Title: Black Soot
Author:
azura_caelestis Rating : PG+15 / straight
Casts: Fly To The Sky (Brian Joo / Joo Min Kyu & Hwang Hwan Hee) and OC (Lee Seun Mi)
Genre: Angst, Fluff, AU
Length : 6 Shots
Part: 2 of 6
Disclaimer: I do not own Hwan Hee and Brian characters. They belong to themselves, and Lee Seun Mi--is my own character. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're some miss typed and spelled. Every chapter.
- The point of view will be changed in each chapter.
Warning:
If there is no one comment here, I won't post the third chapter hohoho....XD
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.
READ the PREVIOUS >>>
HERE
(click to see the real size of poster)
CHAPTER TWO
Gemeretak kayu di tengah malam membuatku terhenyak. Seperti hari-hari sebelumnya, ternyata ia belum tertidur; tetap terjaga di depan tungku perapian dengan wajah tak beriwayat. Kedua kakinya yang terangkat, didekap amat erat. Matanya yang setengah tersayup, membiarkan titik-titik tak bersalah itu berjatuhan, menghantam lantai kayu. Ia menangisi hal yang sama dan tak pernah berubah untuk selamanya.
Sekilas kutatap wajah tak asing itu. Senyumannya tetap menghiasi dinding ruang tamu, walaupun bingkai usangnya dibiarkan berdebu. Perasaan setengah bersalah seolah menghujam diriku. Kini, aku merasa telah berubah. Benar-benar telah berubah. Dan aku tak ingin mendengar nama itu teringang kembali di telingaku.
Perlahan kuayunkan langkahku, mendekati dirinya yang berparas pucat sayu. “Kau belum tidur?” Bahunya terlonjak oleh pertanyaanku. Aku tersenyum tipis, memutar tubuh, dan menghadapi sosok itu.
“Min-er, maksudku Brian. Kau baru pulang?”
“Begitulah. Aku hanya berjalan-jalan sebentar di luar.”
Mata sipit itu membuka lebar; mencari suatu benda di sekitar. Perlahan pandangannya menelisik jauh ke tanganku.
“Apa yang sedang kau lakukan? Kau mencari sesuatu?” Kernyitan menyatukan alisku.
“Botol,” jawabnya singkat. Botol? Aku tergelak. Pasti ia sedang mencari botol-botol beer kegemaraanku itu.
“Oh itu. Benda itu sudah hilang,” jawabku dengan nada santai. Sekilas, kutangkap wajahnya yang tercengang. Namun, aku sengaja meninggalkan dirinya dan melangkah pergi, menuju kamar.
****
Aroma sedap makanan menggelitik hidungku. Perutku semakin berteriak, namun tubuh malah ingin meringkuk. Kutarik selimut, menutupi tubuh, dan berusaha untuk tak mengacuhkan godaan itu.
PRANG! Aku terkesiap. Dengan segera, aku melonjak dari tempat tidur dan menyambar kenop pintu. Mataku berusaha mencari asal suara pecahan kaca itu.
Seun Mi berjongkok di samping meja makan. Kedua matanya menyipit, berusaha untuk menahan sakit. “Seun Mi!” teriakku, segera menghampirinya. Kugenggam tangan terluka itu, tetapi ia malah mendesis. Balas menatapku dengan kebencian.
Bibirku langsung mengatup, mematung tanpa perlawanan. Perlahan kedua tungkai kakinya bangkit. Menjauh dari hadapanku dengan wajah canggung. Aku menatapnya dalam diam. Tak bersuara, membiarkan punggung tak bersalah itu meninggalkan diriku dengan sejuta pertanyaan.
Apakah aku sanggup menerima wejangan adik angkatku itu? Rasanya tidak. Aku sudah terlalu menyakiti hati Seun Mi. Lalu, apa yang harus kukatakan kepadanya? Jiwaku seolah terbeban oleh tanggung jawab dunia akhirat.
****
Tetes-tetes embun pagi membasahi pergelangan tangan. Hari begitu dingin. Dan aku sengaja memaksakan diri untuk berjalan di antara kepahitan. Di dalam hati, aku memancang sebuah hukum di mana perasaan bersalah dapat terbasuh oleh tetes yang tercurah dari langit kelam.
Seringai konyol tak ayal bersanding di bibirku. Aku memang seorang yang bodoh. Seluruh dunia telah membenciku. Bahkan, adik iparku pun begitu. Ia sudah sangat berlapang dada atasku, tetapi aku justru meneriaki dirinya yang tak bersalah itu. Dan sekarang, aku ingin semuanya memaafkanku. Sungguh konyol impian itu.
“Min Kyu?” Seseorang tiba-tiba memanggilku. Ia menggenggam sebuah payung dengan kepala tertunduk. Hoodie magenta bertengger di ubun-ubunnya. Hatiku mulai meniti perasaan tersela. Sepertinya aku mengenal suara itu.
“Gae In?” Aku balas bertanya. Alisku mengernyit, tak yakin. Ia menegakkan kepala, menjawab pertanyaan itu dengan sebuah sunggingan. Kedua pupil kecokelatan yang kukenal, menatap lekat diriku di tengah kesuraman.
“Bagaimana keadaanmu? Dan-er, mana botol kesayanganmu itu?” Lagi-lagi setiap orang menatap tanganku. Mereka seolah beradaptasi dengan keadaan baru.
“Itu. Aku sudah membuangnya. Kemarin,” ujarku canggung.
“Oh, baguslah. Kau pasti berubah karena sesuatu.”
Aku sudah tahu, pasti ia akan berceloteh seperti itu. Diriku seakan dibuat ciut oleh dirinya.
“Aku turut berduka atas meninggalnya Hwan Hee. Kau pasti masih bersedih, bukan?” Aku tak menjawab. Mengalihkan pandang, menatap langit yang membias keabuan. Sejak hari menyakitkan itu, awan kelabu seolah tak pernah meninggalkan kehidupanku.
“Biarlah ia pergi dengan tenang.” Gae In menepuk bahuku.
Aku balas menatapnya dengan sendu. Setidaknya aku mengharapkan lebih dari tepukan itu, tetapi sayangnya, kenangan indah telah berlalu.
“Lalu, bagaimana dengan keadaan Seun Mi? Kau tinggal bersamanya, kan?”
“Seun Mi? Hanya tungku berapian setiap hari. Entah kapan ia dapat membuang semua kegundahan itu,” gumamku.
“Ia pasti dapat berubah. Dengan bantuanmu juga, pastinya.” Gae In mengulas senyum, berusaha untuk menyemangati diriku.
“Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Aku menunduk lesu. Tanpa berbasa-basi ia langsung menggapai tanganku, menggengamnya dalam rasa hangat sebuah harapan.
“Min Kyu~a, aku mengenal dirimu.”
Ekor mataku memincing, memandang rona wajah itu. Ia memang tak pernah berubah-seperti Gae In yang kukenal dulu. Ia selalu memberi apa pun yang kubutuhkan, namun rupanya aku terlalu dungu saat itu. Aku rela mempermainkan perasaannya demi wanita lain yang hanya berkelibat di dalam kehidupanku.
“Terima kasih-atas bantuanmu itu,” ujarku. “Oh yah, jangan panggil diriku Min Kyu. Panggilah, Brian.”
“Baiklah. Berjuanglah untuk itu, B-rian.” Ia tampak canggung saat mengucapkan nama baruku. Tanpa membuang waktu, aku pun melambaikan tangan sembari mengayunkan langkah maju.
****
“Bagaimana keadaanmu?” tanyaku seraya memindahkan berbagai barang dari kantong kertas belanjaan. Dirinya tampak terperanjat, ingin mengetahui apa saja yang baru kubeli di toko serba ada hari ini.
“Ini-untukmu.” Dengan cepat kusodorkan sebotol wine ke arahnya. Ia terperangah, mengeryitkan dahinya.
“Wine? Untuk apa kau membeli benda ini untukku?”
“Untuk diminum. Jika tidak, untuk apa?”
Aku segera merebut botol itu, beranjak ke arah dapur, dan membawa sepasang gelas berkaki panjang. Wajahnya terlihat semakin bingung, namun aku sengaja tak mengacuhkan. Anggaplah ini sebagai hadiah-atau mungkin kejutan.
“Kau lihat, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menikmati hidup.” Aku menuangkan wine.
Saking bersemangat, botol yang kupegang terantuk bibir gelas. Aku meringis, merutuki keteledoranku. Sekilas, kulihat dirinya tergelak. Aku pun ikut tertawa, lalu menyerahkan gelas itu padanya.
“Aku ingat. Hwan Hee pernah berkata seperti itu.”
Gerak tanganku terhenti. Senyap, mendengarkan kata-katanya. Pipinya basah, terciprat air mata dari kelopak. Hatiku mulai meniti perasaan bersalah.
Kedua pupilnya tak beranjak dari pemandangan jendela. Ia terlihat sakit. Sakit yang tertahan oleh sesuatu. Perlahan kugeser tubuhku untuk duduk di sampingnya, menepuk bahunya seolah memberikan sebuah kekuatan baru.
Namun, tangisnya semakin pecah. Ia berusaha untuk beranjak dari sisiku. Aku tahu, aku bukan orang yang pantas untuk itu. Baru seminggu yang lalu aku membentaknya, lalu sekarang aku berusaha membujuknya untuk menerima diriku. Jangan harap hal itu dapat terjadi seketika.
“Tunggu. Bisakah kau menerima diriku? Aku janji, mulai hari ini aku tak akan berkata kasar kepadamu,” pintaku dengan wajah lesu.
Punggung gontai itu berbalik, menghela napas, dan akhirnya menuruti keinginanku. Ia duduk selang beberapa tempat di sampingku.
“Langit itu. Apa kau pernah melihatnya?” ujarku sambil menunjuk ke arah jendela.
Ia terdiam. “Aku pernah menyakiskannya dulu bersama seseorang. Ia adalah seorang perawat. Dan aku-aku adalah seorang pilot.”
Bola matanya memutar, mendengar kenyataan itu. Ia pasti tak pernah tahu bahwa aku seorang pilot. Iya, lebih tepatnya seorang pilot yang gagal.
“Dulu kami bersama menyelinap-mengendap-endap di hangar markas. Lalu, aku mulai menyalakan mesin pesawat dan terbang berdua bersama dirinya.” Gelak tawa menyambar diriku. Jika di pikir kembali, hal yang kulakukan itu benar-benar konyol, tetapi bisa juga terbilang romantis di mata para gadis.
“Lalu apa yang terjadi? Kau tertangkap oleh para penjaga?”
“Tidak. Kami berhasil lolos. Perlahan pesawat itu menembus awan, dan kami berdua menikmati pemandangan surga di atasnya.”
Kini kedua mata Seun Mi berbinar. Entah karena tersanjung atau pun menyesal.
“Andai Hwan Hee masih berada di sisiku. Aku pasti akan memaksanya, melakukan hal itu.” Kami terkikik bersama. Ia memang pintar berkhayal, namun jika waktu dapat terulang kembali tentunya aku ingin merasakan kembali kenangan itu.
“Ini-Hwan Hee menitipkan benda itu kepadaku.” Kulepaskan kalung yang terlingkar di leher. Dua buah cincin bersatu sebagai liontin di tengahnya. Ia menatapnya dengan sorot tercekat. Napasnya tersenggal. Dan ia tak menyangka bahwa aku akan menyerahkan benda itu kepadanya.
“Hwan Hee berpesan bahwa aku harus menjaga dirimu.” Akhirnya aku menyebarluaskan masalah ini. Mungkin Seun Mi tak akan percaya, tetapi saudara angkatku memang telah menyerahkan nasib Seun Mi kepadaku. Saat pemakamannya berlangsung, hatiku terus bergelut, melawan rasa kehilangan dan tanggung jawab. Sifat kerasku memang susah untuk terubahkan, namun aku yakin, seseorang pasti dapat mengubahnya.
“Brian, aku tahu niat baikmu. Tetapi, biarlah aku menghadapi semua ini dengan kemampuanku. Atas tawaranmu itu-terima kasih banyak.” Dentingan kaki gelas terdengar nyaring, menghantam pelan permukaan meja. Aku teramangu. Bibirku seakan terpatri dengan baik, tanpa dapat melontarkan kalimat perlawanan.
Kesunyain merambat, menyelimuti ruang tungku. Tubuhku bergeming, membiarkan dirinya menginggalkanku tanpa ekspresi. Kutatap kalung kemilau yang terbaring di atas meja.
Hwan Hee~a, sepertinya ia tidak membutuhkan bantuanku. Aku menggeleng frustasi sembari membaringkan kepala di atas bantalan sofa.
****
Buku-buku itu berjajar. Membentuk sebuah lintasan, mengelilingi ruang senyap. Di samping jendela, berdiri sebuah lemari. Lemari kaca yang berisi pigura-pigura usang. Aku berjalan menghampirinya, mencoba untuk menyentuh sisi gelap dari sang kaca.
Foto-foto bahagia Hwan Hee dan Seun Mi terpampang di dalam sana. Aku mendelik. Paru-paruku terasa sesak, terserang hawa iri hati. Mengapa Seun Mi tak bisa menerima diriku layaknya ia menerima Hwan Hee dulu? Memang kami tampak berbeda, tetapi aku ingin berubah.
Saat kami masih bersahabat dulu, terkadang aku merasa iri dengan saudara angkatku. Hwan Hee selalu berada di depanku. Aku hanya berhasil menjadi seorang pilot yang gagal, sementara dirinya-dengan hormat diterima sebagai tentara dalam pasukan batalion.
BRAK! Tiba-tiba seseorang mendobrak pintu di belakangku. Nyaring. Hingga aku pun berbalik dengan mata membelalak.
“YA! PERGI!” Seun Mi berteriak ganas, kedua pipinya memerah. Sekali melihat, aku pun tahu, ia sedang di bawah pengaruh alkohol berat.
Aku masih berdiri di tempatku, memasang sebuah seringai cibiran. Ia benar-benar bodoh. Sudah tahu tak kuat minum, lalu mengapa mencuri persediaan lamaku?
Bibir kemerahannya merekah. Gigi putih yang bersanding di baliknya pun ikut menggerenyit pilu. Ia terlihat sangat konyol dalam keadaan mabuk. Aku segera menangkapnya. Memapah tubuh lunglai itu perlahan ke arah sofa di hadapan tungku. Lidah-lidah api masih menyala, bergelora menghangatkan ruangan di sekitarku.
“Hwan Hee! Mana pembuktian itu? Bagaimana dengan janjimu?”
Aku mengendus, menatapnya dengan tatapan merendah. Ternyata hanya Hwan Hee lah yang dapat mengisi benak semerawut itu. Aku bukan siapa-siapa di matanya.
Bercak air mata masih terjejak di pipi berona merah itu. Entah sudah berapa liter air yang ia keluarkan demi orang bernama Hwan Hee-saudara angkatku. Terlalu melelahkan tubuh demi hal yang sia-sia, telah berlalu. Sekalipun ia mengelepar di atas tanah atau berteriak di atas tebing kematian, jiwa itu tak akan pernah kembali; membelainya dengan kasih sayang.
Kuakui, aku pun merindukan adik angkatku itu. Namun, nasib rupanya tak dapat bersekutu dengan takdir yang dirajut oleh Tuhan sendiri. Ia telah merebut Hwan Hee dari sisi kami.
“Seun Mi~a, mengapa kau mencuri beer kesayanganku?” Aku menghatam pelan bahu kiri Seun Mi yang tak sadarkan diri. Sunggingan senyum terukir di bibirnya, menganggap omonganku hanya sebuah pertanyaan picisan biasa.
“Aku tidak mencurinya. Ia mendatangiku. Benar, ia berjalan ke sini.” Ia mengarahkan telunjuk ke samping sofa-tempatnya berbaring. Aku tergelak. Apa yang sedang dimimpikannya itu? Botol-botol melayang di angkasa?
Lengking tawaku terhenti seketika, melihat raut wajahnya berubah. Ia seperti berada di dalam kegusaran. Tangan mungilnya menarik tanganku untuk berada di dalam pelukannya. Aku mematung. Dehaman kecil pun tercipta, teralun dari rongga tenggorokanku. Apa Seun Mi salah mengenali orang? Aku ini Brian, bukan Hwan Hee kesayangannya itu.
Aku hendak menarik tanganku, menjauhi tubuhnya. Namun, ia malah mendekap semakin erat.
“Jangan bergerak. Aku takut. Kau mau menemaniku, ‘kan?” Sayup-sayup mata itu terbuka. Dan sudut bibirnya terangkat lemah. Aku balas tersenyum, membiarkan tanganku didekap olehnya. Diriku mulai bersenandung, mengantar dirinya menuju gerbang ketentraman.
Genggaman erat itu mulai melonggar, tanganku kini dapat terlepas. Kuusap pipinya yang memerah. Rona masih bergelung di atasnya, terlelap bersama mimpi surgawi. Tanpa kusangka jantungku malah berdegup cepat. Otakku mulai bertanya-tanya. Namun, hanya dengkuran napas halus yang menjadi jawabannya.
Dahi berponi halus itu seakan menarik perhatian. Kelopak mataku mulai menyipit dan tangan kananku pun ikut tergerak, menyapu setiap helaian rambut halusnya itu. Ia memang gadis terbaik. Dan Hwan Hee adalah seorang yang beruntung, namun aku sangat tak tega melihat jalan hidupnya yang begitu tragis.
Kecupan manisku mendarat di dahinya-menandakan bahwa aku percaya. Percaya bahwa ia dapat merubah diriku seutuhnya.
**TO BE CONTINUED**