sampai di sini.
Aku ingin selalu merasakan kebahagiaan bersamanya.
Jika aku bisa, aku hendak menghadang ketakutan yang selalu menghantui dirinya. Ia terlalu lemah untuk itu. Dulu, Hiro terkenal dengan keberingasannya. Tetapi, sekarang ia bukanlah apa-apa di bawah renggutan penyakit jahanam itu.

Isak tangis yang berusaha ditahannya pun pecah.
Hiro menangis layaknya pengecut di hadapanku.
Ia mengerang hebat, seolah menantang Tuhan untuk menarik kodrat dari dirinya.

“Aku-aku tidak mau mati!” Ia menubrukkan kepalanya ke batang pohon di sebelahku.
“HIRO!” Aku berusaha menahannya. Mendekap dengan sekuat tenaga.

“Hiro, dengarkan aku! Kau tidak akan mati! Kita akan selalu bersama untuk selamanya.”
Isak tangis itu mulai terdengar surut di telingaku.
Aku begitu kasihan pada dirinya. Dokter memfonis, kematiannya akan datang dua bulan lagi. Namun, dirinya tak dapat berbuat apa-apa.
Ia tidak memberitahuku soal itu, sampai aku menemukan dirinya dengan keadaan mengharukan di rumah sakit saat malam natal.
Ia terkejut mendapati diriku berdiri di depan pintu kamarnya.
Saat itu aku termangu. Mungkin saja itu bukan Hiro yang kukenal, terkaku dalam hati. 
Tetapi, itu memang Hiro-cinta pertama dan terakhirku.
Ia berteriak mengusirku. Namun, aku bersikukuh untuk menemaninya, memeluknya kembali, dan mencium pipinya yang berubah pucat itu.
Hiro akhirnya menerimaku lagi. Sekian lama kami berpisah, berjalan sendiri di tengah kehampaan dunia, dan akhirnya kami bertemu kembali. Kurasa tak ada seorang pun yang dapat membuatku bahagia selain dirinya.

“Mika, aishiteru.” Suara serak itu membuatku ingin tersenyum.
Hiro menatapku dalam dengan mata jernihnya.
Ini pertama kalinya ia mengatakan kalimat itu kepadaku.

“Aishiteru, Hiro.” Aku mendekap semakin erat dan berusaha meredakan isak tangisnya.

****
Hiro suka sekali memotret. Dengan kamera digital miliknya ia selalu saja mencuri gambarku. Saat aku tidur, merajut, sekalipun menatap langit.

“Hiro, makanlah makananmu.”
“Aku malas.”
Hiro menatap cuek ke arahku.
Aku tahu, makanan merupakan suatu penyiksaan baginya. Tapi, ayolah! Jangan bertindak layaknya anak kecil seperti itu.

Hiro masih memandang suntuk makanan di hadapannya.
Dengan iseng kukeluarkan se-pack permen toffee kesukaanku.
Mungkin dengan ini aku dapat memancingnya untuk makan.

“Mmm…oishi!”
Kusipitkan kedua mata, berlakon seolah-olah permen itu memang sangat enak di lidah.
“Mika! Aku mau itu!”
Dengan cepat Hiro merebut bungkusan permen dari tanganku. Dasar! Jika permen, pasti saja ia akan besemangat.

“Mmmm…Rasanya memang benar-benar enak.”
Aku terpana memandang Hiro.
Di saat yang singkat ini, ia selalu beranggapan bahwa seratus tahun masih menunggunya untuk tetap tinggal. Aku salut padanya.
Entah kapan waktu akan mengambil tubuhnya dariku, tetapi aku berjanji akan tetap berdiri di sampingnya.

****
Drrtt….Drrtt…Drrtt…
Er, ternyata ponselku berbunyi.
Kuambil foto-foto hasil jepretan Hiro dengan tangan kiri, kemudian merogoh ponsel di dalam tas jinjingku.

“Moshi-moshi?”
“Mika! Cepat! Hiro sudah sekarat sekarang!”
Mataku membulat tak percaya.
Hiro-
Hatiku seakan pilu mendengar kabar itu.

Tanpa memandang keadaan di sekitarku, aku berlari sekencang yang kubisa.
Nafasku terengah.
Aku berlari menyusuri jembatan.
Namun, tak kusangka aku terjerembap seketika di atasnya.
Foto-foto yang berhasil kucetak pun ikut berserakan di hadapanku.

Perlahan kuambil selembar foto yang terhampar itu.
Semuanya wajahku tergambar di setiap lembarannya.
Hiro. Aku tahu, ia begitu mencintaiku.
Ia selalu mau menjagaku dan mengambil gambarku dari langit sana.
Oleh karena itu, aku tak boleh menyerah.

****
 “HIRO! HIRO!” Aku berteriak sekeras yang kubisa, memanggil dirinya.
Gomen, aku tak dapat berada di sampingmu.
Tapi, mungkin dengan melalui ponsel ini aku dapat menyemangati dirinya.

“HIRO! BANGUNLAH! BAKA, JANGAN TERTIDUR!”
Aku sudah kehabisan tenaga untuk berteriak. Kakiku terus berlari dan berusaha secepat mungkin untuk mencapai rumah sakit.

“Mika..” Suara lemah itu melegakanku.
Hiro membuka mata di sela kesunyiannya.
“HIRO! BERTAHANLAH! MIKA INGIN BERTEMU DENGANMU!”
Kuharap kata-kataku dapat menahannya lebih lama.

Tuhan, berikanlah sebuah keajaiban pada Hiro. Jika boleh, kini aku meminta padamu untuk tidak mengambil nyawanya yang berharga itu.

“Mika, tersenyumlah.” Aku dapat mendengar kata-kata sepi itu di balik alat pernafasan yang dikenakannya.
Hiro selalu berkata seperti itu.
Aku tersenyum, berusaha untuk mengabulkan permintaannya.

“HIRO! JANGAN TINGGALKAN DIRIKU!”
Ini adalah kata-kata terakhir yang dapat kuucapkan. Aku mohon, bertahanlah, Hiro!
Namun, takdir berkata lain.
Hiro menutup matanya dengan wajah tersenyum.

Kakiku berhenti berlari. Tersungkur lemah di atas aspal yang dingin di pagi hari.
Hiro benar-benar telah meninggalkan diriku sekarang.

****
“Mika, ini buku peninggalan Hiro. Tadi keluarganya menitipkan itu untukmu.”
Aku tak peduli dengan kata-kata okasan itu.
Sudah dua jam lamanya, aku bertengger lesu di bingkai jendela. Memandang langit biru dengan lukisan awan yang membentang luas di atasnya.

“Hiro sedang tersenyum hari ini,” ujarku kecil seraya memperhatikannya.
Aku masih tak dapat melupakannya.
Memandang langit sama saja dengan memandang wajah Hiro.

Dengan lunglai, akhirnya kupaksakan kedua kakiku untuk beranjak menuju meja belajar. Mengambil buku harian biru langit milik Hiro.
Aku tak berani membukanya, aku hanya memeluknya, dan mendekatkannya ke dadaku. Itu terasa seperti memeluk Hiro untuk kedua kalinya.

****
Aku sudah sangat tidak tahan dengan keadaan.
Hari ini aku berkunjung ke sungai kesukan Hiro.
Air jernih itu masih saja membelah rerumputan di kedua sisinya.
Waktu SMA dulu, Hiro pernah berkata bahwa ia akan mendapatkan kekuatan jika mengunjungi sungai ini. Namun, sekarang bukannya merasakan kekuatan, aku malah merasakan kerinduan yang begitu menghancurkan.

Aku benar-benar frustasi.
Dengan tidak berpikir apa-apa lagi, aku meletakkan buku biru itu ke tanah dan berusaha memanjat pagar  jembatan di atas sungai.
Aku hendak melompat-menyusul Hiro ke alam yang begitu menyenangkan di atas sana.

Tiba-tiba saja sepasang merpati putih terbang dari kolong jembatan. Aku terlonjak kaget dan terjengkang.
Terpaan angin kencang seolah disihir oleh alam, membuat buku biru itu terbuka. Mencari setiap halaman yang ingin disuarakannya.
Gerakan halaman itu terhenti pada sebuah lembar di mana, di ujungnya tergambar orang-orangan kartun yang saling berpegangan tangan kepada seorang anak kecil di antara mereka berdua.
Yu. Seketika nama itu teringat olehku.
Yu dan Hiro pasti akan bahagia di atas sana, untuk selamanya.

****
 Setiap tanggal 24 Desember-seperti tahun-tahun sebelumnya-aku selalu berkunjung ke tempat yang sama, mengunjungi Yu tanpa kehadiran Hiro di sisiku.
Tetapi, aku tahu Yu terjaga aman oleh Hiro di atas sana.

Saat langit biru, Hiro tersenyum indah untukku. Saat langit berubah jingga, ia sedang tersipu malu. Namun, jika langit berubah hitam dan hujan, Hiro menangis dari atas sana. Aku benci itu.
Dan terakhir, kegelapan di malam hari, seolah seperti pelukan Hiro yang selalu menghangatkan jiwaku.
Menatap langit merupakan sebuah petunjuk darinya untuk selama-lamanya.

**FIN**

japanese, ficlet, fan fiction, movie, koizora, indonesian

Previous post Next post
Up