DARI AWAL LAGI

Nov 27, 2015 22:12


“Selanjutnya!”

Leila meraih paspor yang disodorkan oleh petugas di atas meja. Sambil mengangguk tanda terima kasih, ia pinggul lagi tas punggungnya melewati bagian imigrasi dan menuju pengambilan bagasi. Ditengoknya layar monitor berisi informasi penerbangan satu persatu. Di mana kira-kira kopernya akan diletakkan?

Belum lama setelah menemukan nomor penerbangannya, conveyor belt mulai bergerak. Para penumpang lain yang sedari tadi menunggu langsung bersiap-siap memanggul barang masing-masing. Tidak jarang yang menunggu di bangku terdekat, sementara barangnya diambilkan porter.

Tas pertama menampakkan diri. Lalu disusul yang kedua, ketiga dan seterusnya.

Leila menunggu dengan sabar, sesekali diliriknya jam tangannya. Oh iya, belum diganti ke WIB. Mama bilang ia akan menjemputnya dengan Papa jam sepuluh. Sekarang jam berapa? Semoga mereka tidak capek menunggu kalau bagasinya lama. Dirogohnya kantong, dinyalakannya telepon genggamnya. Percuma, ia tidak bisa menghubungi mereka. Tapi minimal ia bisa melihat jam.

Itu dia! Koper besar berwarna keemasan dengan inisial LM di atasnya. Buru-buru Leila mengambil koper itu begitu bergulir ke depannya lalu ditarik pegangannya sambil berjalan menuju pintu keluar.

Udara panas dan lembab langsung menyambutnya. Sekilas ia sudah merasakannya tadi begitu keluar dari pesawat. Tapi kini hiruk pikuk orang yang lalu lalang di bandara meski sudah selarut ini membuatnya terhenyak. Bau asap rokok yang menyengat. Keriuhan para penjemput yang mengelu-elukan nama masing-masing orang yang dicari. Langit tak berbintang yang entah tertutup oleh polusi yang pekat atau lampu yang terlalu terang. Sampah yang terlihat di pojok-pojok jalan dan ruangan. Bapak-bapak yang tergeletak di bangku-bangku tempat menunggu.

Semua keraguan lenyap dari benaknya. Kini ia yakin: ia sudah pulang ke Jakarta.



Kini hidup Leila berubah. Beberapa hari pertama, ia bingung mendapati dirinya terbangun di kamar yang berbeda. Tanpa kesibukan suatu apa pun, ia menjadi terbiasa bangun kapan pun ia mau. Terkadang bahkan lewat jam 12. Masi jetlag, sanggahnya. Awalnya teman-temannya berebut mengajak bertemu, namun kini mereka semua telah kembali ke kehidupan masing-masing. Leila pun mencari kesibukan sendiri. Ia jarang berdiam di rumah, lebih memilih mencari berbagai makanan lokal di luar. Sudah berapa tahun ya ia tidak bisa menikmati makanan-makanan Indonesia semudah ini? Bahkan makanan pinggir jalan pun rasanya berlipat ganda enaknya.

Mama juga sering mengajaknya menemani jalan-jalan atau berbelanja di supermarket terdekat. Setiap kali mereka pergi, Leila pasti tertarik untuk membeli jajanan yang ini atau itu. Ia menolak masuk ke restoran-restoran barat, lebih memilih rumah makan padang atau warteg. Gerobak bakso di tepi jalan pun lebih menarik matanya daripada restoran steik yang mahal.

“Yang kayak gini mana ada yang jual di sana, Ma?” ujarnya sambil mengunyah siomay.

Dari luar, Leila tampak senang untuk kembali ke kampung halamannya. Bagaimana pun juga, ia lebih terbiasa dengan Indonesia daripada Jerman. Tidak heran ‘kan, bila ia menjadi lebih bersemangat setelah kembali? Makannya menjadi lebih banyak, tawanya menjadi lebih riang dan rasa ingin tahunya menjadi lebih besar.

Tapi apa benar ia senang telah kembali ke Jakarta?

Sudah lewat dua bulan sejak ia tiba di kota ini, namun belum tampak sedikit pun keinginannya untuk memulai sesuatu. Mungkin kembali kuliah, atau mencari kerja. Tapi ia tetap menjalani hidupnya sebagai seorang pengangguran: bangun kapan pun ia mau, tidur kapan pun ia mau, makan dan mandi pun suka-suka. Tiap hari seperti menjalani hidup tanpa tujuan. Papa dan Mama menjadi khawatir. Mereka pikir mungkin Leila punya rencana. Mungkin hatinya belum sepenuhnya terobati.

Setiap kali saudara atau kerabat menanyakan kepulangannya, Leila tersenyum tertahan dan berbohong bahwa ia sudah lulus. Berapa lama di sana? Tiga tahun? Wah, cepat juga ya selesainya. Senyumnya makin kencang semakin panjangnya percakapan. Papa dan Mama pun ikut bersekongkol merahasiakan itu dari keluarga besar dan kenalan mereka yang lain, hanya melibatkan segelintir orang dalam rahasia mereka. Pasti panjang ceritanya jika pertanyaan-pertanyaan itu dibalas dengan jujur satu persatu. Pasti air muka mereka akan berubah dengan penuh rasa kasihan atau meremehkan. Leila paling tidak suka itu.

Sejak ia lulus dari SMA 5 tahun yang lalu, yang ingin Leila lakukan hanyalah belajar ilustrasi di universitas seni. Awalnya, ia ingin kuliah di Jepang. Namun, selain karena biaya yang mahal, persaingan yang ketat juga tidak memungkinkan hal itu baginya. Padahal Leila sudah cukup fasih dengan bahasanya.

Lalu sebuah kesempatan baru menunjukkan dirinya: Jerman.

Papa dan Mama mengikuti sebuah seminar di sekolahnya mengenai kuliah di Jerman. Mereka menjadi yakin bahwa negara tersebut adalah pilihan yang tepat. Selain jauh lebih murah, Leila akan mendapat akses untuk menjelajahi tanah Eropa. Bukan tawaran yang buruk, bukan? Bukankah Leila ingin kuliah di negara yang tidak berbahasa Inggris? Pilihan yang sempurna, bukan?

“Papa ingin kamu belajar melebihi apa yang diajarkan di sekolah,” kata Papa, mendukung. “Kalau ke Jerman, kamu ‘kan bisa belajar budaya Eropa juga, melihat lebih banyak dari dunia.”

Leila terbujuk. Ia pun mulai mengikuti kursus tambahan Bahasa Jerman. Setiap hari, selepas sekolah, ia akan buru-buru menuju ke tempat lesnya. Terkadang, ia bersama beberapa teman berkunjung ke DAAD, yayasan pendidikan pemerintah Jerman yang menyediakan informasi tentang kuliah di sana. Lalu ia mendaftar ke salah satu agensi pendidikan yang menjanjikan banyak persiapan dan bimbingan untuk mendaftar ke berbagai universitas di negeri bratwurst tersebut. Pelan-pelan ia mulai merasa optimis untuk kuliah di Jerman, negara yang bahkan belum pernah menarik perhatiannya sebelumnya.

Yang membuat Leila tetap tidak tenang adalah minimnya pengetahuan mengenai sekolah seni di Jerman. Bukannya tidak ada, bahkan terbilang cukup banyak, namun ia tidak berhasil menemukan bagaimana cara ia, sebagai warga Indonesia, bisa mendaftar ke sekolah-sekolah tersebut. Apa saja persyaratannya dan bagaimana ia harus mempersiapkan diri? Agensi yang ia ikuti menolak memberi jawaban yang konkret, melainkan hanya menyuruhnya terus mempelajari Bahasa Jerman, padahal Leila sudah yang paling fasih di kelasnya.

Setelah lebih dari setengah tahun sejak kelulusannya, Leila dan kawan-kawan seperjuangannya akhirnya diberangkatkan ke Jerman. Beberapa ada yang langsung masuk masa pra-kuliah selama satu tahun, namun ada juga yang harus menunggu tes masuk untuk semester berikutnya. Leila termasuk kelompok yang kedua, mengulur lebih banyak lagi waktu untuk memulai kuliah.

Setelah akhirnya ia memasuki masa pra-kuliah, Leila sadar, agak terlambat, bahwa ia harus mempersiapkan portfolio untuk mengikuti tes masuk universitas seni. Bahkan pra-kuliahnya justru tidak dibutuhkan. Kesal rasanya, mengapa tidak pernah ada yang memberitahu ia tentang hal ini? Padahal ia sangat mempercayai agennya. Leila merasa tertipu habis-habisan. Namun apalagi yang dapat dilakukannya selain berusaha membentuk portfolio yang bagus untuk bisa lolos ujian masuk? Apalagi yang bisa ia lakukan sekarang selain melangkah ke depan, bukannya menyesali yang sudah berlalu?

Namun sudah terlambat. Leila yang kurang persiapan pun gagal di sana.

“La, lo beneran ngga mau lanjutin kuliah?”

Leila menolehkan wajahnya dan menatap sahabatnya, Irene, lekat-lekat. Mereka sedang duduk di mall sambil melahap es krim masing-masing. Ini sudah kali ke sekian mereka bertemu sejak Leila kembali ke Jakarta. Irene tahu betapa sensitifnya Leila mengenai topik ini, hingga tidak pernah menanyakan apa-apa. Namun sekarang sudah nyaris tiga bulan berlalu. Irene sudah tidak bisa lagi membendung rasa penasaran dan kekhawatirannya terhadap Leila. Sementara sahabatnya hanya bisa bengong dengan sendok es krim bertengger di mulut.

“Kenapa tau-tau nanya?” Leila balik bertanya sambil menghela napas.

“Karena gue tau lo punya potensi yang besar,” tutur Irene. “Lo tuh berbakat, La. Jangan sampai kegagalan lo di sana bikin lo ngga mau mencoba di sini.”

“Tapi udah lima tahun, Ren. Gw ngga yakin masih bisa.”

“Kalo ngga dicoba mana tau, ‘kan?”

Leila terdiam, sibuk mengaduk-aduk es krimnya. Irene merogoh-rogoh isi tasnya lalu ditariknya telepon genggamnya. Setelah sibuk mencari-cari sesuatu di sana, disodorkannya telepon itu kepada sahabatnya.

“Nih,” katanya. “Adek gue kemarin baru daftar program beasiswa ke universitas ini, gue yang temenin. Terus gue tanya, ada batasan waktu ijazahnya ngga. Mereka bilang sih ngga ada. Kenapa ngga lo coba aja?”

Leila termenung sambil memelototi telepon di tangannya. Di layarnya tertera berbagai macam informasi untuk bisa mengikuti program beasiswa tersebut. Tanggal pendaftaran masih ada seminggu lagi. Api harapan Leila yang sudah redup tiba-tiba menyala lagi.

“Lo mau temenin gue ke sana, ngga?” tanyanya pelan-pelan.

“Ya iyalah!” sahut Irene dengan semangat. “Yuk ke sana sekarang!”

Tanpa pikir panjang lagi, kedua gadis itu segera mengemasi barang-barang mereka, menghabiskan es krim dan menuju area parkir. Jantung Leila berdegup sangat kencang. Tidak disangkanya mungkin pintu ilmu baginya masih dibuka. Mungkin ia masih bisa kuliah lagi.

“Papa udah ngga bisa biayain kamu kuliah di sana.”

Berita itu datang tiba-tiba. Leila tengah menyelesaikan portfolio-nya untuk mendaftar lagi ke sekolah seni. Terakhir kali ia mendaftar, sudah 2 tahun yang lalu, ia gagal. Tanpa basa basi, 4 sekolah menolaknya. Tiga di antaranya bahkan tidak mengizinkannya untuk mengikuti tes terlebih dahulu, sementara yang satu lagi kurang 2 poin.

Hati Leila hancur saat itu, namun ia harus berpikir cepat.

Segera setelah mendapatkan ijazah pra-kuliahnya, Leila mendaftar ke jurusan Sejarah Seni. Ironisnya, nilai-nilainya di pra-kuliah terbilang bagus. Mungkin nomor satu di kelas. Sehingga ia tidak perlu takut lagi jika mendaftar hanya ke satu universitas saja. Ia mendaftar ke Kassel, karena ia merasa program mereka menarik dan ia bisa mengikuti workshop seni rupa maupun desain di samping mata kuliah wajibnya. Perlahan-lahan, ia mulai menikmati kehidupan barunya, jurusan yang ia pilih serta kota tempat tinggalnya. Sekilas, seolah semua mimpinya menjadi nyata.

Namun, setahun bersilang, ia masih tidak bisa melupakan mimpi lamanya: ilustrasi.

Akhir tahun sebelumnya Leila sudah memohon doa restu kedua orangtuanya. Ia menjelaskan dilema-nya, menyatakan keinginannya mencoba lagi dan meminta dukungan dan doa dari mereka. Tanpa pikir panjang, mereka memberikan semua yang Leila minta. Mereka justru meyakinkan Leila untuk mencoba lagi, agar ia tidak menyerah. Maka Leila pun berusaha, semoga kali ini usahanya tidak sia-sia.

Lalu Papa menyampaikan berita mengejutkan itu.

“Kamu mau bagaimana?” tanyanya. “Kalau mau lanjut kuliah di sana, berarti kamu harus cari kerja. Papa mungkin ngga bisa biayain sebanyak biasanya.”

Leila terdiam. Ia sudah berusaha mencari kerja sambilan selama ini, namun tidak kunjung menemukan lowongan. Semuanya ditolak. Ia pun membuat perjanjian dengan Papa: jika ia diterima di jurusan yang ia inginkan, ia akan tetap di sana, bagaimana pun caranya. Namun, jika tidak, terpaksa ia akan pulang ke Jakarta.

Jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 07.30. Setengah jam lagi tes kualifikasi beasiswa akan dimulai. Leila sejak tadi tidak bisa diam. Kakinya terus naik turun, tangannya menepuk-nepuk lutut dengan berisik. Ia sudah sampai dari pukul 07.00 tadi. Dikiranya akan telat karena rumahnya cukup jauh dari lokasi ujian, namun ternyata malah terlalu cepat. Baru segelintir orang yang menampakkan dirinya, masing-masing sibuk merapal rumus dan lain sebagainya. Leila sedikit gugup namun juga tenang, pikirannya melayang.

Hari ketika hasil ujian masuk universitas seni diumumkan masih membekas di benaknya.

Pengumuman itu muncul melalui secarik amplop di kotak posnya. Aneh, padahal universitas itu terletak tidak terlalu jauh dari rumahnya, lima belas menit naik trem. Jantung Leila berdegup tiada henti ketika ia mengambilnya. Tangannya gemetar, matanya memelototi surat tersebut, belum siap untuk membuka. Sebenarnya firasatnya berkata buruk, namun ditepisnya pikiran itu. Ia tidak ingin mempercayainya. Pasti itu hanya rasa takutnya saja yang berbicara. Pasti hasilnya berbeda.

Amplop dirobek. Kertas dibuka. Tulisan dibaca. Napas terhenti.

Ditolak.

Dunia Leila tiba-tiba terhenti. Sunyi menyelimuti pikirannya, kicauan burung pun tidak terdengar. Rasanya ada yang lenyap dari hidupnya, tapi Leila tidak tahu itu apa. Untuk beberapa hari, ia tidak ingin memberitahukan siapa pun. Rasanya ingin disimpannya rahasia itu rapat-rapat. Jika ia tidak memberitakannya, mungkin itu tidak nyata. Mungkin dengan begitu kegagalannya hanya imajinasi semata.

Pikiran Leila buyar begitu hiruk pikuk para peserta ujian berkurumun di depan ruangan ujian. Buru-buru dikemasnya tasnya dan didekatinya pintu ruangan. Begitu ia masuk, beberapa mas-mas dan mbak-mbak berjaket seragam memberinya arahan.

“Desain Grafis ya? Di sana ya,” bimbing salah seorang dari mereka.

Leila pun berjalan menuju kursi yang ditunjuk. Disiapkannya apa saja yang ia butuhkan: pensil, pulpen, kartu peserta. Sebentar lagi ujian akan dimulai. Masa depannya ditentukan di sini. Leila siap berjuang, semoga bukan untuk terakhir kalinya.

Setelah membaca pengumuman yang menghancurkan hatinya, Leila tidak lagi semangat melakukan apa-apa. Tidak disangka ia akan benar-benar pulang ke Jakarta, apalagi sebelum selesai meniti ilmu di negeri orang. Untuk beberapa lama, air mata Leila tidak kunjung meleleh, tidak ia biarkan dirinya menangisi keputusan ini. Salah sendiri tidak berusaha lebih keras. Salah sendiri tidak mencari tahu lebih banyak informasi. Kebodohan diri sendiri jangan ditangisi.

Namun lama-lama ia tidak tahan, sakit hatinya terlalu besar. Apa gunanya ia berusaha selama ini? Kenapa ia tidak berusaha lebih keras? Malah memasrahkan takdirnya pada agensi terkutuk yang tidak bertanggung jawab suatu apa pun. Apa selama ini ia hanya berimajinasi saja? Mungkin ia sebenarnya tidak punya bakat suatu apa pun. Seenaknya saja besar kepala, namun ketika diadu ia tidak bisa menang. Sakit rasanya, menyadari betapa kecil kemampuannya, tidak cukup untuk menembus langit yang ia impikan. Sedih rasanya, menyadari ternyata impiannya belum akan menjadi kenyataan.

Ketika ia mengabarkan kepada Papa dan Mama berita pahit tersebut, mereka menanyakan rencana Leila selanjutnya. Mereka tidak memaksanya untuk pulang, tapi apa pun keputusan Leila, mereka akan mendukungnya. Leila memutuskan untuk pulang dengan putus asa.

“Leila,” tegur Papa, “Papa mau kamu tau, bahwa kamu pulang ke Indonesia bukan berarti kamu menyia-nyiakan waktu kamu. Selama kamu tinggal di sana ‘kan kamu juga mempelajari banyak hal, meski ngga terekam dalam ijazah atau sertifikat lainnya.

Pertama, kamu udah belajar Bahasa Jerman, yang sewaktu-waktu pasti bisa berguna untuk kamu. Kedua, kamu udah menjelajahi beberapa negara di Eropa yang memberikan kamu gambaran akan masyarakat di sana. Kamu juga udah belajar hidup mandiri, udah tau seluk beluk kehidupan dan udah makin dewasa dalam hidup. Itu ngga mungkin sia-sia. Semua itu ada hikmahnya. Mungkin ini bukan jalan kamu sekarang, tapi bukan berarti kamu ngga mendapat apa-apa dari yang sudah berlalu. Memang kamu ngga punya sertifikat untuk membuktikan hal-hal ini, tapi itu bukan berarti semuanya percuma. Jangan merasa kecil hati karena memilih untuk kembali. Itu bukan berarti kamu menyerah, bukan berarti kamu gagal. Itu artinya hanya kamu memilih jalan yang berbeda.

Papa percaya kamu bisa sukses nantinya. Kenapa kamu ngga bisa percaya sama diri sendiri? Jangan menyerah untuk terus maju untuk meraih apa yang kamu mau.”

Tangis Leila pecah begitu saja setelah telepon ia tutup.

* * *

Tak lama setelahnya, Leila pun perlahan-lahan mulai mengemas barang-barangnya. Ia pilih mana yang akan ia tinggal, mana yang akan ia jual dan mana yang akan ia bawa pulang ke tanah air. Selain barang materiil, ia pun mulai mengemas kenangannya juga. Ia beritahukan ke beberapa teman dekatnya di sana bahwa ia akan pulang dan mereka pun berkumpul untuk terakhir kalinya di Jerman. Meski hatinya berat, Leila berusaha keras untuk mengikhlaskan segala yang menimpanya, juga keputusannya untuk kembali. Perlahan-lahan ia mulai membayangkan hal-hal baik yang akan terjadi padanya jika ia pulang. Perlahan-lahan diingatnya pula hal-hal buruk yang harus ia hadapi ketika tinggal di Jerman.

Mungkin Papa benar, mungkin pulang ke tanah air bukan hal memalukan. Mungkin di Indonesia ia akan lebih mudah diterima. Mungkin di Indonesia jalan baginya akan terbuka. Mungkin Jerman memang bukanlah tempat miliknya.

Kini, selang tiga bulan kemudian, Leila menunggu pengumuman hasil ujian masuk beasiswa yang ia jalani seminggu yang lalu. Pada saat tes wawancara, ia jujur mengatakan tidak akan kuliah jika tidak berhasil mendapat beasiswa ini. Ia berkata, mungkin lebih baik jika uangnya dipakai untuk adiknya yang juga akan kuliah. Entah apa yang akan terjadi sekarang. Bagaimana pun juga, semangat Leila tidak akan patah, apa pun jalan yang ia pilih. Apa pun jalan yang dibukakan untuknya.

“Leila, ini ada surat buat kamu,” panggil Mama dari lantai bawah.

Leila pun segera berlari menuruni tangga. Semoga ini kabar baik.

JAKARTA, INDONESIA

27. 11. 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

nulisbuku.com, #danbernyanyilah, contest

Previous post Next post
Up