Title: T O R N
Author:
azura_caelestis Rating : PG+15 / straight
Casts: Kim Ki Bum (U-KISS) and OC
Other Casts: U-KISS
Genre: Fantasy, AU, Fluff, Angst
Length : ? Shots
Part: 1 of ?
Disclaimer: I don't own the U-KISS characters here. They belong to themselves, and this story is only a fiction. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're any miss typed and spelled.
- Kim Ki Bum will play as Aro in his past time memories :D
- Thanks for my twin who had given a beautiful name for this fan fiction.
READ THE PREVIOUS CHAPTER ON
HERE Warning:
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box OR you can comment by your Facebook account.
CHAPTER ONE
BUSAN. SOUTH KOREA. 1998
“Appa! Telepon untukmu!” seru Chae Rin, sang putri sulung tergopoh-gopoh, menyerahkan gagang telepon kepada Mr. Park yang tengah membaca koran.
Pria paruh baya itu terlonjak, menerima kabar yang baru didengarnya. Rupanya, pagi ini sebuah kasus besar mendadak bingar di department investigasi. Seonggok tubuh tanpa identitas telah ditemukan di daerah hutan Gyeongsang. Mr. Park-psikolog yang bekerja di department investigasi Korea-terpaksa turun tangan.
“Yeobo? Sarapan sudah siap!” Istri Mr. Park; Young Hee berteriak, memanggil seluruh penghuni rumah. Jae Rin, si putri bungsu berlari, menuruni tangga, menuju ruang makan. Rambutnya-yang belum sepenuhnya kering-membawa sisa-sisa tetesan air.
Dengan sigap, seluruh anggota keluarga telah mengelilingi meja. Mr. Park menghela napas, rautnya terlihat cemas. “Ada masalah baru, Appa?” celetuk Jae Rin, terperanjat.
“Ada kasus besar pagi ini, sepertinya Appa harus berangkat sekarang.” Mr. Park bangkit dari tempat duduknya. Young Hee terlihat kecewa, namun ia tetap berusaha merajut senyuman terbaik untuk sang suami. Mr. Park mencium pipinya sekilas, kemudian berlalu, menuju garasi.
Chae Rin yang bergelagat sok apatis telah mencuri dengar pembicaraan telepon sang ayah. Buku-buku tebal yang digenggamnya hanyalah sebuah topeng dari rasa keingintahuan. Otaknya seolah berputar, menerka sosok yang mendadak tenar. Ia berdeham kecil, mencoba berkonsentrasi, mengingat rumus-rumus trigonometri yang terpampang di buku catatan. Tatkala suara deruman van milik Mr. Park membahana, hatinya merasakan ruam kegalauan.
****
“Selamat datang, Mr. Park,” sambut Elison, mengulurkan tangannya. Pria berperawakan sinis itu memperkenalkan diri; selaku kepala detektif dari bidang investigasi.
“Jadi, bagaimana kondisinya?” tanya Mr. Park, berusaha meneliti keadaan sang pasien. Eli terdiam, matanya seolah menerawang jauh; memperhatikan lorong-lorong yang berjajar di sisi kiri.
“Dari hasil pemeriksaan, dapat disimpulkan jika ia mengalami amnesia,” jelasnya, memasuki salah satu koridor berkaca. Mr. Park tampak ragu. Ia tahu, kasus kali ini bukanlah kasus biasa. Sudah bepuluh-puluh kasus psikologis yang ditanganinya, namun pasien ini tak memiliki riwayat hidup yang mencatatnya sebagai salah satu penghuni dunia.
“Baiklah, pergunakan waktu Anda sebaik-baiknya.” Eli mempersilakan Mr. Park, masuk ke dalam sebuah ruangan.
Seonggok tubuh ringkih bergeming di tengah kamar. Bibirnya tampak pucat, tersela di antara kebekuan mimik wajah. Ia bagai mayat hidup tanpa wejangan. Mr. Park mengambil tempat. Decitan kursi sontak terdengar. Pasien itu mendongak, matanya terlihat bercekung kehitaman.
Kesunyian seakan penghalang bagi mereka. Mr. Park berusaha mengerling, matanya menyapu pandang ke sudut ruangan; mencari topik pembicaraan yang akan ia selidik.
“Siapa namamu?” ujarnya, singkat. Sang pria tanpa nama hanya bergeming, bibirnya terkatup tanpa sebuah jawaban.
Mr. Park tersenyum tipis. “Jadi kau seorang pria tanpa nama? Okay, baiklah jika begitu. Ceritakan tentang memori terakhirmu.”
Ia mendelik, cepat. Lengannya terangkat, menyusuri bingkai meja. Mr. Park tampak terperanjat. Pria tanpa nama itu memainkan jemarinya, menggambarkan sesuatu yang terlintas di benaknya.
Pohon, Mr. Park berbisik kecil. Hatinya merasa puas, dapat menemukan sebuah clue baru dalam deretan teka-teki. Ia merasa tertantang. Baginya, pria itu bukanlah lelaki remaja biasa. Sorot matanya seolah membiaskan cerminan ironi yang mengejar di masa kelamnya.
“Sepertinya aku mengerti maksudmu. Kau menggambar sebuah pohon, ‘kan?” Giginya bertumbukkan, menyusun sebuah seringai.
“Apa tidak ada yang lain?” Ia terdiam, kemudian menggeleng kuat. Telunjuknya menuding gambaran ‘angin’ itu dengan bersemangat.
Mr. Park melihat sekilas, lalu tersenyum hambar. Bayangnya berkeyakinan kuat, dapat mengulik cerita di balik seringai itu, namun ia gagal. Sang pria tanpa nama kembali bergeming, menujukkan kondisinya yang stagnan.
Pintu di sudut ruangan tiba-tiba terketuk nyaring, kepala Eli menyembul; menengok sekilas ke dalam ruangan. Pria itu berdeham pelan, memperingatkan akan waktu mereka yang hampir habis.
Sang psikolog terkesiap; bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri Eli dengan seringai rayuan. Bibirnya berbisik kecil, mengisyaratkan sebuah ide yang mencuat di otaknya.
Eli tampak muram, hatinya berkata lain. Ide itu tidak sepenuhnya baik. Namun, Mr. Park tetap mendesak. Matanya berbinar, menunjukkan sebuah permohonan. Sang detektif menghela napas, menyetujui ide itu dengan sedikit kekhawatiran.
****
“Chagi, kurasa kita akan memiliki anggota keluarga baru,” seru Mr. Park, menelepon sang istri. Rona wajahnya tampak berseri, tatkala sebuah gurat kebingungan tersampir di sampingnya.
Ki Bum-sang pria yang tanpa nama-bergelimpung dengan angannya. Matanya sibuk memperhatikan ruas jalan yang dipenuhi para pedestrian. Pemandangan itu begitu asing dalam benaknya. Celotehan, rumpi, sekaligus tawa para pejalan kaki, menggelitik sudut bibirnya untuk tertawa.
“Okay, aku akan sampai dalam waktu sepuluh menit. Ia anak yang baik, dan tentunya spesial. Aku yakin, anak-anak pasti akan bahagia bertemu dengannya.” Pria itu menutup sambungan telepon. Manik matanya terhuyung, menatap sosok remaja yang duduk di sampingnya.
“Mulai sekarang namamu Kim Ki Bum, dan kau akan bergabung dengan anggota keluargaku. Jadi bersikaplah baik, kau mengerti?”
Ki Bum menggangguk pelan. Langit seolah menarik seluruh perhatiannya, gambaran lembayung itu urung meninggalkan pupil matanya. Ia hanya menatap sekilas ke arah Mr. Park-yang sibuk menyetir-lalu menatap kembali benda-benda asing itu. Awan yang terlukis di angkasa seolah mengingatkannya pada sesuatu hal yang mengisi ruam kekosongan hatinya.
Laju mobil terhenti sesaat, ban mobil berdecit keras. Sebuah jeep menyalip van milik Mr. Park dengan tak bermoral. Pria itu mengumpat kesal, lidahnya berdecak akan sebuah keadilan. Namun, jeep itu malah melengos pergi tanpa kepedulian.
Mr. Park kembali men-stater van miliknya. Mesin menderu keras, mengisi pelataran jalan raya. Ki Bum mencoba untuk memahami suatu hal tentang diri manusia. Hal itu berisi tentang perasaan. Seorang manusia dapat merasa, mereka dapat mengumpat kesal, tertawa bahagia, atau pun menangis sedih. Semuanya teramu menjadi satu, menjadikan sebuah karakter baru dalam diri mereka.
Menit bergulir begitu cepat, tak terasa van itu telah memasuki sebuah carpot rumah bernuansa sederhana. Mr. Park melonjak keluar, sementara Ki Bum masih berdiam diri di tempat duduknya. Batinnya sibuk menelisik kedua pilar kusam yang menyanggah plafon rumah.
“Ki Bum?” panggil Mr. Park, membuka pintu. Lelaki remaja itu melompat kecil, lalu berjalan menyusuri pekarangan rumah. Daun kehijauan nampak membelitik pagar-pagar kerdil yang berjajar di sisi kolam. Gemersik pepohonan saling bersahutan bagai memetik dawai berirama. Suasana senja tersulam begitu dalam bagi penghuni kota.
Mr. Park segera mendorong pintu rumah. Siulan ketel terdengar parau, melingkupi ruang tengah. Young Hee, sang istri berlari bahagia bak memenangkan undian lotre. Senyuman keterkejutan bersanding kecil di lengkung bibirnya.
“Selamat datang, yeobo.” Young Hee mencium pipi sang suami, rindu. “Wah, jadi dia yang bernama Ki Bum?” lanjutnya, penasaran.
Mr. Park menepuk bahu kanan Ki Bum, bangga. “Dia yang kuceritakan padamu tadi. Dia memang anak yang spesial.”
Rasa keingintahuan Ki Bum kembali mencuat, matanya memperhatikan lukisan realita yang terpapar. Tangga yang melingkar indah di sampingnya, tampak menghubungkan ruangan yang ia pijak dengan ruangan lain.
Mr. Park berbincang kecil dengan istrinya, sementara itu Ki Bum mulai melangkah, menyusuri tangga. Jemarinya menyentuh bingkai-bingkai foto yang tergantung di dinding rumah. Pigura-pigura itu bagai membisikkan sebuah cerita kepadanya, Mr. Park memiliki dua anak perempuan yang berparas jelita.
“Ki Bum?” Lagi-lagi Mr. Park kehilangan jejak sang remaja.
Ki Bum melangkah gontai, menuju ruang duduk di lantai atas. Seorang remaja-yang sebaya dengannya-tengah bersantai. Kamisol tipis yang membalut dirinya membuat Ki Bum sedikit tergoda. Rambutnya yang tergerai bak sutera seolah menyembulkan angan sang pria, menuju alam kelamnya.
Paha mulusnya bagai porselen, tergelar di atas sofa. Sang lelaki remaja merasa, pernah melihat gambaran itu dalam benaknya, tatkala sang gadis memekik nyaring, melemparnya dengan sebuah guci keramik.
Tubuh itu terhempas, mengantuk tanah. Dahinya memar, mengucurkan cairan merah. Namun, sang gadis tak peduli dengan keadaannya. Ia segera berlari, menuruni tangga. Mulutnya berkoar-koar, mengadukan kejadian yang baru saja terjadi.
**TO BE CONTINUED**