Title: stage.
Character/Pairing: Jesse, Matsumura Hokuto, Kikuchi Fuma, Matsui Jurina (Jesse/Hokuto & Fuma/Hokuto)
Rating: R (kind of)
Warnings: angst, just, angst.
Titik-titik air membasahi rambutnya, perlahan mengguyur seluruh tubuhnya. Langit masih berwarna biru muda lima-belas menit yang lalu, ketika ia pertama kali berdiri di depan zebra cross itu. Rambu hijau sudah menyala berkali-kali, namun tak juga ia melangkahkan kakinya, menyebrang. Tubuhnya sempat sesekali terdorong beberapa orang yang tidak sabar menunggu, atau sadar bahwa ia memang benar-benar tak ingin menyebrang. Tak jarang juga diantara mereka meringis, menyumpahinya, atau bahkan sekedar memberikan tatapan tajam.
Atau, sedikit diantara mereka repot-repot memberi tahu, atau menanyakan beberapa pertanyaan padanya-“Lampunya sudah hijau.” “Tidak ingin menyebrang?” “Anu, permisi, butuh bantuan?”-semua dijawab dengan diam. Merekapun tak repot-repot menunggu jawaban, memilih untuk meninggalkannya sendiri, lagi dan lagi, berkali-kali.
Tanpa pelindung, ketika orang-orang mulai mengeluarkan payung dan menghindari titik-titik basah dari atas langit, ia memilih tetap berada di posisinya. Pandangannya sulit diartikan-entah menghadap lurus, atau hanya menatap kosong orang-orang yang berlalu-lalang dengan payung mereka, beberapa diantaranya mengenakan jas hujan, ada juga yang nasibnya kurang beruntung sehingga harus menggunakan tas atau benda lain untuk menutupi kepala mereka. Tidak ada yang tahu, atau mau tahu. Mungkin, ia sendiri-pun tidak tahu, atau mau tahu.
Selang beberapa detik setelahnya, rambu hijau untuk kendaraan menyala, dan rambu merah untuk pejalan kaki menyala terang. Beberapa orang mempercepat langkah, menyelamatkan diri sebelum lalu-lalang kendaraan yang mungkin dapat menabrak mereka.
“Aku ingin mati.”
“Mungkin, aku bisa terlahir kembali.”
“Jadi apa saja, asal bukan sebagai diriku yang ini.”
Tanpa mempedulikan teriakan histeris orang-orang, serta bunyi klakson-klakson yang memekakkan telinga, ia melangkah. Tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras, mengguyurnya tanpa ampun. Ia berjalan selambat mungkin, seakan waktu adalah miliknya, seakan orang-orang tidak punya kuasa akan itu. Dan ketika itu, matanya menangkap sebuah mini van orange, ia mempercepat langkahnya, mendekatinya.
Ia berdiri tepat di depan van itu. Dari kaca depan, ia dapat melihat refleksi gerombolan anak muda yang sedang tertawa-tawa. Keberadaannya tak begitu disadari, sehingga ia terus berdiri di sana, menunggu waktu tiba ketika saatnya-
BRUK
“Ini, rasanya mati?”
“Sakit, badanku tidak bisa bergerak.”
“Ah, aku menangis-lagi.”
“Jadi, apa aku benar-benar mati?”
+
Mimpiku tak pernah jauh dari panggung mewah, dengan sorotan cahaya terang, juga riuh penonton yang suasana hatinya berhasil teracak-acak dengan perlahan-lahan. Teracuni, lalu mati dengan diam. Berdiri di panggung itu selalu menjadi idamanku, juga semua orang yang ada di ruang berdinding kaca itu. Jantung mereka berpacu tak beraturan, peluh membasahi seluruh tubuh mereka, namun hati mereka lega, senyuman tipis terpancar dari bibir mereka, meski di saat yang sama mereka mencoba mengatur nafas mereka.
“Otsukaresama.” Senyumku mengembang, menghampiri Hokuto yang terkulai lemas, telah menjatuhkan badannya ke lantai. Matanya berpaling dari langit-langit ke arahku, lalu tersenyum lemah.
“Otsukare!”
Ia menyambar air mineral dingin yang baru saja kuambilkan untuk kami berdua. Ia menengguk hampir setengahnya, mungkin. Aku sangat mengerti. Dua jam menggerakkan badan, menyesuaikan tempo dan gerakkan dengan dua puluh orang lainnya memang sulit. Setidaknya, akan ada minimal satu orang yang melakukan kesalahan-sinkronasi yang tidak pas, kaki yang diangkat terlalu rendah, terlalu lambat memutar tubuh, dan lain-lain.
“Kau bagaimana?”
“Eh?”
“Latihan?”
“Ah..biasa, biasa-biasa saja.”
“Enak ya, tidak perlu banyak bergerak.”
“Tapi perlu banyak menghafal.”
“Ya, kau sih pintar. Badanku mungkin cekatan, tapi otakku lamban.”
Aku tertawa. Berbeda dengan Hokuto, aku memang tidak diharuskan untuk banyak bergerak. Hanya gerakkan-gerakkan yang diselaraskan dengan dialog-dialogku.
“Jesse, tapi kudengar dari Jurina, sepertinya Kazu-san marah besar padamu.” Kata-kata Hokuto membuatku membayangkan wajah Ninomiya
Kazunari -orang yang paling berkuasa dalam pertunjukkan ini. Kecil, tapi tegas, juga mulutnya tak mengenal kasih sayang.
“Bukan masalah besar, kok.” Senyumku mengembang, memberikannya sedikit keyakinan bahwa aku tidak sedang merasa frustasi akan kata-kata pedas yang ditujukkan padaku, tigapuluh menit lalu.
“Serius?”
“Serius. Kenapa harus bohong?”
“Kau itu aktor, mungkin sekarang aku sedang dibohongi, kan?”
Aku tertawa, dan kali ini, ia juga tertawa.
“Aku tidak selicik itu.”
“Ya, aku percaya.” Ia menghela nafas, lalu menenggak lagi air mineral digenggamannya. “Mungkin, kau orang yang paling kupercaya.”
Saat itu, tidak hanya kami yang berada di sana. Riuh-riuh suara hampir dari limapuluh orang lain menggantung di udara, bercecar bersama oksigen dan karbon-dioksida. Namun saat itu, aku dapat mendengar jelas kata-kata itu. Begitu jelas-terlalu jelas.
“Terima kasih.” Hanya itu balasanku.
+
“Tapi, kenapa?”
“Kenapa? Kenapa kau bertanya?”
“Kau menawarkanku pesona dunia, menggugahku dengan kata-kata yang ternyata hanya bualan kosong, menjerumuskanku pada jurang tanpa
jalan keluar, dan kau kini bertanya mengapa aku bertanya?”
“Kau, terlalu dibutakan oleh dongeng-dongeng pengantar tidur itu, terlalu tenggelam dalam frasa ‘hidup itu mudah’, dan terlalu percaya pada orang-orang bermuka dua! Itu, itulah alasannya!”
Yang tersisa kini hanya keheningan. Saat itu, wajah Jurina sudah menunjukkan amarah, nafasnya tak beraturan, dan gurat-gurat kebencian terpancar jelas diwajahnya.
Sedangkan aku, detak jantungku berdegup teratur, seakan sebagai pengukur. Denyut kesepuluh, aku sudah harus tersungkur, menyembunyikan wajahku, dan berteriak sekencang-kencangnya.
Delapan...sembilan...
Aku menjatuhkan diri, menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, menghela nafas sekeras-kerasnya. Membayangkan diriku sebagai seorang pria gila harta yang juga psikopat, dan bermuka dua, hendak mengambil kembali simpati seorang gadis-korbannya, yang baru saja mengetahu akal bulusnya.
“Kau tidak pernah menjadi aku.” Ucapku, bergetar. “Dan, kau tidak akan pernah menjadi aku.”
Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, menyiapkan pita suaraku. Denyut jantungku berdenyut teratur.
Tiga..dua..satu..
“ARGHHHHHHH!”
“CUT!”
Seketika, suasanya yang tercipta kondusif, berubah. Suara demi suara saling menyaut. Kebanyakan dari mereka, bertanya-tanya.
Ninomiya, dari bawah panggung, berjalan menghampiriku. Perasaanku tidak enak. Tidak pernah, ketika tubuh mungilnya menghampiriku dan mulai menatapku dengan tatapan seakan-akan seharusnya aku tak pernah terlahir di dunia ini.
“Mana?”
Itulah hal pertama yang kudengar darinya. Aku membatu. Kalau jabatannya bukan sutradara, aku berani melawannya. Ia gila kesempurnaan, dan kegilaannya itu tak jarang membuatku ikut menjadi gila, menuruti permintaan-permintaannya.
Aku tidak suka mencari mati, maka pertanyaan itu kujawab dengan diam. Disebelahku, aku dapat menangkap bayangan Jurina yang menatapku
khawatir.
“Air matamu, mana?”
Nadanya terdengar seperti debt collector yang menagih hutang-hutang dari para pebisnis bangkrut. Aku mungkin belum bangkrut, tapi nada bicaranya itu membuatku merasa telah kehilangan segalanya, bahkan sekedar kata-kata bentuk pembelaan diri.
“Dengar ya, sanggar ini punya banyak orang yang lebih berbakat darimu. Kau lebih beruntung. Aku masih sabar menghadapimu. Aktingmu bagus, harus kuakui. Tapi mengapa menangis saja kau tidak bisa?”
Lagi-lagi aku benar-benar kehilangan kata-kata. Kubiarkan orang-orang disekitarku menatapku iba, dan Ninomiya tetap pada posisinya, menatapku penuh tanya.
“Saya...butuh waktu.”
Gagap. Dengan segenap keberanian yang berceceran dalam diriku, aku mencoba memungutnya satu persatu, membentuk kata-kata gagap. Aku tidak pernah gagap, lupa dialog, atau merasa bodoh ketika berhadapan dengan ribuan penonton. Tapi aku bisa, ketika ada Ninomiya. Ajaib sekali dia itu.
“Berapa lama? Setahun? Sampai pertunjukkan ini hancur dan dicemooh jurnalis?”
“Tidak. Tentu. Ya. Pasti. Sebelumnya.”
Ninomiya menghela nafas. Ia mengacak rambutnya. “Matikan lampu sorot. Jesse, kau kuberi waktu seminggu. Masih cukup banyak waktu untuk berlatih. Gunakan waktumu. Atau kau akan kuganti dengan yang lainnya. Aku punya kepercayaan padamu”
Ia meninggalkanku yang masih mematung. Auranya mencekam. Meski ia seperti sedang memberikan semangat padaku, tapi sama sekali tak terdengar seperti sebuah dukungan dengan nada bicara seperti itu. Lebih cocok disebut ancaman. Sarkas. Seminggu, berarti kurang dari lima hari.
Aku punya kepercayaan padamu, berarti aku akan membencimu jika kau berani-beraninya membuatku lebih repot lagi dengan mencari pemeran utama lain.
Jurina menepuk pundakku. Seakan mentransfer semangat melalui telapak tangannya. “Kau bermain dengan baik kok, ya, sampai scene itu. Sebenarnya kau tidak perlu menangis. Ninomiya itu memang gila kesempurnaan. Luka dalam hati, berarti harus menangis sesegukkan. Entahlah, apa yang ada di kepalanya.”
“Tidak.” Aku menggeleng. “Aku memang mengacaukannya. Seumur hidupku, aku tak pernah bisa menangis.”
“Hah?” Jurina mengangkat alis. Ia wajar memberi respon seperti itu. Semua orang, wajar memberi respon seperti itu.
“Ya. Mungkin terakhir aku menangis saat bayi.”
“Wow.”
“Aku selalu mengingat kenangan-kenangan menyedihkan ketika mencoba menangis. Tapi aku ingat, bahkan saat mengalaminya saja aku tidak dapat menangis. Bagaimana dengan mengingatnya saja? Ninomiya patut marah. Aku tidak pernah bilang, soalnya.”
“Wow. Bagaimana kau mengekspresikan kesedihanmu? Maksudku, tidak pernah kan? Bukan tidak menangis di depan umum.”
“Diam. Terkadang aku lebih tenang jika diam saja.”
“Aku benar-benar baru mendengarnya, yang sepertimu.”
“Aku juga. Baru tahu orang sepertiku, hanya aku.”
Jurina tersenyum simpul. Ia bahkan tidak marah ketika aku mengacaukan segalanya. Mungkin itu memang scene terakhir, tapi justru lebih menyakitkan ketika pertunjukkanmu kacau di detik-detik terakhir. Aku menangkap ekor mata Ninomiya yang tajam menatapku, juga beberapa crew yang ekspresinya sulit diartikan -entah iba, atau kesal. Aku tak ingin mengartikannya juga. Yang ingin kulakukan saat ini adalah tiba-tiba saja secara ajaib, air mata mengalir dari pelupuk mataku.
Yang artinya, tidak mungkin.
+
Sudah sepuluh menit aku berdiri di ambang pintu besi itu. Aku sudah memencet bel, entah berapa kali. Kali ini, aku mencoba mengetuk-ngetuk pintu besi yang menghasilkan suara gaduh yang sangat menggangu. Saat itu, seseorang dari kamar sebelah menyembulkan kepalanya dari balik jendela, “Sedang pergi. Coba telfon!” katanya, lalu menutup kembali jendelanya rapat-rapat. Wajahnya kuyu, sepertinya ia memang belum tidur, dan aku agak menyesal membuatnya terganggu seperti itu. Jadi kuputuskan mengambil ponselku dari ransel, menekan nomor-nomor yang sudah kuhafal, dan mendekatkan ponselku ke arah telinga.
Tidak ada jawaban.
Ketika aku hendak memutus sambungan, tiba-tiba terdengar suara, “Halo?”
“Hoku?”
“Halo?”
“Jesse?”
“Kau di mana?”
“Fuma.”
Badanku melemas, mendengar nama itu.
“Hokuto?”
“Matikan.”
“Kenapa?”
“Fuma, kita bicara tentang Fuma.”
“Kenapa kau masih-“
“Oke, aku yang tutup.”
“Hoku-“
Sambungan terputus.
Bersamaan dengan itu, aku tetap berdiri di sana. Membatu. Diam.
Saat itu, aku tidak berpura-pura baik-baik saja. Namun tak juga bisa meluapkannya. Aku hanya diam. Bahkan ketika angin musim semi mulai menusuk-nusuk kulitku, tanpa ampun.
+
Mungkin tanpa Hokuto, aku tidak akan pernah berdiri di panggung megah itu. Bahkan, menemukan mimpi-pun aku tidak akan bisa.
“Lewis Jesse. Blasteran?”
Ia membaca nametag yang menggantung di sakuku. Aku mengangguk pelan. “Ayahku orang Amerika.”
“Ohh...” Hokuto mengangguk-angguk, mulutnya membentuk huruf ‘O’. Seakan baru saja mengetahui fakta bahwa penemu benua Amerika sebenarnya bukanlah Christopher Colombus.
“Matsumura Hokuto?”
“Yap! Kau bisa baca namaku?”
“Aku tetap orang jepang, tentu aku belajar membaca kanji.”
Ia tertawa begitu nyaring. Entah apa yang membuatnya berfikir bahwa itu lucu. Yang jelas, kini aku tak begitu memperhatikannya, dan memilih mendengarkan seorang guru yang sedang berceloteh panjang lebar tentang peraturan-peraturan yang ada di SMP ini. Mulai dari larangan membawa ponsel, dilarang mengeluarkan kemeja, atau peraturan-peraturan lain yang bisa dilihat di buku saku yang sudah tersimpan rapih di saku kemejaku.
Sejak saat itu, Hokuto selalu muncul di depanku. Entah aku suka, atau tidak. Kehandirannya semakin lama semakin membuatku terbiasa, bahkan terasa seperti suatu hal yang seharusnya. Ia selalu berkata sesuai dengan fikirannya, bahkan terkadang ia tak pernah berfikir sebelum bicara. Dimanapun, ia selalu membawa komik Crayon Shinchan dan membacanyanya sampai tertawa, terkadang sampai lupa kalau aku sedang berada di sebelahnya. Ia juga tak suka wortel atau tomat, dan sering seenaknya memberikannya padaku dan mau tak mau harus kuhabiskan.
Hari itu, suatu hari di tahun ketiga masa SMP kami, Hokuto menangkupkan tangannya, dan berkata, “Maaf! Aku ada urusan, pulang duluan ya!”
“Urusan?” Keberadaannya sudah terasa seperti keharusan. Dan ketika ia tiba-tiba saja tidak ada, aku merasa ada yang hilang-bukan hanya
sosoknya, tapi sesuatu dari diriku juga menghilang, entah apa itu sebenarnya.
“Ya, eum..aku duluan ya!”
“Tunggu, aku ikut.”
Entah saat itu apa yang ada dalam diriku. Aku mulai bertingkah seperti dirinya-berkata bahkan sebelum memikirkannya. Hokuto membeku di
posisinya. Alisnya terangkat satu, mulutnya menganga lebar. Seakan, ia baru saja tahu bahwa Amerigo Vepucci-lah penemu benua Amerika.
“Serius?”
“Serius. Kenapa harus bohong?”
Senyum Hokuto mengembang. Ia berlari, memancingku yang refleks mengikuti langkahnya. Aku dapat mendengar tawa nyaringnya, seperti saat pertama kali ia tertawa karena aku bisa membaca kanji namanya.
Saat itulah, aku bertemu Ninomiya-kala itu statusnya masih sekedar anggota. Hokuto mengenalkanku padanya. “Aktingnya bagus sekali.”
Matanya menyapu dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Aku masih terheran mengapa aku ada di sini.
“Hm, mungkin sutradara akan suka padanya.”
“Tunggu, apa? Sutradara?” Mataku menatap Hokuto penuh tanya. Ia hanya tersenyum simpul, mengusap kepala bagian belakangnya.
“Maksudnya?”
“Maaf...eh...ini, Ninomiya Kazunari, Kazu-san. Dia sempat melatihku di sanggar menari ketika SD. Sekarang, ia menjadi asisten sutradara untuk pementasan. Mereka masih kekurangan orang, jadi ya...aku mengusulkanmu...”
“Tunggu, tapi, kenapa?” Aku tak langsung puas akan jawabannya. “Kenapa aku?”
“Err..tahu kan, waktu pensi? Kau sampai ditawari bergabung klub teater kan? Itu artinya apa? Aktingmu bagus!”
Saat itu, aku -dipaksa- tampil bermonolog untuk mengisi pentas seni ketika aku masih di tahun ke dua. Aku memerankan orang berkepribadian twisted dan mengharuskanku bermonolog dengan berbagai macam tone suara. Memang cukup sulit, tapi untungnya aku dapat menyelesaikan pementasan itu, tanpa lidahku yang terasa kelu, atau tidak sengaja terpeleset di panggung.
“Tapi, kenapa aku?”
“Kebetulan aku memang harus mencari orang sepertimu-tinggi. Kau akan sangat membantu.” Ninomiya akat bicara, membantu Hokuto. Suaranya begitu tenang. Tak lupa, senyumnya disinggungkannya sedikit. Ia juga membungkuk di hadapanku. Tak berselang lama, Hokuto ikut membungkuk di hadapanku.
Aku, mau tidak mau, mengangguk, tanpa berfikir.
Aku benar-benar telah berubah menjadi Hokuto, pikirku saat itu.
+
Aku dibangunkan oleh dering ponsel yang memekkan telinga. Aku lupa menekan tombol mute, malam tadi. Kugapai ponselku yang tergeletak di meja kayu di samping kasurku. Sebuah pesan masuk dan nama Jurina terpampang di sana.
Ninomiya dengan senang hati mempercepat masa ‘latihan’ menangismu menjadi tiga hari. Semangat. Berjuanglah.
Bukan pesan yang kuharapkan untuk Minggu pagi yang cerah. Aku segera bangkit dari kasur, menyeduh kopi, dan mencicipi sedikit lasagna yang baru kuhangatkan. Ternyata, aku tak selapar yang kufikirkan, sehingga tiba-tiba saja nafsu makanku menghilang, entah ke mana.
Aku melirik jam dinding. Pukul sembilan. Aku meraih jaketku, mengunci pintu flatku, dan menuruni beberapa anak tangga, berjalan sebentar hingga tiba di kamar berplat ‘Matsumura’. Dengan hembusan nafas, aku mengetuk pintu besi itu.
Suara decitan pintu terdengar. Dari balik pintu, aku dapat melihat sosoknya. Wajahnya pucat pasi, sisi bibirnya berdarah, dan matanya tak sepenuhnya terbuka. “Pagi, Jesse.” Ucapnya, pelan. Sebelum ia ambruk, terjatuh di lantai.
+
Hokuto pingsan. Tidak bisa latihan hari ini. Sampaikan pada Ninomiya.
Aku menekan tombol ‘send’ dan mengirim pesan singkat itu ke Jurina. Aku berpaling ke arah Hokuto yang tengah sibuk di dapur. Aku telah menahannya berkali-kali, namun ia bersikeras bahwa ini rumahnya, dan itulah kuasanya sebagai pemilik ‘rumah’.
“Kau tak suka gula pada kopimu ya.” gumam Hokuto, cukup keras hingga aku dapat mendengarnya.
“Aku tak perlu kopi.” ucapku. “Aku perlu kita bicara, sebentar saja.”
Gerakkan tangannya terhenti. Ia membawa kopi panas di atas tatami, menghidangkannya padaku.
“Soal Kikuchi.” Aku membuka pembicaraan. “Sejak kapan kau mulai berhubungan lagi dengannya?”
Hokuto mengangkat bahu, “Lupa.”
“Kenapa?”
“Apa?”
“Kenapa kau berhubungan lagi dengannya?”
“Jangan bertingkah seakan kau kekasihku, Jesse.”
“Aku memang bukan, aku tak akan menyukai siapapun itu, mendekati Kikuchi.”
“Dia sudah berubah.” Nada suaranya lemah, tapi ia memaksakan untuk tersenyum. “Dia menawariku projek yang lebih. Mungkin aku akan mengundurkan diri dari projek yang sekarang.”
“Maksudmu?”
Hokuto menyesap sedikit kopinya. Lalu menjawab, “Ayahnya menawarkanku mengajar di sekolahnya. Aku tak bisa terus menjadi penari latar, Jesse. Tidak, bahkan pada pementasanmu.” Ia meletakkan gelas kopinya perlahan, “Aku perlu menambah pengalamanku lagi.”
Aku hanya diam.
“Aku akan bilang pada Kazu-san. Aku tak peduli seberapa pedas omongannya nanti, aku tidak bisa merubah fikiranku lagi.”
“Kenapa?” otakku ikut membantu, sehingga aku tak mampu memikirkan kata-kata lain, untuk menjawab seluruh pertanyaan yang terus muncul dari dalam benakku.
“Jesse, kau pernah merasa ingin mati?”
Ada keheningan setelahnya. Kini tak hanya otakku dan ragaku yang membeku, bahkan kini lidahku seperti lupa bagaimana mengeluarkan kata-kata.
“Kalau aku mati, mungkin aku bisa terlahir kembali.”
Ia tersenyum. Bukan senyum yang kukenal. Mungkin, senyum yang kubenci. Senyum yang selalu digunakannya ketika ia terlalu menahan rasa-rasa yang ada dalam dirinya. Sama seperti diriku, ketika aku diam saja, dan tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika seharusnya aku menangis.
“Lahir, menjadi apa saja, asal bukan diriku yang saat ini.”
“Bicara apa kau?” kataku, geram. Ini bukan Hokuto. Orang ini bukanlah Hokuto.
Atau mungkin, itu memang dirinya. Dirinya yang kutahu, ketika SMA. Dirinya yang tak kukenal, dan tak mengenalku. Dirinya yang selalu ada di sebelahku, tapi tak benar-benar berada disana.
Mungkin itulah, Hokuto yang sebenarnya.
Kali ini, pertanyaanku dibalas lagi oleh senyuman.
Senyuman, yang selalu kubenci, dan tak pernah ingin kuingat lagi.
+
Selalu ada jarak yang tercipita secara tiba-tiba, ketika seorang Kikuchi Fuma masuk ke dunia Hokuto, duniaku, dunia kami. Keberadaannya selalu menjadi pembatas antara apa yang telah tercipta. Apa yang telah kujaga selama ini. Apa yang telah menjadi kebiasaanku selama ini. Keberadaannya menjadi suatu antara, yang keberadaannya tak pernah kuharapkan.
Aku mendengar nama Kikuchi, di tahun kedua di SMA.
Hokuto, saat itu sedang berlatih, menghafal gerakkan-gerakkan yang dipelajarinya di sanggar. Aku, sibuk membaca beberapa koleksi Crayon Shinchan milik Hokuto. Saat itu, tiba-tiba saja, gerakkannya terhenti.
“Jesse.” Aku relfeks mendongak, memindahkan pandanganku pada sosoknya. “Besok, aku tak bisa pulang bersamamu.”
“Kenapa?”
“Eh...urusan.”
“Ini bukan pancingan lagi kan?”
Hokuto menggeleng cepat, “Tentu, bukan! Dan ya, aku tidak menyarankanmu untuk ikut.”
“Apa sih? Date?”
Aku mulai menebak asal.
“Hm..bisa dibilang sih.”
“SERIUS?”
“Serius. Kenapa harus bohong?”
“Itu kata-kataku.”
Hokuto tertawa puas. Lalu duduk mendekat denganku. “Namanya Kikuchi Fuma.”
“Siapa?”
“Kikuchi Fuma, kelas sebelah.”
Aku tak begitu mengenal warga sekolah -kecuali beberapa anggota klub teater, beberapa anak kelasku yang sekelompok dalam beberapa mata pelajaran tertentu, dan tentu saja Hokuto. Kikuchi Fuma bukan nama yang familiar untukku.
“Nggak kenal.”
“Nggak harus kenal juga sih.” Hokuto tersenyum. “Doakan sukses ya.”
Dengan cepat, aku menjawab, “Hm, pasti.” yang dibalas dengan sorakkan bahagianya, lalu dorongan kecil yang diberikan pada tanganku.
Lagi-lagi, saat itu aku tak berfikir.
Dan aku, tak tahu akan menyesali segalanya.
Mungkin, seharusnya aku memang harus ikut. Mencegahnya, atau apa. Mungkin, aku seharusnya lebih mengenal orang-orang lain di sekitarku-terutama Kikuchi Fuma. Seharusnya, aku bisa menghentikan segalanya, sebelum semuanya terjadi.
Ketika aku mulai tak mengenal Hokuto. Ketika apa yang seharusnya menjadi istimewa. Ketika aku mulai mengerti bahwa Hokuto itu bodoh. Ketika ia datang ke flatku, dengan wajah penuh luka dan senyum yang entah apa artinya.
Senyum itu tak pernah kukenal. Dan aku tak pernah ingin mengenalnya.
"Jesse, boleh aku menginap di sini?"
Ketika itu aku bertekat, menjauhkan Hokuto dari Kikuchi Fuma, selamanya.
+
Gelap. Saat itu begitu gelap.
Ia dapat merasakan tangan kirinya basah, dan amis.
Ia tak mampu melihat apapun, gelap, semuanya gelap.
Yang ia rasakan adalah, tiba-tiba saja setitik air jatuh dari pelupuk matanya.
Perlahan-perlahan.
Air mata.
Ia menghela nafasnya, berat, begitu berat. Lalu mulai menangis sejadi-jadinya. Tangan kanannya tak lepas dari genggaman tubuh yang terkapar di
lantai. Ia tak mampu melihatnya, namun ia dapat merasakannya dengan jelas.
Jasad orang selalu dikenalnya. Orang yang selalu ada untuknya. Orang yang seharusnya selalu ada untuknya.
Air matanya pun tak kunjung berhenti.
+
Gelap. Saat itu begitu gelap.
Perlahan, lampu sorot menyala terang. Perlahan, sosoknya mulai tersibak dari gelap, menunjukkan tubuh gagahnya, di atas panggung.
“Kau, terlalu dibutakan oleh dongeng-dongeng pengantar tidur itu, terlalu tenggelam dalam frasa ‘hidup itu mudah’, dan terlalu percaya pada orang-orang bermuka dua! Itu, itulah alasannya!”
Penonton mulai menunjukkan perasaan penuh amarah. Seakan, sosok itu adalah pendosa paling keji, yang pantas mendapatkan hukuman tertak-manusiawi.
Hening.
Sosok itu mulai tersungkur, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dapat didengar para penonton, tarikkan nafas yang seakan-akan menyeret seluruh kecamuk dalam hatinya. Begitu terasa, dan nyata. Sehingga beberapa diantara mereka mulai menunjukkan ekspresi lain-iba.
“Kau tidak pernah menjadi aku. Dan, kau tidak akan pernah menjadi aku.”
Suara itu penuh getar. Sesak.
Penonton mulai tak mengerti. Ada apa dengan pementasan ini?
Atau, ada apa dengan orang ini?
Tak beberapa lama, sosok itu berteriak, begitu keras.
Keras, dan menyiksa.
Ketika itu, ia mulai menunjukkan wajahnya, melepas kedua telapak tangannya.
Hancur.
Air mata berjatuhan dimana-mana, teriakkan itu semakin menggema, dan air mata tak berhenti menghujani wajahnya. Penonton semakin tak mengerti.
Sorot lampu kembali meredup.
Penonton masih kebingungan, mulai memberi tepuk tangan yang tak beraturan, masih bingung dengan apa yang baru saja dilihat oleh mereka. Tepuk tangan semakin riuh, ketika sorot lampu kembali terang, dan jajaran pemain sedang membungkuk di hadapan mereka.
Kecuali satu orang.
+
“...Korban diketahui bernama Matsumura Hokuto, 22 tahun.”
“...Korban mengalami luka tusuk di bagian perut sebanyak tujuh kali.”
“...Dari hasil penyidikan senjata, diketahui pelaku adalah sahabat korban sendiri, J, 22 tahun.”
“...Yang tewas bunuh diri pagi tadi, di trotoar Jalan Kawachi.”
END.
a/n: hello, first post ever, and i already poured up angsty things shamelessly on this journal.
tolong abaikan userpicnya.
fic ini sebenernya udah cukup lama kesimpen, terus baru dikerjain lagi setelah konsul(?) sama
kak riz tentang betapa angstnya hokujess dan keinget kalo pernah bikin fic ini:") terus kebetulan banget abis nyelesain birdman, dan kebetulan lagi settingnya cukup sama, jadi ini endingnya sedikit terinspirasi sama endingnya birdman.
comment is appreciated:")