[CHAPTERED / PG+15] T O R N Prologue

Sep 25, 2010 08:19

Title: T O R N 
Author: azura_caelestis
Rating : PG+15 / straight
Casts: Kim Ki Bum (U-KISS) and OC
Other Casts: U-KISS
Genre: Fantasy, AU, Fluff, Angst
Length : ? Shots
Part: Prologue of ?
Disclaimer: I don't own the U-KISS characters here. They belong to themselves, and this story is only a fiction. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're any miss typed and spelled.
- Kim Ki Bum will play as Aro in his past time memories :D
- Thanks for my twin who had given a beautiful name for this fan fiction.

Warning:
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box OR you can comment by your Facebook account.





THE PROLOGUE

PANTAI PLACIELO. VAIN CREVIE. 1998

Bagai laguna yang terjala di antara rimpuhan senja, sepasang kekasih bersenda gurau menikmati sisa hidupnya. Jemari mereka saling bertaut, mengisyaratkan kalimat cinta. Sang pria terhuyung, menyeimbangkan berat tubuhnya. Kedua sayap hitam itu membentang luas, terkepak di bawah angkasa.

“Lex, maukah kau menjadi pasangan dansaku malam ini?” Aro tertunduk, kakinya bersimpuh, menyentuh granit kehitaman di bawah pijakannya.

Alexys-sang wanita-tersenyum anggun, meriaskan jawaban pada sudut bibirnya. Aro menengadah, lalu menarik wanita itu dalam dekapan. Mereka saling bertukar pandang, mengumbar kesenangan.

Kisah cinta terlukis begitu indah dalam angan mereka. Namun sayang, kedua insan itu datang dari dua klan berbeda. Aro, pria terkuat dari klan bersayap jelaga, mengadu nasib di antara gadis-gadis belia, bersayap perak.

Lex jatuh hati padanya, begitu pun juga Aro. Perasaan itu tak hanya bertepuk sebelah tangan. Kenangan demi kenangan mereka ukir bersama di atas lembar kehidupan yang begitu sempurna.

“Jangan lupa kenakan jas terbaikmu. Aku tak ingin mempermalukan calon pendampingku di hadapan ayah,” bisik Lex di telinga Aro. Pria itu hanya terkikik geli di sela debur ombak.

“Tenang saja.. tapi kurasa, aku belum siap menghadapinya, Lex.” Aro melayangkan pandang ke arah hamparan pasir yang menggelepar. Jantungnya berdegup lebih cepat, membayangkan akibat yang akan ia terima.

“Sshh.. Aro, aku yakin. Ayah pasti akan menerima kehadiranmu, aku yakin itu.” Lex menyentuh pipi Aro, berusaha meredam kegalauan hatinya. Namun, pria itu hanya dapat tertunduk. Keberaniannya seakan ciut, menghadapi ketakutan yang menggerogoti relung hatinya.

Perlahan Aro menegakkan kepala, memandang lurus manik kecokelatan di hadapannya. Pria itu merapatkan diri, membiarkan sang wanita membenamkan kepala di dada bidangnya. Ia bersenandung lembut, menjemput mentari yang terberai di hamparan laguna.

****

Canda tawa para tamu sontak terdengar; mengiringi minuet yang sepadan. Tubuh para wanita berlenggang gemulai. Dan seringai canggung para pria tampak mengukir kebahagiaan di wajah mereka. Pesta dansa pun akhirnya dimulai.

Mata Lex mulai memicing, mencari sosok Aro di tengah kerumunan. Namun tampaknya, pria itu datang, sedikit meleset dari perkiraan. Lex terlihat gusar, jemarinya tak henti mengetukkan kejanggalan pada dinding kamar.

“Lex, apa yang kau lakukan?” tanya Cassandra; kakak perempuan Lex yang berparas jelita.

Lex menyunggingkan senyum, setengah terpaksa, “aku sedang menunggu Aro.” Cassandra paham dengan maksud adiknya. Ia terdiam sejenak, lalu berpamitan untuk turun dari balkon, mendahuluinya.

Kesunyian menyergap suasana kamar seketika. Sepasang bibir itu terkatup, membisu di tengah kegelapan. Lex merenungi kata-kata Aro sejenak, apakah ini saat yang tepat untuk mengenalkan calon pendampingnya pada sang ayah?

“Lex..” Suara khas itu terdengar, mengarungi kesenyapan kamar. Lex segera berbalik, menyulam senyuman terindah untuk menyambut pendampingnya.

Penampilan Aro terlihat begitu gagah. Sesetel tuxedo hitam yang menyikapi tubuhnya memberi kesan berbeda.

“Bagaimana? Kau suka dengan penampilanku, ‘kan?” Aro menyeringai, memperlihatkan sederet gigi putih yang berjajar di atas gusinya.  Lex mengangguk tersipu, tangannya menuntun pria itu untuk berjalan, menuruni tangga melingkar.

Beratus-ratus pasang mata langsung menyapu pandang ke arah mereka. Aro terlihat kikuk, berdampingan dengan Lex-sang putri archangel termasyhur di Vain Crevie.

Nocturne indah mulai mengalun, menaungi lenggak-lenggok para tamu. Aro mengambil posisi, mendaratkan tumpuan pada lutut kirinya. Sunggingan tulus terukir di sudut bibir pria itu, tangannya terulur, memberikan isyarat untuk memulai tarian mereka.

Lex menyambut tangan di hadapannya, antusias. Mereka berputar, berdansa waltz dengan piawai. Gelak tawa hingar terdengar, suasana begitu hangat, mendekam di menara utama Vain Crevie.

****

Tiba-tiba saja para tamu undangan dikejutkan oleh sebuah suara. Deretan sangkakala memekik nyaring, menyambut kehadiran para archangel yang telah tiba. Ketujuh malaikat agung itu melangkah masuk.

“Aro,” Lex berbisik, mengisyaratkan sang kekasih untuk segera melepas dekapannya.  Aro tercekat, kepalanya langsung tertunduk, khidmat.

“Ayah.” Lex berlalu, pergi, mendekati sang ayah, yang tak lain Gabriel-juru pesan kepercayaan Allah.  “Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang,” ujarnya cepat, menarik Aro dari kerumunan tamu.

Gabriel membelalak, menelisik sosok tampan itu. “Astaroth*,” gumam Gabriel, sekilas.

Aro menengadah, menatap lurus ke depan. Sorot mata itu berubah, kantung matanya menghitam, dan sepasang sayap jelaga menjurus keluar. Hamparan tamu  mendadak bingar. Desas-desus para tamu mulai terucap, mereka sibuk memperbincangkan peristiwa yang sedang terjadi.

“Alexys, jauhi dia!” perintah Uriel, menarik tubuh Lex, menjauh. Lex tersentak, mulutnya menganga, heran. Otaknya sibuk mempertanyakan masalah yang terjadi di antara sang ayah dan kekasihnya.

“Maaf, Sir. Tapi, saya tidak mengenal nama itu,” ucap Aro, waspada. Tawa Gabriel terdengar sarkastis, mencibir kalimat bantahan itu.

“Pengawal, tarik dia ke ruang pengadilan!” perintah Gabriel, seraya melangkah pergi, diikuti oleh keenam archangel lainnya.

“Tunggu!” Lex berhasil terlepas dari penjagaan Uriel. Ia berlari, menghampiri sang ayah, memohonnya untuk berhenti seketika.

“Lex?” Dahi Gabriel mengernyit, alisnya bertaut, bimbang menanggapi sifat sang putri yang telah dibutakan oleh putra musuh bebuyutannya.

“Ayah, tolong lepaskanlah Aro. Dia tak tahu apa-apa tentang masalahmu.” Pria tua itu menghela napas, mencengkram kedua bahu putrinya. “Lex, Ayah tahu apa yang Ayah lakukan. Sebaiknya kau jangan berhubungan kembali dengannya.”

Tubuh ringkih itu mendadak diam. Hatinya pilu mendengar keputusaan yang terlontar dari bibir sang ayah. Butiran air mata menghunjam pipinya. Tangan itu enggan meninggalkan sang pria. Teriak histerisnya meledak, membahana  di penjuru ruangan menara.

Aro tak dapat berbuat apa-apa. Kedua penjaga menara telah mengunci gerak-geriknya. Ia tertunduk lesu, menanggapi nasib yang akan ia terima. Namun, gambaran menyakitkan itu malah menghantuinya. Lex berteriak bak orang gila, mengundang perhatian dari para tamu undangan.

“Sshh.. Lex, tenanglah.. aku akan baik-baik saja,” ujar Aro, berbisik kecil.

“Tapi-” Tenggorokan Lex tercekat. Pria itu melambaikan tangan, tanda salam perpisahan. Dengan amat terpaksa, Lex melepaskan cengkramannya.

****

“Sebaiknya kau mengaku.” Raphael berdeham kecil, memperjernih perintahnya. Namun, pria itu tetap diam. Aro tertunduk dengan mata tertutup kain hitam. Mulutnya terkunci rapat, urung mengucapkan pengakuan.

“Kau tahu, siapa ayahmu?” tanya Uriel, mendekatinya. Aro menengadah, ia menggeleng lemah.

Para archangel terlihat cemas dengan jawaban itu. Mereka menemukan seonggok jelmaan iblis di Vain Crevie. Negeri yang begitu damai kini berada dalam ancaman besar.

“Astaroth. Aku yakin kau pernah mendengar nama itu,” celetuk Azrael-sang malaikat kematian-yakin dengan pernyataannya. Namun sayang, Aro tak mengerti arah pembicaraan para malaikat agung di sekitarnya.

Aro terlahir tanpa ayah. Ia dibesarkan oleh ibunya yang bersayap perak; sama seperti para malaikat di Vain Crevie, namun keberuntungan tak ayal pergi meninggalkannya. Aro tumbuh dewasa, dan ia sadar, sayapnya berwarna jelaga, tak sama dengan saudaranya yang lain. Meskipun begitu, ia memiliki wajah yang tampan, kekuatan yang lebih perkasa, dan kemampuan yang lebih cerdik dari malaikat pada umumnya.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan? Membiarkannya?” Secercah kerisauan tersirat pada ucapan Gabriel.

Michael-sang penguasa langit-mengerling, wajahnya terlihat penuh antusias. Otaknya telah mendapatkan sebuah usulan hebat untuk mengatasi masalah. Ia memanggil keenam archangel untuk duduk, berdiskusi mengenai hukuman yang telah dirancangnya.

Bulu kuduk Aro meremang, suasana mencekam bergelimpung seketika. Tatkala manik matanya terhalang kain hitam, mata hatinya bergemuruh hebat, memperingatinya akan sebuah problema yang berjalan kian mendekat.

Michael bangkit dari kursi kemegahan, ditatapnya Aro dengan seringai merendah. “Sebaiknya, ia dipindahkan ke ruangan sebelah.” Matanya memicing ke arah para pengawal, memberikan perintah.

“TUNGGU! Lepaskan aku!” Sebuah pekikan mencuat dari bibir Aro, giginya bergemeletuk menahan takut.

“Kitab Henokh* harus segera digenapi. PENGAWAL!” Aro kian memberontak, manik matanya-di balik kain hitam-begulir, mencari sumber suara.

Empat orang bertubuh kekar menghampirinya, menyeret tubuh itu keluar dari ruang pengadilan. Kini ia menyesal, merindukan genggaman Lex yang urung dilepaskannya.

****

Jilatan api semakin berkemelut, menyulutkan panas ke penjuru kamar. Aro tersungkur di tengah ruang penyiksaan. Keringat dingin bercucuran, membanjiri pelipisnya. Bibirnya bergetar hebat, mempertanyakan kesalahaan yang tak pernah ia perbuat.

“HEY! Putra Astaroth, jangan bersikap munafik! Kodratmu memanglah seorang iblis.” Seorang pengawal menendang perut Aro. Ia terjengkang, batinnya mengucapkan sumpah serapah.

Matanya kini terbuka, menyapu pandang ke setiap sudut kamar. Kegelapan menyeruak masuk, mengisi rongga dada. Keempat pengawal itu berdiri, mengelilinginya. Aro kian menggeliat, mendapati kesakitan yang luar biasa menjamah punggungnya.

Sayap jelaga itu terlepas. Aro terengah, seluruh jiwanya mengalami kematian sesaat. Meski raganya masih bergentayang, namun kesakitan itu telah menghancurkan hikayat keberadaannya. Memori-memori indah itu terkelupas, menjadikannya seseorang yang baru; tanpa identitas malaikat.

Decitan engsel pintu terdengar, Michael melangkah masuk, menatap tubuh Aro yang terkapar. Hatinya merasa bersalah, namun penggenapan kitab Henokh harus segera terlaksana.

Ia memapah tubuh itu ke pelataran menara, tatkala angin malam menerpa jubah putihnya.  Kegamangan hatinya memuncak, dengan cepat ia melemparkan tubuh itu, menembus awan hitam yang bergerombol di bawah Vain Crevie.

**TO BE CONTINUED**

Author's Note:
*Astaroth >>> salah satu fallen angel yang mempunyai kekuasaan di neraka.
*Kitab Henokh >>> kitab yang ditulis oleh kakek buyut Nuh-Henokh, menceritakan tentang adanya fallen angel dan para nephilim.

chaptered, fan fiction, u-kiss, t o r n, kim kibum, indonesian

Previous post Next post
Up