Aku Bertanya

Jun 18, 2014 10:07



Ada seorang musisi Jepang yang melalui lagunya dengan berapi-api bertanya: "Sebenarnya untuk apa kita dilahirkan di dunia ini dengan menangis?"
Ya, untuk apa? Kenapa?
Kenapa menangis?
Kata orang-orang bijak "Bersyukurlah kamu masih diberi hidup."
Kata mereka lagi, "Hidup adalah anugerah terindah."
Kalau memang hidup itu berkah,  lantas kenapa menangis saat kita pertama kali "hidup"?
Kenapa tidak tersenyum, tertawa?
Kemudian sang musisi itu  meneriakkan isi hati hingga matanya berair, suaranya serak, seakan kesal, seakan frustasi: "Apakah itu artinya kita semua memang ditakdirkan untuk mengeluh dan merintih semasa hidup?"
Hm. Pertanyaan bagus.
Sebenarnya apa gunanya kita hidup? Apa bagusnya kita diciptakan?
Toh, kita tidak minta.
Kita bahkan tidak tahu kehidupan itu ada sebelum kita dihidupkan.

"Kita hidup untuk beribadah kepadaNya," begitu titah salah satu agama.
Kenapa? Kenapa begitu?
Kenapa kita dihidupkan semata untuk menjalankan perintahNya?
Sebegitu ragukah Sang Pencipta akan Kebesarannya hingga Ia butuh kita semua untuk meyakinkannya?
--untuk jutaan kali menyebut bahwa Ia memang Besar, Sang Maha Kuasa.
--seakan memberi sugesti padaNya, seakan memberi sinyal pada Semesta untuk menjadikannya nyata.

Ya, aku ini makhluk yang bertanya.
Aku bertanya karena aku berpikir.
Katanya, aku dapat berpikir karena aku ini manusia, yang sejatinya sempurna karena kaumku mampu berpikir.
Tapi konon katanya aku dilarang bertanya tentang hal-hal semacam itu.
Katanya, "Sudah percaya sajalah. Jangan banyak tanya, nanti gila."

Ya kalau begitu untuk apa aku diberi akal dari awal? Ini sungguh tidak adil.
"Jangan lakukan ini, jangan lakukan itu."
"Kenapa?"
"Sudah, turuti saja."
Salah jika aku kesal? Salah jika aku bertanya?
Kupikir, aneh saja. Kita semua hidup, tapi hidup kita berbeda.
Yang satu hidup bergelimang harta, tahta, dan mahkota, yang satu hidup dari mengais-ngais sampah.
Yang satu diberi otak kanan dan kiri sempurna, yang satu lagi dengan otak timpang sebelah, yang satu lagi bahkan otaknya rusak.
Si otak sempurna merasa sempurna, merasa berdiri di puncak dunia, dengan congkaknya memandang ke bawah, menatap pasang-pasang mata si otak timpang dan otak rusak dengan pandangan merendahkan.
Ah, bedebah. Padahal itu kebetulan. Seperti rumus Peluang di Matematika. Salah langkah sedikit, bisa saja si otak timpang yang lahir dengan otak sempurna. Dan sebaliknya.
Cuma beruntung. Hoki.
Hoki kok bangga.

"Lihat, ada orang gila. Jangan dekat-dekat!"
Kamu yang sinting. Sudah sepantasnya berterima kasih pada orang-orang gila. Jika bukan karena mereka, kamu tidak mungkin dibilang waras.
Orang yang katanya bodoh membantu orang yang katanya pintar untuk menorehkan deretan huruf "A" di laporan akademisnya. Huruf-huruf A yang bisa dimusnahkan dengan bara api, bala air, geseran lempeng bumi, desir angin, dan bahkan dengan satu suntikan virus sederhana di sistem elektronik.
Yang katanya jelek membuat yang katanya cantik mendapat perlakuan istimewa, membuat mereka merasa istimewa, dan yang bukan mereka otomatis tidak ada istimewanya.
Halah, cuma hoki.

Puluhan tahun mendatang, siapa yang mampu menebak di balik lapisan keriput dan tumpukan sel kulit mati itu dahulunya tersemburat wajah yang membuat pemiliknya merasa istimewa?
Paling-paling hanya foto, lukisan, kisah para saksi.
Bakar saja fotonya, injak-injak lukisannya, bunuh saksinya.
Maka dia kembali menjadi si tua.Hanya si tua keriput yang menunggu akhir hidupnya.
Sebuah garis akhir kehidupan yang bahkan dia sendiri tidak tahu pasti asal-usulnya.
Hanya menebak-nebak. Mempercayai membabi buta tulisan manusia yang desas-desusnya disampaikan oleh utusan Tuhan.
Yah, masih lebih baik daripada tidak ada jawaban sama sekali.

Kita semua cuma boneka. Boneka yang memainkan peran masing-masing. Peran yang telah dipilihkan oleh Sang Pencipta.
Haha, iseng sekali ya, Dia.
Katanya garis kehidupan kita sudah digariskan.
Bagaimana kita terlahir dan bagaimana kita akan berakhir.

Ada orang yang mati dibunuh.
"Yah, sudah takdirnya dia dibunuh. Memang sudah jalannya. Ikhlaskan saja."
Yang membunuh diberi hukuman 20 tahun. Membusuk di sel tahanan.
Kenapa tidak ada yang bilang, "Sudah takdirnya dia membunuh orang itu. Memang sudah jalannya dia memenuhi takdir si terbunuh. Dia menunaikan tugasnya dengan baik. Lepaskan saja."
Kenapa tidak?
Si pembunuh menjalankan hidupnya 20 tahun di penjara. Hidup yang ia tidak minta.
Lagipula, siapa yang tahu?
Seandainya si terbunuh bisa bicara, bisa bersaksi di meja hijau, bisa saja ia berterima kasih kepada si pembunuh yang telah menghabisi hidupnya.
Hidup sengsara yang tidak pernah ia minta.

Layaknya film aksi, dimana aktor-aktornya melayang-layang ditopang benang transparan di punggung mereka, kita pun demikian.
Kita semua diprogram. Kita adalah program.

Kita bisa berpikir namun dilarang bertanya.
Kita dilarang memiliki meskipun itu berada di jangkauan.
Kita dilarang mencintai meskipun katanya itu hak setiap kita.
Seperti hewan peliharaan yang makanannya dimain-mainkan oleh majikan yang sedang bosan.
Seperti hewan sirkus yang dibuat percaya hidupnya semata untuk menari, melompati lingkaran berapi, menghibur mereka yang butuh dihibur, tanpa ada sedikitpun kesempatan untuk tahu siapa diri mereka sesungguhnya.
Boro-boro mengetahui, sekedar bertanya saja dilarang.

Katanya aku ini kafir.
Aku kafir karena aku bertanya.
Aku terima.
Toh, aku ini memeluk agamaku karena kebetulan.
Hoki.
Ya, kebetulan saja orangtuaku memeluk agama ini. Entah kenapa agama menjadi hal genetis. Lucu.

Aku tidak menampik keberadaan Tuhanku. Belum.
Aku percaya. Namun tidak buta. Belum.
Aku masih mencariNya.
Saat aku menemukanNya, aku akan memelukNya dengan khidmat, dengan penuh kasih, dengan setia. Siapapun (Apapun) Dia.

Aku cuma manusia.
Aku bisa berpikir karena aku ini manusia.
Aku bertanya karena aku berpikir.
Aku akan terus bertanya sampai aku dapat jawabannya.
Sampai aku tahu kenapa aku menangisi hidupku bahkan sejak hari pertama.
Kenapa aku berjuang dalam hidup yang bahkan aku tidak yakin harus diperjuangkan.
Kenapa aku harus menjalani peran ini, di dalam skenario yang aku bahkan tidak tahu bagaimana akhirnya.

Aku cuma manusia.
Aku manusia yang bertanya.
Mungkin aku ini bodoh karena aku perlu bertanya.
Mungkin aku ini gila karena aku bertanya.
Mau bagaimana lagi.
Ini kebetulan.
Cuma hoki.
Aku yang gila hadir untuk memberi eksistensi pada setiap kamu yang waras.
Aku yang bodoh semata untuk membuatmu yakin bahwa kamu pintar.
Tidak masalah.
Cuma hoki.
Inilah peranku.
Peranku adalah makhluk menyebalkan tidak tahu diuntung yang selalu mempertanyakan apa yang diberikan kepadaku dengan cuma-cuma: kehidupan.

Cuma-cuma?
Lantas kenapa aku menangis?

Ah, lagi-lagi aku bertanya.

Posted via LiveJournal app for Android.

rambling

Previous post Next post
Up