Mar 17, 2018 14:16
Agaknya manusia kini sudah lupa caranya jadi manusia. Mereka tahu benar bahwa mereka manusia, tapi kini semakin jarang mereka bertemu manusia, seperti spesies langka yang nyaris punah dan patut diasingkan untuk perlindungan. Bagaimana tidak, setiap hari sejak manusia mampu bicara, mereka sudah dilatih untuk menyembunyikan identitas, seakan-akan segala sifat manusiawi itu hina dan harus ditebas.
Manusia itu makhluk berpikir, katanya, tapi tanpa peduli pada segala kerusakan yang ditimbulkan, manusia selalu rela mengabaikan ilmu pengetahuan demi menjaga ideologi mapan yang tak relevan dan sudah pantas ditelan jaman.
Manusia itu lebih hebat dari hewan, katanya, tapi mereka terus-menerus berlaku lebih buas dari binatang. Para manusia betina dianggap tidak lebih dari seonggok daging berjalan yang halal untuk diburu, diterkam, dan dimangsa kapan saja oleh manusia yang berdiri pongah di posisi atas rantai makanan. Manusia itu pintar. Akhirnya betina-betina itu dipaksa menyembunyikan segala atribut kebetinaannya untuk mengelabui para predator. Jangan terlihat, jangan bicara, jangan lakukan apapun yang menunjukkan kamu betina. Manusia itu bodoh. Mereka percaya begitu saja dengan teori gila seakan lupa bahwa mereka diberi anugerah untuk bisa berpikir. Maka lahirlah sebuah hukum rimba dari kebodohan manusia yang haram untuk dipertanyakan tapi wajib untuk diterapkan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Manusia itu makhluk sosial, katanya, tapi dianggap payah kalau bertanya pada sesamanya. Manusia dituduh naif kalau percaya pada manusia. Manusia dikucilkan kalau berbeda. Manusia diejek kalau menangis. Manusia disebut tak sopan kalau tertawa lantang untuk merayakan kebahagiaan. Manusia dibilang murahan kalau mencintai tubuhnya. Manusia dianggap nakal kalau menikmati sendunya malam. Manusia dituding jahanam kalau merasa tenteram tanpa Tuhan.
Manusia selalu jadi bulan-bulanan atas apapun yang mereka lakukan di bawah bendera kemanusiaan. Namun tidak banyak yang meributkan manusia yang bertingkah layaknya hewan. Membuang sampah sembarangan dianggap biasa, menyelak antrian disebut wajar, melakukan pelecehan artinya setara dengan menebar pujian.
Mungkin kata ‘munafik’ lah yang paling pas untuk menjelaskan manusia. Berpikir tapi pura-pura tidak bisa berpikir. Pintar tapi bertingkah bodoh. Bukan hewan tapi menjunjung tinggi logika hewani. Manusia tapi tidak manusiawi.
Manusia akhirnya benci menjadi manusia. Begitu hina. Begitu nista. Begitu nestapa. Manusia diam-diam rindu menjadi manusia. Yang seutuhnya. Manusia muak dicekoki kodrat pria dan wanita. Kenapa tidak ada yang bicara tentang kodrat manusia?
Manusia rindu bertemu manusia. Manusia rindu bersentuhan dengan manusia. Manusia pandai mencipta dan haus harta. Manusia gemar mencari solusi dan ketagihan menggemukkan pundi-pundi. Manusia akhirnya menciptakan cairan yang mereka jual sebagai saripati manusia, disimpan dalam botol-botol kecil yang diberi nama-nama asing dan bermartabat tinggi seperti sun-kissed skin, sebuah aroma menggairahkan yang dipercaya sebagai ekstrak keringat manusia-manusia bebas yang tidak takut menari di bawah mentari di tengah pantai lepas, atau dirt, sejenis aroma tanah yang niscaya membuat pemakainya merasa baru saja menghabiskan waktu berguling-guling di lapangan tanah berumput yang lembap selayaknya masa kecil dahulu; sewaktu mereka masih bangga menjadi manusia, atau soft cotton yang konon menyerupai aroma seprai kasur lembut berbahan katun yang dicuci oleh ibu di kampung halaman. Aroma kasih sayang. Aroma rumah. Aroma manusia.
Manusia bisa berpikir, namun tidak suka berpikir yang membuat kepala pusing atau hati sakit. Manusia lantas punya solusi untuk membohongi diri sendiri. Manusia paham betul bahwa kulit yang terbakar matahari hanya akan berbau keringat yang tidak sedap, aroma tanah mengingatkan kita pada liang lahat yang baru digali, dan bisa dihitung jari ada berapa seprai kasur yang selalu mampu beraroma mirip vanila seperti itu, namun tetap saja manusia bersikeras untuk membaluri diri dengan saripati manusia di dalam botol-botol itu.
Mereka senang membodohi satu sama lain bahwa keringat manusia memang beraroma seseksi itu, bahwa tanah beraroma meyenangkan seperti itu, dan seprai katun memang beraroma semanis itu. Merogoh kocek yang tak sedikit, botol-botol saripati tersebut lantas dipajang, dibawa, disemprotkan, diasapkan, dan dilumuri sebagai bukti bahwa menjadi manusia ternyata tidak hina seperti yang dikatakan; menjadi manusia ternyata tidak menjijikkan seperti yang dibilang orang-orang.
"Ini, cium saja. Aku berbau seperti manusia. Baunya enak, kan?"
Peduli apa jika semua itu adalah buatan. Hanya bualan. Toh bagi manusia yang terpenting adalah niatan. Jika niatnya baik, akan selalu dimaafkan dan dicarikan pembenaran.
rambling