Title : Jibun no jinsei Author : vinaJUMP Genre : Angst, psycho, shonen-ai dikit. Characters : HSJ. main chara Morimoto Ryutaro. Rating : NC Disclaimer : cuman plot dan ceritanya yang milik saya. Tapi kalo sama Ryutaro-nya saling memiliki boleh lah. A/N: Ratingnya NC bukan gara2 adegan yang iya-iya. Tapigara2 ceritanya kompleks dan menjurus ke sadis dikit. ini pertamakalinya gue nulis ff thriller gini. jadi maaf kalo ada yg kurang.
Morimoto Ryutaro’s POV “Buku itu, sekali lemparan saja bisa membunuh tubuh itu, tubuhmu yang sebenarnya. Dan masalah terselesaikan dengan mudah.”
Aku yang sedang membaca buku tentang magis setebal ensiklopedi lengkap dari Hikaru mencoba menoleh dalam waktu kurang dari sedetik untuk sedikit memberi respon pada sang pembicara karena aku tahu, saat ini tujuan dia mengatakan hal tidak penting begitu hanya untuk menyingkirkanku dari kehidupannya. Mengembalikan orang yang disukainya, dan menjalankan misi cinta sesama jenisnya.
Dari kursi penonton yang tak jauh dari panggung tempat diriku akan tampil, kulirik sekilas tubuhku yang sedang gladi bersih, berdiri tepat dibawah lampu lighting yang tergantung ringkih di atap panggung. Kondisinya mendukung, buku ini bisa lebih berguna jika kulempar dan mengenai lampu itu. Mungkin benar juga kata Chinen, dengan membunuh tubuhku sendiri, masalah akan segera selesai.
“Tapi kalau lampu itu jatuh sendiri, lebih bagus. Kau tak perlu mengotori tangan itu,dan Ryosuke tak akan pernah lagi terlibat dalam pemainan bodohmu.” Lanjut iblis cilik itu.
Kutatap tangan berjemari besar nan pendek ini. Kubuka perlahan jemarinya, lalu kukepalkan. Dengan durasi singkat, sedikit suara dengusan tawa meremehkan keluar dari lubang hidungku.
Semudah itukah? Kenapa tidak kau saja yang membunuhku?
Flashback
Cabut sehelai rambutnya, Silangkan dengan sehelai rambutku, jemur di bawah sinar bulan purnama. Tukar kedua helai rambut itu, masukkan rambut dia di dalam sarung bantal tidurku, dan rambutku di dalam sarung bantal tidurnya. Yap, semua syarat dari buku ini terpenuhi. Tinggal tunggu besok pagi, dan-
mantra selesai. Berhasil tidaknya sih aku tidak peduli. Toh ini hanya coba-coba. Berhasil syukur, tidak pun tak apa. Paling tidak aku bisa mengukur seberapa pengecutnya diriku. Seberapa jauh pelarianku dari kenyataan. Aku hanya ingin mencoba menjadi dirinya, menjadi seorang ‘real idol’ yang selalu dipuji para kru dan pihak manajemen, menjadi ace of the centers dari grup ini, dengan mengerahkan segala kemampuan dan bakat alamnya. Suara itu, wajah itu, otot-ototnya yang lentur dan begitu lincah menari. Aku ingin merasakan hal seperti itu. Sekali saja menjadi dirinya, bukan selalu menjadi Morimoto Ryutaro, sang pesimistis cuek yang hanya bisa bergantung pada orang lain.
* KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING Berisik. Suara alarm laknat beraninya mengganggu tidurku, hah? Kau pikir dengan suara jelekmu itu bisa memotong mimpi indahku? Sekali banting saja kau sudah bungkam, alarm brengsek.
Tunggu-,
Aku tidak pernah memasang alarm sebelum tidur. Aku bahkan tak punya benda nista pengganggu begini. Argh ini pasti kerjaan Daichan atau Yamada.
Kuurungkan niatku untuk tidur lagi. Kubuka perlahan kelopak mataku. Yeah, mengucek mata bukan hal aneh yang dilakukan orang setelah bangun tidur kan? Tapi yang terlihat- Bukan kamarku. Kamar ini memang bukan ruangan yang rapi, namun jauh dari kata berantakan. lantainya luas dan- Tunggu.
Mana rak komikku? Mana gitar akustikku? Mana koleksi video gameku yang semalam berceceran di lantai? Dan- oh, kasur ini king size, luas sekali. Ini bukan kamarku. Atau mungkin efek mataku yang belum hidup sepenuhnya? Oke, saatnya cuci muka.
Suara air mengucur deras dari kran wastafel. Kutadahkan tanganku untuk menampung air itu, dan kubiaskan ke wajah. wastafel tempatku biasa cuci muka terasa semakin tinggi. Kepalaku mengadah ke kaca wastafel, sedikit susah payah. Yang terpantul di kaca itu bukan wajahku, melainkan dahi hingga rambut yang berwarna kecoklatan, bukan rambutku. Bukannya aku yang bertambah pendek, tapi ternyata permainanku semalam berhasil. Ini kamar Yama-chan, jiwaku tertukar dengannya. Bagus.
Buku itu bilang,”tubuhmu dan nyawa lawan tukar jiwamu akan tertidur sementara kau menggunakan tubuhnya”. Dengan kata lain, aku bisa tenang menjalani permainan ini. Senyuman kecil tersungging di wajahku.
Mataku menelusuri kamar mandi ini, dan tepat di sudut ruangan ada benda yang kucari. Pijakan kaki yang tersandar di tembok. Kutempatkan benda itu didepan wastafel dan kunaikinya hingga wajah ini terpantul penuh di cermin dengan sempurna.
“Hari ini aku Yamada Ryosuke. Yamada Ryosuke.” Chinen Yuri’s POV
“oha-” Sepi. Ah, ternyata aku yang pertama bangun. Dapurnya masih sepi. Biasanya sudah ada 10 porsi sarapan di meja makan. Apa dia masih ngambek karena kita jadikan bahan bullying tadi malam? Ah, Ryosuke paling cuma kesiangan. Ok, pagi ini aku yang masakkan omurice untuk semuanya. Yosh
“Chinen, pagi. wah bangun cepat kamu ya?” Suara cempreng bak knalpot bocor sedikit membuatku tersentak. Tapi aku tetap mengocok telur yang akan kubuat omurice.
“Wah, Kei-chan. Pagi.”
Akhirnya bukan aku sendirian disini. Kei-chan dengan penampilannya yang lusuh duduk di meja makan dengan santainya. Menguap. Merusak pemandanganku.
“Kei-chan, bantuin dong.” Seruku protes. Ia bangkit dari meja makan dengan lemasnya.
Kei-chan mulai bekerja. Jari-jarinya yang panjang kurus nan lentik mulai mengupas bawang putih. Nah kalau seperti ini, tanpa Ryosuke pun aku bisa membuat omurice.
“AAAAA ITTAAAAIIII-!!” Aku tersentak. Suara cemprengya kian melengking mengagetkanku. Ternyata jarinya teriris. Darah segar menetes ke lantai dan mengenai pisaunya. Refleks ia mencuci tangannya kemudian bergegas mencari kotak p3k.
Pisau yang digunakan Kei-chan tergeletak di lantai tempat Kei-Chan berdiri tadi. Entah kenapa menarik perhatianku. Kilauan di mata pisaunya cantik sekali. Atau mungkin tertular karismanya Kei-chan? Pikirku. Kukembalikan pisau itu ke tempatnya.
Satu persatu penghuni dorm ini menempati meja makan. Sarapan bersama, sudah tradisi kami. Sampai akhirnya si gembul yang kutunggu-tunggu datang.
“Pagi.” Sapanya dengan diikuti balasan 7 orang lainnya. Mimik super santai, sama sekali bukan ekspresi ngambek. Manusia yang telah membuatku bersusah payah membuat omurice, datang dengan wajah tanpa dosa. Memang tidah bersalah juga sih, mungkin pikirnya sesekali kami bersepuluh sarapan dengan masakan selain buatannya -sesekali ia ingin merasakan masakan yang lain.
“Selamat makan!” Ucap Ryosuke riang. Dasar rakus, padahal Ryutaro belum datang sudah hampir melahap sarapannya. Tapi lucu sekali dia kalau sedang bertingkah bodoh begini.
PLAK geplakan tangan hikaru mendarat tepat di kepala Ryosuke. Ryosuke meringis menahan sakit sambi mengelus kepala bekas pukulan Hikaru.
“Apaan sih, sakit nih.” Gerutunya kesal.
“Biar aku bangunkan Ryutaro dulu. Chii, kamu amankan anak ini sebelum dia habiskan sarapannya.” Hikaru menunjuk Ryosuke dengan gaya khasnya.
“Roger!”
“e -eh?” mimik wajah Ryosuke berubah kaget. “i-itu, Ryutaro biar aku saja yang bangunkan.” Kalimatnya terbata-bata. Gugup. Ia menahan Hikaru dan beranjak ke kamar Ryutaro. -
“Ryutaronya mana?” kulihat Ryosuke yang berjalan sendirian menghampiri kami. Tanpa Ryutaro. Ia menggelengkan kepala.
“Tidak mau bangun dia. Tidak enak badan. Sepertinya. ” Ryosuke mengangkat bahunya.
Ryosuke makan dengan santai dan sedikit lebih cepat. Terlihat berbeda dari biasanya. Dia tidak begitu menikati makanan. Apa karena masakanku?
“ne, Ryosuke.” Tidak ada jawaban. “Ryosuke-” Kutambahi volume suaraku. Namun orang yang kupanggil masih meneruskan makanannya. Yuuto yang duduk di sebelahnya menyenggol bahu sahabatnya itu dan bilang kalau tadi aku memanggilnya.
“ah, maaf Chii. Aku melamun” Melamun? Tadi itu sama sekali bukan ekspresi melamun. Apa ini? Sedikit menyakitkan. Ternyata seperti ini rasanya diabaikan orang yang-
Kusukai.
Morimoto Ryutaro’s POV
Seharian penuh sudah kujalani sebagai Yamada Ryosuke. Hari yang sibuk. Jauh lebih sibuk dari kehidupan nyataku. Pemotretan, interview majalah, syuting School Kakumei sampai menghindari paparazzi. Apalagi dengan situasi harus menutup-nutupi identitas asliku. Raga ini masih benar-benar fit, tapi mentalku capek. Memang tidak semudah itu menjadi orang lain, kembali menjadi diriku yang sebenarnya pasti lebih nyaman.
Aku berjalan mengendap menuju kamarku. Bukan- menuju kamar Morimoto Ryutaro. Tubuhku- tergeletak lemas di kasur ukuran single. Pulas. Tinggal tukarkan kembali helaian rambut itu, lalu jiwa kami pun kembali.
Kuangkat pelan kepalaku, kuambil bantalnya dan kukeluarkan bantal itu dari sarungnya. Argh, rambutku rontok. Belasan helai rambut ada di dalam sarung bantal ini. Gila. Rambut Yama-chan hanya 1 diantara belasan helai rambut. Memang iya rambut Yama-chan berwarna cokelat sedangkan rambutku berwarna hitam pekat. Tapi yang terlihat dimataku, hanya ada rambut hitam. Semuanya hitam pekat.
Kutaruh semua helai rambut di lantai kamar. Beruntung karena lantai kamarku berwarna putih. Tidak beruntungnya, tak ada satupun rambut berwarna kecokelatan yang terlihat. Apa harus kucoba satu persatu?
Pukul 23.58. Waktuku tidak cukup. Aku harus tidur sebelum jam 12 atau-
“Siapa kamu?” - Suara serak rendah mengagetkanku. Suaraku. Apa Yama-chan terbangun? Tidak mungkin, buku itu bilang kalau lawan tukar jiwa tertidur jika aku sedang menggunakan tubuhnya.
Brengsek.
“hei-” Aku menoleh. Melihat tubuhku yang sedang duduk ditepian tempat tidur. “Y.. Yama-chan.” Spontan aku tersentak.
“maafkan keisenganku tapi ini-”
Yama-chan bangkit. Ia menaruh tanganku di pundaknya. Matanya terbelalak kaget melihat tangan yang digerakkannya lebih kecil dan panjang dari tangannya sendiri. Suara tawa renyah keluar dari mulutku -mulut yang saat ini dikuasai oleh Yamada Ryosuke. Tawa tanpa beban. Mengisyaratkan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
[QUOTE] Pertukaran jiwa hanya bisa berlangsung 24jam. Jika melebihi batas waktu, sang lawan tukar jiwa akan bangun dan jiwa tak akan kembali.
“Yama-chan, maafkan aku.” Aku tertunduk lemas. Namun Yama-chan tetap nyengir kuda. Senyuman jujurku dengan rahang atas yang naik, memberi kesan ikhlas. Tapi, siapa yang percaya dengan ekspresi aktor profesional seperti dia? Yang seperti ini justru menakutkan, bukan?
Kuceitakan semua perbuatan bodohku. Apa boleh buat. Sudah terlanjur basah, beberkan saja semuanya.
“Aku tidak keberatan. Untuk sementara kita berpenampilan begini dulu, belum adil juga karena seharian ini kau sudah menggunakan tubuhku, tapi aku hanya tertidur di kasurmu.”
Ya, kau tidak keberatan karena menggunakan tubuhku yang ringan. Tapi tubuhmu ini memberatkan tahu.
“hei, Yama-chan. Kau tahu? Sihir ini sudah tidak bisa lepas lagi. Aku takut kita akan selamanya begini. ”
Tanganku yang digerakkan oleh Yama-chan, mengusap kepalaku. -Ralat, kepala dia. Untuk saat ini, Yama-chan terlihat lebih dewasa. Mungkin karena ia menggunakan tubuhku.
“Munafik. Bukankah itu maumu, Morimoto Ryutaro? Merebut kepopuleran dari teman satu tim-mu sendiri?” seorang cowok berperawakan kecil yang ternyata tengah bersandar di samping pintu kamarku. Menyeringai, senyum liciknya terarah padaku. Sejak kapan dia disitu? Sejak kapan dia menguping pembicaraanku? Lalu, sejak kapan dia jadi seperti iblis cilik begini?
Yama-chan masih konsisten dengan senyumnya. Entah waras atau tidak, dia justru tampak senang dan sedikit membuatku jijik. “Oioioi, tak apalah Chii, aku juga ingin sesekali menjadi Ryuu. Aku ingin badan tinggi, nanti juga pasti jiwa kita kembali kok. Kita akan cari cara untuk kembali.”
Cowok mungil itu hanya mengerenyitkan alisnya. Ia mendenguskan tawa sedetik. “tak ada hubungannya denganku, namun aku ingin sedikit membantu karena aku tahu cara mutlaknya.” Ucapnya dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Membuatku menjadi benci dengan wajah palsunya ini.
“cara.. mutlak? Pasti berhasil?” ucapku tidak yakin.
Yama-chan memeluk Chinen dengan cerianya. “yeey! Chii saikou! Tapi jangan dikembalikan dulu, Chii. Aku belum merasakan menjadi Ryuu.”
Wajah chinen yang semula tersenyum manis seketika berubah menjadi hambar. “tolong jangan memelukku dengan tubuh itu.” Ucapnya frontal. Yama-chan menjauh sambil menggosok kepalanya.
Aku tak peduli dengan mulut nistanya barusan. Aku hanya ingin bertukar badan kembali. Bagaimanapun caranya.
“Cara yang kau maksud, seperti apa?” tanyaku datar. Chinen tertunduk, lalu mendongakkan wajahnya sambil tersenyum sinis.
-flashback end-
Author’s POV Kini figur Morimoto Ryutaro sedang berada di puncak karirnya. Apa lagi kalau bukan karena pengendali tubuhnya adalah Yamada Ryosuke. Dengan latihan rutin, karakter unik suara Ryutaro yang bertipekan bass bisa mendapat solo line sebanyak pemilik suara tenor khas di grup ini, Yabu Kouta.
Ryutaro mendapatkan lagu solo pertamanya. Dan saat ini, dia sedang mempersiapkannya untuk ditampilkan di konser. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, kini sosok Morimoto Ryutaro lebih semangat dan karirnya berkembang pesat. Karena itu, konser kali ini menampilkan solo perdananya. Ryosuke tak sabar akan penampilannya, namun batinnya merasa tidak enak karena ia pikir seharusnya Ryutaro sendiri-lah yang menampilkan solo perdananya ini. Namun apa boleh buat, ini kan maunya.
Yamada Ryosuke’s POV BRUUUUK-! Lampu lighting yang tadi tergantung tepat diatasku terjatuh. Apa aku mati? Aku telah membunuh Ryutaro? Tidak, aku masih hidup. Tepatnya, Ryutaro masih hidup. Tubuhku jatuh tengkurap, seseorang mendorongku dari belakang. Menyelamatkanku.
“Keito!” Ryutaro, dengan tubuh pendekku berteriak dari kursi penonton. Ia sontak berlari mendekati sahabatnya yang terluka itu. Setengah menangis.
Suasana seketika ricuh. Para kru segera melakukan pertolongan. Keito yang mendorongku, tergeletak dan meringis menahan sakit. Nyala api kecil terlihat di pucuk celana jeans tiga perempat yang ia pakai. Beberapa kaca dengan berbagai ukuran tertancap di betis hingga pahanya . Serpihan kaca-kaca itu memerah akibat terkena darah keito yang bercucuran. Lemas. Tubuhku dingin melihat pemandangan ini. Kalau saja tadi aku tidak berdiri disitu.
Morimoto Ryutaro’s POV Tragis. Panggung yang akan menjadi tempat kami bersepuluh tampil, saat ini dihiasi cucuran darah segar Keito. Aku tertunduk lemas. Sama seperti Yama-chan yang membenamkan wajahku menahan ngeri. Seharusnya Keito jangan mendorongnya, biar tubuhku yang terkena kecelakaan itu. Agar Yama-chan bisa kembali menikmati hari-harinya yang kurebut ini.
Yama-chan merangkakkan tubuhku pelan mendekati Keito yang sudah tergeletak pingsan. Namun petugas medis segera mengangkat Keito untuk dilarikan ke Rumah Sakit.
TLUK Serpihan kaca berukuran setengah telapak tangan jatuh dari kaki Keito. Merah darah, tajam. Akan segera kubuang kaca itu agar tidak menimbulkan korban lagi. Tapi sayang, aku keduluan oleh Chinen. Dia mengambil kaca itu. Bukan untuk dibuang, namun diselipkan di kantong jaketnya. Untuk apa? Untuk membunuhku? *
Kulangkahkan kaki pendek ini ke kamar Yama-chan. Aku mengantuk. Ya, bisa saja kali ini dengan tidur lelap besok aku bisa kembali ke tubuhku. Meskipun kemungkinannya hanya 1%, aku ingin kembali. Benar-benar ingin kembali.
GREP Seseorang menggenggam erat lenganku dengan kencang. Ia menariknya ke belakang. “Hei, sakit!”
TESS- Sayatan pisau mendarat di pergelangan tangan ini. Tepat di arteri dan venanya. Lemas. Darah segar mengucur deras hingga pemandangan dihadapanku berubah.
Tubuh seorang Yamada Ryosuke tergeletak lemas di pangkuan Chinen. Terlihat jelas olehku. Darah dari pergelangan tangannya yang bercucuran, diminum oleh seorang pria berperawakan kecil itu. Dia yang begitu mencintai Yama-chan, tak kusangka bisa melakukan hal seperti ini.
Tatapannya nanar. Sebuah penyesalan tampak begitu besar di matanya. Bibirnya menyentuh bibir Yama-chan. Dalam. Kemudian ia melepaskan ciumannya dan mengangkat wajahnya dengan mimik datar. Ia tidak memperdulikan keberadaanku. Dengan pisau itu, ia menusuk-nusuk tubuh Yama-chan dari dada hingga perutnya. Darah segar kembali bermuncratan dari sumber-sumber tusukan hingga mulutnya yang kini menganga mengeluarkan cairan merah segar.
“Chinen..” Aku mendekatinya dan mencegahnya berbuat hal lebih jauh dari ini. Cukup.
Kalau kau begitu menginginkan Yamachan, kau seharusnya aku yang kau bunuh, Chii.
Chinen masih tidak menyadari keberadaanku. Kini disayatkannya pisau itu ke telapak tangannya. ia mengangkat tangan Yama-chan dan menempelkan telapak tangannya yang tersayat dengan urat nadi Yama-chan yang masih mengucurkan darah.
“Sekarang kita telah bersatu, Ryosuke ..” , Ia menangis sambil tersenyum nanar. Diambilnya kembali pisau itu.
“Chinen, Hentikan itu!”, Teriakku. Terlanjur. Ia sudah memotong urat nadinya sendiri. Ia jatuh terkulai lemas di atas orang yang paling dicintainya.
***
PATS Mataku terbuka diatas kasur ukuran single. Kamarku. Yah, aku terbangun dengan keadaan seperti biasa. Aku melihat kamarku yang berantakan dengan komik, gitar akustik dan nintendo DS berceceran di lantai. Mimpi buruk itu masih terasa begitu nyata. Mencekam.
Aku keluar kamar menuju ruang makan untuk sarapan. “Yama-chan masak apa ya hari ini?”,pikirku.
Baru aku membuka pintu, terdengar suara keramaian dari pojok koridor. Mimpi itu terlintas di benakku karena kamar paling ujung adalah milik Yama-chan.
Kulihat ada pita menghalangi jalan menuju kamar itu. Police line. Tak lama kemudian terlihat seorang pria kecil berlumuran darah tergeletak di atas tandu yang melewatiku. Mayat itu, Chinen Yuri.