Title: Black Soot
Author:
azura_caelestis Rating : PG+15 / straight
Casts: Fly To The Sky (Brian Joo / Joo Min Kyu & Hwang Hwan Hee) and OC (Lee Seun Mi)
Genre: Angst, Fluff, AU
Length : 6 Shots
Part: 1 of 6
Disclaimer: I do not own Hwan Hee and Brian characters. They belong to themselves, and Lee Seun Mi--is my own character. So please don't sue me.
A/N:
- Sorry for the hard diction.
- This fan fic hasn't betaed yet, so I'm sorry if there're some miss typed and spelled.
- The point of view will be changed in each chapter.
Warning:
If there is no one comment here, I won't post the second chapter hohoho....XD
For the friend who does not have Live Journal ID, please comment as ANONYMOUS and write your name in the comment box.
READ the PROLOGUE first >>>>
CHRONOS
(click to see the real size of poster)
CHAPTER ONE
Mataku mengerjap, menatap lurus awan yang bergelimpung di antara langit gelap. Selarik cahaya menyelinap, seolah menimbulkan harap. Aku terdiam. Bergeming sambil membayangkan wajah tampan itu-mengepul bersama sang awan kelabu. Kapan sosok yang kudambakan itu pulang? Aku rindu akan sentuhan manisnya di bibirku.
Aku memandang sendu lembaran kalender yang bertengger di dinding. Hari demi hari seakan terkelupas bersama kesunyian yang menyelimuti kehidupan. Seratus hari menunggu, namun kabar itu masih belum tersurat dari bibirnya. Entah apa yang membuatnya terus membungkam-menolak untuk membalas ratusan pesan dariku.
Setiap hari aku menunggu, terduduk lesu di bawah naungan mentari bisu. Bersila di beranda rumah. Dan para tetangga pun tergelak melihat tingkahku. Mereka pikir aku telah terhipnotis oleh karena senyuman memukau itu. Namun, perkiraan mereka hanyalah setengah dari bualan omong kosong yang mencemooh diriku. Aku baik-baik saja tanpa dirinya.
Baiklah, kuakui. Aku memang pura-pura kuat di hadapan semuanya. Namun, aku masih percaya akan janji itu. Ia pasti pulang. Mendekapku layaknya yang biasa dilakukan.
Langit rupanya sedang bermuram durja. Mentari seolah terkubur di antara hamparan hitam keabuan. Aku melihatnya, tetes demi tetes air menghujam bumi. Aku terdiam. Menikmatinya dengan hati tertikam.
BRAK! Tiba-tiba suasana berubah mencekam. Ekor mataku mulai melirik, menerawang ke arah pintu di ujung sana. Aku terperanjat. Kira-kira siapakah yang datang? Ah, sudahlah. Pasti bukan dirinya. Ia bukan tipe pria romantis seperti dalam anganku. Tetapi, jika bukan dirinya, lalu siapa orang itu?
Degup jantungku seakan menyalak, menjerit meminta pertolongan. Dengan sedikit berrjingkat, aku pun berjalan mengendap. Mengambil stick kayu panjang yang tersandar di pinggir lemari hias. Mengangkatnya perlahan alih-alih membuat pertahanan.
Perlahan kugerakan kenop pintu dengan memutar. Namun, belum sampai aku menariknya, suara ketukan sudah terdengar. Sang pengetuk berteriak, tak sabar, dan mengumpat kesal. Aku semakin curiga. Kuangkat stick kayu itu di atas kepala sembari menarik kenop. Suara deritan terdengar. Dan bayangan itu pun tergambar. Aku terhenyak, menyaksikan sang pengetuk di luar sana. Lenganku membeku dan aku pun tersadar, malu.
“Min Kyu?” desisku penuh keterkejutan.
Laki-laki itu menatap dengan mata cekungnya. Ia menyeringai, sambil menyorakan kata-kata umpatan. Aroma alkohol tak ayal menyeruak keluar dari ucapannya. Aku segera membuang muka, kemudian berjalan tanpa mempersilahkan dirinya untuk masuk. Otakku seakan dibuat kacau oleh kehadiran laki-laki itu. Bagaimana aku harus menghabiskan malam ini bersama orang macam dirinya. Pemabuk, tak tahu sopan santun dalam berlagak.
Aku berjalan terhuyung, menghampiri tempat tidur, dan langsung membenamkan kepala di atas bantal. Dengan lemah aku meringkuk. Membiarkan semua pemikiranku berlabuh. Di sela-sela ketakutan itu, otakku mulai berpikir yang tidak-tidak. Sebelum Hwan Hee pergi meninggalkanku, kupikir menerima Min Kyu di tempat ini bukanlah masalah. Namun, setelah penyakit setengah tak waras itu terungkap, aku merasa amat keberatan menerima dirinya-kapan saja- di tempat ini. Walaupun Hwan Hee telah menganggapnya sebagai kakak angkat, tetapi kurasa semua budi baik itu tak terbalas oleh kelakukannya.
****
Butiran cahaya tenang melantun, lembut menembus tirai jendela kamar. Aku terbangun. Dan segera melonjak keluar. Seketika itu, aku dikejutkan oleh keadaan rumah yang setengah porak-poranda. Dengan tetap bergeming kecewa, aku mulai bergerak-membereskan tumpukan-tumpukan koran yang berserakkan di lantai. Kaleng-kaleng berbau alkohol pun masih tersisa, bergelimpung di atas meja. Aku berdecak pelan. Tak ingin menganggu sang pemalas yang masih tertidur pulas di atas sofa kebangganannya.
TOK…TOK…TOK... Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Dengan cepat aku melesat-menggapai sandal rumah, lalu berlari ke arah pintu.
“SURAT!” seseorang berteriak dari luar.
Ah, rupanya sebuah surat. Apa jangan-jangan surat itu dari-
Aku tak sanggup melanjutkan sorai kegembiraan. Kuketatkan bibirku, membentuk lengkungan manis sambil menerima surat dari lelaki berjas cokelat kusam itu.
Ia segera meninggalkan diriku yang tampak berkelit. Kedua alisku mengernyit, memperhatikan alamat dari sang pengirim surat. Di depan amplop tampak sebuah logo kemiliteran, dan seperti dugaanku, surat itu pasti berasal dari Hwan Hee.
Tanpa menahan sabar, langsung kurobek bagian atas amplopnya. Mataku berkaca-kaca-tak kuasa untuk menahan letupan kerinduan di kantung mata. Kertas kekuningan itu membentang, dan deretan kalimat mulai mencerca di atasnya. Pupil mataku bergerak, menyapu setiap kata yang tertulis.
Aku terdiam, selesai membacanya. Kini derai tangisku berubah makna. Ini bukan tangis kerinduan, melainkan salam duka bagi sang sosok merindukan itu. Sekumpulan peniti seolah teruntai sekeras belati, menusuk ulu hati. Aku terisak. Mencoba untuk terdiam, namun teriakan kesal Min Kyu malah membuat segalanya semakin keruh.
“YA! APA YANG KAU LAKUKAN PADA BARANG-BARANGKU!”
Aku mendesah dengan perasaan tercampur aduk. Melangkah gontai, menghampiri dirinya yang sedang memekik itu.
“MANA KALENG BEER-KU!”
Dengan lunglai aku menunjuk tempat sampah yang terletak di samping pintu. Napasnya langsung memburu, dan mata kehitamannya berubah. Menakutkan. Ia berjalan menghampiriku. Amat dekat sampai aku pun terkesiap. Kedua tangannya mengenggam kuat bahuku. Dan ia mulai menggoncang-goncangkannya. Seketika itu lidahku kelu. Apa yang akan ia berbuat terhadap diriku?
Derai air mata tak dapat berhenti membasuh pipiku. Persediaanku seakan kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Kakiku ambruk, terduduk di hadapannya. Ia tercengang, namun aku tetap tak peduli. Aku mulai meraung, memekik kesetanan dengan sebuah nama yang tersuara di antara keparauan.
“HWAN HEE!” Jeritanku semakin melengking.
Dalam hati, puing memori pilu semakin menikamku. Menyayat perlahan perasaanku, dan aku pun mulai terpejam.
****
Suasana hening menyelimuti rasa duka yang terkulai. Kutatap foto tersenyum itu di hadapanku. Pantulan sinar suram seakan membangkitkan jasadnya kembali. Aku balas tersenyum, namun tanpa berjeda, aku sadar. Hanya sosok kosonglah yang berdiri tegak di sampingku.
Tangis menyakitkan dari para rekan sepenanggungan hingar terdengar. Semua isakkan itu sama menyesakkan rongga paru-paruku. Erangan, umpatan, bahkan kata penghormatan, semuanya teramu menjadi satu.
Pastor mulai bernazar dengan khidmat. Aku berdiri membisu seraya mencoba untuk menerima kenyataan. Namun, sang sesosok berjas hitam malah terduduk di samping pemakaman dengan pesta hura yang diselenggarakan pribadi olehnya. Hatiku mulai tak tenang. Apa ia tak memiliki perasaan kehilangan itu?
Upacara pemakaman telah usai, dan orang-orang mulai meninggalkanku. Dengan bermuram hati aku berdiri pun di bawah derai hujan yang menghujam layu. Perlahan kugerakkan kakiku, mendekati foto tersenyum itu. Menyentuhnya. Dan merasakan tawa gembira yang merajut, menembus kulit bebalku.
Derap kaki seakan bergemerincing di telingaku. Sosok tak-tahu-aturan itu mulai melangkah dengan mata setengah terpejam. Bau alkohol yang sama menyeruak dari botol yang dibawanya. Ia langsung mengambil tempat di sampingku. Berdiri dengan setengah terhuyung, lalu mencibir dengan sebuah seringai.
Aku menatapnya dengan perasaan jijik. Ia benar-benar manusia tak beretika yang pernah kukenal. Sebaik apa pun Hwan Hee telah bersikap kepadanya, tetapi ia tidak pernah membalas semua itu.
“YA! CEPAT BANGUN! APA YANG KAU LAKUKAN DI DALAM SANA!” pekiknya. Aku terhenyak. Sopan santun macam apa yang telah dipelajarinya di sekolah?!
“Min Kyu, hentikan. Jangan kau buat keributan seperti itu.” Aku mencoba untuk menasehatinya dengan hati lunglai. Namun, Min Kyu malah mendesis tak suka.
“MIN KYU?! Jangan sebut-sebut nama itu lagi!” Rahang-rahangnya mulai mengeras. Matanya mengkilat tajam. Dan aku pun terdiam, tertunduk tak berdaya.
****
“TUTUP MULUTMU!”
“TUTUP MULUT? KAU KIRA SIAPA DIRIMU?! SELAMA INI AKU MENCOBA BERTAHAN. KEBIASAAN BURUKMU ITU MEMANG MEMUAKKAN. SEKARANG! KELUAR! KELUAR DARI RUMAHKU!”
Aku benar-benar sudah tidak kuat menahan semua kepenatan. Telingaku sudah hampir pekak mendengar omelan, bantingan, bahkan kesombongan darinya.
“Kau mengusirku?” Dengan lagak bodohnya Min Kyu bertanya.
Aku mendengus, menatapnya dengan mata bertitikkan air mata.
“IYA! SEKARANG KELUAR DARI RUMAHKU!” teriakku histeris. Dengan tampang sok-tak-bersalahnya itu Min Kyu menatapku dalam kebisuan. Ia pikir, ia dapat mencegahku.
PRANG! Kubuang semua botol-botol jahanam itu. Ia menatapku semakin tercengang. Kaget akan diriku yang dapat bertindak seberani itu.
**TO BE CONTINUED**